Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Sabtu, 21 Juli 2012

JIKA ACHA DAN OZY JATUH CINTA – PART 19

PART 19 = BUKAN SALAH SIVIA


 

Pagi sudah menjadi tengah hari di SMA Bina Putra. Dua pertiga isi kelas XI-IPA2 berteriak cerah ceria begitu bel istirahat kedua terdengar. Ozy membereskan buku-bukunya dari atas meja.

"Zy! Ke kantin yok!" Alvin menggamit pundak Ozy. Obiet juga ikut berdiri, dan melangkah ke sebelah Alvin yang berdiri di sisi kiri Ozy.

"Yok! Ntar, gua masukin ini dulu…" Ozy memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Dia sudah setengah berdiri ketika sebuah suara memanggilnya.

"Ozy… Aku pengen ngomong sama kamu sebentar. Bisa nggak?"

Ozy menoleh. Sivia berdiri di sebelah kanan meja yang ditempati Ozy.

Ozy mengangkat alis dengan heran, kemudian berbalik, menoleh ke arah Alvin dan Obiet.

Alvin mengedikkan bahunya, dan berkata "Ya udah Zy… Lo nyusul aja ntar… Yok Biet!". Dia kemudian merangkul bahu Obiet, dan melangkah keluar bersama-sama.

"Duduk aja Siv…" Ozy menunjuk kursi di sebelahnya.

Sivia menurut, duduk persis di sebelah Ozy. Wajahnya nampak murung…

"Zy… " katanya perlahan. Ozy memandangi wajah cantik Sivia.

***

Alvin berbisik pelan pada Obiet sambil berjalan menuju kantin, "Beuh… Kayaknya bentar lagi bakal nambah nih pasangan di kelas kita…"

Obiet menoleh dengan heran, "Maksud lo?"

"Lho? Si Ozy tadi itu lhooo… Masak sih lo ga nyadar-nyadar juga?"

"Nyadar apaan?"

"Ozy sama Siviaaaa….Lo ga liat apa tadi si Sivia ngedeketin Ozy? Lagian ngapain coba Sivia ngajakin Ozy ngomong berduaan doang??!!!"

Obiet menggeleng, "Ya ga mungkin kaliiii Ozy naksir sama Sivia, kan Ozy itu…"

Kalimat Obiet terpotong oleh seruan Alvin yang melambai ke arah seorang cewek manis yang tinggi dan berambut pendek.

"Hai cintaaaa… ke kantin sama abang yuukk…"

Detik selanjutnya, Obiet sudah ditinggalkan Alvin yang begitu saja pergi menuju ke arah Agni.

Obiet mengangkat bahu, dan terus melangkah menuju kantin. Yah, bagus juga sih dia ga perlu ngejelasin. Lagian Sivia sudah pernah mewanti-wanti Obiet untuk tidak memberitahu orang lain soal Sivia dan Ozy.

***

"Kenapa Siv?"

Sivia menoleh ke arah Ozy. Matanya berkaca-kaca, dan Ozy mulai gugup.

"Jangan… jangan.. jangan sekarang… Jangan nangis sekarang…" Ozy komat-kamit sendiri dalam hati…

"Zy, tadi malam Mama nelfon lagi… Papa dipindah dari Sydney ke Melbourne… Kata Mama, suasana Melbourne lebih enak…" Sivia mulai terisak. Ozy semakin gelagapan.

"Jadi, kata Mama, aku sebaiknya balik lagi ke Australia, nemenin Mama di Melbourne…" butiran air mata mulai jatuh dari ujung mata Sivia.

***

"Ke kantin Yo?" Irsyad menegur Rio yang berjalan cepat menuju pintu kelas. Gabriel sudah dari tadi menghilang, karena dia mesti menjemput Ify dulu ke kelas sebelah sebelum ke kantin.

Rio menggeleng, "Gak. Gua mau ke kelas XI-IPA2 dulu bentar…"

Irsyad mengangkat alis, "Mau ngapain?"

"Ada misi khusus!" Rio menjawab sambil melenggang keluar. Senyum terpajang di wajahnya, membayangkan betapa bahagianya Acha nanti sore, setelah misi ini dia laksanakan.

***

"Aku ga mau pindah Zy… Aku ga mau…" isakan Sivia terdengar perlahan. Ozy dengan gugup mengedarkan pandangan, dan melihat sebungkus tisu tergeletak di meja Keke yang ada di belakang mejanya. Sontak Ozy mengambil bungkusan itu, dan meletakkannya di atas mejanya.

Sivia masih menangis, "Aku ga mau ninggalin Indonesia Zy, aku ga mau ninggalin sekolah ini, apalagi, aku ga mau ninggalin…" sampai disini, Sivia sepertinya sudah kehabisan kekuatan. Dia menangkupkan kedua tangannya di wajahnya, pundaknya terlihat bergetar..

Ozy kebingungan. "Tuhan, kenapa mesti sekarangggg…" pikir Ozy di dalam hati.

Apa coba yang harus dia lakukan? Akhirnya Ozy menarik nafas, dan membelai perlahan rambut Sivia. Itu satu-satunya hal yang terpikir oleh Ozy.

***

Rio terdiam di depan pintu kelas XI-IPA2. Memandangi Ozy yang tengah membelai rambut seorang gadis. Rio tidak bisa melihat wajah gadis itu, yang tersembunyi di balik tangannya. Tapi Rio hafal bando biru tua itu. Hafal sekali.

"Siviaaaa… Udah dong ah nangisnyaaaa…" Ozy berbisik pelan, membujuk Sivia.

Sivia mengangkat wajah, menahan isakan. Bekas air mata masih tersisa di pipinya. Dengan kikuk, Ozy menarik keluar selembar tisu dari bungkus tissu milik Keke yang disambarnya tadi.

"Tuh kaaaann… Jelek, tau!" Ozy menghapus sisa air mata itu. Sivia berusaha tersenyum

Ozy tersenyum balik melihat senyuman itu. Lega. Karena kalau Sivia masih terus menangis, Ozy tidak tahu harus berbuat apa lagi. Kak Gabriel hanya mengajarinya matematika saja, bukan bagaimana harus menghadapi seorang cewek yang menangis.

***

Rio menggigit bibir ketika melihat Sivia mengangkat wajah. Tangannya terkepal ketika melihat Ozy mengusapkan tisu di wajah cantik itu. Dan ketika Sivia tersenyum pada Ozy, Rio bisa merasakan kukunya menancap semakin dalam di kepalan tangannya.

Rio berbalik untuk melangkah pergi, dan langsung menabrak Nova. Nova yang juga tengah menyaksikan adegan di dalam kelas itu dengan tangan menutupi mulutnya yang ternganga.

"Kasian banget Acha, mesti patah hati gini…" desis Nova.

Rio menarik Nova menjauh.

"Nov, gua nitip Acha pas pulang nanti. Biar dia pulang bareng elo aja. Bilangin, gua ada urusan penting. Kalo dia nanya, bilang aja urusan cowok" kata Rio dengan nada yang belum pernah didengar Nova sebelumnya. Nova mengangguk. Rio kemudian berlari menuju kelasnya dengan amarah yang berkecamuk.

***

"Yo! Kenapa sih?" bisik Gabriel sambil menyenggol teman sebangkunya itu. Rio tidak menjawab. Tetap menatap lurus ke depan, ke arah Pak Joe yang sedang menjelaskan rumus hidrolisis garam.

Gabriel menghela nafas. Dia tahu pasti, Rio sedang marah. Yang dia tidak tahu, adalah alasannya. Dua jam pelajaran terakhir berlalu begitu lambat bagi Gabriel.

Begitu bel terdengar, Rio langsung mengemasi tasnya dan melangkah keluar kelas. Masih tak mengucapkan sepatah katapun pada Gabriel. Gabriel berusaha mengejar Rio dan menarik tangan sahabatnya itu.

"Rio! Elo kenapa sih?"

Rio menggoyangkan tangannya dengan keras untuk melepaskan genggaman Gabriel. Dengan marah dia menatap Gabriel, mengacungkan telunjuk tepat di depan wajah Gabriel.

"Adek lo mesti diajarin sopan santun!!!"

Rio berbalik lagi dengan kasar, dan pergi dengan langkah lebar. Dengan bingung Gabriel menatap punggung temannya yang tengah berlari menuruni tangga.

"Kenapa si Rio?" suara Ify yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelah Gabriel juga terdengar heran.

Gabriel menggeleng tanda tak tahu. Tapi dia punya firasat. Firasat buruk.

***

Kelas XI-IPA2 sudah terlihat mulai kosong, selain Ozy dan Sivia yang berjalan berdampingan. Ozy mengiringi langkah Sivia keluar kelas. Dia masih khawatir melihat Sivia yang masih terlihat sedih.

"Mau gua anterin pulang Siv?" tanyanya dengan khawatir.

Sivia mengangkat wajah, menggeleng pelan sambil berusaha tersenyum. Dia hendak menjawab, tapi belum sempat Sivia menjawab, suara Rio sudah terdengar keras di depan mereka.

"OZY!"

Ozy mengalihkan pandangan dari Sivia, dan dengan heran melihat Rio yang berdiri tegak di depannya.

"Zy! Gua tunggu sekarang di belakang perpus. Sekarang juga!"

Belum sempat Ozy menjawab, Rio sudah berbalik arah dan melangkah cepat.

Ozy menoleh ke arah Sivia kembali, yang terlihat sama bingungnya dengan Ozy.

"Kenapa ya, Siv?"

Sivia mengangkat bahu, dan menggeleng pelan.

"Ya udah Zy, kamu datengin Kak Rio aja. Aku bisa pulang sendiri kok…" kata Sivia lagi.

"Tapi lo beneran gapapa nih pulang sendiri, Siv?"

Sivia mengangguk pelan.

Ozy menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya keras-keras. "Ya udah deh Siv kalo gitu. Gua datengin Kak Rio dulu deh…"

Ozy melangkah menuju taman belakang perpustakaan. Di belakangnya, Sivia memandangi tas ransel kuning di punggung Ozy yang ikut bergerak-gerak mengiringi langkah pemiliknya.

Sivia diam, dia masih tidak mengerti kenapa Rio tadi terlihat begitu garang. Selama ini, tatapan mata yang tajam itu tak pernah terlihat begitu penuh amarah seperti tadi. Sivia menggeleng pelan, berusaha membuang firasat tidak enak di hatinya, dan mulai melangkah menuju pintu gerbang. Belum sampai di pintu gerbang, sebuah suara menghentikannya.

"Sivia!"

Sivia mengangkat wajah, ada Gabriel di depannya.

"Liat Ozy ga Siv?"

"Tadi dia disuruh ke belakang perpus Kak. Disuruh Kak Rio. Ga tau tuh. Mana Kak Rio keliatannya lagi marah banget gitu…"

Gabriel menghela nafas, kemudian menoleh ke arah Ify yang berdiri di sebelahnya.

"Fy, lo tunggu di sini aja dulu ya…"

Ify mengangguk, membiarkan Gabriel yang bergegas menuju perpustakaan.

Sivia terdiam, lalu mengambil keputusan.

"Kak Ify, aku nyusulin Kak Iyel ya…" dan berbalik, dengan langkah-langkah kecil namun cepat Sivia mengikuti punggung Gabriel.

"Eh, kalo gitu gua ikutan juga deh…" seru Ify sambil tergesa-gesa mengikuti langkah Sivia.

***

"Kenapa sih Kak?", Ozy betul-betul tidak mengerti alasan Rio memanggilnya ke sini.

Rio yang berdiri hanya setengah meter di depannya mendengus keras.

"Lo masih belum ngerti juga?"

Ozy menggeleng dengan wajah keheranan.

Rio tidak menunggu jawaban dari Ozy, malah melayangkan tinju, tepat menghantam rahang kiri Ozy.

Tak menyangka akan diserang seperti itu, Ozy jatuh terduduk.

Ozy ternganga. Dia seperti bermimpi, ditinju oleh sahabat kakaknya sendiri. Ozy meraba sisi kanan wajahnya. Sakit. Artinya ini bukan mimpi.

Sambil terhuyung, Ozy berusaha berdiri, memandang Rio.

"Kak Rio, beneran aku ga nger…"

Belum sempat Ozy menyelesaikan kalimatnya, Rio kembali menyarangkan tinjunya di wajah Ozy. Ozy kembali terduduk.

"Gua pikir Acha sudah tepat memilih elo! Ternyata elo sama aja kayak cowok buaya lainnya!"

Ozy memegangi wajahnya di bagian yang baru saja merasakan tinju Rio, ternganga.

"Tapi Kak…"

"UDAH! Ga usah banyak ngomong lo!" Rio menarik Ozy yang masih terduduk dan mencengkeram leher baju Ozy.

"RIO! CUKUP!" Gabriel berlari sekencang yang dia bisa, dan menarik pundak Rio untuk melepaskannya dari mencengkeram Ozy. Gabriel mendorong Rio menjauh. Ozy yang masih merasa kesakitan sontak terduduk kembali. Ada darah menetes dari ujung bibirnya.

"Ozyyy!!!" teriakan Sivia yang berlari di belakang Gabriel terdengar ketakutan. Melihat Ozy terduduk, Sivia langsung berlutut di sebelah Ozy. Merangkul pundak Ozy dengan kedua tangannya dan menangis tersedu-sedu.

Rio tidak mengalihkan pandangannya yang masih penuh amarah dari Ozy. Ozy yang sedang terperangah menatapnya, dalam pelukan Sivia yang masih menangis. Perasaannya campur aduk. Marah. Terluka. Sivia dan Ozy. Kenapa harus Sivia dan Ozy? Kenapa harus mereka berdua??

"Lo apa-apan sih Yo?" tanya Gabriel keras, menuntut penjelasan.

Rio menoleh menatap Gabriel dan mengacungkan telunjuknya ke hadapan Gabriel, berkata dengan nada tajam "Yel, lo ga usah ikut campur. Gua tau dia adek lo, tapi ga berarti lo juga mesti ngebela buaya ini!!" serunya sambil menuding Ozy dan Sivia.

Gabriel ternganga. Matanya berpindah-pindah dari Ozy yang masih terduduk, ke arah Rio. Melihat Sivia yang masih tersedu sedan sambil terus merangkul Ozy, suatu dugaan melintas di benak Gabriel.

"Rio, denger dulu, gua bisa jelasin…" Gabriel meraih pundak Rio

"GA PERLU! Gua ga perlu denger penjelasan dari siapapun. Gua udah liat sendiri…" dengan kasar Rio menepis tangan Gabriel, dan berbalik, melangkah pergi. Baru beberapa langkah, Rio berbalik lagi.

"Dan elo Zy, ga usah mimpi bisa deketin adek gua. Apalagi dapetin dia!" telunjuk Rio tertuju tepat ke arah Ozy, yang masih megap-megap. Usai memberi peringatan itu, Rio kembali melanjutkan langkahnya. Pergi membawa amarah.

Gabriel menggelengkan kepalanya dengan lemas, mendekati Ozy dan meraih tangan adiknya untuk membantunya berdiri.

"Kak Iyel…" kata Ozy dengan wajah putus asa.

"Udah Zy, biarin aja dulu. Orang kayak gitu masih belum bisa diajak ngomong…" Gabriel meraih pundak adiknya, membimbingnya berjalan.

"Fy, sorry. Gua ga bisa nganterin lo pulang hari ini" Gabriel menoleh ke arah Ify.

Ify mengangguk. Tersenyum penuh pengertian. "Ya udah, gapapa. Sivia biar sama aku…".

Gabriel mengangguk kecil, membalas senyum Ify, kemudian membimbing Ozy berjalan menuju parkiran. Ozy masih memegangi pipi kirinya. Masih tidak percaya atas yang baru saja terjadi.

"Sivia…", Ify berlutut di sebelah Sivia, yang masih terisak-isak dengan kedua tangan menutupi wajahnya.

"Ini semua salah gua… Salah gua…" Sivia masih menangis, menggeleng-gelengkan kepala menyesali diri.

"Sudahlah Siv… Namanya juga cowok, mereka bertindak dulu baru mikir. Semuanya akan baik-baik saja pada akhirnya Siv. Everything's gonna be fine…" Ify merangkul Sivia, mengelus-elus punggung gadis itu.

"Sekarang udah yuk, kita pulang dulu… Biar elo tenang. Ntar kalo Rio udah rada tenang, baru kita jelasin semuanya…" Ify membimbing Sivia berdiri.

Sivia menghapus sisa air mata dengan punggung tangannya, kemudian memandang Ify.

"Kak Ify…tahu soal aku dan Ozy?"

Ify mengangguk. Senyum pengertian terlukis di wajahnya.

"Gabriel udah pernah cerita ke gua,"katanya, dan menambahkan, "Kalo gua boleh saran, lo mesti jelasin semuanya…"

Sivia diam, tahu bahwa yang dikatakan Ify benar.

Ify merangkul Sivia dan membimbingnya berjalan.

"Tapi nanti Siv. Sekarang yang penting, elo tenangin diri dulu. Rio juga biar tenang dulu…"

Sivia mengangguk.


 

Utami Irawati
PS Kimia FMIPA Unlam
>+62-81351396681
utami_irawati@yahoo.co.uk
@utamiirawati

Tidak ada komentar: