Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Kamis, 11 Agustus 2011

"CINTA KEDUA" PART 19

Halo saya balik membawa CK yang sepertinya sudah mulai memuakkan:'( saya pesimis sama CK huhu:'( oiya, ini part 19nya ya yg kemarin salah ketik-_- Happy Reading!


***

Sivia berjalan mendekati seseorang yang terduduk di tempat tidurnya dengan posisi membelakanginya. Sekilas dirinya melihat Cakka mengusap-usap sudut bibirnya dengan tangannya sendiri.

"Ngapain lo kesini?"

Sivia kaget. Dikira Cakka tak mengetahui keberadaan dirinya. Ternyata..

"Ada yang harus gue kerjain disini." Sivia duduk di samping Cakka. Baskom dan handuknya ia taruh di sebelahnya. Cakka tak bergeming. Ia tak menghiraukan keberadaan Sivia. Sakit hatinya di tonjok Ray berkali-kali hanya karena salah paham sepertinya sedang menyeruak.

"Hadap sini dong, luka lo agak parah tuh."

Cakka masih terdiam. Keningnya berkerut mengingat perlakuan kasar adiknya tadi. Hanya karena Sivia saja adiknya bisa dinilai lebay. Ia tak habis fikir dengan Ray. Seistimewa apa sih Sivia?

Tepat pada saat fikiran terakhir itu, Cakka merasakan ada sepasang tangan dingin yang memegang pipinya. Kepalanya mengikuti tarikan tangan itu. Ditatapnya Sivia yang juga sedang menatapnya. Aneh. Benar-benar aneh. Cakka merasakan desiran aneh yang tak bisa dilukiskan. Bayang-bayang Ray yang tadi memenuhi otaknya kini musnah sudah. Ada apa ini?

Sivia diam. Cakka menatapnya dengan tatapan yang hangat. Ia tertegun sejenak. "Thanks ya tadi udah nenangin gue."

' Mengapa ini? Mengapa ia mencoba mencari suatu topik untuk di obrolkan? Mengapa? Aku ingin lebih lama menatapnya. Wajahnya membuatku tenang..'

"Heh!" tegur Sivia.

Seketika itu juga ia sadar dengan apa yang baru saja terlintas di otaknya. Mengapa ia berfikir seperti itu? Pasti ada yang salah dengan otaknya.

Cakka membuang mukanya. Menepis tangan yang sudah lumayan lama bersandar di pipinya. Ia kalut. Hatinya seperti terbagi dua. Perasaan apa ini?

"Lo keluar aja deh! Gue lagi cape."

Cakka mengarahkan matanya ke tempat sampah yang berada di kamarnya. Mengapa ia melihat ke sana? Rasa-rasanya gadis yang di sampingnya ini lebih enak dipandang daripada objek yang sekarang dilihatnya.

Cakka merasa sudut bibirnya tersentuh benda hangat. Gadis yang berada di sampingnya ini sepertinya sedang membersihkan luka di sudut bibirnya. Ia refleks menoleh ke arah Sivia. Sivia disana. Matanya, bibirnya, ah setiap lekuk wajahnya terasa teduh bagi Cakka. Ada apa ini?

"Jangan liatin gue gitu dong! Gue kan jadi canggung."

Sedetik itu juga Cakka sadar. Wajahnya terlihat seperti maling. Mencuri kesempatan untuk memperhatikan Sivia. Ia bingung. Ia kedapatan mencuri pandang. Ia malu.

"Dasar aneh!" ujar Sivia. Ia tak mau memusingkan itu. Ia tak ingin diganggu. Ia terlalu konsentrasi untuk membersihkan luka Cakka.

"Eh?"

Cakka dikagetkan oleh satu getaran handphone nya. Di lihatnya layar handphonenya. "1 pesan baru? Siapa ya?" dengan cepat Cakka membuka isi pesan itu dan..

"Shilla?" gumamnya.

Tangan Sivia berhenti dari aktivitasnya. Shilla? Ada hubungan apa Cakka dengan Shilla?

"Ah ga penting.."

Cakka membuang handphone nya ke sembarang arah. Kaki nya ia ketuk-ketukkan di lantai. Lalu ia bersiul siul sembarang. "Kok berhenti?" Dilihatnya Sivia yang bingung sedang berfikir sesuatu. Handuk basah itu masih tetap berada di tangannya.

"Ha? Engga-engga."

Dia melupakan itu. Tak penting juga baginya untuk mengurusi hal ini. Ia lebih memilih diam dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Setelah itu ia akan berisitrahat penuh di kamarnya. Karena besok harus masuk kembali ke kewajiban lainnya, sekolah.


***


Matahari mulai menyembulkan sinarnya. Deru mesin kendaraan belum terlalu banyak menggema di jalanan itu. Pagi yang lumayan cerah. Langit biru membahana. Seakan tersenyum memandang apa yang sedang di pandangnya di dunia ini. Pagi ini adalah pagi yang bersahabat.

Mereka menurunkan kakinya dari sebuah mobil. Cakka, Sivia dan Ray. Mereka turun dari mobil itu. Pergi sekolah bersama karena Cakka memutuskan hari ini untuk membawa mobil ayahnya saja. Setelah melihat-lihat posisi parkir mobilnya, mereka berlalu.

Sivia merasa sudah lebih sehat hari ini. Kepalanya sudah tidak terlalu berat seperti kemarin. Hanya saja mungkin dirinya sedikit terkena flu akibat melawan hujan kemarin bersama Rio..

Rio? Ah, nama itu tiba-tiba menyeruak di kepalanya. Membangkitkan asa yang pernah terkubur. Sadar atau tidak, ia tersenyum. Tersenyum mengingat seseorang itu. Ia kembali membayangkan apa yang terjadi dengan dirinya dan Rio kemarin siang.

Senyum itu pudar seketika manakala Sivia merasa ada yang merengkuh tangannya lembut. Ia menoleh ke arah pemilik tangan itu. Cakka! Amazing! Refleks Sivia mendekatkan dirinya ke Cakka.

"Apa-apan nih?"

Sivia berbisik pelan di telinga Cakka. Tak ingin Ray yang di sebelah Cakka mengetahuinya. Ia merasa risih. Pacaran harus pegangan tangan ya? Wajib gitu? Kan cuman bohongan, fikirnya.

"Lo kan pacar gue sekarang. Ga inget perjanjian kita ya?"

Sivia mendengus kasar. Dilepasnya genggaman tangan itu dari Cakka. Matanya melotot. Ditatapnya Cakka dengan perasaan benci. Ia tak tahu mengapa Cakka harus bersikap seperti ini padanya.

"Cakka! Woy Kka!"

Seseorang memanggil Cakka dari kejauhan. Membuat pertengkaran kecil itu berakhir sejenak. Ray berpamitan untuk lebih dahulu pergi ke kelasnya. Ia terlalu sibuk dengan fikirannya sendiri sehingga tidak menyadari perkelahian itu. Mungkin waktunya ia memikirkan perasaan cintanya juga. Perasaan yang tumbuh secara tiba-tiba pada Acha. Yah Acha yang sudah memiliki Alvin sebagai kekasihnya.

"Alvin?"

Yah. Itulah sebabnya Ray pergi terlebih dahulu. Ia merasa tidak enak jika kalau-kalau dirinya tanpa sadar memandang sinis terhadap kakak kelasnya itu. Diam-diam ia menaruh perasaan iri pada Alvin. Iri karena Alvin menjadi pacar Acha.

"Kenapa Vin?" Tanya Cakka setelah Alvin sampai ke hadapannya.

"Engga. Gue cuman mau ngasih tau lo kalo ntar sore ada rapat basket. Takutnya gue lupa hehe."

Cakka mengangguk-anggukan kepalanya. "Oke! Oh iya, Gabriel udah di kasih tau?"

Alvin tersenyum keki. Nama itu bagai neraka sekarang baginya. Ia tak tahu apa setelah ini persahabatannya dengan Gabriel akan lanjut ataukah..? Ah dia benci.

"Belom kali. Gue gatau."

"Jutek amet lo? Wkaka."

"Biasa aja hehe. Oh iya Kka…"

Terjadilah obrolan kecil yang lumayan berentet antara Cakka dan Alvin. Pastinya hal ini menyangkut basket. Bukan masalah pribadi Alvin dengan Gabriel. Alvin terlalu tertutup untuk membicarakan masalahnya dengan orang lain. Sekali pun itu sahabatnya.

Sivia merasa pegal. Bagaimana tidak? Dirinya seperti tidak dianggap manusia disitu. Berdiri di samping Cakka sebagai figuran. Ia kesal. Mengapa dua manusia ini tidak mengobrol di kelas saja? Atau dimana ke yang lebih santai. Ini malah di koridor sekolah. Sivia merasa risih. Posisinya di sekolah ini adalah sebagai anak baru. Dan ia sadar, pasti anak-anak di sekolah itu berfikir tidak sewajarnya anak baru berdiri di antara Alvin dan Cakka yang ia tahu menjadi incaran banyak gadis di sini.

Sivia merasa bosan. Diedarkan padangannya mencari objek yang bisa ia deskripsikan di dalam otaknya agar ia tak merasa keki berdiri di sana. Pertama, tukang sapu halaman. Ia tertawa kecil jika mengingat Shilla menceritakan tukang sapu tersebut. Wajahnya yang mirip Narji Cagur membuat tukang sapu itu dipanggil Narjo. Diambil dari nama Narji dan Suparjo, nama aslinya.

Sivia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia mencari objek yang lain. Matanya kembali mengeliling, dilihatnya di pojok taman sepasang muda-mudi dengan pedenya memamerkan kemesraan. Sivia menghela nafas berat. Ia sedikit iri. Ah! Di lupakannya objek itu.

Sivia mencari objek lain lagi. Sampai pada saat kedua bola matanya berhenti pada satu objek yang membuatnya terpaku berdiri disana. Ia tercengang. Matanya terbelalak. Ia mencoba menjelaskan pandangannya.

"Kak Rio…?" bisiknya.

Ia terkejut. Laki-laki itu adalah laki-laki yang sama. Laki-laki yang merengkuhnya di tengah hujan kemarin. Nafasnya tercekat. Ia tidak pernah merasa mempunyai penyakit asma. Tapi mengapa ia sulit bernafas sekarang?

Hatinya tak karuan. Objek pandangannya salah. Ia tak ingin melihat ini. Ia belum siap. Ia belum siap menerima kenyataan pahit lagi.

Sepasang manusia turun dari mobilnya bersama.. Ah! Sivia sangat mengenali kedua orang itu. Ia merasa kalah telak. Dipandangnya kedua manusia itu dengan nada sendu. Gadis itu adalah saudara sepupunya yang sudah sejak lama mengagumi pangerannya. Dan yang membuat Sivia terhenyak adalah, tangan Ify bergelayut manja di lengan Rio. Dan Rio dengan senyum tulus terlukis di wajahnya sedang mengacak poni Ify sehingga sedikit berantakan. Ia tak kuasa melihat itu. Hatinya hancur. Ternyata Ify sudah benar-benar bersama dengan Rio sekarang.

"Jadi adik kelas yang cocok jadi Ketua Basket siapa nih, Kka?"

"Eh?"

Cakka tak menghiraukan pertanyaan Alvin barusan. Entah mengapa, ada sentuhan dingin yang meremas tangannya. Rengkuhan tangan itu sangat keras. Cakka melihat tangan kanannya. Lalu matanya beralih ke pemilik tangan yang tanpa izin memegang tangannya.

Sivia tak kuat. Ia ingin menangis. Tapi mana mungkin? Ini di sekolah. Dan ia masih punya rasa malu untuk menangis di depan umum. Ia memerlukan kekuatan agar segera keluar dari rasa sesak yang melandanya. Digenggamnya tangan itu. Entah milik siapa. Yang jelas, ia perlu bantuan orang lain untuk sekedar menumpahkan rasa sakitnya.

"Siv?"

Sivia masih memandangi objek itu berjalan di koridor seberang. Hatinya hancur berkeping-keping. Tak dikira, laki-laki yang kemarin bisa membuatnya damai, ternyata sekarang malah membuatnya hancur. Hancur. Ia tak tahan ingin menangis.

Cakka merasa bingung. Mengapa dengan tiba-tiba Sivia menggenggam tangannya? Bukannya tadi mereka bertengkar karena masalah genggaman tangan? Tapi mengapa ini..?

"Gue balik dulu deh Kka! Gue tunggu di kelas aja ya!"

Suara pamitan Alvin pun tak dihiraukan Cakka. Ia ingin mencari tahu apa yang terjadi. Kedua bola matanya mengikuti arah pandang Sivia. Ah! Terlalu banyak anak-anak disana! Siapa yang Sivia lihat? Sampai membuatnya seperti ini?

"Lo kenapa sih Siv?"

Suara Cakka akhirnya membuat Sivia berhenti untuk melihat pemandangan yang menyesakkan itu. Dialihkan pandangannya ke arah Cakka. Ia mendapati sosok Cakka yang sedang mengerutkan keningnya tanda penasaran.

"Lo nangis Siv?"

Cakka mendekatkan dirinya kepada Sivia. Mencoba memperhatikan pipi Sivia yang sedikit basah. Ada apa dengan Sivia? Rasa-rasanya baru kali ini ia melihat Sivia menangis secara langsung. Entah mengapa rasa peduli pada gadis di hadapannya ini tiba-tiba menyeruak begitu saja. Tanpa ada perintah.

"Engga. Gue ke kelas duluan aja deh ya."

Sivia sudah beranjak kalau saja genggaman tangan itu dilepas oleh Cakka. Tapi tidak. Cakka tidak ingin membiarkan Sivia pergi sebelum ia tahu apa yang membuat gadis itu seperti ini. Di tahannya tangan itu agar tidak pergi. Belum! Ia masih ingin bersama Sivia. Di dekatkan kembali dirinya. Matanya menatap tajam mata Sivia yang sudah cukup di genangi air.

Sivia membalas tatapan itu. Mata itu tulus. Ia bisa merasakan itu. Sudah dua minggu lebih ia mengenal Cakka tapi baru kali ini ia melihat mata Cakka yang begitu teduh.

Cakka merasakan desiran aneh itu lagi. Apa ini? Ia tak bisa mendeskripsikannya. Ia tak pernah merasakan ini sebelumnya. Mata Sivia membuat hatinya sejuk. Tak bisa ia gambarkan. Ia sendiri tak tahu pasti apa yang sedang dirasakannya.

Sivia merasa aneh terhadap sikap Cakka. Ia sadar, situasi ini tidak mengenakkan untuk dirinya. Dengan kekuatan seadanya ia melepas genggaman tangan Cakka yang lumayan kuat. Dan yak.. berhasil. Lalu dengan cepat berlari kecil meninggalkan Cakka yang masih terdiam. Aneh. Sungguh aneh. Ini bukan Cakka yang biasanya. Ah! Tapi Sivia hanya menganggap itu akal-akalan Cakka saja. Mungkin setelah ini kejahilan dari Cakka akan segera datang. Tunggu saja. Fikirnya.

Cakka seperti tersihir. Sosok Sivia sudah pergi meninggalkannya. Ia meremas kepalanya. Situasi yang salah! Mengapa ia begitu menampakkan perasaan itu?

"Gue kenapa sih ah!"

Ia berteriak seadanya. Ia sadar beberapa gadis yang mengincarnya sedang berdiri di sekitarnya. Dengan langkah gontai, ia berjalan pelan menuju kelasnya. Perasaan yang ia sendiri tak tahu apa , telah mengusiknya. Ia merasa terganggu. Dan sepertinya, ia tak bisa menguasai perasaan itu. Dan malah sebaliknya, perasaan itu lah yang menguasai dirinya sekarang.


***


Rio mengantar Ify sampai ke kelasnya. Pagi ini ia begitu senang. Ia yakin pasti akan bertemu Sivia hari ini. Dari tadi pagi ia bersikap ramah pada semua orang yang menegurnya. Aneh memang. Namun tak bisa dipungkiri, sikap manisnya kepada Ify hanya mewakili perasaan senangnya pada Sivia. Ia terlalu senang sehingga ia tak tahu bahwa Ify sudah terlalu jauh mencintainya. Dan itu salah. Namun apa pedulinya? Yang terlintas di benaknya setiap detik hanyalah Sivia. Bukan gadis lain. Jahat memang.

"Makasih ya kak. Aku masuk dulu."

Ify tersenyum lalu dengan genitnya mencubit lengan Rio manja. Rio sempat meringis lalu membalas senyum manis Ify. Setelah dirinya sudah memastikan Ify masuk ke kelas, ia pergi. Pergi meninggalkan Ify? Mungkin. Ia ingin mencari kelas Sivia. Pada saat melewati koridor tadi, ia sengaja berhenti di mading untuk melihat daftar absen yang sudah pasti ada nama Sivia tertera disana.

"11 ipa 2 dimana ya?" gumamnya sambil berlari kecil mencari-cari kelas itu.
"Nah! Dapet juga."

Ia berdiri di depan pintu kelas yang tertutup itu. Ia ingin melihat wajah manis Sivia pagi ini. Sebagai pembangkit semangatnya. Ia tak sabar. Dibukanya kenop pintu itu. Lalu ia menyembulkan sedikit kepalanya. Matanya mengeliling mencari sosok itu.

"Kak Rio?"

Sebuah suara memaksanya untuk menarik kembali kepalanya keluar dari kelas itu. Dilihatnya gadis yang baru saja menepuk pundaknya.

"Shilla?"

"Hehe sorry. Kaget ya kak?"

"Hah? Engga kok."

"Nyari siapa kak? Tumben ke kelas sini."

Rio menggaruk belakang telinganya yang sama sekali tidak gatal. Ia mencoba mencari sesuatu alasan yang tepat. Tapi apa?

"Engg. Sivia di kelas sini kan Shill?"

"Iya sih. Tapi kok..?"

Shilla mengerutkan keningnya. Bagaimana tidak? Rio seperti sibuk mencari sesuatu dan ternyata objek yang dicarinya adalah Sivia? Apa hubungannya ini?

"Eh? Jangan salah sangka dulu Shil." Rio memotong fikiran Shilla. Seakan-akan ia mengerti arah jalan fikiran Shilla. "Sebagai ketua OSIS kan gue harus tau siapa-siapa aja yang jadi anak baru di sekolah ini. Makanya gue lagi nyari yang namanya Sivia."

Shilla menangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti. Namun tak sepenuhnya ia pahami penjelasan Rio ini. Memang benar Rio adalah ketua OSIS. Tapi apa ia tugasnya adalah mencari tahu anak-anak baru yang sekolah di SMA ini? Ia baru tahu..

"Belum dateng mungkin Kak. Kayanya telat."

Rio mengangguk tanda kecewa. Setelah cukup informasi, ia berjalan meninggalkan Shilla dengan senyuman yang sempat ia perlihatkan.

Shilla hanya mengangkat kedua bahunya tanda tak mengerti. Toh ini juga bukan urusannya. Fikirnya.

Di tengah perjalanan menuju kelasnya, Rio bergumam sendiri sambil menyimpulkan argumennya. "Sivia belum dateng ya? Terus dia kemana?"

Rio bertanya kepada angin. Ia sedikit kecewa tidak dapat bertemu sosok itu pagi ini. Riuh suara gemuruh anak-anak memaksanya untuk cepat berlari ke kelasnya. Ia tak ingin dimintai tanda tangan oleh adik-adik kelasnya yang kagum padanya. Ia ingin memikirkan Sivia dahulu. Tak ada yang lain. Hanya Sivia. Tapi kemana Sivia?


***


Sivia berjalan menyusuri koridor itu. Terngiang jelas sosok Ify dan Rio di kepalanya. memang sudah hampir setahun dia dan Ify tidak bertatap muka langsung, namun tak di pungkiri, wajah Ify terngiang setiap malam jika dirinya bermimpi atau mengkhayal tentang Rio.

Ia tak tahu ternyata Ify benar-benar sudah mendapatkan Rio. Usaha yang membuahkan hasil. Tak sia-sia dirinya pergi dari Rio. Karena memang niatnya untuk membuat Ify bahagia. Sekarang? Ify sudah sangat terlihat bahagia. Lalu? Mengapa dia bersedih? Bukan kah jika Ify bahagia, dia juga akan bahagia? Tidak! Dia munafik. Dia juga ingin memiliki Rio lagi. Namun? Apa bisa? Ah! Tidak! Dia tidak boleh sejahat itu. Bagaimanapun juga dia harus membahagiakan orang yang disayanginya bahagia. Biarlah dia yang sakit. Tuhan pasti tau apa yang terbaik untuknya.

"BRUKK!!"

Ah sial! Karena tidak melihat jalan dan terus menunduk, naas nya Sivia menabrak seseorang yang lebih tinggi dari dirinya.

"Sivia?" tegurnya.

Sivia mengangkat kepalanya. Sambil mengelus kepalanya yang terhantup dada anak itu, dilihatnya wajah laki-laki hitam manis sedang berdiri di hadapannya.

"Eh?"

"Ikut gue sekarang!"

Tanpa berkomentar sedikit pun, Sivia rela ditarik tangannya secara paksa oleh anak itu. Mungkin ini saat yang tepat, fikirnya..


***


Gaje ya? Gaje? Emang! Maafkan saya (lagi) :( gak puas ya? iya? Emang! Maafkan saya maaaaaafff:( part ini begitu memuakkan ya? adegan caksiv ga nendang ya? maaaf banget nget nget:( saya lagi banyak tugas sekolah dan keperluan lainnya jadi ga terlalu focus buat CK maaf kan sayaaaaaa:(

Anyway like dan comment nya tetap saya tunggu:O kalau masih ada sih.. saya ga kaget kalau tiba2 ada pembaca CK yang pergi bersama angin(?) ini semua karena kesalahan saya. Dan untuk itu, saya memutuskan untuk absen CK sampai lebaran:O maafkan saya maafkan:'(

Cerbung ini juga bisa dilihat di resaechaa.blogspot.com
Follow me @Resaechaa


Tidak ada komentar: