Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Minggu, 07 Agustus 2011

"CINTA KEDUA" PART 18

Part kemaren Siviyoholic puas kan? Kalau ga puas saya tendang!! loh(?), jadi puas aja yaa!! *kabuur* haha happy reading!


***

Dia melangkahkan kakinya pelan. Menuju sebuah rumah, rumah yang sebenarnya bukan miliknya. Rumah yang ia sadari sama sekali bukan haknya dan keluarganya untuk dipijaki. Rumah itu adalah saksi dimana keegoisan di nomor satukan tanpa peduli kehidupan orang lain.

Dia melangkah memasuki rumah itu. Setelah apa yang terjadi hari ini, semuanya seperti salah. Dari awal. Ia tahu ini salah. Lalu, ketakutannya mengalahkan segala rasa sayangnya terhadap seseorang. Sekali lagi, ia mengaku salah. Dan ia tahu, Tuhan maha adil. Cepat atau lambat, manusia yang berdosa, pasti mendapatkan balasannya. Ia yakin. Ia percaya. Dan ia siap menerima itu semua.

"Eh? Baru pulang, Zy?"

Ozy mengarahkan pandang ke arah sumber suara. Dilihatnya wanita paruh baya yang sejatinya sudah rela melahirkannya ke dunia ini. Wanita itu tersenyum. Tapi tetap terduduk sambil membaca majalah yang menurut Ozy itu adalah majalah bisnis. Dan ia tak tau menahu tentang itu. Dialah Ibunya. Ibu Ozy. Jessica.

"Iya mah. Habis nyari buku. Ozy naik dulu ya!"

Tanpa peduli air mata yang sudah memaksa untuk meluncur dari bola matanya, Ozy berjalan cepat menaiki tangga itu, dan lalu meninggalkan Ibunya yang sendirinya tidak terlalu meperhatikannya. Ia tahu ini semua salah. Ia ingin mencoba memperbaiki keadaan yang sudah lama hancur. Ia ingin mencoba menyadarkan Ibu dan Ayahnya bahwa tindakan mendepak Sivia dari rumahnya sendiri itu adalah perbuatan yang sungguh tidak mencerminkan rasa kemanusiaan. Ia ingin membalikkan keadaan seperti awal. Ia ingin.. Tapi yang menjadi pertanyaan, apa ia bisa?

"Kak Ify?"

Dibukanya pintu kamar itu dengan kencang tanpa mengetuk atau meminta izin pada penghuni kamar terlebih dahulu. Dengan langkah cepat Ozy berhambur ke pelukan Ify. Kakak kandungnya.

"Kenapa Zy? Ada apa? Kok kamu nangis?" Ify yang baru saja selesai bersiap-siap untuk pergi les, tiba-tiba dikagetkan oleh sikap Ozy yang begitu mengejutkan. Walau penuh perasaan bingung. Ify membalas pelukan adiknya.

"Kak Ify.."

"Iya Zy. Kenapa? Cerita dong sama kakak."
Ify mengelus pelan rambut Ozy. Dengan penuh rasa kasih sayang tentunya. Tumben sekali adiknya seperti ini, fikirnya. Ada masalah besar kah? Atau? Ah Ify bingung. Ia memilih menunggu Ozy untuk menjelasan lebih detail perihal apa yang terjadi padanya.

"Tadi di sekolah Ozy ketemu kak.."

"Hah? Ketemu? Ketemu siapa Zy?"

Ozy melepas pelukannya. Ia menangis terisak. Diusapnya air mata yang sedari tadi sukses mengucur deras dari bola matanya. Ia melihat ke arah Ify yang sepertinya siap untuk mendengarkan apa yang ingin ia katakan.

"Tadi pagi Ozy ketemu Kak Sivia. Dia sekolah di SMA Putra Bangsa, Kak. Anak baru.."

DEG!!

Entah karena udara yang masuk melalui jendela kamarnya, atau mungkin udara AC yang ada di kamar itu yang membuat tubuh Ify merinding. Ia tak tahu pasti. Ia terdiam sejenak. Mencoba meresapi setiap kata per kata yang keluar dari mulut adiknya.

"Sivia..?"

Jantungnya berpacu cepat. Ia senang. Ia bahagia mengingat satu nama yang sudah sangat lama ia rindukan keberadaannya. Ia senang akan bisa bertemu kembali dengan nama itu. Tapi? Mengingat kesalahan besar yang dilakukan keluarganya terhadap nama itu, ia tak sanggup.

Tak terasa, bulir air mata membasahi pipinya. Kali ini ia yang memeluk Ozy. Mencoba mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada perasaannya. Senang kah? Sedih kah? Ia tak begitu mengerti.

"Sivia…" bisiknya.

Jujur. Nama itu sudah sangat membekas di hatinya. Di hati Ify. Keteguhan sosok itu membuatnya tak sanggup untuk harus bertatap muka. Jika saja Tuhan menukar posisinya dengan Sivia, ia tak yakin bisa bertahan seperti Sivia. Ia tak yakin. Dan karena itu, ia sungguh mengagungkan sosok saudara sepupunya itu.

Mereka berdua larut akan suasana yang begitu haru. Baik Ozy maupun Ify. Tak ada satu obrolan pun yang ingin mereka utarakan. Biarlah mereka mengenang Sivia. Mencoba mengingat betapa tegar nya sosok itu di tengah guncangan takdir. Biarlah. Biarlah semua ini mengalir apa adanya. Ini kehendak Tuhan. Dan mereka harus mengakui, bahwa sosok Sivia adalah seorang gadis yang mampu berdiri di antara runtuhnya dunia. Mereka kagum.. Mereka peduli.. Dan mereka berdua sayang kepada Sivia..


***

Gadis itu tertidur pulas di kamarnya. Selimut rangkap dua sepertinya cukup untuk membuat tubuhnya sedikit hangat. Wajahnya masih terlihat pucat. Tubuhnya juga masih terasa sangat dingin. Seragamnya yang basah sudah digantikan dengan baju tidur. Rambutnya sudah mulai mengering. Namun, mungkin kondisinya masih sangat jauh dari kata sehat.

Ray memperhatikan wajah teduh itu. Dokter sudah dari tadi pergi meninggalkan kamar itu untuk memeriksa kondisi Sivia. Katanya, Sivia terkena demam akibat terlalu lama terkena hujan. Ia sedih melihat keadaan Sivia. Tak sepantasnya Sivia menerima ini. Ia manusia baik. Tak ada yang boleh menyakitinya. Itu prinsip Ray.

Tiba-tiba tangannya mengepal. Ia ingat. Ini bukan salah Sivia. Ini bukan kemauan Sivia. Tapi ini adalah salah kakaknya. Kesalahan kakaknya. Kesalahan Cakka. Cakka. Cakka. Dan Cakka.

Dengan cepat ia keluar dari kamar Sivia untuk mencari keberadaan manusia yang saat ini dia anggap sakit jiwa. Sangat tak tahu diri menurutnya. Tak tahu balas budi. Dan sama sekali tidak tahu arti kata bersyukur. Sudah diberikan seseorang yang baik oleh Tuhan, dengan gampangnya dia sia-siakan.

Ray berlari menaiki tangga. Tangannya masih ia kepalkan. Nafasnya tersengal. Ia tak bisa diam. Cakka sudah tak bisa lagi diberikan kelembutan. Sudah tak ada waktu untuk bersabar. Ia benci. Ia geram. Ia marah. Sangat marah kepada Cakka.

"Bunda. Cakka kangen. Cakka ga kuat hidup tanpa Bunda."

Sedetik itu juga langkahnya terhenti. Ia terdiam. Tangannya yang tadi ia kepalkan perlahan melemah. Nafasnya yang tersengal kini sudah bisa ia atur perlahan. Perasaannya gundah. Niatnya untuk melabrak Cakka pupus sudah. Apa yang didengarnya cukup untuk membuat hatinya luluh.

"Kak Cakka.." bisik Ray namun tak didengar Cakka. Ray hanya berdiri di depan pintu kamar Cakka yang sedikit terbuka. Melihat Cakka yang terduduk di samping tempat tidurnya sambil memegang foto keluarga mereka. Hatinya kalut. Ray tidak bisa mengerti arah jalan fikiran Cakka. Mengapa Cakka seperti ini? Sebagai laki-laki dan sebagai saudara yang lebih tua, Ray mengharapkan Cakka lah yang harusnya jauh lebih tegar dibanding dirinya. Kenapa kenyataan nya malah terbalik?

"Cakka pengen Bunda yang ada disini."

Ray menunduk. Mencoba mengerti setiap titik perkataan Cakka. Mengapa kakaknya itu sama sekali tidak bisa menerima takdir kehilangan sosok Bunda? Mengapa? Itu adalah kuasa Tuhan. Sebagai manusia, akan lebih baik jika kita mengikhlaskannya. Tapi yang menjadi topik pemikiran Ray, mengapa Cakka tidak bisa menerima itu? Mengapa?

"Cakka kangen Bunda. Cakka kangen sama Bunda. Cakka kangen sama Bunda. Kangen banget Bunda. "

Ray kembali mengangkat wajahnya. Mencoba lebih jelas memperhatikan Cakka. Sedetik itu juga, Ray terkejut. Sungguh tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bulir air mata kah itu? Ia menarik nafas panjang. Mencoba memejamkan matanya sejenak. Lalu menggigit bibir bawahnya. Mencoba ikut merasakan apa yang dirasakan Cakka.

Ternyata benar.. Cakka menangis..

Ray tersenyum sebentar lalu pergi meninggalkan tempat itu. Biarlah kakaknya memikirkan apa yang seharusnya ia perbuat. Lambat laun, Cakka pasti tahu mana yang terbaik. Diurungkan niatnya untuk melabrak Cakka habis-habisan.

Ray kembali ke kamar Sivia. Ia mengecek kondisi Sivia. Berharap Sivia menunjukkan tanda-tanda sadar dari alam pingsan nya. Namun hasilnya tetap sama. Tak ada yang berbeda. Sivia belum membaik.

Ray menggelengkan kepalanya. Sedikit menyerah. Ia pasrahkan semua ini kepada Tuhan. Masalah Cakka. Masalah Sivia. Bahkan masalahnya sendiri tentang Acha dan Alvin pun tak dihiraukannya. Ingin ia lupakan sejenak. Ia juga ingin berehat. Mengapa ia yang berada di posisi ini? Sulit. Tak bisa dijelaskan.

Dengan langkah gontai diambilnya selimut di lemari Sivia. Lalu, pelan ia rebahkan tubuhnya di sofa panjang yang berada di kamar Sivia. Sempat ia lirik Sivia yang masih pucat sebelum ia memejamkan matanya untuk mengistirahatkan tubuhnya. Begitu juga fikirannya. Izinkan dia tenang. Sebentar saja. Izinkanlah..


***

Hawa sejuk mendera hatinya. Perasaan senang nya di batas kewajaran. Andai dirinya mempunya sayap, pasti ia akan terbang menghiasi langit. Dia senang. Bahagia. Rasa senangnya melampaui batas. Tak dapat dilukiskan perasaan itu. Yang jelas, semakin lama ia semakin dekat dengan gadis yang diinginkannya sejak lama. Akan tetapi ia lupa akan satu hal, ia egois. Hanya memikirkan kesenangannya sendiri. Tak peduli tentang siapapun. Tapi biarlah.. biarkanlah hatinya juga damai sejenak..

"Gabriel!!"

Seketika itu juga kesenangannya berubah menjadi ketakutan. Segera ditutupnya laptop tanpa embel embel shut down atau sleep atau apalah. Ia gugup. Hatinya lalu berubah menjadi gusar. Ia tak tahu harus berbuat apa. Seseorang masuk ke kamarnya tanpa izin dan tanpa suara. Seorang lelaki. Dan ia tahu betul siapa itu.

"Alvin?"

"Kenapa lo Yel? Kaya ngeliat setan aja?"

"Eh? Gapapa Vin. Ngapain lo kesini?"

Alvin mendelik heran. Ada apa dengan sahabat nya ini? Tumben perilakunya menganehkan. Ia memicingkan matanya untuk menerka apa yang sebenarnya terjadi.

"Ya gak papalah main doing." Ujar Alvin yang sebenarnya ada maksud dan tujuan lain selain bermain.

"Oh gitu." Gabriel bersungut. Dilihatnya kembali laptop yang menjadi saksi kedekatan dirinya dengan Shilla. Rasa-rasanya tak rela untuk pergi meninggalkan aktifitas chating yang sudah beberapa jam dilakoninya. Ia tak ikhlas. Jujur.

"Lo kenapa sih Yel? Ngeliatin laptop mulu!"

"Hah? Oh? Eh? Ngg nggak papa. Kenapa Vin?"

Alvin tambah bingung. Ada sesuatu yang tidak beres terhadap Gabriel. Ia sadar itu. Sudah hampir tiga tahun mereka bersahabat, otomatis luar dalam dari sifat satu sama lain pun sudah dimengerti oleh diri masing-masing. Ditambah lagi dengan pengakuan Agni tadi yang mengatakan bahwa akhir-akhir ini Gabriel sangat-sangat jarang menepati janjinya. Ada apa ini?

"Yel? Lo ada lagunya Bruno Mars yang Just The Way You Are ga?"

"Ada. Tuh di bb gue buka aja. Oiya, lo charger aja dulu Vin soalnya batre gue abis tadi lupa nge charge."

Alvin mengangguk lalu dengan cepat menyambar handphone Gabriel yang terletak di meja belajarnya.

"Lo gak kemana-mana Yel?"

"Gak. Kenapa emang?"

"Gapapa deh nanya aja."

Alvin sempat melirik ke arah Gabriel yang masih melihati sendu laptopnya. Setelah itu baru ia membongkar habis isi pesan atau galeri yang ada di handphone Gabriel. Walaupun ia tahu kalau tidak sopan mengetahui privasi kehidupan orang. Tapi, apapun itu, Alvin harus mengetahuinya. Karena walau bagaimanapun, ini juga menyangkut gadis yang dikaguminya sejak lama..

"Gimana hubungan lo sama Agni, Yel?"

Pertanyaan mematikan sukses keluar dari mulut Alvin. Gabriel duduk mematung. Mencoba mencari jawaban yang pas. Tapi apa? Lidahnya serasa sulit untuk digerakkan. Apa yang harus dikatakannya pada Alvin?

"Baik aja Vin."

Alvin tersenyum kecut. Jawaban yang dirasa tak ikhlas. Keraguan itu nyata keluar dari mimik wajah Gabriel yang tiba-tiba berubah menjadi linglung. Ia tahu, Gabriel bukanlah seperti dirinya yang pandai menyimpan perasaan. Dan ia sekarang mengerti apa yang membuat sahabatnya berperilaku seperti ini.

"Kalau sama Shilla?"

Alvin menatap Gabriel tajam. Pertanyaan ini lah kuncinya. Inilah titik lemah Gabriel. Alvin tersenyum sinis. Sepertinya ia sudah tahu jawabannya.

"Gue.. Gue.."

"Lo munafik Yel! Agni udah baik banget sama lo. Tapi lo? Apa yang lo kasih buat dia? Nihil Yel! Kenapa sih lo gak pernah ngertiin perasaannya Agni? Sedikit aja Yel tolong! Dia sayang banget sama lo!"

Alvin langsung melempar handphone Gabriel ke tempat tidur Gabriel. Perasaannya campur aduk sekarang. Antara lega dan sakit. Lega karena ia sudah menyampaikan rasa sakit Agni kepada Gabriel. Walaupun Agni tak berbicara apapun, tapi Alvin tahu bahwa tergaris rasa kecewa di hati Agni. Di samping itu, otomatis Alvin juga merasakan sakit yang luar biasa. Sakit karena memang nyatanya Agni tidak mencintainya. Melainkan sahabatnya. Dan ia harus terima kenyataan itu. Pahit memang. Tapi ia bisa apa?

"Fikirin kalimat gue tadi baik-baik Yel!"

Seketika itu juga, Alvin melangkah menjauhi Gabriel dan lalu pergi.

Gabriel menatap Alvin yang semakin lama menghilang dari pandangannya. Apa yang dikatakan Alvin tadi memang benar. Tak seharusnya ia seperti ini. Membiarkan perasaan Agni bertepuk sebelah tangan. Pelariannya itu sudah terlalu banyak disakiti. Apa yang harus dilakukannya?

Gabriel menutup mukanya dengan kedua tangannya. Merasa terbodohi oleh cinta. Ia lelah. Diraihnya handphone yang tadi dilempar oleh Alvin. Terlihat disana sembilan pesan yang belum dibuka oleh nya. Dan mungkin yang membuat Alvin tahu jawaban itu adalah, sms sms dari Shilla tertera di kotak masuk itu setelah nama Agni..


***

Dia berjalan pelan menuruni tangga. Pandangannya kosong. Matanya sembab. Hidungnya memerah. Berjam-jam sudah ia menangis. Menangisi hidupnya yang ia rasa tak ada artinya.
Dicaci oleh adiknya sendiri adalah pengalaman yang sangat memalukan dalam hidupnya. Ia menyesal.

Setelah sampai di tempat tujuannya, ia terdiam. Ditariknya nafas sekuat mungkin. Lalu ia hembuskan pelan. Mencoba mengeluarkan energi negatif yang ada pada tubuhnya. Ia ingin berubah.

Pelan, dibukanya gagang pintu itu. Mengintip sedikit apakah yang dicarinya berada di dalam ruangan itu ataukah di ruangan lain. Ah ternyata ada. Dia melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam. Lalu menutup pintu itu pelan sehingga tidak menimbulkan suara bising.

Ia memandangi adiknya sebentar yang tertidur di sofa. Ia membenahi selimut adiknya yang terurai kesana kemari. Setelah itu baru ia benar-benar berjalan mendekati gadis yang sedang tertidur di tempat tidur. Ia mengambil kursi belajar lalu mendudukkan dirinya di situ. Perlahan ia memandang wajah itu. Wajah yang sebenarnya sudah sangat menderita. Lekat ia melihat gadis itu. Sadar atau tidak sadar, tangan kanannya menyentuh pipi dingin gadis itu.

"Maafin gue Siv." Bisiknya. Bisa jadi hanya ia yang mendengar itu. Kesalahan yang besar menurutnya meninggalkan gadis ini di pinggir jalan sendirian. Ia sempat merutuki apa yang dilakukannya.

Cakka masih memandangi Sivia. Di akui gadis itu cantik. Tapi entah mengapa, rasa kehilangannya dulu menutupi hatinya untuk lebih terbuka pada lingkungan sekitar. Terutama wanita. Sudah lama ia tak bermain serius dengan perasaan. Sudah lama ia menyakiti perasaan perempuan. Ia ingin berubah. Sangat. Ia niatkan dalam hatinya. Tapi? Siapa yang bisa membantunya?

"Siv.."

Ia bergumam sendiri. Masih dengan tangan yang mengelus pipi dingin itu. Sudut bibirnya tersenyum sekilas. Mencoba meyakinkan dirinya dengan satu hal yang sedari tadi menyeruak di kepalanya.

"Sivia.."

Sedetik kemudian, ciuman kedua nya untuk gadis itu mendarat mulus di keningnya. Berbeda dengan yang pertama, yang ini terkesan special. Frontal memang. Tapi itulah Cakka. Itulah cara dia untuk mengekspresikan perasaannya. Inilah dia. Dia buka hatinya. Bukan berarti melupakan Bunda nya. Tapi, sekarang ia tahu akan satu hal. Bahwa, jatuh cinta adalah hal yang tidak pernah ia alami. Dan perasaan takut akan kehilangan seseorang yang dulu pernah ada dapat di kubur dengan rasa cinta. Yang mungkin akan di tanamnya di hati gadis ini. Tapi apa mungkin?

"Ah! Apaan? Kok gue jadi melankolis gini sih!"

"Gue ngapain barusan?"

"Ah engga engga! Apaan sih! Cewe bawel kaya gini aah!"

Cakka menggaruk belakang telinga nya yang sepertinya sama sekali tidak gatal. Ia sudah menarik bibirnya menjauhi kening Sivia. Perasaannya tak keruan. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seperti orang gila. Lalu menatap Sivia dengan tatapan aneh. Tak bisa dilukiskan. Ia sendiri bingung mengapa dirinya bisa berbuat sefrontal tadi.

"Apa-apaan sih gue aah!"

Sedetik itu juga ia bergidik. Ia hendak berdiri meninggalkan ruangan itu. Perbuatannya barusan sama sekali di luar dugaan. Ia sendiri tak menyadari itu. Mengapa bisa dia mencium lembut kening Sivia yang sama sekali mengganggu hidupnya? Ah tidak! Dia ingin secepatnya meninggalkan tempat itu kalau saja tak didengar suara Sivia meraung-raung memanggil nama seseorang.

Cakka terdiam sebentar. Ia kembali duduk di bangku itu. Keningnya berkerut. Fikirannya beralih ke satu nama yang disebut Sivia. Ternyata tak hanya dirinya yang merindukan sosok itu.

"Bunda.."

Cakka mendelik. Di sentuhnya kening Sivia. Dingin. Ia membenahi poni Sivia yang sedikit berantakan. Walau kening Sivia dingin tetapi entah mengapa keringat bercucuran dari dahi menuju pipinya. Cakka menghapus itu dengan tangannya.

"Bunda.."

Cakka merasa bingung. Apa yang harus dilakukannya? Sivia terlihat semakin gelisah. Sepertinya ia mimpi buruk. Cakka mencoba menenangkan Sivia namun Sivia semakin menggeliat kesana kemari.

"BUNDAAAA!!!"

Seketika itu juga Sivia bangun. Dipeluknya erat orang yang ada di hadapannya. Ia tak peduli itu siapa. Ia tak peduli. Ia perlu ketenangan. Ia perlu kedamaian. Ia takut. Nafasnya tersengal. Ia menangis sejadi-jadinya. Lakon dalam mimpinya membuatnya tak tenang.

Ray merasa ada yang mengganggu tidurnya. Perlahan dia membuka matanya. Mengerjapkan matanya. Sampai ia menemukan dua sosok yang menurutnya begitu bertolak belakang.

"Kak Cakka? Kak Sivia?"

Ray melihat Sivia meraung menangis di pelukan Cakka. Ada apa ini? Cakka? Apa mungkin Cakka membuat Sivia menangis? Ah! Ray tidak bisa tinggal diam. Dengan segera ia bangkit dari tidurnya dan lalu menghampiri Cakka.

"Lo apain Kak Sivia? Hah!"

Dengan kekuatan seadanya, Ray menarik Cakka dari pelukan Sivia. Lalu dengan lantangnya, kepalan tangan Ray sukses mendarat tepat di pipi mulus Cakka.

"BUGG!!"

"Ray ini salah pah.."

"BUG!!"

"Lo kurang puas nyakitin Kak Sivia hah?"

"Ray salah paham, ini.."

"BUG!!"

"STOOPPP!!!!"

Sivia menutup kedua telinganya. Bulir air mata itu terlihat mengering. Perlahan ia berjalan mendekati Cakka dan Ray yang baru saja menghentikan deru perkelahian mereka. Ia memandang ke arah Ray sebentar. Lalu menggelengkan kepalanya.

"Cakka gak salah Ray. Kamu salah paham." Ucapnya. Ray menganga. Ia melihat tangannya. Ada sedikit bercak darah disana. Darah Cakka. Ia merasa bersalah. Dilihatnya kakaknya tersungkur di lantai sambil meringis memegangi pipi dan sudut bibirnya yang pecah akibat bogeman tanpa alasan yang didapatnya dari Ray.

"Makanya dengerin gue ngomong baru lo bertindak!"

Seketika itu juga Cakka berdiri dan lalu menubruk bahu Ray sedikit tanda tak terima dengan perlakuan Ray. Cakka meninggalkan Ray dan Sivia yang terdiam terpaku.

"Kak Sivia.."

Sivia memeluk Ray. Dengan kelembutan hatinya, ia usap manis rambut Ray. Ia tahu Ray hanya salah paham. Dan naasnya, kesalahpahaman itu berbuntut pertengkaran.

"Kamu kaya baru kenal kakakmu aja. Mending sekarang kamu tidur sana di kamar. Kakak mau obatin kakakmu dulu. Kayaknya darahnya banyak deh tadi."

"Kakak udah gapapa?"

"Kakak udah kuat!"

Ray melepas pelukannya. Dipandangnya Sivia yang sedikit lebih tinggi darinya. Sivia tersenyum. Membuat dirinya ikut tersenyum. Ia tahu, Sivia pasti bisa menetralkan suasana kembali. Ia berharap Sivia bisa membujuk Cakka untuk memperbaiki hubungan persaudaraan mereka yang sempat porak-poranda ini. Semoga..


***


Walau masih sedikit merasa pusing, Sivia menaiki tangga itu. Sambil membawa baskom air hangat dan selembar handuk ditangannya. Ia menendang pintu yang sedikit terbuka itu dengan pelan. Lalu setelah berada di dalam, ia mendorong pintu itu agar kembali tertutup seperti semula.

Sivia berjalan mendekati seseorang yang terduduk di tempat tidurnya dengan posisi membelakanginya. Sekilas dirinya melihat Cakka mengusap-usap sudut bibirnya dengan tangannya sendiri.

"Ngapain lo kesini?"

Sivia kaget. Dikira Cakka tak mengetahui keberadaan dirinya. Ternyata..

"Ada yang harus gue kerjain disini." Sivia duduk di samping Cakka. Baskom dan handuknya ia taruh di sebelahnya. Cakka tak bergeming. Ia tak menghiraukan keberadaan Sivia. Sakit hatinya di tonjok Ray berkali-kali hanya karena salah paham sepertinya sedang menyeruak.

"Hadap sini dong, luka lo agak parah tuh."

Cakka masih terdiam. Keningnya berkerut mengingat perlakuan kasar adiknya tadi. Hanya karena Sivia saja adiknya bisa dinilai lebay. Ia tak habis fikir dengan Ray. Seistimewa apa sih Sivia?

Tepat pada saat fikiran terakhir itu, Cakka merasakan ada sepasang tangan dingin yang memegang pipinya. Kepalanya mengikuti tarikan tangan itu. Ditatapnya Sivia yang juga sedang menatapnya. Aneh. Benar-benar aneh. Cakka merasakan desiran aneh yang tak bisa dilukiskan. Bayang-bayang Ray yang tadi memenuhi otaknya kini musnah sudah. Ada apa ini?

Sivia diam. Cakka menatapnya dengan tatapan yang hangat. Ia tertegun sejenak. "Thanks ya tadi udah nenangin gue."

' Mengapa ini? Mengapa ia mencoba mencari suatu topik untuk di obrolkan? Mengapa? Aku ingin lebih lama menatapnya. Wajahnya membuatku tenang..'

"Heh!" tegur Sivia.

Seketika itu juga ia sadar dengan apa yang baru saja terlintas di otaknya. Mengapa ia berfikir seperti itu? Pasti ada yang salah dengan otaknya.

Cakka membuang mukanya. Menepis tangan yang sudah lumayan lama bersandar di pipinya. Ia kalut. Hatinya seperti terbagi dua. Perasaan apa ini?

"Lo keluar aja deh! Gue lagi cape."

Cakka mengarahkan matanya ke tempat sampah yang berada di kamarnya. Mengapa ia melihat ke sana? Rasa-rasanya gadis yang di sampingnya ini lebih enak dipandang daripada objek yang sekarang dilihatnya.

Cakka merasa sudut bibirnya tersentuh benda hangat. Gadis yang berada di sampingnya ini sepertinya sedang membersihkan luka di sudut bibirnya. Ia refleks menoleh ke arah Sivia. Sivia disana. Matanya, bibirnya, ah setiap lekuk wajahnya terasa teduh bagi Cakka. Ada apa ini?

"Jangan liatin gue gitu dong! Gue kan jadi canggung."

Sedetik itu juga Cakka sadar. Wajahnya terlihat seperti maling. Mencuri kesempatan untuk memperhatikan Sivia. Ia bingung. Ia kedapatan mencuri pandang. Ia malu.

"Dasar aneh!" ujar Sivia. Ia tak mau memusingkan itu. Ia tak ingin diganggu. Ia terlalu konsentrasi untuk membersihkan luka Cakka.

"Eh?"

Cakka dikagetkan oleh satu getaran handphone nya. Di lihatnya layar handphonenya. "1 pesan baru? Siapa ya?" dengan cepat Cakka membuka isi pesan itu dan..

"Shilla?" gumamnya.

Tangan Sivia berhenti dari aktivitasnya. Shilla? Ada hubungan apa Cakka dengan Shilla?



***


Panjang kan? Saya ngetik ini subuh lo habis saur *penting gitu?* haha anyway ntar doakan saya yaa. Mau ikut audisi ic4 tanggal 5-8 oktober. Lah? *krikkrik* gaa deh becanda waakaka-_- buat yang baca kalo mau ikut ic4 ikutan ajaaa siapa tau masuk okeoke?

Haah anyway maaf kalau disini ada yg masih ngerasa kurang sreg. Saya lagi stuck sampai disini nih. Gapapa yaa? Comment dan like nya saya tunggu loh. Jangan jadi pembaca gelap yaa:D

dan satu lagi nih, maaf kalo ada yang ga kena tag, soalnya, Alhamdulillah yang minta tag banyak jadi harus gantian.. makasih banget loh semuanya udah pada ikutan baca CK yang semakin lama semakin GAJE ini.

Oke akhir kata saya pamit undur diri wassalam.
Cerbung ini juga bisa dilihat di resaechaa.blogspot.com , di sana ada beberapa FF yang ga saya posting di FB hehe. Dadaaahh readers:*

@Resaechaa

Tidak ada komentar: