Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Rabu, 31 Agustus 2011

"CINTA KEDUA" PART 21

Halo! Sebelum baca, minal aidzin dulu ya cemanceman;) Mohon maaf lahir batin ya semua:) Maaf kalau saya ada salah sama kalian. Catat. Kalau Ada! Oke~ Happy reading!


***


Sudah tiga hari ini Sivia terlihat uring-uringan. Semenjak pertemuan laknat itu terjadi, ia lebih sering menyendiri di kamar. Di sekolah pun jarang untuk dirinya keluar dari kelas. Lagi males. Itu alasannya kepada Shilla. Aslinya? Ia ingin menghindar dari Rio. Senyum Ify yang tulus sangat tidak mungkin untuk di hancurkan olehnya. Ia tak akan pernah melakukan hal setega itu. Setiap ketika berpapasan dengan Rio dan Ify, hanya senyum yang ia sunggingkan. Sekedar membalas halo atau pura-pura tidak melihat pun sudah barang dilakoni oleh Sivia.

"Sivia? Kantin yo?" tegur Shilla sambil mencolek lengan Sivia pada jam istirahat.

"Males Shill. Gue gak laper ah." Jawab Sivia ogah-ogahan.

"Lo kenapa sih Vi? Lo beda tau gak!" Sivia bisa melihat raut muka Shilla yang berubah menjadi sedikit serius. "Cerita dong sama gue. Gue jadi ikutan bad mood nih kalo elonya ga napsu gitu." Ujar Shilla jujur. Memang dirinya sudah menyadari tingkah laku Sivia yang akhir-akhir ini seperti menyimpan banyak masalah.

"Gue gak papa Shill! Gue cuman lagi pengen sendiri aja kok. Lo kantin deh sana. Cacing lo bikin orasi gede-gedean tuh. Buktinya kedengaran sama gue. Hahaha..!" Sivia mencoba meyakinkan.

Shilla menyerah. Selalu jawaban itu yang keluar dari bibir merah Sivia. "Huuh. Iyadeh! Lo tau aja kalo gue lagi laper. Tapi kalau lo mau cerita, gue siap kok nampung cerita lo!"

"Iya! Iya! Bawel bener deh lo."

"Asem! Mau titip gak lo?"

"Enggak deh."

"Yaudin. Dah Viaa."


***


Shilla memasuki area kantin yang sudah dijejali dengan murid-murid yang sudah diambang pintu kelaparan. Matanya jelalatan mencari menu makanan yang akan dipesannya. Satu stand disana sepertinya sukses menarik perhatiannya. Melangkahlah kakinya menuju stand yang ia inginkan.

"Eh, Cakka sama anak baru itu pacaran gak sih menurut lo?"

"Nah itu yang mau gue tanyain. Gue juga bingung deh."

"Dibilang pacaran kaya engga pacaran deh. Abisan ga ada mesra-mesranya. Iya gak?"

"Iya iya gue juga mikir gitu. Pulang pergi aja barengan, terus pas di sekolah biasa aja tuh."

Samar-samar Shilla mendengar pembicaraan beberapa kelompok geng di kantin itu. Dia berdiri di stand bakso untuk memesan semangkuk bakso. Namun diurungkan niatnya itu karena ia ingin menajamkan telinga nya sejenak. Jelas yang sedang dibicarakan adalah Cakka. Mantannya. Sekolahnya kan hanya mempunyai satu murid yang bernama Cakka. Dan ia harus tahu apa yang terjadi pada Cakka.

"Gue penasaran deh sama tuh cewe. Baru juga jadi murid baru disini, eeh langsung bisa dapetin Cakka. Belagu banget kan! Envy gue jadinya."

"Gue juga! Eh balik yo gue belom ngerjain bahasa nih."

"Masa ada? Astajim! Gue lupa! Oke cabut!"

Sesaat Shilla tercengang. Anak baru? Siapa? Memang akhir-akhir ini ia jarang bertemu dengan Cakka. Pesan yang dikirimnya beberapa hari yang lalu saja tidak dibalas oleh Cakka. Shilla semakin penasaran. Apa cewek itu yang membuat Cakka berpaling? Apa cewek itu yang membuat hubungannya dengan Cakka kandas begitu saja? Siapa cewek itu? Hatinya mulai memanas.

"Neng? Mau pesan bakso?"

Suara abang tukang bakso mengagetkan Shilla. "Eh? Nggak bang." Dengan langkah besar, Shilla meninggalkan kantin itu. Pikirannya tak menentu. Ternyata yang katanya 'anak baru' itu yang lagi deket sama Cakka. Oke! Dalam hati dikuatkan niatnya untuk mencari tahu tentang anak baru itu.
Siapapun orangnya, ia akan meminta pertanggung jawaban yang pasti!



***


Sivia melihat Shilla yang berlalu hilang di balik pintu kelasnya. Kini hanya tinggal dirinya sendiri di kelas itu. Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Tidak ada satu panggilan masuk ataupun pesan. Dengan malas dimasukkannya kembali ponsel itu ke dalam tas. Ia melungkupkan kepalanya di atas meja. Terngiang kembali wajah Ify yang tersenyum penuh bahagia melihat Rio. Senyum yang sampai saat ini masih dijaganya. Dan tak akan pernah dihancurkannya. Meski hatinya terluka, ia berjanji akan menjaga senyum manusia yang ia sayangi.

Sivia menutup kedua matanya. Ia ingin melupakan pikiran itu. Tapi bagaimana caranya? Rasa cintanya dengan Rio masih ada. Dan mungkin tidak akan pernah hilang. Bagaimana bisa ia bersikap cuek kepada Rio padahal dalam hatinya sakit? Haah ia mengingat-ingat lagi bagaimana teduhnya wajah Rio saat membiarkan tangan Ify bergelayut manja di tangannya. Saat Ify memanggil Rio dari kejauhan dan Rio membalasnya dengan senyuman. Saat mereka bertiga bertemu dan naasnya Rio sudah memilih Ify sebagai pacar barunya. Ah kalau tidak ada Cakka kemarin, mungkin air mata itu sudah berjatuhan tanpa henti di depan Rio dan Ify.

Ehm! Cakka? Coba ulangi? Cakka? Kenapa nama itu tiba-tiba terlintas di otaknya? Memang Sivia tidak merutuki kedatangan Cakka waktu itu. Malah jauh dalam lubuk hatinya ia berterima kasih kepada sosok Cakka yang entah mengapa sedikit banyak bisa membuatnya sedikit tenang. Namun, rasa gengsi nya yang besar-besaran masih sanggup berdiri kokoh dihadapan Cakka.

Sivia membuka matanya. Getaran ponsel di dalam tas membuatnya bangun untuk meraih benda itu sekaligus membunuh pikiran tentang Ify,Rio dan tentu saja Cakka.

"He? Tumben pake banget ni orang gila sms?"

Dengan malas Sivia membuka pesan singkat itu.

From : Cakka

Siv, lo ga ke kantin? Ga makan lo? Ntar sakit?

Sivia mengerutkan keningya. Apa maksudnya si Cakka? Entah mengapa kupingnya terasa memanas membaca pesan dari Cakka itu. Kenapa? Yah siapa saja perempuan normal yang dapet sms kaya gitu dari seorang lelaki kan pasti senyum-senyum gajelas toh? Dan hal itu kurang lebih sama seperti keadaan Sivia sekarang.

"Sialan nih Cakka! Ogah banget gue kemakan perhatiannya."

Sivia menggelengkan kepalanya. Ia sadar kembali kalau Cakka adalah manusia waras yang setengah gila. Ia bersumpah dalam hati tidak untuk kedua kalinya termakan perhatian palsu Cakka.

To : Cakka

Engga. Males. Knp emang?

From : Cakka

Kok engga ke kantin? Oke gue jemput ke kelas lo sekarang ya

Sivia meremas ponselnya. Kemudian menghentak meja dengan kepalan tangannya. Apalagi rencana sialan Cakka? Apa perlu satu sekolah tau kalau mereka pacaran? Engga kan? Sivia merutuki Cakka. Bibirnya komat-kamit mengumpat nama Cakka. Dahsyatnya kebencian yang disimpan Sivia rapat-rapat sepertinya sekarang sedang meluap. Apa lagi sih maunya Cakka?

"Kantin bareng gue yok Siv!" suara itu terdengar jelas di telinga Sivia. Suara Cakka. Suara yang membuat Sivia bertambah keki. "Cepet banget lo nyampe sini? Serius lo mau kantin bareng gue? Gue mah ogah!"

Sivia melihat Cakka berdiri di depan pintu kelasnya sambil bersandar pada daun pintu itu dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sok cool banget, pikirnya. "Mau gak mau, lo harus ikutin permintaan gue kan? Inget ga lo? Apa perlu gue jemput ke situ? Terus gandeng tangan lo ke kantin? Itu mau lo?"

Sivia geram. Ia menghentakkan kakinya. Dengan langkah ogah-ogahan, dia berdiri lalu berjalan mendekati Cakka. Ia sempat melengos ketika lewat di depan Cakka. Senyuman sinis itu terlihat jelas lagi di wajah Cakka. Sivia benar-benar heran dengan kelakuan super ajaib si Cakka. Baru aja beberapa hari yang lalu Cakka sukses menenangkannya, eh malah sekarang diganggu lagi. Masya Allah..

"Lo kok maksa banget sih? Terserah gue juga kali mau ke kantin apa engga!"

"Pede banget lo? Gue maksa lo ada tujuannya kale!"

Sivia menghela nafas panjang. "Apa lagi sih?"

"Gue lupa bawa dompet. Kita makan pake duit lo. Oke?"

GUBRAK -_-

Sivia memutar bola matanya. Lalu dengan malas berjalan mengikuti Cakka yang sudah jalan terlebih dahulu menuju kantin. Dasar kurang ajar! Pikirnya.

"Gue mampir ke perpus bentar."

"Ah! Oke lima menit! Gak pake lebih!"


***


Sivia memasuki perpustakaan itu. Luas memang. Namun sangat sepi menurutnya. Pada jam-jam seperti ini pasti anak-anak lebih menggandrungi kantin daripada membaca atau meminjam buku di tempat seperti ini. AC yang ada pada ruangan itu sedikit menyejukkan tubuhnya. Hanya ada satu atau dua anak yang berada di situ. Ia berkeliling untuk mencari rak novel yang katanya Shilla berada di pojok perpustakaan itu.

Sivia melangkahkan kakinya sambil tersenyum lebar saat matanya melihat novel yang dicarinya.
Novel twilight itu sudah menjadi targetnya dari hari kemarin. Namun ia belum sempat mampir ke perpustakaan karena memang ia sedang tidak ingin keluar dari kelas. Karena ia pasti akan bertemu dengan dua manusia yang sekarang sedang dihindari keberadannya.

"Sivia?" sebuah suara memaksa Sivia untuk berhenti dari aktivitasnya. Tangannya sudah menjangkau novel itu. Namun ditariknya kembali. Sekilas ia mengenal suara yang ia dengar menyerukan namanya itu.

Saat Sivia berbalik. Betapa kagetnya dia melihat laki-laki itu. Wajah teduh yang tidak dihiraukannya beberapa hari belakangan, muncul kembali ke hadapannya. "Hai Vi!"

Sivia tersenyum sekilas. Jantungnya berdegup kencang. Matanya tak mampu menatap mata Rio. Hatinya tak keruan. Laki-laki manis di hadapannya ini berdiri dengan tidak semangat dan menatap tajam ke Sivia. Sivia jelas melihat kantung mata Rio yang agak membesar. "Kak Rio? Kakak kenapa?"

Terlintas rasa prihatin di hati Sivia. Melihat keadaan Rio seperti itu, ingin rasanya ia memeluk Rio. Mencoba memberikan perhatian yang sebenarnya juga ingin ia rasakan. Mencoba menenangkan Rio dari masalahnya. Walaupun ia tak tahu apa sebabnya. Mungkin ini ada hubungannya dengan Ify.

Ify? Ah nama itu lagi. Sivia menggigit bibir bawahnya. Ia menyapukan pandang ke arah belakang, sisi kanan dan sisi kiri Rio. Ia mencari sosok Ify. Namun, bola matanya tak menemukan objek yang dicarinya. Satu hal yang ia dapatkan, mungkin sekarang Rio tidak sedang pergi bersama Ify.

"Vi?" merasa terpanggil, Sivia menghentikan pencariannya dan lalu menatap Rio. Rio menyunggingkan senyum termanisnya. Namun entah mengapa, ada rasa sakit yang mendera disana. Senyum Rio terkesan pahit. "Aku mau nanya.." Ia tak tahu apa pertanyaan yang ingin ia utarakan benar atau salah. Ia menarik nafas panjang. Dan lalu menghembuskannya perlahan setelah itu, senyum kepiluan tertampak jelas di wajahnya.

"Kamu.. Kamu beneran pacaran sama Cakka?" tanyanya. Sebenarnya Rio sengaja mengikuti Cakka tadi. Feeling nya mengatakan Cakka akan pergi menemui gadisnya. Dan ternyata memang benar. Cakka mendatangi Sivia. Rio bisa merasakan sakit yang teramat sangat. Dengan diam-diam ia ikuti kedua orang tersayangnya itu. Dan sampailah ia disini. Di perpustakaan ini. Bersama Sivia. Yang mungkin sudah menjadi pacar sahabatnya.

"Eh? Cakka? Emm.." Sivia tak mampu berkata apapun. Ia terkejut mengapa dengan cara tiba-tiba Rio menanyakan hal seperti itu kepadanya. Dengan kata lain, Sivia yakin Rio masih menyimpan perasaan yang sama dengannya. Ia tak ingin menyakiti Rio. Tapi, ia juga tidak ingin menyakiti Ify. Dengan situasi seperti ini, bisa saja Sivia meluapkan perasaan liarnya itu dengan mengajak Rio kembali kepadanya. Namun, ia masih punya hati. Masih ingat satu kalimat yang ada di kamus Sivia? Jika orang yang disayanginya bahagia, maka dia akan ikut bahagia. Dan itulah yang akan dilakukannya untuk menjaga senyum manis Ify. Walaupun ia tahu, perasaan ini tidak akan bisa ia tahan.

"Jawab Vi.."

"Itu…" Sivia bingung. Air matanya sedikit banyak menggenang di pelupuk mata indahnya. Rio melihat itu. Senyum dibibirnya hilang seketika. Ia masih menunggu jawaban dari gadis yang berdiri tepat di hadapannya ini. Melihat Sivia seperti itu, ia berusaha bertanya sekali lagi. Dan tahukah kalian? Ia sangat berharap kata 'tidak' keluar dari mulut Sivia.

"Kamu beneran jadian sama Cakka, Vi? Please jawab.." tanya Rio lembut, namun syarat akan kepedihan. Tangan kanannya menjapai tangan Sivia. Ia bisa merasakan tangan Sivia bergetar.

Sivia merasakan tangan Rio dingin. Ia menatap Rio sekali lagi. Oh Tuhaan. Aku tidak sanggup menyakiti hati Kak Rio. Aku juga ingin bersamanya Tuhan. Aku tidak ingin berada posisi tersulit seperti ini. Aku ingin bersama Kak Rio..

"Apa Vi?" Rio semakin mendesak. Hatinya terasa sakit. Sama seperti dulu pada saat dirinya diputuskan secara sepihak oleh Sivia. Semakin kuat genggaman tangannya menggenggam Sivia. Semakin kuat pula hatinya bergejolak.

"Aku.." Sivia kalut. Ia tak tahu harus dijawab dengan kalimat apa pertanyaan Rio tadi.

"Kamu gak pacaran sama Cakka kan Vi? Iyakan? Gak pacaran kan Vi?" Rio tersenyum pahit. Nadanya seperti orang depresi. Ia sadar hatinya sedang menangis kencang disana. Sakit yang menderanya makin meluap. Sakit yang dirasakannya bukan sakit biasa. Namun sakit yang memang benar-benar terluka. Hatinya tercabik.

"Kak Rio.." Sivia merasakan air matanya menetes perlahan. Mimik muka Rio sangat menyentuh hatinya. Ia tak sanggup harus mengatakan status nya. Ia tak sanggup jika melihat Rio seperti ini. Ia seperti berada di pilihan yang sulit. Sangat sulit. Hatinya terguncang melihat keadaan Rio sekarang. Sudah barang tentu ini semua adalah sebabnya. "Kak.."

"Pak, novel twilight masih ada? Belom ada yang minjem kan?"

"Eh? Neng Ify? Belom neng! Tuh ada di tempat biasa."

"Oh? Iyadeh. Makasih Pak!"

Dengan cepat Sivia berusaha melepas genggaman tangannya dari Rio. Suara Ify terdengar jelas dari arah pintu perpustakaan itu. Tangan kirinya menghapus air mata yang baru saja membanjiri pipinya. Namun, apa yang dilakukan Rio?

"Kak! Tangan lo!" suara Sivia terdengar seperti berbisik. Ia masih berusaha melepaskan genggaman tangan itu. Namun sepertinya, Rio tidak menghiraukannya. Langkah kaki Ify semakin terdengar jelas datang ke arah mereka. "Kak! Ada Ify! Plis lepasin tangan lo!" Sivia terdesak. Ia tetap berusaha melepaskannya. Tapi, sepertinya usahanya gagal. Rio menatapnya tanpa ekspresi.

"Kak!! Tolong lepasin!" Sivia merintih. Akhirnya Rio menuruti permintaan Sivia. Dilepaskannya genggaman tangan itu. Pas pada saat itu juga, suara ketukan kaki Ify berhenti.

"Loh? Kak Rio? Sivia? Kalian…?"

Sivia gelagapan. Otaknya berusaha keras mencari alasan yang tepat akan pertemuan bodoh ini. Ia tak ingin Ify menganggapnya sebagai wanita penggoda. Ia tak ingin jika tiba-tiba Ify membencinya. Ia kalut. Namun benar-benar beda dengan sikap Sivia, Rio hanya berdiam mematung disana dan tetap bersikap santai. Seolah-olah apa yang terjadi dengan dirinya dan Sivia hanya kejadian biasa.

"Ify?" Tanya Sivia sekenanya. Berusaha menetralkan suasana. Ia tak ingin sikap gusarnya tercium oleh Ify.

"Sivia? Ngapain disini? Sama.. Kak Rio?" Ify mengerutkan keningnya. Sempat terlintas pikiran negative di otaknya. Namun, buru-buru ia menepisnya mengingat Sivia adalah saudara sepupunya yang ia tahu, tidak akan menusuknya dari belakang.

"Gue.. Emm gue ini Fy--" Sivia tergagap.

"Aku kesini mau nyari novel twilight buat kamu, Fy. Gak sengaja ketemu Sivia." Ucap Rio masih tanpa ekspresi dan tentu saja masih dengan tatapan tajam ke mata Sivia. Ia sempat merutuki keberadaan Ify yang benar-benar mengganggu situasi. Namun ia kembali sadar akan status Ify sebagai pacarnya. "Aku sama Sivia gak ngapa-ngapain. So? Kamu ga usah kaget gitu ya!" Rio melangkahkan kakinya mendekati Sivia. Sivia menunduk. Rio mengambil novel twilight yang berada di rak tepat dibelakang Sivia berdiri.

"Aku gak akan nyerah sampai aku tau status kamu sama dia apa." Bisiknya di belakang Sivia yang sepertinya sudah tidak sabar ingin pingsan.


***


Sivia terduduk diam di kelasnya. Pelajaran Sejarah itu membuat segelintir anak mengantuk. Tapi itu tidak berlaku untuk dirinya. Dan bahkan sama seperti teman sebangkunya. Mereka. Sivia dan Shilla. Larut akan pikirannya masing-masing. Shilla dengan 'anak baru' yang sepertinya berhasil mencuri perhatian mantannya. Ia masih memikirkan sosok anak baru itu. Seberapa cantik kah sosok itu? Apa ia kalah? Setelah pulang nanti, ia berniat bertanya langsung kepada Cakka perihal soal ini. Walaupun dengan perasaan tak menentu, ia yakinkan dalam hatinya.

Sementara disebelahnya ada Sivia dengan Rio yang selalu berada di benaknya. Sivia tak habis pikir ternyata Rio juga masih menyimpan perasaan yang sama. Ia berpikir keras untuk hubungan itu. Ify dan Rio. Dua nama yang sangat disayangi oleh Sivia. Sama-sama memberikan arti besar dalam hidup Sivia. Sepertinya, kali ini ia harus benar-benar berkorban perasaan untuk Ify. Biarkanlah Ify bahagia. Yah, Sivia rela. Ia memejamkan matanya. Mencoba tersenyum menahan perasaannya yang semakin hari semakin rapuh. Apakah ia sanggup benar-benar merelakan Rio untuk Ify?

Mereka, Shilla dan Sivia menerawang. Matanya kosong. Sejak jam pelajaran mulai tadi, tak ada obrolan yang keluar dari mulut mereka berdua. Satu hal yang baru terjadi selama mereka mengenal satu sama lain.

"Jadi, anak-anak. Soekarno-Hatta itu sudah berusaha keras untuk membuat Indonesia merdeka, dan oleh karena itu, Sivia dan Shilla, coba kalian jelaskan apa yang sudah dilakukan Soekarno-Hatta untuk merebut kekuasaan Indonesia!"

Dengan cepat, Sivia dan Shilla membunuh pikiran yang sedari tadi bergelayut di otak mereka masing-masing. Kini mereka berpandangan. Sivia seolah bertanya 'apa Shill?' dan dengan raut wajahnya, Shilla seolah menjawab 'gue juga gak tau, Vi.'

"Sivia! Shilla! Kenapa kalian melamun? Saya tidak suka ada anak yang tidak konsentrasi pada saat jam pelajaran saya!" seru guru yang memang terkesan galak itu. Spontan anak-anak lainnya yang tadi sudah menguap berpuluh-puluh kali, menjadi segar. Matanya tajam menatap papan tulis. Tak ada lagi yang melungkupkan kepalanya ke meja. Ataupun bersandar di kursi mereka.

"Maaf Pak!" seru keduanya lalu menunduk.

"Lain kali kalian saya hukum!" singkatnya. Lalu kembali melanjutkan pelajaran yang euh seperti dongeng di siang bolong. Pikir anak kelas itu. Sivia dan Shilla sudah tidak lagi memikirkan masalah mereka. Yang sekarang ada di otak masing-masing hanyalah Soekarno dan Hatta. Dan tentu saja guru killer dengan tatapan ganas di depan kelas mereka. Di saat situasi seperti ini, hanya bel yang mampu menolong mereka.


***


Ify memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Bel surga sudah dua puluh menit yang lalu menggema di Putra Bangsa. Hari ini ia pulang bersama Ozy. Rio sudah memberi tahunya bahwa hari ini ada latihan basket. Dan Ify tidak perlu menunggunya. Ify mengiyakan saja. Tapi entah mengapa, kejadian di perpustakaan tadi selalu mengusiknya hingga sekarang.

"Gue kenapa sih ah! Fy! Sivia itu sepupu lo! Kenapa lo harus cemburu sama dia? Sadar Fy! Sadar!"

Ify memukul-mukulkan pelan kepalanya. Merasa bodoh akan hal yang baru saja terlintas di otaknya. Sudah barang tentu Sivia tidak mungkin setega itu mengkhianatinya. Ify tahu jelas. Namun yang membuatnya bingung. Rio akhir-akhir ini seperti terlihat mempunyai beban masalah yang berat. Sedikit berubah menjadi pendiam dan tertutup. Setidaknya itu yang bisa ditangkap dari raut wajah Rio.

"Fy?" sebuah suara menghentikan deru otaknya untuk berpikir. Dilihatnya seorang laki-laki berdiri di depan kelasnya. "Kak Iyel? Kenapa Kak?"

"Liat Rio gak?"

Ify mengerutkan keningnya. "Bukannya latihan basket sama kakak toh?"

Gabriel merasa bingung. "Oh? Iya iya. Bye Fy!"

Ify mengangkat kedua bahunya lalu menggeleng melihat tingkah kakak kelasnya yang aneh dan terkesan linglung. Dengan gesit ia langkahkan kakinya keluar kelas dan segera menemui Ozy beserta supirnya di gerbang sekolah.


***


Gabriel melanjutkan langkahnya. Dari tadi ia sudah berkeliling sekolah mencari sosok Rio. Namun tak nampak juga dimatanya. Pengakuan Ify tadi sepertinya membuatnya berpikir tentang satu argument.

"Pasti Rio boongin Ify lagi. Kita kan bukan latihan basket. Cuman nongkrong, trus main basket."

"Oke! Gue nyerah Yo! Mending gue nyusul Cakka aja ah ke lapangan."

Sambil mengambung-ambungkan kunci motornya, Gabriel berjalan pelan menyusuri koridor panjang itu. Sekolah sudah lumayan sepi. Hanya beberapa anak saja yang terlihat masih mengobrol dengan teman lainnya di depan kelas masing-masing.

Saat hendak berbelok menuju ujung koridor dimana itu adalah salah satu jalan menuju lapangan basket, Gabriel melihat pemandangan yang sepertinya menarik dan sukses menghentikan langkahnya untuk bersembunyi. Ia mencoba menajamkan telinga dan matanya untuk mendengar dan melihat apa yang terjadi antara laki-laki dan perempuan itu. Laki-laki itu adalah laki-laki yang sudah sejak tadi dicarinya. Dan perempuan itu. Dia.. Dia Sivia kah?


***


Sivia keluar dari kelasnya. Anak-anak yang lain sudah lebih dahulu pulang. Hari ini Sivia ada jadwal piket siang. Dan naasnya lagi, teman-temannya menyuruh dia piket sendiri. Sivia berjalan ke lapangan sekolah. Cakka menyuruhnya kesana. Dan ia menuruti saja perintah itu. Namun, belum lagi ia sampai di tempat tujuan, seseorang yang entah siapa itu menarik tangannya.

"Aww!" Sivia kesakitan. Ia sempat meronta kalau saja tak dilihatnya pemilik mata merah padam itu. "Kak.. Kak Rio?"

Rio menariknya dengan kasar. Ia sudah tidak sabar mendengar penjelasan Sivia tentang Cakka. Jantungnya bergejolak hebat. Rasa cemburu yang menderanya dari sekian hari lalu, kini mencapai puncaknya. Tak bisa ditahannya lagi. Emosinya benar-benar meluap sekarang. Sampai di tempat yang menurutnya aman, ia melepas tangannya. Dan lalu membiarkan dirinya mengatur nafas nya yang sepertinya sudah terlalu letih.

Sivia merasakan denyut jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena perasaan cintanya terhadap Rio. Melainkan rasa takut yang amat sangat. Ia mampu melihat mata Rio yang sepertinya memberikan aura neraka. Tidak seperti biasanya Rio bersikap seperti ini pada perempuan. Apalagi pada dirinya.

Rio masih mengatur nafasnya. Mencoba menetralkan denyut jantungnya seperti semula. Namun sepertinya tak bisa. "Aku rasa ini saatnya kamu jelasin apa yang terjadi antara kamu sama dia."

Sivia diam mematung. Mencari kata-kata yang pas untuk memulai penjelasannya. Harus dari mana ia memulai? Tiba-tiba wajah Ify melayang-layang bebas dan jelas di kepalanya. Ia tidak akan pernah bisa merusak kebahagiaan orang lain. Ia tak mampu. Sivia memejamkan matanya. Rio adalah manusia yang disayanginya juga. Sivia harus memilih salah satu orang terkasihnya untuk dia sakiti. Jika ia memilih Ify, maka Rio lah yang tersakiti. Tapi jika ia memilih bersama Rio, maka Ify lah yang tersakiti.

Sivia membuka matanya. Nampaknya ia sudah menyiapkan jawabannya. Hal ini sudah dipikirkannya sejak masuk pelajaran sejarah tadi. Rio masih menatapnya dengan tatapan menusuk. Ia meneguk air liurnya sendiri. Lalu mencoba membuka mulutnya.

"Kak Cakka itu sebenarnya--" Rio menunggu dengan serius. Sedikit harapan bernanung dihatinya.

"--memang pacar aku, Kak."

GOD!

Sivia lebih memilih Ify. Ia tak akan mampu menyakiti Ify. Jika Sivia berkata Cakka bukan pacarnya, otomatis Rio akan selalu mengejarnya dan mengabaikan Ify. Ia tak mau itu terjadi. Sepertinya ini jawaban yang tepat. Beribu ucapan maaf mengaung di hatinya untuk Rio.

Rio terdiam. Emosinya mulai meluap kembali. Keningnya berkerut. Sejurus kemudian ia menarik tangan Sivia kasar. "KAMU PASTI BOHONG VIA! KAMU BOHONG!" teriaknya.

"Kak Rio!" Sivia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Rio. Tak disangka Rio mampu berbuat seperti ini padanya. Sivia takut kalau sampai ada yang melihat kejadian ini.

"Vi! Bilang ke aku kalau kamu bohong Vi! Bilang Vi! Bilang!" Rio kini memegang kedua pundak Sivia dengan kencang. Ia sangat tidak bisa menerima kenyataan itu. Kenyataan pahit yang sudah berhasil memporak-porandakan hatinya.

"Vi! Aku masih sayang banget sama kamu! Cepet bilang kalau kamu juga sayang sama aku! Kita masih bisa benerin hubungan kita yang dulu Vi! Please!"

"Aku.. Aku gabisa Kak.."

"Sivia! Please! Aku mau kita sama-sama kaya dulu lagi Vi. Aku gabisa jauh-jauh dari kamu Vi. Aku cintanya sama kamu. Bukan sama Ify."

Sivia terkejut. Rio..? Rio sama sekali gak mencintai Ify? Oh Tuhan! Ify?
Sivia tidak tega jika cinta Ify bertepuk sebelah tangan. Ia tidak bisa tinggal diam sekarang. Sepertinya ia harus bertindak keras. Demi Ify. Yah.. Demi Ify.

"Aku gabisa Kak! Hubungan kita udah lama berakhir. Sekarang aku sudah sama Cakka. Dan Kak Rio sudah sama Ify kan! Kita udah gaada apa-apa lagi Kak! Sekarang aku mencintai Cakka." Dengan lantangnya Sivia menamparkan satu kalimat hebat di depan Rio. Rio terkesiap.

"Kamu bohong Vi!"

"Aku gak bohong!"

"Aku gak percaya!"

"Aku bisa buktiin!"

"Apa buktinya?"

Sivia menelan ludahnya lagi. Salah! Ia salah bicara dan itu membuatnya diam tak berkutik. Apa buktinya ia mencintai Cakka? Menyebut nama nya saja ia sudah enek. Dan sekarang? Ya Tuhan sepelik ini kah kisah hidupku?

"Coba buktiin!"

Sivia menghapus air matanya. Ini ia lakukan semuanya semata-mata hanya untuk Ify. Ia bertekad daam hatinya untuk menjaga senyum Ify dan kali ini adalah perjuangan terakhirnya. Ia harus membuktikan hubungannya dengan Cakka di depan Rio agar cinta pertamanya ini melupakannya dan mencintai Ify dengan sepenuh jiwanya.

"Aku bakal buktiin Kak! Dan aku harap, setelah ini, Kak Rio bisa cintain Ify yang jauh amat sangat mencintai Kak Rio!"



***


Keadaan sekolah sudah sangat sepi. Maklum sudah pukul tiga lewat lima belas menit. Cakka men-dribble bola basketnya santai sambil mengulum permen kaki yang dibelinya tadi menggunakan uang Sivia. Ia berjalan bolak-balik menunggu Gabriel, Rio dan Alvin datang. Janjinya mereka bermain basket. Alvin sedang membeli minuman untuk mereka ber-empat. Namun, Rio belum juga menampakkan batang hidungnya sampai sekarang. Maka dari itu, Gabriel diutus oleh Cakka untuk mencari Rio terlebih dahulu.

"Cak!" panggil seseorang.

Cakka menoleh. Seorang gadis pembuat desiran aneh itu kini berada tepat di hadapannya. Cakka masih tetap mendribble bola basketnya santai dan lalu membuang tongkat permen kaki yang sebelumnya, permen itu sepertinya sudah malang masuk ke perut Cakka.

"Apaan?" jawabnya singkat. Cakka tak menatap Sivia. Ia tak ingin jika tiba-tiba desiran aneh itu datang lagi menyergapnya. Ia ingin menghindari itu jika berada di tempat umum seperti ini.

Sivia mencoba menguatkan dirinya dengan apa yang dilakukannya. Sejenak ia berbalik ke belakang. Namun hanya kepalanya yang berbalik. Tidak untuk badannya. Ia mendapati sosok Rio berdiri di balik sebuah pintu kelas. Ia tersenyum pilu. Sejujurnya ia sama sekali tak ada niat dan maksud untuk menyakiti hati Rio dari dulu toh? Ia hanya ingin menjaga perasaan sepupunya. Apa ia salah?

Sivia kembali membalikkan kepalanya. Kali ini matanya menangkap sosok Cakka yang masih asyik dengan bola basketnya tanpa peduli keberadaannya. Sejenak ia kepalkan tangannya untuk menguatkan dirinya dengan apa yang niatnya ingin lakukan.

"Cakka!" panggilnya lagi.

"Apaan sih!"

Cakka merasakan desiran aneh itu semakin kencang lagi manakala Sivia berjalan mendekati arah tubuhnya. Ia terkejut. Sivia membuang bola basketnya yang ia rengkuh di samping perut kanannya. Sivia menatap matanya teduh. Cakka membalas tatapan itu.

"Mau apa lo Siv?"

Jarak pandang wajahnya ke mata Sivia sudah terlampau dekat dan terus mendekat, hingga kini dia dapat merasakan hangatnya hembusan nafas Sivia di wajahnya..

"Sivia?" bisik Cakka.

Cakka tercengang dengan perlakuan Sivia. Ia membeku. Perasaan aneh dia rasa dalam hatinya. Getaran halus dalam hatinya tiba-tiba bergemuruh dengan sangat kuat, terlebih pada saat dia menyadari kini wajah Sivia tampak hanya berjarak lima centi saja dari wajahnya sendiri. Keringat dingin terasa membasahi sekujur tubuhnya pada saat dia mengira-ngira apa yang akan Sivia lakukan.

Ia merasa Sivia menyusupkan tangan kanannya ke lehernya. Menuntun wajahnya lebih mendekat ke wajah Sivia. Cakka hanya memejamkan matanya, menahan nafas, sampai akhirnya dia merasakan kehangatan yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya pada saat bibirnya bertemu dengan bibir Sivia.

Hening. Tenang. Suasana yang amat sangat tidak terduga. Beberapa detik kemudian, Sivia melepas ciumannya, ia menatap mata Cakka yang perlahan terbuka, entah karena apa jantungnya bisa berdetak sekencang ini.

Rio terduduk di lantai sana. Cukup! Sudah! Ia tak tahan melihat lagi percintaan itu. Blangsak! Sakit hatinya melihat adegan itu sukses membuat air matanya mengalir untuk kesekian kalinya. Hancur! Ia sakit! Sakit sekali. Perasaan sakit itu sepertinya membuat kepalanya tak sanggup lagi untuk berpikir. Pembuktian yang ditunjukkan Sivia sudah sangat lebih dari cukup untuk membuatnya tamat. Ia melungkupkan kepalanya di antara kedua kakinya. Dan lalu meraung-raung pelan meneriaki nama Sivia. Hatinya terlalu hancur untuk menerima kenyataan bahwa gadisnya sudah benar-benar mencintai laki-laki lain sekarang.

Cakka membalas tatapan Sivia. Jantungnya sudah tak karuan sekarang. Entah sadar atau tidak, ia melingkarkan tangan kanannya di pinggang Sivia. Ia masih bisa merasakan kehangatan itu. Sejurus kemudian, dikecupnya bibir Sivia sedetik. Mukanya memerah. Sivia mendorong badan Cakka pelan. Ia mengusap bibirnya. Dan lalu pergi berlari meninggalkan Cakka sendirian di tengah lapangan itu.

Sivia berlari menghilang dari lapangan. Nafasnya satu dua. Air matanya sudah jauh lebih deras mengalir dengan paksa. Sesaat ia berhenti melangkah. Sambil terus mencoba bernafas dengan wajar, ia membalikkan tubuhnya. Dengan mata yang berlinang air, Sivia masih bisa melihat seorang laki-laki disana terduduk putus asa.

"Maaf Kak Rio."

"Kita sudah berakhir."

Dengan kekuatan seadanya, Sivia kembali berbalik dan lalu berlari lagi kemanapun kakinya hendak melangkah. Air matanya semakin jelas berjatuhan ke bumi. Ini adalah pilihannya. Ia sukses mempertahankan senyum Ify. Yah, ia kembali ingat akan satu hal, kalau Ify bahagia, pasti dia juga akan bahagia. Kalau Ify tersenyum, pasti ia juga akan tersenyum. Dan, ia sadar. Rio telah menjadi korban dalam sandiwara ini. Korban sandiwara kehidupan dan takdir yang diberikan Tuhan untuknya. Untuk Sivia.

Jangan lagi kau sesali keputusanku
Ku tak ingin kau semakin kan terluka
Tak ingin ku paksakan cinta ini
Meski tiada sanggup untuk kau terima

Aku memang manusia paling berdosa
Khianati rasa demi keinginan semu
Lebih baik jangan mencintai aku dan semua hatiku
Karena tak kan pernah kan kau temui cinta sejati

Berakhirlah sudah semua kisah ini dan jangan kau tangisi lagi
Sekali pun aku takkan pernah mencoba kembali padamu
Sejuta kata maaf terasa kan percuma
Sebab rasaku t'lah mati untuk menyadarinya

(Kerispatih-Tapi Bukan Aku)


***



FRONTAL banget ini ya? maaaaaaffff:'(( ah, anak kecil dilarang baca ini ya! (udah pada baca kale-_-) sorry banget deh memang saya akuin ini part nya frontal banget caksiv nya. Please maafkanlah saya:'( Anyway, konfliknya masih ribet kan ya? kalo begini bakal lama banget nih baru tamat. Padahal saya sangat menginginkan CK segera tamat dan saya terbebas dari tuntutan(?) oke ga penting!

Ayo para siviyoholic mari menangis masal (?) sudahlah. Ini hanya cerita. Dan sekedar have fun. Iya gak? Hehe peace yaa anak siviyoholic! Terus baca karya saya yaa walaupun ini bukan couple favourite kalian.

Comment dan like nya saya tunggu. Saya ga heran kalau misalnya ada pembaca CK yang tiba-tiba lari ditiup kipas angin(?) atau apalah saya maklumi karena ke frontalan ini. Saya sadar..

Jangan jadi pembaca gelap yaaa^^
Cerbung CK ini juga bisa di lihat di resaechaa.blogspot.com
Follow and Listen me on Twitter and Heello @Resaechaa





Senin, 22 Agustus 2011

"CINTA KEDUA" PART 2O

Halo teman-teman saya balik lagi sebelum sebulan vakum:p hihi sorry deh, anyway, kalo CK nya semakin memuakkan dan menjenuhkan, maafkanlah saya:O Semoga senang yaa happy reading!


***


Seperti dua merpati yang terbang berbeda arah, merangkai hidup dengan jalur yang berbeda pula. Mereka. Sivia dan Gabriel. Saling menceritakan isi hatinya. Di pertemuan kedua ini. Sivia tidak lagi mengaku sebagai sosok yang bertemu di mall atau apalah alasan lainnya. Ia mengaku sebagai dirinya sendiri. Via. Sivia Azizah.

"Jadi Mario yang kamu ceritain dulu itu, Rio sahabat aku, Vi?" Gabriel menggelengkan kepalanya tak percaya. Tangannya dilipat di depan dada menunggu Sivia mengeluarkan suara.

"Iya Mario Stevano." Sivia menarik jeda sebentar. "Aku juga kaget Yel kenapa bisa disekolahkan disini sama Ayahnya Cakka. Sampai ketemu lagi sama kalian semua. Ozy, kamu dan yang pasti setelah ini aku akan bertemu dengan Ify." Sivia duduk di sebuah bangku sekolah yang sudah tidak terpakai. Perihal keluarga Cakka sudah dijelaskan lebih dulu oleh Sivia kepada Gabriel. Mereka berbicara di belakang sekolah yang sepi dari murid-murid.

"Hm. Sudah tiga bulan ini Rio sama Ify pacaran Vi." Gabriel menarik kursi yang lain lalu menaruhnya di dekat Sivia. Ia ingin bercerita sedikit tentang Rio. "Awalnya memang Rio nggak mau membalas perasaan Ify. Tapi, aku liat akhir-akhir ini, kayaknya Rio sudah membuka hatinya untuk Ify. Dan menutup masa lalunya bersama kamu." Gabriel menebak-nebak apa yang terjadi dengan orang terdekatnya itu. "Tapi itu menurut aku sih."

"Yah. Aku juga berpikir kayak gitu, Yel. Oiya, Aku sudah ketemu sama Rio kemarin."

"Hah? Ketemu Rio? Serius kamu Vi? Terus ngapain aja?"

"Ceritanya panjang Yel. Intinya, pas ketemu itu, dia minta aku buat jangan pergi lagi. Aku senang. Aku seperti menemukan semangat hidupku lagi. Tapi tanpa aku sadari, ternyata Ify sudah berhasil mendapatkan Rio. Aku gak tau sekarang harus berbuat apa, Yel." Sivia menundukkan kepalanya. Hatinya kembali sesak mengingat perlakuan manis yang diberikan Rio kepada Ify tadi. Apakah dia cemburu? Iyalah..

"Hm cuman kamu yang tau apa yang terbaik buat kamu, Vi. Aku disini cuman bisa support kamu dan bantu kamu keluar dari masalah-masalah itu. Kalau kamu ada perlu, datengin aku aja ya. Aku pasti ada buat kamu. Karena kita--"

"--karena kita sahabat!" belum sempat Gabriel meneruskan kalimatnya, Sivia lebih dulu melanjutkan. Mereka berdua tersenyum. Sivia sudah mengangkat kepalanya lagi. Sebagian hatinya sudah mulai terisi dengan ketenangan.

"Hahaha..! Bisa aja kamu Vi. Senyum dong jangan sedih terus ya!" Sivia mengangguk pelan. "Oiya, terus? Cakka? Aku ga nyangka deh dia minta kamu jadi pacar pura-puraannya dia. Ck." Gabriel mendecak bingung. Mencoba menerka apa sebenarnya maksud, niat, dan tujuan Cakka berlaku seperti itu.

"Aku juga gak tau, Yel. Palingan akal-akalannya aja buat ngerjain aku." Sivia memperhatikan kuku-kukunya. "Cakka itu gila ya?"

Gabriel mengerutkan keningnya. Dalam hati dia amat sangat meng-iyakan pendapat Sivia. Namun, sangat tidak mungkin dirinya menjelekkan sahabatnya sendiri di depan sahabatnya yang lain. "Cakka baik kok, Vi. Kamunya aja mungkin yang berlebihan."

Sivia menganga sesaat. Lalu mimik mukanya menampakkan kekesalan yang amat besar. "Cakka? Baik? Yaallah Yel. Kamu di bayar berapa sama Cakka sampai-sampai mau menilai dia baik? Tobat aku." Sivia mengetukkan kepalanya pelan satu kali lalu ke tembok satu kali dan begitu seterusnya sampai tiga kali. "Amit-amit, Yel amit amit!"

"Hahaha..! Luluhin dong hatinya biar dia berubah." Gabriel berkata asal. "Buat dia bisa jatuh cinta dong. Aku liat, semua mantan-mantannya gaada yang dipacarin lebih dari dua minggu Vi."

Sivia menggelengkan kepalanya. Berita itu sudah dia dengar dari Ray sebelumnya. "Ogah. Peduli amat. Hatiku masih untuk Rio." Ucapnya acuh. Gabriel tertawa renyah mendengar pendapat dari Sivia.

"Oya Vi, kenapa kamu gak bilang ke ayahnya Cakka kalau kamu itu korban dari kekerasan orangtua Ify?" Gabriel terlihat serius kembali. Pertanyaan ini sebenarnya sudah menari-nari di kepalanya dari tadi.

Hening. Sivia terlihat menerawang. Ingatannya kembali ke satu tahun silam. Dimana dirinya di depak dengan paksa oleh orang tua Ify tanpa peduli sedikit pun. Kejam memang. "Aku gak mau membuat hidup Ify dan Ozy menderita Yel. Aku sudah tau bagaimana hidup tanpa kasih sayang kedua orang tua. Dan aku gak mau kejadian itu terjadi sama mereka. Aku sayang mereka. Untuk itu, apapun pasti kulakukan demi mereka." Jelas Sivia.

"Sampai mengorbankan hak milikmu dan perasaanmu, begitu?"

"Kalau itu yang terbaik, kenapa engga?"

"Tapi kan itu terbaik cuman buat mereka. Buat kamu apa, Vi?"

Sivia tersenyum kecut. "Kalau mereka senang, aku pun ikut senang."

"Howalaaah." Gabriel menyerah. Tak ada gunanya ia berlama-lama beradu argument dengan Sivia. Sivia memang berhati keras. Hatinya terbuat dari apa ya sampai ia sanggup berbuat seperti itu?

"Oh iya, Yel. Kamu udah dapat kecengan belom disini? Hihi.." Sivia mencoba membahas topik lain.

"He? Aku? Eh nggak ada." Dustanya.

"Ah masaaa?"

"Gaada Vi!"

"Ih boong ah. Kalo ada cerita aja ya gausah ditutup-tutupi, oke?"

"Haha…! Sip tuan putri."

Mereka terus berbincang tanpa peduli waktu yang terus berjalan. Dalam beberapa kedepan ini murid-murid memang belum diberi pelajaran secara aktif. Guru-guru masih ingin merapatkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan sekolah mereka. So? Sama sekali gak ada waktu batasan kan?


***


Sudah pukul 14.01 menit. Waktunya SMA Putra Bangsa membebaskan anak muridnya untuk kembali ke rumah. Sivia berjalan menyusuri koridor yang lumayan ramai. Setelah agak lama mengobrol dengan teman lamanya di panti, Gabriel, dia merasa sedikit tenang. Yah walaupun begitu, masih banyak yang harus dihadapinya setelah ini. Tinggal menunggu waktu.

Sivia melihat tanda yang berada di atas pintu ruangan itu. "11 Ips 1. Ini dia nih. Huh kamu pasti bisa Vi! Yah! Kamu pasti bisa!" Sivia seolah menguatkan dirinya sendiri. Ia sempat menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Dengan langkah berat, ia memaksakan kakinya melangkah memasuki ruangan kelas itu. Baru dua kali melangkahkan kaki, ia menyembulkan kepalanya sedikit. Kelas itu sudah sepi. Ia menyapukan pandang dan..Tepat. Matanya menemukan sosok yang memang ia cari. Sendiri. Berdiri di depan kaca jendela kelas menikmati langit yang sepertinya mulai menghitam. "Itu dia. Bismillah.." ucapnya pelan.

Ia mantap melangkahkan kakinya pelan ke arah dimana sosok yang dicarinya sedang berdiri membelakangi dirinya. Sempat beberapa kali Sivia berhenti dan lalu melanjutkan kembali langkahnya. Dengan perasaan tak menentu, di sapanya orang itu. "If.. Ify?"

Ify terdiam. Kakinya yang sempat ia ketuk-ketukkan di lantai mendadak terhenti. Bibirnya yang tadi sempat terlukis senyum sambil memandang indahnya langit, kini hilang. Dengan hati gusar ia berbalik. Mencari tahu siapa yang menegurnya tadi. Sekilas ia tahu suara itu. Ia kenal. Dan benar saja, saat ia sudah benar-benar melihat empunya suara itu, ia tidak bergeming. Mimik mukanya sulit untuk diartikan. Sedih, bingung, bahagia, kaget, semuanya bercampur menjadi satu. "Ya Tuhan? Via?"

Sivia tersenyum ketir memandang Ify dengan matanya yang sudah cukup banyak tergenang oleh air. Ia tahu, Ify sangat senang bertemu dengannya. Ozy pasti sudah memberitahukan tentang dirinya kepada Ify. Dan intinya, jika saudara sepupunya ini senang, Sivia pasti akan ikut merasa senang. Walaupun perasaannya harus dikorbankan untuk sekian kalinya. Ia sabar.

"Iya, aku Via, Fy! Via!"

Dengan langkah besar, Ify langsung berhambur ke pelukan Sivia. Dipeluknya erat anak itu. Mencoba merasakan sedikit kesedihan yang melanda. Merasakan pahitnya hidup menjadi sebatang kara. Mencoba ikut bertahan di tengah runtuhnya dunia. Via. Sivia. Ify tahu betul bagaimana peliknya hidup tanpa kedua orangtua. Ia ingin mencoba merasakan kesakitan pada diri Via. Sedikit saja. Sedikit. Ia ingin merasakan itu.

"Maafin aku, Vi. Seharusnya aku bisa meyakinkan orang tuaku bahwa perbuatan itu salah! Seharusnya aku dan keluargaku sama sekali gak berhak berada di rumah itu Vi. Itu milikmu. Aku gak pantes berada di sana Vi." Ify menangis sejadinya. "Maafin aku. Seharusnya kamu..--"

"--Sssst!" Sivia membelai rambut Ify pelan agar Ify berhenti berbicara dan mendengarkan apa yang ingin Sivia sampaikan. "Udahlah. Itu sudah masa lalu, Fy. Aku sudah mengikhlaskannya. Dari dulu malah. Kamu tenang aja ya. Sekarang aku tinggal di tempat yang layak kok. Kamu sama Ozy ga perlu khawatir. Aku baik-baik aja." Sivia mencoba meyakinkan Ify. Dengan senyum terukir jelas diwajahnya. Tapi, senyum itu bukan senyum kebahagiaan. Melainkan.. Senyum kepahitan.

Ify melepas pelukannya. Di tatapnya saudara sepupunya ini. Benar-benar hebat! Gadis muda yang berjiwa besar dan berhati emas. Ify tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk membalas semua keikhlasan yang diberikan oleh Sivia. Ia takjub. Di dunia ini ternyata ada saja manusia seperti Sivia. "Kalau perlu aku sujud di depan kamu ya Vi."

"Eeeh apaan sih Fy ah! Gak!"

Ify menggenggam tangan Sivia erat. "Maafin orang tuaku Vi. Aku kalah sama mereka. Aku gak bisa melawan mereka. Aku gak berani. Aku takut, kalau melawan, hidupmu tambah dibuat menderita. Aku gak mau itu terjadi Vi."

"Aku ngerti Fy. Aku tahu kamu sama Ozy berbeda dengan mereka. Tapi yasudahlah. Ini sudah garis hidupku. Tuhan pasti punya rencana yang lebih baik buat aku. Iya gak?"

Sivia tersenyum pilu. Betapa bodohnya ia berkata seperti itu. Palsu! Ia tak sekuat itu. Aslinya dirinya sangat rapuh. Ia sendiri tak tahu mengapa bisa berkata demikian. Biarlah. Biarlah ia mencoba meyakinkan Ify tentang kekuatan hatinya. Itu memang tujuannya.

"Tuhan pasti sayang banget sama kamu ya, Via."

Hah? Apa benar? Apa benar perkataan Ify itu? Sepertinya tidak. Sampai saat ini baru secuil tanda kasih sayang Tuhan yang diberikan untuk Sivia. Hah.. ia tak yakin.

"Mungkin." Sivia mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum. "Ohiya, aku boleh minta satu permintaan kan Fy? Sekali ini ajaa."

Ify mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian, ia tersenyum dan mengangguk. "Apa aja boleh!"

"Tapi, aku mohon kamu jangan marah."

"Emm, iya deh. Janji!"

Sivia menggigit bibir bawahnya. Apa benar yang ia lakukan ini? Apa dirinya tak salah? Ah cukup Sivia! Hilangkan rasa keraguanmu! Apa yang kamu lakukan ini benar. Cepat katakan padanya Sivia! Cepat!

"Aku pengen kamu…"

"Apaan Vi? Ngomong aja. Pasti aku lakuin."

"Aku pengen kamu sama Ozy, euh! Kita seolah-olah baru saling mengenal dan tutupi semua kalau kita adalah saudara sepupu!"


***


Cakka memarkirkan mobilnya tepat di depan rumahnya. Ray sudah lebih dahulu turun. Alasannya kebelet pipis dan ingin segera bersiap karena Acha dan Nova akan datang kerumahnya untuk pergi bersama-sama ke rumah Ozy. Sementara Sivia? Entah ada angin apa, Sivia meminta kepada Cakka untuk pulang saja lebih dahulu. Dia masih ada urusan yang akan diselesaikan. Begitulah isi pesan yang di terima oleh Cakka melalui ponselnya.

"Aneh. Urusan? Urusan apa ya? Sama siapa?" Cakka bergumam sendiri di belakang stir mobilnya. Mesin mobilnya sudah ia matikan semenjak sampai tadi. "Aneh banget tuh anak." Cakka mengetukkan jari-jari kanannya ke stir. Ia mencari bayangan tentang Sivia. "Ah! Bodo amat gua pikirin dia." Cakka membuka pintu mobilnya. Ia keluarkan tubuhnya dari mobil itu. Lalu menutup pintu mobilnya pelan. Namun, bukannya bergegas berjalan menuju rumah, ia malah tetap saja berdiri mematung disana. Sambil mengambung-ambungkan kunci mobil miliknya. Ia menimbang-nimbang bayangan tentang Sivia. Lebih tepatnya 'urusan' yang Sivia katakan.

"Sial! Tuh cewek kenapa ada di otak gue mulu sih! Brengsek!"

Tepat pada kata terakhir yang ia lontarkan, petir bergemuruh hebat di langit sana. Jantungnya saja sudah ketar-ketir mendengar dentuman yang secara tiba-tiba itu. "Argh! Sialan!"

Dengan cepat Cakka kembali membuka pintu mobilnya lalu kembali memasukkan tubuhnya ke dalam kendaraan itu. Kunci mobilnya sudah ia putar ke kanan. Dan hasilnya mesin kembali berkerja. "Daripada gue penasaran, gue susul aja deh."

Mobil itu kembali melesat meninggalkan pelataran rumahnya tanpa permisi. Di tengah langit hitam, Cakka berniat kembali ke sekolah mencari Sivia dan lebih tepatnya mencari 'urusan' yang dimaksud oleh Sivia. Janjinya akan Gabriel yang sebentar lagi bermain ke rumahnya pun ia lupakan. Entah karena apa, ia mengikuti saja alur hatinya menuju kemana. Ia tak peduli. Hati pasti lebih tau apa yang harus dilakukannya. Dan ia tidak bisa menentang apa mau hatinya.


***


Sivia berjalan ke depan gerbang sekolah bersama Ify. Sivia senang Ify bisa menerima permintaannya walaupun dengan berat hati. Memang Ify meminta alasan, namun, Sivia enggan memberikan alasan itu. Tunggu waktu yang tepat, hanya itu jawaban yang diterima Ify dari mulut mungil Sivia. Yah, mau bagaimana lagi. Karena merasa banyak berdosa terhadap Sivia, Ify menuruti saja permintaan itu. Toh Sivia bilang, dia berada di tempat yang tepat dan aman untuk bertempat tinggal dan berkehidupan.

"Udah jam tiga nih. Kamu di jemput, Fy?" Tanya Sivia setelah mereka sampai di depan gerbang sekolah.

"Iya, bentar lagi palingan dateng. Kamu Vi?"

"Eh? Aku? Aku.. Iya aku dijemput juga! Hehe."

Ify menangkap keanehan dari sikap Sivia. Pasti ada yang di sembunyikannya lagi. Ah, tapi yasudahlah, Sivia pasti tahu apa yang terbaik buat dirinya.

"Nah itu Kak Rio sudah dateng. Tunggu disini dulu ya Vi, biar aku kenalin!" Sivia mengikuti saja perintah Ify. Ia berdiri disana menunggu Ify membawa seseorang untuk dikenalkan padanya. Tapi tunggu! Siapa yang tadi Ify bilang? Rio? Kak Rio? Ya Tuhan! Jadi yang jemput Ify, Kak Rio? Cobaan apa lagi yang harus aku hadapi Tuhan? Subhanallah..

Sivia sekilas melihat senyum bahagia terkembang di bibir Ify. Begitu semangatnya dia menyambut kedatangan Rio. Apa iya Sivia harus menghancurkan senyum itu? Apa dia rela? Kejadian di tengah hujan kemarin membuat dirinya merasa sangat bersalah. Perasaan liar itu seharusnya sudah ia tutup rapat-rapat. Ify lebih pantas berada di samping Rio. Dan tak seharusnya Sivia merebut itu semua. Ia merasa bersalah. Tapi, entah mengapa, di tengah rasa bersalahnya, ia panas melihat Rio dan Ify. Rasa itu menjalar dari kupingnya sampai ke ubun-ubun kepalanya. Apa ini yang dinamakan cemburu buta? Ia tak tahu. Yang jelas rasa itu membuatnya sakit dan tersiksa. Ia tak mampu melihat Rio dan Ify. Ia tak sanggup. Ia ingin menangis. Tapi tidak disini. Tidak di depan Rio dan Ify. Aah mengapa ini semua harus terjadi sih?

Rio keluar dari mobil sedan nya. Ia sudah berjanji akan mengajak Ify jalan-jalan setelah pulang sekolah nanti. Namun, Ify harus menyelesaikan tugas di kelas terlebih dahulu. Jadi, Rio pulang duluan untuk meminta izin ke kakaknya karena handphone nya mati.

"Hai Fy! Lama ya nunggunya? Sorry deh."

"Engga kok Kak. Gak papa. Lagian aku nunggunya gak sendirian kok."

Rio mengernyitkan dahinya. "Sama siapa emang?"

"Sama temen. Yuk sini aku kenalin."
Rio rela saja tangannya ditarik manja oleh Ify. Ia sedikit tersenyum melihat kelakuan Ify yang seperti anak kecil. "Ayo cepetan kak!" ucapnya.

Sivia tak tahu harus berbuat apa jika mereka bertiga dipertemukan sebentar lagi. Tinggal dalam hitungan detik saja. Siapa saja tolong bantu aku! Ujarnya dalam hati.

"Itu temen aku, Kak!"

Sivia menundukkan kepalanya. Menggigit bibir bawahnya. Kakinya ia ketuk-ketukkan gelisah. Apa yang harus ia perbuat? Suara Ify sudah tidak jauh lagi darinya. Kamu harus kuat Via! Ini cobaan.. Sekarang kamu harus berani menghadapi dunia. Ayo cepat. Jangan sampai Ify tahu dan curiga terhadap sikapmu.

"Via! Kenalin dong ini pacar aku, Kak Rio namanya. Kak Rio, ini Sivia, temen aku."

Sivia mencoba mengangkat kepalanya. Pelan, mukanya memanas. Rio memandangnya dengan tatapan aneh. Wajah itu tak sanggup ia lihat. Sakit hatinya melihat tangan Ify bergelayut manja di lengan Rio. Ingin rasanya Sivia menghempaskan tangan Ify dan membawa Rio pergi jauh. Tapi itu hanya sebatas khayalan. Mana mungkin ia berbuat seperti itu?

"Hai! Sivia." Sivia menunduk sambil mendorong tangannya. Ia memperkenalkan dirinya kepada Rio yang sebenarnya sudah jauh lebih dahulu ia kenal sebelum Ify yang mengenalnya.

Rio merasa ada yang tidak beres. Rio tak menyangka bahwa 'teman' yang dimaksud Ify adalah Sivia. Apa yang terjadi? Ify dan Sivia adalah sepasang sepupu bukan? Mengapa Ify mengaku bahwa Sivia adalah teman? Belum lagi pertanyaan itu terjawab. Pertanyaan lain muncul di benak Rio. Ada apa lagi ini? Mengapa Sivia mendorong tangannya untuk berkenalan? Bukannya mereka adalah sepasang mantan yang pasti sudah saling mengenal. Lalu? Apa yang ada di benak Sivia? Sepertinya ia ingin menutupi semuanya dari Ify. Menutupi masalah cintanya dengan Rio. Yah, sepertinya Rio mulai mengerti maksud dibalik semua ini.

"Rio. Mario Stevano. Senang berkenalan denganmu." Rio agak kikuk. Ia seperti merasa bertemu dengan selingkuhannya. Nyatanya? Bahkan ia dengan Sivia tak ada hubungan apa-apa. Tapi mengapa begini?

Sivia merasa tangan hangat itu menyentuh tangannya. Ia tak menyangka bahwa Rio mengerti maksudnya. Bisa saja Rio langsung membeberkan kepada Ify kalau mereka dulu pernah merajut kasih sayang. Namun sepertinya Rio tidak seperti itu. Matanya menatap mata Rio. Mencoba mencari sesuatu yang bisa membantunya untuk keluar dari segala masalah. Tapi sepertinya nihil. Apa lagi yang ia cari dari Rio? Toh Rio sudah menggenggam tangan gadis lain sekarang. Bukan dirinya. Tapi Ify.

"Sivia…!!"

Tangannya ia tarik kembali dari tangan lembut Rio ketika ia mendengar sebuah suara meneriakkan namanya. Ia mencari empunya suara dan yah dapat! "Hah?" Sivia melongo melihat siapa yang datang teriak-teriak seperti dunia milik sendiri.

"Ngapain lo masih disini? Bukannya pulang!"

Dengan gaya coolnya, Cakka berdiri di samping Sivia sambil mengambung-ambungkan kunci mobilnya. Dipandanginya Sivia, Ify dan Rio secara bergantian.

"Loh? Yo? Belom pulang?"

Rio berdiri dengan sejuta pertanyaan menyembul di pikirannya. Ada apa lagi ini? Ada hubungan apa Cakka dengan Sivia? Belum lagi musnah pikirannya tentang Sivia dan Ify, muncul masalah baru.

"Belom Kka! Lo sendiri ngapain disini?" Rio tahu, nadanya tadi terkesan sinis. Ia sempat merutuki dirinya mengapa ia berkata begitu frontal di depan Ify.

"Gue? Jemput pacar!"

Sivia menutup matanya sesaat. Tamatlah riwayatnya sekarang.

"Hah? Lo punya pacar baru?" Rio berharap bukan nama Sivia yang disebut oleh Cakka. Demi Tuhan ia tak akan rela gadisnya bersanding dengan lelaki lain. Apalagi dengan Cakka. Tak tahu bagaimana hidupnya jika ia mengetahui Sivia berpacaran dengan lelaki lain.

"Iyalah. Hehe. Gue pulang duluan deh Yo. Takut kesorean. Ayok Siv!" dengan angkuh Cakka menarik tangan Sivia kuat. Sivia sempat meronta namun tangan Cakka begitu kuat sehingga ia menurut saja diperlakukan seperti itu. Dari kejauhan, Sivia sempat berbalik menatap Rio dan Ify. Tampak gurat kebingungan terpancar dari kedua sosok disana.

Rio tak berkedip memandang itu. Apa yang ia pandang? Tak lain dan tak bukan adalah rengkuhan tangan Cakka yang menggenggam kuat tangan Sivia. Sempat ia lihat mata Sivia menatap matanya sekilas. Namun tak dihiraukannya. Rio malah membuang pandangannya. Ia jemuh memandang itu. Hatinya remuk seperti dihimpit kedua benda yang begitu kuat. Ia hancur. Ia tak menyangka ternyata Sivia sebegitu rendahnya. Sudah berapa laki-laki yang memegang tangannya selain aku? Rio pusing. Ah pikirannya kacau.

"Kak Cakka pacaran sama Via yah Kak?" Ify mencoba memecah keheningan yang ada.

"Mungkin." Ujar Rio singkat. "Merpati itu sudah terbang pergi menjauh sekarang."

Ify mengernyitkan dahinya. Sekilas telinganya mendengar apa yang dikatakan oleh Rio. Tapi hanya samar-samar. Mengapa Rio seperti ini? Bukannya ia senang jika sahabatnya memiliki kekasih baru? Tapi? Mengapa ia begitu terlihat sedih?

"Kak Rio bilang apa tadi?"

"Hah? Bilang apa emang? Ngaco kamu! Ayok kita jalan sekarang."

Ify menyadari perubahan mimik muka Rio. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh Rio.

"Kakak ada masalah ya? Mending kita ga usah jalan aja. Nanti malah ngebebanin Kak Rio loh akunya."

"Hah? Engga! Aku kan udah janji. Ayo sebelum aku berubah pikiran."

Ify mengangguk cepat. Lalu mengikuti Rio yang sudah berjalan lebih dahulu di depannya. Mereka masuk ke mobil Rio dan lalu dengan cepat pergi bergegas meninggalkan cerita yang ada. Rio. Dia bungkam seribu bahasa. Apa yang dilihatnya tadi cukup sukses untuk membuatnya jemuh. Gemuruh bergejolak di dadanya. Kecemburuan itu jelas menyeruak ke permukaan. Sejujurnya kalau boleh, ia ingin berbalik arah. Mengejar mobil Cakka dan menarik paksa Sivia keluar dari mobil itu dan lalu pergi bersamanya. Tapi apa ia pantas berbuat seperti itu? Diliriknya sepintas gadis yang sedang duduk di bangku sebelahnya. Ify. Memang rohnya kini bersama Ify. Tapi tidak dengan pikirannya. Sesungguhnya yang memenuhi pikirannya hanya Sivia. Sivia dan Sivia. Tapi mungkin sekarang bertambah lagi satu orang. Siapa dia? Cakka..


***


"Ngapain sih lo tadi balik ke sekolah lagi? Gue kan udah bilang, lo pulang duluan aja!" Sivia merengut. Menurutnya, Cakka hanya bisa merusak situasi yang sebenarnya sudah porak-poranda. Diliriknya Cakka yang hanya diam tanpa ekspresi. Itu membuat Sivia semakin kesal. "Yang ada di pikiran lo apa sih! Tangan gue sakit tau ditarik-tarik mulu!" Sivia mengelus tangannya yang memerah. Sedikit sakit tampaknya.

"Bawel banget sih! Gue turunin disini nih kalo elo gak mau diam!"

"Lo emang gak punya perasaan ya! gak punya hati!" Sivia melihat ke arah laki-laki yang duduk di sebelahnya. "Dasar jahat!"

Cakka tak menghiraukan umpatan-umpatan yang keluar dari mulut Sivia. Ia terlalu sibuk berkonsentrasi dengan mobilnya.

"Tangan gue sakit tau!" Sivia sudah hampir menangis. Tangannya memang merah akibat ditarik Cakka tadi. Namun sejujurnya, tangisannya kali ini adalah bersumber dari hatinya. Yah hatinya yang tercabik melihat Rio dan Ify tadi. "Sakit.. Gue.. Sakit.." rintihnya.

Cakka menepikan mobilnya. Padahal mereka sudah sampai di area perumahan Cakka. Ia segera menyadari tingkah Sivia yang terlihat seperi gadis yang sedang menangis. Ia tak ingin ada yang mengganggu konsentrasinya saat melakukan sesuatu. Namun entah mengapa, ia ingin mendiamkan gadis ini terlebih dahulu. "Gitu doang mewek lo! Cengeng banget sih!" Cakka mengerutkan keningnya. Sedikit kesal memang dia jika melihat seseorang menangis.

Sivia menutup matanya dengan kedua tangannya. Bahunya sedikit bergetar. Dan itu membuat Cakka bingung harus berbuat apa. Ia merasa bersalah menarik Sivia dengan kasar. Dilihatnya tangan Sivia yang ternyata memerah akibat perbuatannya tadi.

"Eh? Lo beneran nangis Siv?"

"…" Tak ada jawaban yang keluar dari bibir merah Sivia. Batinnya masih terlalu sakit untuk bicara. Malah, tangisannya semakin menjadi. Ia merasa tak peduli. Dengan menangis, jiwanya pasti sedikit tenang. Hanya itu yang ada di pikirannya.

"Siv?" Diam-diam Cakka mencuri pandang lewat lirikan matanya. Memperhatikan lebih saksama setiap lekukan wajah Sivia yang terlihat pure dan manis. Rambut Sivia yang sedikit tertiup angin AC yang berhembus pelan tapi sejuk. Jujur, Cakka merasa aneh. Desiran aneh itu tiba-tiba datang lagi menyergap untuk kesekian kalinya. Membuat Cakka tidak henti-hentinya memikirkan hal ini.

Di batin Sivia, terus menerus terlintas bayangan Ify yang terlihat begitu bahagia bersama Rio tadi di sekolah. Sebenarnya Sivia ingin sekali menumpahkan air mata saat itu juga. Namun itu adalah hal yang sangat tidak mungkin.

"Siv? Lo kenapa sih?" sadar atau tidak, tangan kiri Cakka menyentuh pelan bahu Sivia.

Sivia masih tidak menjawab. Bahunya malah semakin kuat bergetar. Menandakan hatinya sedang berguncang hebat. Membiarkan aliran di pipinya semakin deras. Dan dengan sangat tiba-tiba dan sama sekali tak diduga-duga, dia merasakan rengkuhan Cakka di pundaknya yang membimbingnya untuk membenamkan wajahnya di dalam pelukan cowok itu. Ia mampu merasakan jemari Cakka yang dengan lembut menyusuri rambutnya. Terasa kelembutan yang sebenarnya sudah sejak lama ia idamkan.

"Sorry Siv, gue gak ada maksud apa-apa kok buat narik tangan lo." Ucap Cakka lembut.

Sivia kaget dengan perlakuan Cakka yang sangat diluar dugaan. Cakka adalah laki-laki kedua yang merengkuhnya seperti ini. Namun, debaran jantungnya sedikit sama saat ia berada dalam rengkuhan Rio. Ia merasa sedikit tenang. Hangat. Itulah yang Sivia rasakan. Tiba-tiba ia mendengar suara ‘dag-dig-dug’. Sivia meraba dadanya. Memang, jantung Sivia saat itu berdebar-debar lumayan kencang. Tapi telinganya mendapati sumber suara itu berasal dari dada Cakka. Oh Tuhan? Apa ini?

Cakka masih membelai rambut ikal Sivia. Merasakan detak jantung yang semakin beradu dan aliran darah yang terasa semakin cepat. Serasa berlomba menuju jantung. Berlomba untuk mendetakkan jantung sampai Cakka merasa ingin mati. Tapi rengkuhan dan seragam sekolah Cakka yang terasa semakin basah membuat Cakka perlahan-lahan bisa menenangkan jantungnya. Cakka ingin sekali menenangkan Sivia. Entah karena alasan apa. Ia sendiri tak tahu. Ia tak pernah berlaku seperti ini sebelumnya. Apa artinya ini?

Dalam beberapa saat, keheningan tercipta dengan tenang. Sangat tenang menyelimuti Sivia dan Cakka. Mereka berdua sama-sama merasakan debaran jantung mereka masing-masing. Merasakan kehangatan yang terpancarkan lewat rengkuhan yang saling mereka berikan. Berharap semua beban yang mereka rasakan terbawa oleh waktu yang terus berjalan seiring berputarnya dunia. Terutama Sivia.

Setelah beberapa lama, tangisan Sivia mereda. Perlahan ia mengangkat wajahnya yang sempat ia benamkan ke dalam rengkuhan hangat Cakka. Seragam itu basah. Sivia bisa melihat itu.

Setelah Sivia benar-benar lega akan tangisan yang baru saja ia tumpahkan, perlahan ia menyeka air matanya dengan sapu tangan pink kemerahan yang ia bawa. Cakka masih bisa menatap gadis itu dengan tatapan sayu. Benar-benar ingin melakukan sesuatu agar gadis itu bisa diam. AC mobil itu membawa semilir angin yang menerbangkan beberapa helai rambut Sivia. Semakin membuat Cakka dikuasai oleh perasaan anehnya.

"Eh, jangan dorong-dorong dong!" bisik seorang laki-laki dengan nada yang meninggi.

"Astajim! Jangan injak kaki gue dong Kak!" ucap seorang laki-laki lainnya.

"Aduh pada diem dong ntar ketahuan." seru seseorang lainnya yang lebih muda.

"Sssst!"

"Hey! Kalian ngapain disitu? Mau maling ya?"

GEDUBRAK!!!
Pintu pagar pemilik rumah pun terdorong ke depan dan mengakibatkan Gabriel, Ray, Acha dan Nova jatuh mencium aspal.

Cakka dan Sivia dengan sigap keluar dari mobil untuk melihat apa yang terjadi.
"Kalian? Ngapain disitu?" tegur Sivia.

Gabriel, Ray, Acha serta Nova sudah berdiri sambil mengibaskan pakaian mereka yang kotor.

"Kalian ngintip ya?" Tanya Cakka to the point.

Gabriel serta yang lainnya hanya senyum-senyum mesem dan membuat Cakka malu. Sivia pun begitu. Dalam hati Cakka merutuki kejadian itu. "Sialan! Ganggu aja deh ni. Ngerusak suasana aja huh~"


***


Aaahh konfliknya berat ya? maaf deh yaa masih amatiran soalnya:) mohon dimaklumi yaa. Em itu sivia sama rio kasian ya:( saya sebenarnya ga tega buat begitu, tapi apa boleh buat? Idenya adanya ya kesitu huhu pis I'm so sorry:( couple yang lain munculnya besok besok ya. oke sekian dan terimakasih saya ucapkan sebesar-besarnya kepada siapa saja yang ikut baca CK :D Satu lagi, mohon maap lahir batin ya semua, saya banyak salah sama kalian hiwhiw;)

Kritik, saran, dan jempolnya masih saya tunggu! Jangan jadi pembaca gelap yaaa *tingting*

Cerbung ini juga bisa dilihat di resaechaa.blogspot.com
Follow me on twitter and heello - @Resaechaa
Thank you:*

Kamis, 11 Agustus 2011

"CINTA KEDUA" PART 19

Halo saya balik membawa CK yang sepertinya sudah mulai memuakkan:'( saya pesimis sama CK huhu:'( oiya, ini part 19nya ya yg kemarin salah ketik-_- Happy Reading!


***

Sivia berjalan mendekati seseorang yang terduduk di tempat tidurnya dengan posisi membelakanginya. Sekilas dirinya melihat Cakka mengusap-usap sudut bibirnya dengan tangannya sendiri.

"Ngapain lo kesini?"

Sivia kaget. Dikira Cakka tak mengetahui keberadaan dirinya. Ternyata..

"Ada yang harus gue kerjain disini." Sivia duduk di samping Cakka. Baskom dan handuknya ia taruh di sebelahnya. Cakka tak bergeming. Ia tak menghiraukan keberadaan Sivia. Sakit hatinya di tonjok Ray berkali-kali hanya karena salah paham sepertinya sedang menyeruak.

"Hadap sini dong, luka lo agak parah tuh."

Cakka masih terdiam. Keningnya berkerut mengingat perlakuan kasar adiknya tadi. Hanya karena Sivia saja adiknya bisa dinilai lebay. Ia tak habis fikir dengan Ray. Seistimewa apa sih Sivia?

Tepat pada saat fikiran terakhir itu, Cakka merasakan ada sepasang tangan dingin yang memegang pipinya. Kepalanya mengikuti tarikan tangan itu. Ditatapnya Sivia yang juga sedang menatapnya. Aneh. Benar-benar aneh. Cakka merasakan desiran aneh yang tak bisa dilukiskan. Bayang-bayang Ray yang tadi memenuhi otaknya kini musnah sudah. Ada apa ini?

Sivia diam. Cakka menatapnya dengan tatapan yang hangat. Ia tertegun sejenak. "Thanks ya tadi udah nenangin gue."

' Mengapa ini? Mengapa ia mencoba mencari suatu topik untuk di obrolkan? Mengapa? Aku ingin lebih lama menatapnya. Wajahnya membuatku tenang..'

"Heh!" tegur Sivia.

Seketika itu juga ia sadar dengan apa yang baru saja terlintas di otaknya. Mengapa ia berfikir seperti itu? Pasti ada yang salah dengan otaknya.

Cakka membuang mukanya. Menepis tangan yang sudah lumayan lama bersandar di pipinya. Ia kalut. Hatinya seperti terbagi dua. Perasaan apa ini?

"Lo keluar aja deh! Gue lagi cape."

Cakka mengarahkan matanya ke tempat sampah yang berada di kamarnya. Mengapa ia melihat ke sana? Rasa-rasanya gadis yang di sampingnya ini lebih enak dipandang daripada objek yang sekarang dilihatnya.

Cakka merasa sudut bibirnya tersentuh benda hangat. Gadis yang berada di sampingnya ini sepertinya sedang membersihkan luka di sudut bibirnya. Ia refleks menoleh ke arah Sivia. Sivia disana. Matanya, bibirnya, ah setiap lekuk wajahnya terasa teduh bagi Cakka. Ada apa ini?

"Jangan liatin gue gitu dong! Gue kan jadi canggung."

Sedetik itu juga Cakka sadar. Wajahnya terlihat seperti maling. Mencuri kesempatan untuk memperhatikan Sivia. Ia bingung. Ia kedapatan mencuri pandang. Ia malu.

"Dasar aneh!" ujar Sivia. Ia tak mau memusingkan itu. Ia tak ingin diganggu. Ia terlalu konsentrasi untuk membersihkan luka Cakka.

"Eh?"

Cakka dikagetkan oleh satu getaran handphone nya. Di lihatnya layar handphonenya. "1 pesan baru? Siapa ya?" dengan cepat Cakka membuka isi pesan itu dan..

"Shilla?" gumamnya.

Tangan Sivia berhenti dari aktivitasnya. Shilla? Ada hubungan apa Cakka dengan Shilla?

"Ah ga penting.."

Cakka membuang handphone nya ke sembarang arah. Kaki nya ia ketuk-ketukkan di lantai. Lalu ia bersiul siul sembarang. "Kok berhenti?" Dilihatnya Sivia yang bingung sedang berfikir sesuatu. Handuk basah itu masih tetap berada di tangannya.

"Ha? Engga-engga."

Dia melupakan itu. Tak penting juga baginya untuk mengurusi hal ini. Ia lebih memilih diam dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Setelah itu ia akan berisitrahat penuh di kamarnya. Karena besok harus masuk kembali ke kewajiban lainnya, sekolah.


***


Matahari mulai menyembulkan sinarnya. Deru mesin kendaraan belum terlalu banyak menggema di jalanan itu. Pagi yang lumayan cerah. Langit biru membahana. Seakan tersenyum memandang apa yang sedang di pandangnya di dunia ini. Pagi ini adalah pagi yang bersahabat.

Mereka menurunkan kakinya dari sebuah mobil. Cakka, Sivia dan Ray. Mereka turun dari mobil itu. Pergi sekolah bersama karena Cakka memutuskan hari ini untuk membawa mobil ayahnya saja. Setelah melihat-lihat posisi parkir mobilnya, mereka berlalu.

Sivia merasa sudah lebih sehat hari ini. Kepalanya sudah tidak terlalu berat seperti kemarin. Hanya saja mungkin dirinya sedikit terkena flu akibat melawan hujan kemarin bersama Rio..

Rio? Ah, nama itu tiba-tiba menyeruak di kepalanya. Membangkitkan asa yang pernah terkubur. Sadar atau tidak, ia tersenyum. Tersenyum mengingat seseorang itu. Ia kembali membayangkan apa yang terjadi dengan dirinya dan Rio kemarin siang.

Senyum itu pudar seketika manakala Sivia merasa ada yang merengkuh tangannya lembut. Ia menoleh ke arah pemilik tangan itu. Cakka! Amazing! Refleks Sivia mendekatkan dirinya ke Cakka.

"Apa-apan nih?"

Sivia berbisik pelan di telinga Cakka. Tak ingin Ray yang di sebelah Cakka mengetahuinya. Ia merasa risih. Pacaran harus pegangan tangan ya? Wajib gitu? Kan cuman bohongan, fikirnya.

"Lo kan pacar gue sekarang. Ga inget perjanjian kita ya?"

Sivia mendengus kasar. Dilepasnya genggaman tangan itu dari Cakka. Matanya melotot. Ditatapnya Cakka dengan perasaan benci. Ia tak tahu mengapa Cakka harus bersikap seperti ini padanya.

"Cakka! Woy Kka!"

Seseorang memanggil Cakka dari kejauhan. Membuat pertengkaran kecil itu berakhir sejenak. Ray berpamitan untuk lebih dahulu pergi ke kelasnya. Ia terlalu sibuk dengan fikirannya sendiri sehingga tidak menyadari perkelahian itu. Mungkin waktunya ia memikirkan perasaan cintanya juga. Perasaan yang tumbuh secara tiba-tiba pada Acha. Yah Acha yang sudah memiliki Alvin sebagai kekasihnya.

"Alvin?"

Yah. Itulah sebabnya Ray pergi terlebih dahulu. Ia merasa tidak enak jika kalau-kalau dirinya tanpa sadar memandang sinis terhadap kakak kelasnya itu. Diam-diam ia menaruh perasaan iri pada Alvin. Iri karena Alvin menjadi pacar Acha.

"Kenapa Vin?" Tanya Cakka setelah Alvin sampai ke hadapannya.

"Engga. Gue cuman mau ngasih tau lo kalo ntar sore ada rapat basket. Takutnya gue lupa hehe."

Cakka mengangguk-anggukan kepalanya. "Oke! Oh iya, Gabriel udah di kasih tau?"

Alvin tersenyum keki. Nama itu bagai neraka sekarang baginya. Ia tak tahu apa setelah ini persahabatannya dengan Gabriel akan lanjut ataukah..? Ah dia benci.

"Belom kali. Gue gatau."

"Jutek amet lo? Wkaka."

"Biasa aja hehe. Oh iya Kka…"

Terjadilah obrolan kecil yang lumayan berentet antara Cakka dan Alvin. Pastinya hal ini menyangkut basket. Bukan masalah pribadi Alvin dengan Gabriel. Alvin terlalu tertutup untuk membicarakan masalahnya dengan orang lain. Sekali pun itu sahabatnya.

Sivia merasa pegal. Bagaimana tidak? Dirinya seperti tidak dianggap manusia disitu. Berdiri di samping Cakka sebagai figuran. Ia kesal. Mengapa dua manusia ini tidak mengobrol di kelas saja? Atau dimana ke yang lebih santai. Ini malah di koridor sekolah. Sivia merasa risih. Posisinya di sekolah ini adalah sebagai anak baru. Dan ia sadar, pasti anak-anak di sekolah itu berfikir tidak sewajarnya anak baru berdiri di antara Alvin dan Cakka yang ia tahu menjadi incaran banyak gadis di sini.

Sivia merasa bosan. Diedarkan padangannya mencari objek yang bisa ia deskripsikan di dalam otaknya agar ia tak merasa keki berdiri di sana. Pertama, tukang sapu halaman. Ia tertawa kecil jika mengingat Shilla menceritakan tukang sapu tersebut. Wajahnya yang mirip Narji Cagur membuat tukang sapu itu dipanggil Narjo. Diambil dari nama Narji dan Suparjo, nama aslinya.

Sivia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia mencari objek yang lain. Matanya kembali mengeliling, dilihatnya di pojok taman sepasang muda-mudi dengan pedenya memamerkan kemesraan. Sivia menghela nafas berat. Ia sedikit iri. Ah! Di lupakannya objek itu.

Sivia mencari objek lain lagi. Sampai pada saat kedua bola matanya berhenti pada satu objek yang membuatnya terpaku berdiri disana. Ia tercengang. Matanya terbelalak. Ia mencoba menjelaskan pandangannya.

"Kak Rio…?" bisiknya.

Ia terkejut. Laki-laki itu adalah laki-laki yang sama. Laki-laki yang merengkuhnya di tengah hujan kemarin. Nafasnya tercekat. Ia tidak pernah merasa mempunyai penyakit asma. Tapi mengapa ia sulit bernafas sekarang?

Hatinya tak karuan. Objek pandangannya salah. Ia tak ingin melihat ini. Ia belum siap. Ia belum siap menerima kenyataan pahit lagi.

Sepasang manusia turun dari mobilnya bersama.. Ah! Sivia sangat mengenali kedua orang itu. Ia merasa kalah telak. Dipandangnya kedua manusia itu dengan nada sendu. Gadis itu adalah saudara sepupunya yang sudah sejak lama mengagumi pangerannya. Dan yang membuat Sivia terhenyak adalah, tangan Ify bergelayut manja di lengan Rio. Dan Rio dengan senyum tulus terlukis di wajahnya sedang mengacak poni Ify sehingga sedikit berantakan. Ia tak kuasa melihat itu. Hatinya hancur. Ternyata Ify sudah benar-benar bersama dengan Rio sekarang.

"Jadi adik kelas yang cocok jadi Ketua Basket siapa nih, Kka?"

"Eh?"

Cakka tak menghiraukan pertanyaan Alvin barusan. Entah mengapa, ada sentuhan dingin yang meremas tangannya. Rengkuhan tangan itu sangat keras. Cakka melihat tangan kanannya. Lalu matanya beralih ke pemilik tangan yang tanpa izin memegang tangannya.

Sivia tak kuat. Ia ingin menangis. Tapi mana mungkin? Ini di sekolah. Dan ia masih punya rasa malu untuk menangis di depan umum. Ia memerlukan kekuatan agar segera keluar dari rasa sesak yang melandanya. Digenggamnya tangan itu. Entah milik siapa. Yang jelas, ia perlu bantuan orang lain untuk sekedar menumpahkan rasa sakitnya.

"Siv?"

Sivia masih memandangi objek itu berjalan di koridor seberang. Hatinya hancur berkeping-keping. Tak dikira, laki-laki yang kemarin bisa membuatnya damai, ternyata sekarang malah membuatnya hancur. Hancur. Ia tak tahan ingin menangis.

Cakka merasa bingung. Mengapa dengan tiba-tiba Sivia menggenggam tangannya? Bukannya tadi mereka bertengkar karena masalah genggaman tangan? Tapi mengapa ini..?

"Gue balik dulu deh Kka! Gue tunggu di kelas aja ya!"

Suara pamitan Alvin pun tak dihiraukan Cakka. Ia ingin mencari tahu apa yang terjadi. Kedua bola matanya mengikuti arah pandang Sivia. Ah! Terlalu banyak anak-anak disana! Siapa yang Sivia lihat? Sampai membuatnya seperti ini?

"Lo kenapa sih Siv?"

Suara Cakka akhirnya membuat Sivia berhenti untuk melihat pemandangan yang menyesakkan itu. Dialihkan pandangannya ke arah Cakka. Ia mendapati sosok Cakka yang sedang mengerutkan keningnya tanda penasaran.

"Lo nangis Siv?"

Cakka mendekatkan dirinya kepada Sivia. Mencoba memperhatikan pipi Sivia yang sedikit basah. Ada apa dengan Sivia? Rasa-rasanya baru kali ini ia melihat Sivia menangis secara langsung. Entah mengapa rasa peduli pada gadis di hadapannya ini tiba-tiba menyeruak begitu saja. Tanpa ada perintah.

"Engga. Gue ke kelas duluan aja deh ya."

Sivia sudah beranjak kalau saja genggaman tangan itu dilepas oleh Cakka. Tapi tidak. Cakka tidak ingin membiarkan Sivia pergi sebelum ia tahu apa yang membuat gadis itu seperti ini. Di tahannya tangan itu agar tidak pergi. Belum! Ia masih ingin bersama Sivia. Di dekatkan kembali dirinya. Matanya menatap tajam mata Sivia yang sudah cukup di genangi air.

Sivia membalas tatapan itu. Mata itu tulus. Ia bisa merasakan itu. Sudah dua minggu lebih ia mengenal Cakka tapi baru kali ini ia melihat mata Cakka yang begitu teduh.

Cakka merasakan desiran aneh itu lagi. Apa ini? Ia tak bisa mendeskripsikannya. Ia tak pernah merasakan ini sebelumnya. Mata Sivia membuat hatinya sejuk. Tak bisa ia gambarkan. Ia sendiri tak tahu pasti apa yang sedang dirasakannya.

Sivia merasa aneh terhadap sikap Cakka. Ia sadar, situasi ini tidak mengenakkan untuk dirinya. Dengan kekuatan seadanya ia melepas genggaman tangan Cakka yang lumayan kuat. Dan yak.. berhasil. Lalu dengan cepat berlari kecil meninggalkan Cakka yang masih terdiam. Aneh. Sungguh aneh. Ini bukan Cakka yang biasanya. Ah! Tapi Sivia hanya menganggap itu akal-akalan Cakka saja. Mungkin setelah ini kejahilan dari Cakka akan segera datang. Tunggu saja. Fikirnya.

Cakka seperti tersihir. Sosok Sivia sudah pergi meninggalkannya. Ia meremas kepalanya. Situasi yang salah! Mengapa ia begitu menampakkan perasaan itu?

"Gue kenapa sih ah!"

Ia berteriak seadanya. Ia sadar beberapa gadis yang mengincarnya sedang berdiri di sekitarnya. Dengan langkah gontai, ia berjalan pelan menuju kelasnya. Perasaan yang ia sendiri tak tahu apa , telah mengusiknya. Ia merasa terganggu. Dan sepertinya, ia tak bisa menguasai perasaan itu. Dan malah sebaliknya, perasaan itu lah yang menguasai dirinya sekarang.


***


Rio mengantar Ify sampai ke kelasnya. Pagi ini ia begitu senang. Ia yakin pasti akan bertemu Sivia hari ini. Dari tadi pagi ia bersikap ramah pada semua orang yang menegurnya. Aneh memang. Namun tak bisa dipungkiri, sikap manisnya kepada Ify hanya mewakili perasaan senangnya pada Sivia. Ia terlalu senang sehingga ia tak tahu bahwa Ify sudah terlalu jauh mencintainya. Dan itu salah. Namun apa pedulinya? Yang terlintas di benaknya setiap detik hanyalah Sivia. Bukan gadis lain. Jahat memang.

"Makasih ya kak. Aku masuk dulu."

Ify tersenyum lalu dengan genitnya mencubit lengan Rio manja. Rio sempat meringis lalu membalas senyum manis Ify. Setelah dirinya sudah memastikan Ify masuk ke kelas, ia pergi. Pergi meninggalkan Ify? Mungkin. Ia ingin mencari kelas Sivia. Pada saat melewati koridor tadi, ia sengaja berhenti di mading untuk melihat daftar absen yang sudah pasti ada nama Sivia tertera disana.

"11 ipa 2 dimana ya?" gumamnya sambil berlari kecil mencari-cari kelas itu.
"Nah! Dapet juga."

Ia berdiri di depan pintu kelas yang tertutup itu. Ia ingin melihat wajah manis Sivia pagi ini. Sebagai pembangkit semangatnya. Ia tak sabar. Dibukanya kenop pintu itu. Lalu ia menyembulkan sedikit kepalanya. Matanya mengeliling mencari sosok itu.

"Kak Rio?"

Sebuah suara memaksanya untuk menarik kembali kepalanya keluar dari kelas itu. Dilihatnya gadis yang baru saja menepuk pundaknya.

"Shilla?"

"Hehe sorry. Kaget ya kak?"

"Hah? Engga kok."

"Nyari siapa kak? Tumben ke kelas sini."

Rio menggaruk belakang telinganya yang sama sekali tidak gatal. Ia mencoba mencari sesuatu alasan yang tepat. Tapi apa?

"Engg. Sivia di kelas sini kan Shill?"

"Iya sih. Tapi kok..?"

Shilla mengerutkan keningnya. Bagaimana tidak? Rio seperti sibuk mencari sesuatu dan ternyata objek yang dicarinya adalah Sivia? Apa hubungannya ini?

"Eh? Jangan salah sangka dulu Shil." Rio memotong fikiran Shilla. Seakan-akan ia mengerti arah jalan fikiran Shilla. "Sebagai ketua OSIS kan gue harus tau siapa-siapa aja yang jadi anak baru di sekolah ini. Makanya gue lagi nyari yang namanya Sivia."

Shilla menangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti. Namun tak sepenuhnya ia pahami penjelasan Rio ini. Memang benar Rio adalah ketua OSIS. Tapi apa ia tugasnya adalah mencari tahu anak-anak baru yang sekolah di SMA ini? Ia baru tahu..

"Belum dateng mungkin Kak. Kayanya telat."

Rio mengangguk tanda kecewa. Setelah cukup informasi, ia berjalan meninggalkan Shilla dengan senyuman yang sempat ia perlihatkan.

Shilla hanya mengangkat kedua bahunya tanda tak mengerti. Toh ini juga bukan urusannya. Fikirnya.

Di tengah perjalanan menuju kelasnya, Rio bergumam sendiri sambil menyimpulkan argumennya. "Sivia belum dateng ya? Terus dia kemana?"

Rio bertanya kepada angin. Ia sedikit kecewa tidak dapat bertemu sosok itu pagi ini. Riuh suara gemuruh anak-anak memaksanya untuk cepat berlari ke kelasnya. Ia tak ingin dimintai tanda tangan oleh adik-adik kelasnya yang kagum padanya. Ia ingin memikirkan Sivia dahulu. Tak ada yang lain. Hanya Sivia. Tapi kemana Sivia?


***


Sivia berjalan menyusuri koridor itu. Terngiang jelas sosok Ify dan Rio di kepalanya. memang sudah hampir setahun dia dan Ify tidak bertatap muka langsung, namun tak di pungkiri, wajah Ify terngiang setiap malam jika dirinya bermimpi atau mengkhayal tentang Rio.

Ia tak tahu ternyata Ify benar-benar sudah mendapatkan Rio. Usaha yang membuahkan hasil. Tak sia-sia dirinya pergi dari Rio. Karena memang niatnya untuk membuat Ify bahagia. Sekarang? Ify sudah sangat terlihat bahagia. Lalu? Mengapa dia bersedih? Bukan kah jika Ify bahagia, dia juga akan bahagia? Tidak! Dia munafik. Dia juga ingin memiliki Rio lagi. Namun? Apa bisa? Ah! Tidak! Dia tidak boleh sejahat itu. Bagaimanapun juga dia harus membahagiakan orang yang disayanginya bahagia. Biarlah dia yang sakit. Tuhan pasti tau apa yang terbaik untuknya.

"BRUKK!!"

Ah sial! Karena tidak melihat jalan dan terus menunduk, naas nya Sivia menabrak seseorang yang lebih tinggi dari dirinya.

"Sivia?" tegurnya.

Sivia mengangkat kepalanya. Sambil mengelus kepalanya yang terhantup dada anak itu, dilihatnya wajah laki-laki hitam manis sedang berdiri di hadapannya.

"Eh?"

"Ikut gue sekarang!"

Tanpa berkomentar sedikit pun, Sivia rela ditarik tangannya secara paksa oleh anak itu. Mungkin ini saat yang tepat, fikirnya..


***


Gaje ya? Gaje? Emang! Maafkan saya (lagi) :( gak puas ya? iya? Emang! Maafkan saya maaaaaafff:( part ini begitu memuakkan ya? adegan caksiv ga nendang ya? maaaf banget nget nget:( saya lagi banyak tugas sekolah dan keperluan lainnya jadi ga terlalu focus buat CK maaf kan sayaaaaaa:(

Anyway like dan comment nya tetap saya tunggu:O kalau masih ada sih.. saya ga kaget kalau tiba2 ada pembaca CK yang pergi bersama angin(?) ini semua karena kesalahan saya. Dan untuk itu, saya memutuskan untuk absen CK sampai lebaran:O maafkan saya maafkan:'(

Cerbung ini juga bisa dilihat di resaechaa.blogspot.com
Follow me @Resaechaa


Senin, 08 Agustus 2011

WESTLIFE - BOYBAND IRLANDIA




1. Asal mula

Cerita tentang westlife, berawal pada tahun 1996 di sligo, sebuah kota kecil di sebelah utara irlandia. 3 orang remaja, shane filan, kian egan, dan mark feehily yang sering aktif dalam kegiatan teater di ummerhill college. Ketiga orang remaja tersebut mendapat peran utama dalam sebuah drama grease dan penampilan mereka itu menjadi batu loncatan yang besar.

Pada suatu malam setelah pertunjukan, ketika mereka latihan vocal sambil bercanda, tiba-tiba mary mcdonagh mendekatinya dan berkata, ”saya ingin kalian membentuk sebuah band”. Setelah itu mereka mulai membawakan lagu-lagu ”take that”, sebuah band yang mega populer di pertengahan tahun 90-an. Ketika akan diberi nama, mary memberikan sebuah nama yang sangat aneh yaitu ”6 as 1” ( kian, shane, mark, derek, michael, dan graham ). Awal tahun 1997, mereka berenam mulai tampil di teater-teater di sligo dan banyak orang yang langsung nge-fans dengan boy band baru ini.


2. 6 as 1 menjadi iou

fans mereka di sligo terus bertambah. Pada bulan agustus 1997, 6 as 1 tampil dengan membawakan lagu-lagu dari boyzone dan backstreet boys ( bsb ) di hadapan lebih dari 500 orang. Tapi, mereka mempunyai 1 keluhan yaitu tidak menyukai nama boy band-nya. Jadi mereka memutuskan untuk mengganti nama boy band mereka menjadi iou. Iou kemudian merekam sebuah single yang berjudul ”to get a girl forever”. Sebuah acara berita tv lokal menayangkan acara tersebut dan ternyata penampilan mereka itu menarik perhatian louish walsh, manager dari group band pop yang paling sukses di eropa, boyzone.

tampil bersama backstreet boys ( bsb)
kesempatan untuk menjadi band pembuka konser bsb merupakan kejutan yang besar untuk iou. Fans bsb sebanyak 9.500 orang ternyata puas dengan penampilan iou. Sayangnya ada 1 masalah, walaupun iou sudah bagus namun suara shane, kian, dan mark tidak cocok dengan ketiga personil lainnya. Oleh karena itu, terpaksa dilakukan beberapa perunbahan.


3. Ganti lagi menjadi westside

setelah keputusan untuk memecah iou, maka shane, kian, dan mark tampil sebagai trio. Tapi ternyata masih ada yang yang kurang dari suara mereka bertiga. Mereka merasa perlu ada vocal tambahan agar suara mereka benar-benar harmonis. Maka diadakan audisi di dublin, irlandia untuk mencari personil keempat. Ratusan penyanyi muda yang antusias ikut dalam audisi tersebut, termasuk di antaranya nicky byrne dan bryan mcfadden.

Nicky dan bryan pun sebenarnya sudah lama berteman. Mereka berdua sering bermimpi menjadi anggota group dan sejak masih kanak-kanak. Mereka berharap keduanya bisa terpilih, tapi yang dicari hanya 1 orang. Namun keberuntungan tenyata memihak kepada mereka. Akhirnya nicky dan bryan pun menjadi personila iou. Untuk memulai langkah yang baru, mereka mengganti nama boy band-nya untuk ketiga kalinya. Nama boy band mereka adalah westside ( yang merupakan sebuah penghargaan terhadap sligo, kampung halaman shane, kian,dan mark di westside-nya irlandia).


4. Akhirnya menjadi westlife

kehidupan shane, kian, mark, bryan, dan nicky sebagai westside ternyata tidak berlangsung lama. Karena nama westside sudah menjadi nama group band lain. Oleh karena itu, kelima cowok keren ini terpaksa mengganti nama boy band-nya untuk keempat kalinya. Kali ini mereka memilih nama westlife. Pada bulan juli 1998, westlife mulai tampil keliling inggris bersama boyzone dan pada bulan oktober, mereka menerima penghargaan dari majalah smash hits award sebagai ”best new tour act”.

Pada tanggal 19 april 1999, single mereka yang berjudul ”swear it again” menjadi best seller. Dengan dirilisnya single kedua ”if i let you go”, westlife berhasil menjadi boy band pertama yang kedua single-nya menduduki posisi puncak di tangga lagu inggris. Tapi mereka tidak puas sampai di situ. Single ketiga, keempat, dan kelima juga berhasil duduk di peringkat pertama tangga lagu inggris dan merupakan sebuah kesuksesan besar yang tidak pernah dirasakan group band mana pun di inggris.

5. Dari 5 personil menjadi 4

setelah sekitar 7 tahun bersama, akhirnya bryan mcfadden memutuskan untuk keluar dari westlife. Keputusan ini sangat disayangkan oleh banyak pihak. Terutama rekan-rekan westlife. Bryan memilih untuk menghabiskan sebagian besar waku bursama keluarganya. Ia juga memilih untuk berkarir sebagai penyanyi solo. Meskipun terasa begitu berat, namun shane, nicky, kian, dan mark dapat menerimanya jika itu yang terbaik. Sejak tanggal 9 maret 2005, bryan resmi meninggalkan dan bukan lagi merupakan personil westlife.


SECARIK KERTAS BIRU MUDA (CERPEN)


"So? Apa kamu bersedia?" Tanya Alvin pada Ify seusai ujian.



Tanpa menghiraukan pertanyaan cowok itu, Ify berjalan melintasinya menuju ke luar kelas sambil menggendong tas nya yang berwarna pink. Dirogohnya ponsel yang terletak di saku bajunya. Tak ada pesan. Alvin mengekor sambil memperhatikan setiap gerak-gerik Ify dengan tak sabar.



"Fy?" Alvin kembali bersuara menyadarkan Ify akan keberadaannya.



Ify berhenti dan menoleh. "Tapi, sampai kapan?"



"Sampai aku yakin bahwa kekhawatiranku gak cukup beralasan." Dipandangnya Ify dengan penuh harap. "Ya? Please."



Tak tega menolak sosok tampan disampingnya, Ify mengangguk terpaksa. "Yaudah deh."



"Yes!! Thanks ya Fy!" Sorak Alvin kegirangan. "Ke kantin yuk! Aku yang traktir."





***





Di kantin, Sivia dan Shilla duduk bersebelahan dekat rombong bakso, menunggu pesanan. Seperti biasa, setiap istirahat tiba, tempat itu selalu penuh dan riuh. Mata Sivia memandangi setiap cowok yang masuk, berharap seseorang di antara mereka adalah sosok yang dinantikannya. Tapi… dia belum muncul juga.



Tak lama kemudian, Pak Mul dengan dua mangkuk panas di tangan menghampiri meja mereka. Memaksa Sivia mengakhiri pencarian dan mulai menyantap baksonya.



"Siv." Shilla menyikut lengan Sivia. "Lihat deh siapa yang datang."



Sivia mengangkat kepalanya. Dengan jari telunjuk, dia memperbaiki posisi kaca mata minusnya yang agak melorot dari pangkal hidung. Potongan bakwan yang baru masuk ke mulutnya seketika berhenti di kerongkongan. Membuatnya terbatuk, saat dia melihat Ify, cewek tercantik di kelas Alvin, bergelayut pada lengan cowok itu dengan mesra. Segera diraihnya segelas es the untuk melancarkan, kemudian disekanya bibir dengan punggung tangan. Dia mendadak merasa tak enak. Berita buruk apa yang akan di dengarnya siang ini? Batinnya.



"Kamu gak papa, Siv?" Tanya Shilla khawatir.



"Nggak papa kok. Cuma bakwannya nyangkut di kerongkonganku." Sivia berusaha tersenyum menutupi gejolak hatinya.



"Alvin jadian sama Ify ya? Kok kamu ga cerita ke aku Siv?" protes Shilla.



Sivia mengedikkan bahu. "Aku juga nggak tahu."



"Lho? Kamu kan sahabatnya Alvin."



"Gatau tuh dia."



Seketika itu juga Alvin mendekati meja mereka dan menyapa riang. "Hai! Lama nunggunya?"



Tanpa basa-basi, Shilla segera mencari tahu. "Kalian jadian? Sejak kapan?"



Alvin dan Ify saling berpandangan dengan senyum penuh arti, kemudian mengangguk bersamaan. "Sorry belum beritahu. Aku mau ngasih kejutan aja buat kalian berdua." Ujar Alvin nyengir seraya menatap Sivia menunggu reaksinya.



Sivia diam saja tanpa ekspresi. Meskipun berbagai pertanyaan mulai muncul di benaknya. Aneh! Mengapa Alvin tidak pernah bercerita tentang perasaannya pada Ify? Sejak kapan mereka mulai akrab? Kapan mereka jadian? Tangannya sibuk mengaduk kuah bakso dengan sendoknya. Mengusir keresahan yang mendadak menyergapnya.



"Kamu ga mau mengucapkan selamat ke aku, Siv?" tegur cowok itu membuyarkan lamunannya.



"Oya, selamat buat kalian berdua." Ucapnya dengan senyum yang dipaksakan.



"Thanks! Kita pesen makanan dulu ya. Laper nih." Alvin mengusap perut.



Ketika Alvin dan Ify berlalu, dipandanginya punggung mereka bergantian. Sivia bisa merasakan kecemburuan tiba-tiba menggelegak dalam dirinya. Ada apa dengan dirinya? Mengapa dia ingin sekali merenggut tangan Ify dari lengan cowok itu? Tapi apa haknya? Alvin hanyalah sahabatnya. Tidak boleh lebih! Begitulah kesepakatan yang telah mereka buat bersama. Mereka berjanji untuk tidak merusak persahabatan mereka dengan cinta.





***





Ujian Nasional hari kedua telah lewat. Masih ada beberapa mata pelajaran lagi. Salah satunya Bahasa Inggris. Sepulang dari sekolah, Alvin akan belajar bersama Sivia karena dia paling jago dalam mata pelajaran ini. Dia melangkahkan kakinya menuju kelas Sivia. Namun, sesampainya disana, kelas sudah kosong melompong. Kemana Sivia? Fikirnya seraya melanjutkan langkah. Dari kejauhan tampak Shilla lari tergopoh-gopoh ke arahnya.



"Liat Sivia gak, Shill?" Tanya Alvin ketika mereka berpapasan.



"Sivia lagi di perpus sama Cakka. Aku balik ke kelas dulu ya. Kartu perpusku tertinggal!" sahutnya setengah berteriak sambil terus berlari.



Cakka? Mendengar nama itu saja Alvin merasa sebel. Apalagi membayangkan cowok itu berduaan dengan Sivia di perpustakaan. Diam-diam Alvin menganggapnya sebagai rival. Cakka sudah lama menaruh hati pada sahabatnya yang manis dan baik hati itu. Dan setiap ada kesempatan selagi dirinya tidak disamping Sivia, Cakka mendekatinya. Dengan gesit Alvin bergegas menuju ke perpustakaan. Ia tak ingin memberi kesempatan lebih lama lagi pada Cakka untuk merayu Sivia.





***





Siang itu di perpustakaan tak terlalu banyak pengunjung. Hanya segelintir anak yang datang mengembalikan buku. Sesekali Sivia melayangkan pandangan ke arah pintu dan melirik arloji. Tiga puluh menit sudah dia menunggu keberadaan Alvin. Ugh! Mengapa dia belum datang juga? Gerutunya dalam hati.



"Dia pasti pulang duluan, Siv." Cakka berusaha meracuni otak Sivia.



"Nggak mungkin ah Kka. Kita udah janjian mau belajar bareng siang ini." Sanggahnya.



Menyadari kesempatan untuk bisa mengantar Sivia pulang sangatlah tipis, Cakka memutuskan untuk pergi. Dia bangkit dan memasukkan bukunya ke dalam tas. Kemudian dirogohnya saku celana dan dikeluarkannya kunci motor.



"Aku pulang duluan ya Siv. Kamu nggak papa nunggu sendirian di sini?"



Sivia menggeleng. "Thanks udah mau nemenin aku sebentar tadi. Hati-hati di jalan ya."



Cakka mengangguk. Baru beberapa langkah pergi menjauh, Cakka berbalik. "Oiya, apa Alvin beneran pacaran sama Ify, Siv? Akhir-akhir ini mereka kelihatan lengket?"



Meski terusik, Sivia mengangguk sekilas. Cakka tersenyum lega.



Setelah Cakka menghilang dibalik pintu, raut muka Sivia spontan berubah. Keramah-tamahan yang di tahannya sejak tiga puluh menit yang lalu seketika lenyap. Berubah menjadi sendu. Ia menangis. Sejak mendengar berita dari Alvin, Sivia sering tampak murung. Semangatnya ke sekolah juga mulai mengendur. Tak tahan dirinya melihat kemesraan Alvin dan Ify. Dan sejak saat itulah dia baru menyadari ada sesuatu yang telah tumbuh di dalam dirinya. Sesuatu yang tak kuasa ia tolak dan diakui sering mengganggu tidurnya. Sesuatu yang membuatnya ingin memiliki Alvin lebih dari sekedar seorang sahabat. Inikah jatuh cinta?



Sepasang matanya tertumbuk pada selembar kertas biru muda yang menyembul di antara halaman buku di hadapannya. Ditariknya kertas itu. Ia coretkan goresan hasil tangannya. Ditatapnya beberapa larik kalimat yang tersusun rapi tanpa berkedip. Dia mendesah kecewa.



"Sivia!" sebuah suara menyergahnya dari seberang sana.



Alvin! Seru Sivia dalam hati. Segera dilipatnya kertas hasil coretan tangannya dan kembali diselipkan ke dalam buku itu. Milik Alvin.



"Apa itu?" Tanya Alvin penasaran. Matanya tambah menyipit.



"Hanya selembar kertas berisi ungkapan hati." Sivia berdiri dan membereskan buku-bukunya. Kemudian dia melangkah ke tempat penitipan untuk menjemput tas. Alvin mengikuti dan mencercanya.



"Pasti dari Cakka. Aku melihatnya ke luar tempat ini. Apa kamu menerimanya?"



"Entahlah. Mungkin."



"Kamu menyukainya?"



"Dia baik. Dan yang terpenting dia bukan sahabatku."



Sivia tertegun seolah baru menyadari setiap respon yang meluncur dari bibirnya. Ups! Apa yang kukatakan? Rutuknya. Tetapi dalam sekejap mata, dia berubah fikiran. Mungkin akan lebih baik begini sehingga rahasia hatinya dapat tersimpan dengan rapi. Biarlah perasaannya saja yang ia korbankan. Asal bukan persahabatan yang telah mereka bangun selama tiga tahun.



Dia menoleh dan mendapati Alvin mengernyitkan kening tanda tak senang. Cemburukah dia? Ah! Tak mungkin. Hati Alvin hanya untuk Ify.



"Udah siang. Lebih baik kita pulang sekarang." Ajak Sivia.





***



Sepanjang perjalanan Alvin mendadak gagu. Mencoba menerka ungkapan hati Cakka di atas kertas warna biru muda yang diselipkan di antara halaman buku miliknya yang dipinjam oleh Sivia. Namun yang paling mengusiknya adalah kenyataan bahwa mereka bersahabat dan mungkin karena batasan yang mereka telah tetapkan, Sivia tidak punya perasaan lebih untuknya. Tak akan pernah! Jelas sudah. Fikirnya. Dipacunya motor itu lebih cepat. Sivia tersentak kaget dan spontan mengencangkan pegangan.



"Aku langsung pulang aja ya, Siv." Pamit Alvin sesampainya di depan pagar rumah Sivia.



"Lho? Nggak jadi belajar bareng?"



"Aku baru ingat punya janji ngantar mamaku." Dustanya. Sejujurnya pernyataan Sivia telah mengerutkan semangatnya.



"Oke deh. Kalau ada yang gak ngerti untuk ujian besok, telepon aku aja ya, Vin!"



Alvin mengangguk. Tanpa menoleh lagi, dia melarikan motonya meninggalkan Sivia yang bertanya-tanya pada diri sendiri. Ada apa dengannya?





***



Setelah dua minggu melepaskan ketegangan selama ujian, Sivia kembali menapakkan kaki ke sekolah untuk mengetahui hasi kerja kerasnya. Waktu baru menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit ketika dia tiba di sekolah. Dilihatnya sudah banyak anak berdesakkan di depan sebuah papan besar dimana terpampang deretan nomor peserta ujian nasional. Sesekali terdengar sorak girang dari mereka yang lulus. Ada juga yang menyelinap pergi dengan wajah ditekuk. Dengan bersusah payah, dia dan Shilla menyeruak ke dalam kerumunan. Mereka menyusuri setiap angka dengan perasaan khawatir.



"Nomorku ada disini Siv! Aku lulus!" seru Shilla.



"Punyaku juga!" sahutnya lega.



"Alvin juga lulus!"



Mereka berpelukan. "Selamat ya."



"Aku cari Alvin dulu mau kasih tau dia." Sivia melepaskan pelukannya.



"Oke aku tunggu disini, Siv!"



Sembari berlari kecil, Sivia segera menuju ke kelas Alvin. Sudah dua minggu tak terdengar kabar darinya. Ada kerinduan bersemayam dalam kalbu. Melalui jendela kelas, dilihatnya Alvin duduk berhadapan dengan Ify. Diurungkan niatnya. Dengan perasaan kecewa dan kerinduan yang meronta, Sivia berbalik. Tetapi, naasnya Alvin terlanjur menangkap bayangannya dan segera menyusul.



"Siviaa!" teriaknya.



Sivia berhenti tanpa berpaling. Ia tak mau kalau tiba-tiba air matanya menetes tanpa alasan di depan Alvin.



Alvin menyentuh bahunya. Memaksanya berputar menghadap ke arahnya. Pandangan mereka bertemu dan untuk pertama kali sejak mereka bersahabat, Alvin memandangnya dengan tatapan yang beda. Sebuah tatapan yang berpusat dari dalam hati dan sulit diterjemahkan oleh Sivia. Namun cukup untuk membuat jantungnya berdebar.



"Kamu mencariku?" Tanya Alvin yang disusul dengan anggukan oleh Sivia. "Untuk apa? Tumben."



"Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kelulusanmu, dan…" Sivia diam sejenak berusaha menyingkirkan ganjalan yang menghimpit di dada. Alvin menunggunya dengan sepenggal harapan yang masih tersisa. Kemudian dia melanjutkan, "…sekalian aku mau pamitan."



DEG!



Jantung Alvin berhenti berdetak. Kaget. "Pamitan? Maksudnya?"



"Papaku di pindahtugaskan ke Balikpapan. Kami berangkat dalam beberapa hari kedepan."



"Mendadak sekali?"



"Kepastiannya juga baru diterima beberapa hari yang lalu."



Hening. Alvin tak tahu harus berbuat apa. Sivia berbalik dan segera pergi melarikan mendung yang perlahan merembes keluar melalui setiap pori di wajah sebelum cowok itu mengetahuinya.



Ify menghampiri Alvin yang masih bergeming. "Sebaiknya kamu berterus terang selagi masih ada kesempatan."



"Tidak Fy. Kesempatan itu tak akan pernah ada untukku. Dia sudah memilih cowok lain. Cakka." Gumamnya sambil berlalu meninggalkan Ify yang menggelengkan kepalanya.





***



Setelah mencuci motor dan mengeringkannya dengan kain bersih hingga mengkilap, Alvin menuntun motornya ke garasi. Sudah dua hari ini Alvin menyibukkan diri untuk melampiaskan kesedihannya karena Sivia akan pergi. Sekaligus mencoba membunuh angan yang terpendam dan rasa yang tak tersampaikan.



Tiba-tiba terdengar suara teriakan Angel, kakaknya, dari balik pintu.



"Vin, ada yang nyari tuh!"



Alvin bangkit dan menyeret kakinya keluar. Di teras, dilihatnya Shilla bersandar pada pilar. Sempat terlintas di otaknya Sivia lah yang bertamu ke rumahnya. Ternyata bukan. Hanya sahabatnya.



"Eh? Vin?" Shilla menarik tubuhnya dan berdiri di depan Alvin. "Ada titipan dari Sivia. " Shilla menyerahkan sesuatu yang tampaknya sebuah buku. Terbungkus rapi dengan kertas koran.



"Sivia di rumah kan? Kok gak dia sendiri aja yang ngasih bukunya ke aku? Apa karena dilarang Cakka?"



"Hah? Ngaco ah! Sivia udah berangkat dari tadi pagi Vin. Jadwalnya dimajukan."



"Oh." Sahutnya kecewa. Sangat.



Setelah Shilla pergi, Alvin masuk ke kamar. Diliputi rasa ingin tahu, buru-buru di robeknya pembungkus itu. Ternyata hanya sebuah buku miliknya yang dipinjam oleh Sivia. Berfikir tak lagi memerlukannya, di lemparnya asal buku itu. Ia sedih karena tak bisa bertemu dengan Sivia di detik-detik terakhirnya.





***



Dia menidurkan tubuhnya di taman belakang rumahnya. Hatinya kosong. Fikirannya kembali terbang di mana Sivia memilih Cakka di perpustakaan itu. Sejak saat itu hidupnya tak keruan. Walaupun tak secara langsung Sivia mengatakan kalau dirinya dengan Cakka resmi berpacaran, kertas biru muda itu merupakan bukti kuat dalam benak Alvin.



"Kertas itu? Astaga!"



Dengan cepat ia berlari ke arah kamarnya. Menghambur semua barang-barangnya untuk mendapatkan buku yang ia buang asal beberapa hari lalu.



"Nah ini dia! Untung masih ada." buku itu ia temuka tergeletak di bawah ranjang tempatnya tidur.



Dengan tak sabar, Alvin membuka cepat halaman per halaman yang ada pada buku itu. Ditemukannya selembar kertas berwarna biru muda. Kertas yang sama. Tangannya bergetar dan jantungnya berdetak keras ketika membuka lipatan kertas itu. Mendadak nafasnya tertahan.



"Lho? Ini kan tulisannya Sivia? Iya! Ini tulisan Sivia! Bukan tulisan Cakka!" serunya kegirangan sendiri. Apa isi kertas itu?



Hari-hari yang ku lewati bersamamu

Telah menumbuhkan sesuatu yang menggebu

Membuat jantungku berpacu

Kala mata bertemu



Namun kesadaran menggugah kalbu

Aku tak mungkin memilikimu

Hatimu bukan untukku

Dan sahabat… itulah peranku



Mengapa harus dia?

Mengapa harus Ify?

Mengapa bukan aku?

Yang menjadi kekasihmu…



Alvin loncat kegirangan. Ia tersenyum bahagia. Puisi Sivia bagaikan tetesan embun yang menyejukkan taman hatinya yang kering. Kuncup bunga cintanya yang terkulai layu perlahan-lahan mulai mekar. Menggugah kerinduan. Membangkitkan asa. Membunuh seluruh kekhawatiran. Cintanya terjawab sudah. Ia tenang. Tinggal menunggu kapan waktu mempertemukannya dengan Sivia. Hanya itu… Hanya dia.. Hanya Sivia.. Secarik kertas biru muda itu menjadi saksi bisu cinta mereka. Cinta Alvin dan Sivia..





***




Gantung ya? wkwk sengaja mah saya-_- Cerpen kedua nih. Jujur ga terlalu bakat buat cerpen saya. Jadi kalau ngerasa ga sreg mohon dimaafkan yaa:D



Anyway, CK nya saya undur dulu ya jadi gantinya ini. Buat selingan deh. Saya ngerasa feel CK agak menghilang ditiup debu(?)



Like dan comment nya saya tunggu yaaa:) Spesial buat anak ALVIANH nih .. yaudah deh saya capcus! Jangan jadi pembaca gelap yaa bubay:)



Cerpen ini juga bisa dilihat di resaechaa.blogspot.com

Follow me -@Resaechaa