Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Senin, 19 September 2011

"JIKA ACHA DAN OZY JATUH CINTA" PART 10

PART 10 : WAKIL KETUA OSIS = SAINGAN?

Nyaris seminggu sudah berlalu, baik Ozy maupun Acha tidak berani untuk saling menyapa duluan. Acha seringkali lebih memilih memutar daripada harus melewati kelasnya Ozy. Bahkan terkadang dia lebih memilih untuk menghabiskan waktu di perpustakaan, daripada ke kantin, karena untuk menuju kantin, jalan terdekat adalah melewati kelas XI-IPA2. Seperti Kamis siang yang gerah ini, Acha memilih untuk mengerjakan tugas dari Bu Rahmi di perpustakaan. Untunglah Nova mau menemaninya, meskipun keluhan Nova yang kepanasan terus terdengar.

“Dooohh… Panas banget sih ni ruangan. Cha, kipas anginnya gua nyalain ya?” Nova beranjak mendekati tombol di dinding untuk menyalakan kipas angin di atas meja yang mereka tempati.

“Nov! Jangan Nov! Nanti kertasnya…”, Acha belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Nova memencet tombol ON. Kipas angin di atas meja itupun langsung berputar kencang, menerbangkan selembar kertas milik Acha keluar jendela perpustakaan yang terbuka lebar.

“Yah… Tuh kaaannn…” keluh Acha sambil berdiri.

“Eh, sorri Cha! Sini, biar gua ambilin!” Nova langsung merasa bersalah, dan bergegas ikut menyusul Acha yang tengah beranjak ke luar perpus. Tapi belum sempat mereka keluar, langkah mereka sudah dicegat seorang cowok berkulit hitam manis.

“Um, Nova? Bisa ngomong bentar ga? Berdua aja, kalo bisa…” kata Patton sambil menatap Nova.

“Hah? Eh,aku mau…” Nova gelagapan. Dia menoleh ke arah Acha dengan perasaan tidak enak.

“Udah, gapapa Nov. Gua ambil sendiri aja…” kata Acha tersenyum menenangkan.
Nova menghembuskan nafas lega, dan mengikuti Patton untuk duduk di salah satu kursi yang ada.
Acha keluar dan memutari dinding, menuju halaman belakang perpustakaan. Disana, selembar kertas nampak tergeletak di sisi kiri pagar tanaman. Di sisi kanan pagar tanaman itu, halaman rumput yang hijau membentang sampai batas pagar sekolah. Sekitar dua meter dari pagar tanaman pembatas itu sebatang pohon rindang berdiri tegak.
Acha melangkah mendekati kertas itu, membungkuk untuk memungutnya.

“Untung gak ilang,” gumam Acha perlahan. Sambil berdiri dia menoleh ke arah pohon itu, dan refleks langsung berjongkok.
Ada Ozy sedang duduk sendirian di bawah pohon itu!
Acha merasakan aliran darahnya semakin deras. Dari balik sela-sela pagar tanaman itu, Acha mengintip ke arah Ozy. Ozy sedang duduk berselonjor. Matanya terlihat jauh menerawang. Untuk bernafas pun Acha rasanya tidak sanggup. Tuhan, kenapa menentukan sikap di depan anak ini begitu sulit, batin Acha berteriak…

Ozy memandangi bentangan rumput di hadapannya, yang berbatas sebuah kolam kecil. Hijau. Seperti warna daun. Hijau daun. Ozy tersenyum kecil mengingat kejadian CD Hijau Daun beberapa minggu yang lalu. Wajah Acha terbayang kembali. Ozy mengambil kerikil kecil di sampingnya, dan melemparkannya ke kolam kecil itu. Dia menghela nafas. Seandainya saja kegundahannya itu bisa dibuang dengan mudah seperti halnya kerikil kecil itu. Tak sadar, Ozy bernyanyi pelan, menyuarakan hati lewat barisan kata…

Biarkan aku jatuh cinta…
Terpesona ku pada pandangan saat jumpa…
Biarkan aku kan mencoba…
Tak peduli kau berkata tuk mau atau tidak…

Suara lirih Ozy membuat Acha tercenung. Dia tidak pernah suka lagu-lagu berirama Pop Melayu. Tapi entah kenapa, lagu itu terasa berbeda. Jauh berbeda. Lagu itu terasa lebih berbicara, dalam dan menyentuh hati…

“Gila, kirain anak itu cuma jago di lapangan bola doang. Ternyata suaranya keren juga…” bisikan lirih di samping Acha membuat Acha nyaris meloncat.

“Zev? Ngapain elo disini?” Acha berbisik dengan suara nyaris tercekik.
Zevana yang sedang berjongkok di sebelah Acha menekankan telunjuk di bibirnya sendiri.

“Sssttt! Ntar ketahuan!” bisik Zevana dengan nada tegas.
Acha mengangguk cepat. Zevana memang punya aura seorang pemimpin. Orang cenderung langsung menuruti apapun perintah yang keluar dari mulutnya.
Mereka berdua kembali memandangi Ozy yang masih asyik bersenandung pelan. Sekarang lagu ‘Suara’ dari Hijau Daun yang dia senandungkan.

“Hmm… Kalo soal senyumnya sih gua udah sering denger dari kehebohan anak-anak kelas X kalo lagi ngomongin Ozy. Tapi kalo soal suaranya, gua baru denger sekarang…” bisik Zevana.
Acha hanya mengangguk.

“Filing gua memang tepat… Dia memang udah jadi salah satu target gua…” bisik Zevana lagi tanpa mengalihkan pandangan dari Ozy. Acha menoleh cepat. Wajahnya memucat. Apa? Ozy itu targetnya Zevana? ZEVANA? Zevana yang wakil ketua OSIS itu??? Acha menunduk, berharap tanah di bawahnya membuka dan menelannya saat itu juga. Sikap dingin Ozy kemarin padanya sudah cukup membuat Acha terluka. Dan pengakuan Zevana seakan membuat luka itu ditaburi cuka, garam, lalu dijadikan asinan . Pedih.
Acha meneguk ludah.

“Hmmm… Kayaknya gua mesti ngomong sekarang. Semoga aja dia gak nolak…” bisik Zevana mantap. Dia langsung berdiri, dan melangkah mendekati Ozy.
Acha perlahan meninggalkan tempat itu. Meninggalkan tempat itu dalam keadaan berjongkok saja sudah cukup sulit, apalagi ditambah perasaan Acha yang tidak karuan. Bagaikan mimpi, Acha tiba-tiba sudah berdiri di depan perpustakaan, dimana Nova sudah menunggunya.

“Acha? Lo baik-baik aja? Pucet banget muka elooooo….”
Acha mengangguk. Berusaha tersenyum.

“Gua? Gua baik-baik aja kok. Si Patton ngomongin apa sama elo?”
Mata Nova bersinar-sinar.

“Oh! Yang tadi? Tadi Patton ngomong ke gua kalo…” belum sempat Nova menyelesaikan kalimatnya, dengan mata membelalak Nova menutupkan tangan ke mulutnya sendiri.

“Cha, sorry… Gua ga bisa ngomong ke elo. Yah, paling nggak, nggak bisa sekarang…” dengan wajah bersalah Nova menatap Acha, “Kata Patton, jangan sampai orang lain tahu dulu…”
Acha menatap Nova penuh selidik. Nova memang tidak pernah mengaku secara langsung pada Acha. Tapi Acha tahu, ada nada lain di suara Nova kalau dia sedang membicarakan Patton. Hmmm… Sepertinya ada sesuatu yang mereka berdua sembunyikan…
Acha mengangkat bahu, lalu menggandeng tangan Nova untuk kembali menuju kelasnya. Acha berharap, rumus-rumus Fisika dari Bu Winda bisa membuatnya melupakan kejadian di belakang perpustakaan tadi…

***

Utami Irawati
PS Kimia FMIPA Unlam
>+62-81351396681
utami_irawati@yahoo.co.uk
@utamiirawati

"JIKA ACHA DAN OZY JATUH CINTA" PART 9

PART 9 : HILANGNYA SENYUMAN SANG MALAIKAT

Nova mengguncang-guncang bahu Acha dengan wajah bersinar-sinar.

“YA AMPUUUUNNN…!!! Kayak cerita-cerita di sinetron Koreaaa tau ga siiihhh…”

“Nova ah! Sakit tau!”, Acha menepiskan tangan Nova dari bahunya. “Jadi nyesel gua cerita sama elo…” sambung Acha lagi, merengut, walaupun dalam hatinya dia tersenyum senang.

“Terus, elo cerita sama siapa coba kalo bukan sama gua? Sama Kak Rio? Nggak mungkin kaaannn… Duh, ternyata ya, anak itu ga cuma jagoan di lapangan bola doang, bahasa Inggrisnya juga cihui banget dong ya pastinya!!!”
Acha memukul pundak Nova dengan penggaris sambil melotot. Untunglah kelas masih sepi, belum banyak yang datang di pagi itu.

“Ya ampun Chaaa!!!… Lo kok baru cerita ke gua sekaraaang… Lo mestinya begitu nyampe ke rumah pas hari kejadian itu langsung telpon-telpon gua buat laporaaaan.. Gua kan koordinator misi OCHA iniii…”
Acha melengos.

“Nov, lo sadar ga kalo elo tuh punya kecenderungan untuk menggunakan huruf vokal secara berlebihan di akhir kalimat?”

“Biarin! Yang penting kejadian kemaren harus ada follow up nya!”

“Follow up apaan?” kata Deva yang tiba-tiba sudah muncul di belakang Nova.

“Heh! Rese deh lo! Ga usah ikut-ikutan diskusinya cewek!” sahut Nova dengan kesal, mengibas-ngibaskan bukunya untuk mengusir Deva. Deva justru langsung menyambar buku itu dari Nova, dan tersenyum senang begitu melihat isi buku itu.

“PR Bahasa Indonesia buat hari ini kan nih? Sip lah! Aman deh gua dari Pak Ony” kata Deva sambil membuka-buka buku Nova.

“Dev, lo pasti merasa beruntung banget ya sekelas sama kita? PR lo kayaknya sepanjang semester ini terjamin terus?” Nova menyindir Deva .

“Eh, jangan salah Nov. Tadi malam juga gua udah niat mau ngerjain PR ini, tapi gara-gara latihan sepak bola itu, gua terkapar. Debo lagi galak aja pas latihan kemaren. Apalagi ngeliat si Ozy”

“Ozy yang anak kelas sebelah itu? Emangnya kenapa Dev?” sambar Nova, melihat kesempatan untuk memperoleh info terbaru.

“Tauk tuh si Ozy. Maennya kayak ga konsen. Gawang dimanaaa… Dia larinya kemana… Ya jelas lah si Kapten Debo ngamuk-ngamuk. Padahal kan Ozy itu posisinya striker. Kok ya kayak ga liat bola itu ditendang kemana, Ozy malah ngacirnya kemana…” Deva menggeleng-gelengkan kepala saat menjawab sambil berjalan menuju mejanya sendiri. Nova sempat berdiri, ingin mengejar Deva, tapi ditahan oleh Acha.

“Udah Nov. Ntar aja. Nanti malah Deva curiga…” bisik Acha pada Nova.
Nova mengangkat bahu, dan duduk kembali. Dengan cepat dia sudah menemukan topik pembicaraan lain dengan Acha. Acha hanya setengah mendengarkan rentetan kata-kata dari Nova. Benaknya bertanya lagi, dirinya kah yang membuat Ozy kehilangan konsentrasi?

***

Begitu bel istirahat berdering, Nova meloncat berdiri.

“Ayo Cha! Lo sekarang kan udah punya alasan!”

“Alasan apaan? Alasan buat ga ngerjain PR Bahasa Inggrisnya Bu Ucy?”

“Enggak”, Nova menepuk pipi Acha dengan gemas. “Alasan buat ke kelas sebelah
Achaaaa…”
Nova menarik tangan Acha, dan beberapa detik kemudian, mereka berdua sudah berdiri di depan pintu kelas XI-IPA2. Entah misi OCHA mereka direstui Tuhan, atau hanya kebetulan belaka, kelas itu sudah kosong. Hanya tersisa seorang cowok berambut ikal yang sedang duduk di baris ketiga, deret kedua dari depan. Cowok itu terlihat tekun menunduk ke tabloid olahraga yang terpentang di mejanya. Acha merasa aliran darahnya menjadi begitu deras.
Nova mendorong punggung Acha.

“Lo masuk sendiri aja, gua ngintip dari sini. Inget, bilang aja lo pengen pinjem novel Percy Jackson nya dia. Oke? Gudlak beibeh…” ujar Nova dengan cepat, kemudian mendorong Acha lebih keras lagi.
Detik berikutnya, Acha sudah berdiri di dalam kelas itu. Acha merasa kedua kakinya terbuat dari karet saat dia memaksakan diri melangkah menuju meja yang ditempati Ozy. Ini dia… Acha menarik nafas, dan menghitung pelan-pelan dalam hati.. Satu… Dua..

“Ozy…”
Ozy mengangkat wajah, dan terperangah. Sepintas dia menatap langit-langit kelas, berucap dalam hati “Terima kasih Tuhan!” dan langsung memandang Acha kembali.

“Ya Cha?”

“Emm… Lo ga istirahat? Asyik amat bacanya?”

“Eh, iya… Tabloid ini dipinjemin sama… Obiet…” begitu melihat kembali tabloid di mejanya, Ozy langsung merasa lesu kembali. Mau tidak mau, Ozy teringat kembali pada niat Obiet yang diungkapkannya beberapa hari yang lalu. Ozy menghela nafas panjang. Saat-saat penuh tawa yang pernah dijalani Ozy bersama Obiet sebagai sahabat seakan menggedor-gedor pikiran Ozy. Haruskah dia mengorbankan masa-masa persahabatan itu hanya demi seorang gadis?

“Umm… Zy?”

“Ya?” sahut Ozy singkat. Semakin singkat percakapannya dengan Acha, semakin kecil rasa bersalah yang harus dia tanggung di hadapan Obiet. Senyum Ozy sudah hilang dari bibirnya.

“Soal novel Percy Jackson yang kemaren… Gua jadinya boleh pinjem ga?”
Ozy hanya mengangguk. Menunduk memandangi tabloid itu kembali, walaupun huruf-huruf di tabloid itu seperti beterbangan kesana kemari.

“Mau yang nomer berapa dulu?” kata Ozy, tidak mengalihkan pandangan dari tabloid itu.

“Yang nomer 1 dan 2 aja dulu. Aku penasaran pengen baca versi aslinya…”

“Oh. Ya udah. Besok aku bawain. Atau mau kutitipin ke Kak Rio aja lewat Kak Iyel?”

“Nggak usah dititipin deh. Kalo ga ngerepotin, tolong bawain aja besok.”

“Oke…”, Ozy melipat tabloid yang tadi dibacanya, memandangi wajah Acha.

“Ada lagi Cha?”
Acha menggeleng. Ozy memaksakan sebuah senyum. Senyum yang terbebani ingatan Ozy akan niat Obiet.
Acha menatap Ozy dengan kecewa. Mata Ozy terlihat kosong, tak ada tawa yang biasanya tersimpan di mata itu. Jangankan matanya, senyum tipis itu pun tak terlihat seperti senyum Ozy yang biasa. Hanya sekedar tarikan kedua ujung bibir Ozy. Tak ada senyuman malaikat Ozy yang tadi malam terselip dalam tidur Acha.

“Ya udah deh Zy, gua balik dulu. Nova nungguin gua.” kata Acha. Ozy mengangguk lagi.
Acha berbalik, melangkah keluar kelas sambil menahan gundah.
Baru beberapa langkah, Acha mendengar suara lirih Ozy memanggilnya.

“Acha!”
Acha berbalik kembali. Ozy tersenyum, masih tipis, tapi dengan mata bersinar.

“Pita di rambut kamu bagus…” kata Ozy.
Acha tidak menjawab, hanya berbalik cepat, dan berlari menuju Nova yang menunggunya di luar. Hatinya semakin tidak karuan.
Ozy menghela nafas panjang, kemudian menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya. Dia menyesal tidak mampu menahan diri untuk berkomentar tentang pita ungu Acha. Sebuah suara yang dikenalnya baik membuat Ozy mengangkat wajah.

“Zy, kamu kenapa? Sakit?” Obiet memandang wajah Ozy dengan heran, “Gak biasanya elo murung kayak gini. Kata Deva juga kemaren waktu latihan elo jelek banget maennya”.
Ozy menggeleng. Berusaha tersenyum.
Obiet menyodorkan minuman kotak dan sepotong roti pada Ozy.

“Gua tahu lo tadi ga ke kantin. Daripada gua repot kalo mesti bopong elo ke UKS gara-gara elo pingsan kelaparan, mending gua beliin ini buat elo” kata Obiet.

“Thanks…” jawab Ozy sambil meraih isi tangan Obiet. Dan pikirannya semakin rusuh. Sungguh tidak mungkin dia mengorbankan sahabatnya ini hanya demi seorang bidadari kan? Saat ini, sepertinya pilihan untuk melupakan Acha terasa lebih masuk akal. Meskipun terasa perih.

***

“Cha, gua jelasin nih ya. Si cowok-dengan-senyuman-bagai-malaikat-jatuh-dari-langit itu tadi SALTING abis, makanya sikapnya jadi aneh gitu ke elo!” Nova menjelaskan dengan berapi-api. Tiga sendok sambal yang Nova tambahkan ke dalam mangkuk baksonya sepertinya menjadi sumber utama energi Nova untuk menganalisis kejadian barusan.
Acha memijit kening dengan jari-jari tangannya. Semuanya terasa begitu aneh baginya. Kejadian kaleng-minuman-dingin kemaren seakan seperti dongeng dibandingkan sikap dingin Ozy padanya tadi.

“Ga tau gua deh Nov. Pokoknya dia beda banget ajah…” kata Acha putus asa.

“Sudah gua bilangin. Dia itu gugup. Salting. Lo tau salting kan? Salah tingkah! Dia pasti gelagapan melihat ada peri cantik tiba-tiba berdiri di hadapannya” Nova masih tidak mau menyerah.

“Tapi tadi dia kayak pengen menghindar gitu deh.” Acha menyeruput isi botol minuman di sampingnya., kemudian menyodok-nyodok isi mangkuk di depannya dengan lesu. Saat ini pempek itu terlihat tidak menarik sama sekali di matanya.

“Lho, tapi buktinya tadi dia sempet muji elo Chaaa!!!!” Nova membelalakkan mata.
Acha nyaris tersenyum mengingat kalimat terakhir Ozy padanya. Nyaris. Tapi begitu dia ingat kembali tatapan mata Ozy yang kosong beberapa menit yang lalu, senyum itu tak sempat menghias wajah Acha.

“Kayaknya gua ke GR an aja deh Nov....” kata Acha, menyingkirkan mangkuk pempek dari depan dirinya. Nova menatap sahabatnya dengan sedih. Terakhir kali dia melihat Acha putus asa seperti ini adalah waktu Acha kebingungan memikirkan perintah-perintah ajaib dari senior waktu saat MOS tahun lalu . Nova menepuk pelan bahu Acha.

“Yah Cha, kalau jodoh gak bakal kemana…” ujar Nova pelan.
Acha menggelengkan kepala kuat-kuat. Berusaha membuang bayangan Ozy dari pikirannya. Sekali lagi dia menghembuskan nafas panjang. Soal-soal trigonometrinya Pak Duta jadi terasa jauh lebih mudah dibandingkan melupakan Ozy…

***

Utami Irawati
PS Kimia FMIPA Unlam
>+62-81351396681
utami_irawati@yahoo.co.uk
@utamiirawati

"JIKA ACHA DAN OZY JATUH CINTA" PART 8

PART 8 : RENCANA DOUBLE DATE RIO?


Acha membuka pintu rumah, dan terkesiap melihat sosok yang berdiri di depan pintu rumahnya. Gabriel tersenyum, “Rio ada Cha?”.
Acha minggir, memberi jalan agar Gabriel bisa lewat. “Di kamarnya Kak. Langsung naik aja…”.

“Thanks…” Gabriel melangkah ringan, menaiki tangga. Acha berjalan pelan mengiringinya dari belakang, ketika tiba-tiba Gabriel berhenti menaiki tangga dan menoleh ke arah Acha.

“Cha, lo kelas XI apa sih? XI-IPA kan ya?”

“Aku? XI-IPA1 Kak…”

“Oh, jadi ga sekelas sama adek gua ya?”
Acha berharap setengah mati supaya wajahnya tetap datar.

“Ummm… Adiknya Kak Gabriel yang mana ya?”

“Lho, kamu ga kenal ya? Namanya Ozy. Dia kelas XI-IPA2.”

“Wah, mungkin kalau liat mukanya aku tahu. Tapi kayaknya aku sering denger kok nama itu…” Acha berusaha menyembunyikan debaran jantungnya.
Gabriel tersenyum. “Iya, dia kan di sepak bola. Tim inti, jadi kalo sekolah kita tanding, pasti dia yang dikirim. Sebenernya sih gua pernah nawarin dia ikut band sekolah aja buat ekskul, tapi dia bilang lebih milih bola. Aku sih ga maksa, yang penting apapun pilihan dia, dia serius ngejalaninnya.” Suara Gabriel terdengar bangga ketika menjelaskan adik satu-satunya itu.
Acha tidak tahu mesti menjawab bagaimana, maka dia cuma mengangguk.

“Um, kamu pernah denger ada gosip apaaa… gitu yang beredar di kalangan anak-anak kelas XI soal Ozy?”
Acha menggeleng keras. “Gosip apaan Kak?” ujarnya ingin tahu.
Gabriel mengangkat bahu.

“Justru gua pengen tahu Cha. Soalnya udah hampir dua minggu ini kelakuan Ozy di rumah agak aneh. Biasanya dia deket banget ke gua. Tapi kali ini dia ga ada cerita apa-apa. Makanya gua pengen tahu, sebenernya ada apa. Akhir-akhir ini keliatannya ada sesuatu yang lagi dia pikirkan” jelas Gabriel.


“Oh.”

“Ya udah deh kalo kamu ga tahu. Aku ke kamar Rio dulu ya…” sambung Gabriel sambil melangkah menuju kamar Rio.
Acha mengangguk. Dia menghela nafas memandang punggung Gabriel yang menghilang di balik pintu kamar Rio. Acha masuk ke kamarnya sendiri, mengambil sebuah album foto berwarna ungu, membuka lembaran terakhir, dimana sebuah foto tertempel rapi. Sambil memikirkan cerita Gabriel tadi, batinnya berbisik, “Ozy banyak pikiran? Apakah salah satunya tentang aku?”.

***

Rio menoleh ke arah pintu yang membuka. Gabriel masuk, dan langsung duduk bersila di samping tempat tidur Rio. Dia merogoh ranselnya, mengeluarkan sebuah kalkulator dan menyodorkannya pada Rio.

“Nih, udah lama banget kebawa gua mulu…”
Rio menyambut uluran itu “Iya nih lo, untung Acha juga punya…”
Gabriel sudah beralih topik.

“Rio, gua mau ngomong…”

“Emangnya dari tadi lu ngapain sama gua, gali sumur?”

“Eh, gua serius Yo…”
Rio tidak menjawab. Dia hanya memandang Gabriel dengan tatapan bertanya.

“Rio, lo Sabtu minggu depan pergi bareng sama gua dan Ify ya…”

“Ogah. Kalo nyari obat nyamuk, bawa aja sendiri. Di warung depan ada tuh yang jual” Rio menyahut dengan sewot.

“Eh, lo ntar ga sendirian kok…”

“Sama siapa? Sama si Acha? Kalo gua mau pergi berdua adek gua sendiri, ga usah berombongan bareng lo sama Ify kali Yan…”

“Dengerin dulu nape? Kemaren gua sama Ify ngomongin elo Yo. Kita berasa gimanaaa gitu ngeliat sampe kita udah pada mau lulus gini, elo masih aja ber single fighter ria. Miris banget liatnya. Gua aja sebagai sahabat elo, berasa ironis banget membandingkan lo yang kalo Sabtu malem paling pol latihan basket doang, dengan gua yang udah hampir dua tahun ini sama Ify”

“Gua fine-fine aja kok…” Rio menukas, mengambil gitar di samping tempat tidur dan mulai memetiknya.

“Gua belum selesai ngomong Yo… Jadi, ini sebenernya idenya Ify sih… Kita besok mau ngenalin elo sama sepupunya Ify. Dia anak kelas XI sih, tapi beda sekolah dari kita. Yah, siapa tau lo berdua cocok…”

“Iya kalo cocok, kalo enggak?” balas Rio, masih dengan nada agak kesal.

“Lo kan belum liat orangnya, gimana mau bilang cocok atau enggak?”
Rio tidak menjawab. Gabriel berdiri, dan menepuk bahu Rio.

“Jadi oke ya Yo? Sabtu minggu depan jam 3 gua jemput elo. Tapi lo bawa motor sendiri lho ya, gua kan boncengin Ify…”

“Terserah deh…”
Gabriel tersenyum senang. Paling tidak dia tidak perlu repot-repot menjelaskan pada Ify. Tinggal bilang bahwa Rio bersedia. Seandainya saja Rio menolak rencana Ify ini, pasti Gabriel gelabakan sendiri untuk menjelaskannya pada Ify.

“Sip! Gua balik dulu Yo… Tadi udah mendung. Ntar keburu gerimis…”

“Sonooooo…”
Gabriel melangkah keluar, menutup pintu perlahan. Rio menghela nafas, meletakkan gitar ke sampingnya, dan berdiri. Rio melangkah menuju jendela, menatap kaca jendela. Dalam hati dia kembali merutuki dirinya. Ngapain juga dia mau ikut-ikutan double date sialan ini? Rio sudah bisa menduga, kalo ini semua pasti ide Ify. Gabriel tidak pernah rese merecoki kehidupan pribadinya. Rio cuma tidak tega membayangkan Gabriel yang harus menenangkan Ify yang kemungkinan besar akan melancarkan aksi ngambek kalau rencananya ditolak Rio mentah-mentah. Rio menggelengkan kepala sekali lagi. “Sekali ini saja cukup”, pikir Rio. “Yang penting gua ketemu sama sepupunya Ify, Ify seneng, dan Gabriel aman dari omelan Ify, meskipun akhirnya gua ga cocok, itu sudah beda cerita lagi…”.
Rio melipat tangan. Memandangi butiran gerimis yang mulai membasahi kaca jendela. Butiran gerimis yang bening. Mengingatkan Rio pada bening mata Sivia…

***

Utami Irawati
PS Kimia FMIPA Unlam
>+62-81351396681
utami_irawati@yahoo.co.uk
@utamiirawati

Senin, 05 September 2011

"JIKA ACHA DAN OZY JATUH CINTA" PART 7


PART 7 : EPISODE SEBUAH KALENG MINUMAN DINGIN

Selasa siang yang panas. Sungguh tidak sesuai dengan suasana bulan Februari yang seharusnya masih bernuansa musim hujan. Halaman sekolah sudah tak berpenghuni, selain helaian-helaian daun jatuh yang menguning. Acha mengeluh, dan menyandarkan kepalanya ke tiang di sebelah bangku panjang yang dia duduki. Handphone di tangannya tak kunjung berdering, padahal sudah setengah jam Acha duduk di depan kelasnya. Rio sepertinya tadi terburu-buru waktu bilang bahwa dia perlu mengurus sesuatu sebentar bersama Patton. Acha menghembuskan nafas keras-keras.

“Duh Gusti… Paringono sabar…” bisik Acha, menirukan neneknya kalau merasa kelakuan cucu-cucunya sudah di luar batas kewajaran.

***

Ozy menghapus keringat yang mengumpul di keningnya. Selesai sudah. Dia baru saja memperbaiki printer di ruang guru yang tadinya ngadat. Sebenarnya kerusakan printer itu tidak serius. Hanya ada beberapa setting yang harus diubah.

“Bisa Zy?” tanya Pak Duta, tubuh Pak Duta yang jangkung tiba-tiba saja sudah
muncul di belakangnya.

“Bisa kok Pak”, Ozy menunjukkan hasil pekerjaannya. Pak Duta mengangguk puas.

“Bagus deh. Makasih ya Zy… Sorri lho, kamu sampai telat banget gini pulangnya” kata Pak Duta sambil menoleh memandangi jam dinding.

“Nggak apa-apa Pak. Saya senang kok bisa bantu”, jawab Ozy. Dan dia tidak bohong. Apalagi dia menyukai Pak Duta. Matematika memang seringkali bertengger dalam tiga mata pelajaran yang paling tidak disukai siswa, tapi Ozy menyukai pelajaran itu. Selain itu, meskipun Pak Duta sering kali terdengar melontarkan komentar dan kritikan yang tajam terhadap seorang siswa, Ozy merasa semua kritik itu sebenarnya bertujuan sama, agar sang murid bisa lebih memperbaiki diri.

“Saya pulang dulu Pak”, kata Ozy sambil mencangklong ranselnya.

“Ya, silakan… Ati-ati ya Zy…” sahut Pak Duta. “Oh iya Zy, ini buat kamu. Kamu udah keringetan banget gitu” kata Pak Duta sambil menyerahkan sekaleng minuman dingin rasa jeruk yang baru dia keluarkan dari kulkas di ruang guru.
Ozy tersenyum senang, menerima kaleng tersebut dan memasukkannya ke dalam tas.

“Wah, makasih banyak Pak…”.
Pak Duta mengangguk sambil tersenyum.
Ozy melangkah keluar ruang guru dan menyusuri koridor dengan langkah santai. Setelah beberapa puluh langkah, jantungnya berdegup kencang. Dia yakin, meskipun tak terlihat, pasti ada pelangi di sekitar sini. Kalau tidak, bagaimana caranya si bidadari cantik yang tengah menunduk itu turun dari surga, dan duduk hanya dua meter dari tempatnya berdiri sekarang? Ozy mengucap doa dalam hati, sekedar untuk menutupi detakan jantung yang seakan-akan sedang menjadi peserta MotoGP, dan membuka mulut.

“Belum pulang Cha?”
Acha mengangkat wajah. Dan tiba-tiba merasa matahari berkurang kegarangannya. Acha sempat berpikir, mungkin di surga sedang terjadi keributan, karena salah satu malaikatnya hilang dari surga, dan tengah berdiri di depannya. Malaikat itu sekarang sedang tersenyum, menatapnya.
Acha menggeleng lemah. Siapa yang sanggup berkata-kata kalau disenyumin semacam itu sama Ozy?

“Belum. Kak Rio masih ada urusan katanya.” Acha berhasil menenangkan dirinya untuk menjawab

“Terus? Kamu pulang sendiri ya?” Ozy diam-diam berharap bisa menawarkan diri mengantar Acha pulang. Ribuan doa terucap di batin Ozy…

“Enggak. Aku disuruh Kak Rio nunggu. Kata Kak Rio kalau dia sudah sampai gerbang sekolah, dia bakal miskol aku”.

“Oh.” Ozy menelan kecewa. Doanya tidak dikabulkan rupanya.
Acha tersenyum tipis. Membuat Ozy merasa sanggup melintasi 7 samudra dalam dua lompatan .
Selama beberapa detik, tak ada yang berucap apa-apa. Hanya ada suara angin di sela-sela pohon yang tumbuh menaungi halaman sekolah.

“Jadi…” Ozy berusaha mengawali percakapan.

“Terus…” Acha mencoba memberanikan diri untuk bersuara.
Mereka berdua terdiam, bertatapan, dan sama-sama mengalihkan pandangan.
Ozy menarik nafas panjang, kemudian mencoba lagi.

“Kamu kayaknya ga ikut ekskul apapun ya? Kok kayaknya aku jarang liat kamu ikut-ikut latihan apapun di sekolah.”
Acha tersenyum lagi. “Aku ikut ngurusin mading. Tapi lebih banyak di bagian lay-out nya gitu.”

“Oh ya? Kirain yang suka nulis-nulis cerpen sama artikelnya”.

“Enggak. Aku ga bisa nulis.”

“Kalau baca? Suka?”
Acha mengangguk, “Tapi aku lebih suka baca novel sih…”
Ozy menanggapi dengan bersemangat, “Oh ya? Sama dong! Lagi baca novel apa? Eh, udah nonton Percy Jackson belum? Udah baca novelnya?”
Acha memiringkan kepalanya dengan ekspresi agak heran.

“Lho? Kamu suka baca novel juga? Kirain cowok kayak lo cuma bisa baca manga aja.”
Ozy tertawa. Melihatnya, Acha tiba-tiba merasa tubuhnya membeku. Meskipun saat itu matahari tengah gagah bersinar.

“Gua udah baca sampe buku terakhir, yang The Last Olympians” sahut Ozy

“SERIUS LO? Emangnya udah terbit?”

“Di Indonesia? Ga tau ya. Aku sih dikirimin sama tanteku, Tante Irna. Dia kan mengikuti suaminya yang kerja di luar negri. Sekarang Tante Irna lagi ada di Sydney. Aku nitip minta tolong beliin sama dia. Jadi aku punya dari jilid satu sampe jilid lima. Tapi karena nitip sama Tante, ya jadinya yang aku punya itu yang versi aslinya, dalam Bahasa Inggris” jelas Ozy.

“Terus? Kamu udah baca? Yang versi aslinya? Pake bahasa Inggris?” seru Acha dengan mata membelalak.
Ozy mengangguk. Tak sedikit pun melepas senyum dari bibirnya.
Ya Tuhan… batin Acha. Ozy semakin menuju titik sempurna bagi Acha.

“Mau pinjem?”

“MAU. MAU BANGET!” seru Acha. Ozy tertawa. Acha merasa pipinya kembali memanas. Sambil menunduk, dia merogoh tas ungunya, mencari entah apa. Yang penting dia bisa menyembunyikan wajahnya yang terasa semakin memanas. Di salah satu saku tasnya, Acha menemukan selembar tisu yang langsung dia tarik.
Sambil menghembuskan nafas, Acha mengelap keningnya dengan tisu itu.

“Kenapa Cha? Panas?”

“Iya nih… Aku merasa seperti mentega yang sedang dicairkan…” ujar Acha sambil melemparkan pandangan ke arah lapangan basket di hadapannya.
Ozy menurunkan ransel dan merogoh ke dalamnya. Detik berikutnya, dia sudah menempelkan kaleng minuman dingin dari Pak Duta yang masih terasa dingin tersebut di kening Acha.
Acha tercekat. Kaget. Senang. Gugup.
Ozy memindahkan kaleng minuman dingin itu dari kening ke pipi kiri Acha selama dua detik, kemudian memindahkannya ke pipi kanan Acha.

“Enakan?” kata Ozy, memandang tepat ke arah mata Acha.
Acha mengangguk. Otaknya beku. Mulutnya beku. Kaki tangannya pun lumpuh karena beku.
Ozy tersenyum, melepaskan kaleng itu dari pipi Acha dan menyodorkannya pada Acha. Senyuman Ozy membuat Acha meleleh.

“Buat kamu. Biar gak dehidrasi”.
Acha menyambut kaleng itu. Dan selama tiga detik, keduanya merasa dunia seakan berhenti berputar. Hanya selama tiga detik. Karena begitu handphone Acha berbunyi nyaring, mereka terpaksa membiarkan dunia berputar kembali.

“Emm… Itu pasti Kak Rio” kata Acha, bangkit sambil meraih handphonenya. Tangan kanannya masih menggenggam kaleng minuman itu.
Ozy mengangguk.

“Euh… Aku duluan ya…” kata Acha, lalu berjalan menuju gerbang sekolah. Ozy tidak menyahut. Hanya memandangi punggung Acha yang semakin menjauh. Setelah beberapa langkah, tiba-tiba Acha berbalik.

“Zy…”
Ozy mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum, “Ya?”

“Thanks for the drink…” Acha tersenyum manis sambil melambaikan kaleng minuman di tangannya.

“It’s been a pleasure. Hope you like it…” sahut Ozy sambil sedikit membungkuk sambil meletakkan tangan kanannya di dada.
Acha berbalik kembali dan berlari menuju gerbang. Di luar, Rio sudah menunggunya.

“Cha! Sorry ya… elo jadi rada lama ya nunggunya?”
Acha menggeleng sambil tersenyum. “Nggak kok…”
Sambil naik ke atas motor, Acha membatin “Malah seharusnya Kakak nanti aja dulu datengnya… Biar bisa lamaan dikit”

***

Begitu sosok Acha menghilang, Ozy meloncat tinggi sambil berputar. Tangannya mengacung tinggi ke udara.

“YYYYYEEEESSSS!!!!” Teriak Ozy memecah kesunyian sekolah.
Tak puas hanya itu, Ozy melemparkan tasnya tinggi-tinggi ke udara.
Sebelum Ozy sempat menangkapnya, sudah ada sepasang tangan lain yang menangkap tas itu.

“Zy? Kamu… Baik-baik saja?” kening Obiet berkerut sambil menyorongkan tas itu ke arah Ozy.

“Lho, Biet? Kamu belum pulang?” Ozy gelagapan. Berharap setengah mati Obiet tidak melihat apapun yang telah terjadi sebelumnya.

“Udah sih, cuma di tengah jalan gua baru inget kalo LKS Biologi gua ketinggalan. Jadi aja gua balik lagi. Eh, tadi gua papasan sama Kak Rio dan Acha. Kok kalian sama-sama belum pulang sih?”

“O ya? Ga tau ya. Gua sih dari tadi ga ada liat Kak Rio” kata Ozy, toh dia tidak betul-betul berbohong.
Obiet mengangkat bahu.

“Zy, tadi gua lupa cerita sama lo. Akhirnya gua memutuskan bakal memulai usaha PDKT. Doain gua sukses ya Zy!” Obiet tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.
Buku-buku yang ada di ransel Ozy tiba-tiba sepertinya berubah menjadi batu bata.

“O ya?”

“Yup!”, Obiet menyahut mantap. Dengan sinar wajah yang sudah sangat dikenal Ozy. Sinar wajah yang dimiliki Obiet kalau dia betul-betul serius dengan sesuatu hal.

“Gua nyadar Zy, kalo gua terus-terusan memendam rasa ini, gua ga bakal maju-maju. Lagian, gua khawatir kalo dia keburu disamber . Fansnya dia banyak Zy”.
Ozy berusaha tersenyum. Pahit.

“Siplah. Gua doain deh. Kalo udah jadian, traktiran udah pasti dong…” Ozy menepuk bahu Obiet.
Obiet menyeringai senang, “Gua tahu lo pasti dukung gua Zy. Lo emang sobat gua!”
Ozy mengangguk. “Gua duluan Biet..” kata Ozy, sekali lagi menepuk bahu Obiet. Obiet mengangguk.
Sepanjang jalan, Ozy merasa sepatunya terbuat dari batu kali. Terasa berat untuk dibawa melangkah. Ozy memandang lurus ke depan, membiarkan keringat di keningnya mengalir kembali. Matahari terasa lebih panas daripada biasanya. Jauh lebih panas.

***

Utami Irawati
PS Kimia FMIPA Unlam
>+62-81351396681
utami_irawati@yahoo.co.uk
@utamiirawati


"JIKA ACHA DAN OZY JATUH CINTA" PART 6


PART 6 : KERTAS INFORMASI, SEBUAH CD, DAN SELEMBAR FOTO

Di kamar Acha, Nova membolak-balik majalah di atas tempat tidur Acha. Sementara di meja belajarnya, Acha dengan tekun berkutat dengan buku catatan, buku paket, dan sebuah kalkulator.

“Achaaa… Lama banget siiiihhh…”

“Ntar Nov, tanggung. Tinggal satu soal lagi.”
Nova merengut, dan meletakkan majalah yang tadi dia baca ke sebelah bantal.

“Cha, kita harus menyusun strategi niiihhh… Udah ketunda berapa hari coba? Ni udah hari Jum’at lagi. Artinya udah 4 hari kan kita menunda rencana kitaaa…”
Acha tidak menjawab. Dia menuliskan hasil akhir yang dia peroleh, menggarisbawahi jawabannya itu dua kali dengan milipen warna ungu, dan tersenyum puas. Tinggal mengumpulkan PR Fisika itu di hari Senin nanti, pikir Acha dengan senang .

“Achaaaa… Ntar elo keduluan orang lhooo…”

“Keduluan gimana…???” sahut Acha sambil menoleh ke arah Nova

“Keduluan orang jadian sama Ozy” sahut Nova dengan wajah dibuat sepolos mungkin.

“Maksud lo?” Acha mengerutkan kening.
Nova tersenyum senang. Akhirnya Acha menaruh perhatian. Dia melompat dari tempat tidur, mengobrak-abrik tasnya, dan mengeluarkan sebuah amplop. Dari amplop itu dia menarik keluar sebuah kertas yang penuh dengan tulisan tangannya.

“Cha, ga kayak elo, gua mengisi waktu dengan mencari informasi tentang si cowok-dengan-senyum-yang-sudah-membuatmu-tersipu-malu, atau dengan kata lain, Ozy” kata Nova sambil melambaikan kertas itu.

“Asal tau aja ya Cha, Ozy itu ternyata banyak fansnya. Waktu aku mensurvey anak-anak kelas X tentang senior idaman, ternyata dia dengan suksesnya menempati posisi kelima. Posisi pertama dan kedua, tentu saja, masih ditempati oleh Kak Rio dan Kak Gabriel. Tapi itu bukan inti diskusi kita kali ini. Yang pengen aku tekankan adalah, lo mesti ati-ati dengan anak-anak kelas X Sebagian besar dari mereka soalnya suka kege-eran sendiri, ngerasa sering disenyumin sama Ozy. Padahal seperti yang kita semua tau, Ozy memang selalu tersenyum kepada siapa saja. Mang Dudung yang tukang sapu sekolah itu aja selalu disapa sama Ozy.”

“Kamu nanyain sama Mang Dudung juga?”

Nova mengangguk mantap. Mata Acha melebar. “Gila lo ya…”

“Oke, gua lanjutkan. Ozy di sekolah ikut ekskul sepak bola dengan posisi sebagai striker. Dan percaya atau tidak, jumlah penonton latihan ekskul ini jadi bertambah secara signifkan semenjak Ozy ikut jadi pemain inti” Nova dengan serius meneliti lembaran yang dipegangnya, dan menambahkan, “Di sekolah, dia sebangku sama Obiet. Kabarnya juga mereka berdua cukup dekat, karena sering terlihat bersama-sama. Selain sama Obiet, Ozy juga deket sama Cakka, karena mereka bertiga sekelas.”

“Hmmm…”

“Yah Cha… Masa komentar lo itu doang? Eniwei, gua sambung lagi ni ya… Kalo aku bilang, lo mesti ati-ati sama anak kelas X yang namanya Aren. Anak ini kabarnya yang paling semangat neriakin nama Ozy kalau lagi nonton Ozy tanding, bahkan cuma sekedar latihan. Tapi lo tenang aja Cha, sampai sejauh ini, belum ada kabar ada yang pernah melihat Aren berduaan saja dengan Ozy. Dan gak kalah pentingnya nih ya, Ozy belum pernah terlihat berduaan dengan cewek manapun. Sejak kelas X. Sampai sekarang. Yang menunjukkan dengan jelas, bahwa kesempatan lo masih ada banget. Tapi teteup… Lo mesti waspada dan mulai mengambil langkah-langkah yang strategis dalam usaha kita mengeksekusi misi penyatuan dua hati ini.”
Acha menggeleng-gelengkan kepala.

“Dan oh, ngomong-ngomong, aku sudah menemukan nama samaran yang bagus untuk misi kita ini. Mau tahu apa?”

“Kenapa yah Nov ya, gua punya feeling, bahwa walopun gua bilang kalo gua ga pengen tahu, lo tetep aja akan ngasih tahu gua?” Acha melipat kedua tangannya.

“Feeling lo dari dulu emang bagus Cha. Gua emang tetep akan ngasih tahu elo. Nama misi kita ini adalah……. Misi OCHA!” seru Nova dengan penuh semangat.

“Nov, huruf pertama nama gua itu A. Acha. A Nov, A… Bukan O”

“Lhooo… kamu itu juara sekolah tapi ga bisa liat hal sederhana kayak gini? OCHA itu adalah singkatan dari Ozy dan Acha. O nya dari Ozy, dan Cha-nya dari aCHA. Keren kan? Lo berdua emang udah takdirnya deh Cha. Gua yakin itu. Kalo ga, kok bisa seserasi itu nama kalian?”
Acha memutar-mutar bola matanya. Walaupun dalam hati Acha merasa senang.

“Hah? Kok lo masih belum ada komen positif sih Cha? Duh. Ya udah deh, gua keluarkan senjata terakhir andalan gua. Kalo yang satu ini, dijamin deh Cha, lo bakal histeria jaya raya sejahtera deh…” Nova merogoh amplop kembali, mengeluarkan selembar kertas berwarna-warni yang mengkilap, dan mengacungkannya dengan penuh kemenangan. Acha menajamkan matanya dan akhirnya menyadari bahwa kertas mengkilap itu adalah selembar foto. Foto Ozy. Foto Ozy? Foto Ozy! FOTO OZY!!! OZYYY!!! Acha tak sadar berteriak senang dan langsung merebut foto itu dari tangan Nova.

“Tuh kan? Udah gua bilang. Lo pasti histeris.”
Acha tidak menjawab. Dia masih terpana memandangi foto itu. Foto Ozy yang tengah tertawa dalam seragam sepak bola tim sekolah mereka. Dalam foto itu, Ozy sedang duduk di pinggir lapangan basket, kedua tangannya melingkari lututnya. Rambut ikalnya lebat, dengan sedikit poni di bagian depan.

“Cakep kan Cha?”
Acha masih diam. Matanya tak beranjak dari wajah dengan senyum menawan itu.

“Achaaaaa…” kata Nova lagi

“Cha..” tiba-tiba Rio membuka pintu kamar Acha. Acha terkesiap dan refleks menyembunyikan foto Ozy di balik punggungnya. Rio mengerutkan kening. Acha berusaha tersenyum, tapi hasilnya adalah suatu cengiran tidak jelas.

“Apaan sih?” Rio terlihat bingung.

“Ga. Gapapa kok. Kita baik-baik saja. Kak Rio apa kabar?” kata Acha gelagapan.

“Umm.. Cha, elo lupa ya? Gua ini kakak lo, kakak kandung elo satu-satunya. Dan kita tinggal serumah. Kamar kita sebelahan. Gua tau lo bangga banget punya kakak kayak gua, tapi kayaknya lebay aja kalo lo sampai nanyain kabar gua segala…” Rio bersandar di pinggir pintu sambil menatap adeknya dengan tajam. Dia merasa ada yang aneh.

“Oh. Eh. Iya. Bener. Lo kakak gua. Dan gua adek lo. Iya. Bener.” Acha kembali nyengir. Berharap Rio segera keluar dari kamarnya. Di sebelahnya, Nova sudah menyambar boneka beruang milik Acha untuk menutupi tawanya.

“Ada apa sih?” Rio semakin heran.

“Enggak koookk… Kak Rio ga latihan basket? Kok tumben maen ke kamar aku?”

“Jadwal latihan basket kan Rabu sama Kamis Cha. Gua kesini mau pinjem kalkulator. Punya gua kayaknya kebawa Iyel deh kemaren” Rio beranjak ke arah meja belajar Acha, dan melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.

“Lho? Lo beli CDnya Gita Gutawa lagi Cha? Yang gua beliin kemaren mana?” kata Rio sambil mengacungkan CD dengan sampul bergambar wajah Gita Gutawa yang sedang tersenyum. Acha meloncat, langsung merebut CD itu dari tangan Rio. Acha menyembunyikan CD itu di balik punggungnya juga. Perlahan dia berjalan mundur menjauhi Rio. Di belakang punggung, tangan kirinya masih memegangi foto Ozy, sementara tangan kanannya mencengkeram CD kuat-kuat. CD Gita Gutawa yang pernah diserahkan Ozy padanya di toko kaset waktu itu.

“Eh., bukan Kak. CD yang iniiii… punya Nova! Ya kanNov? CD yang ini punya elo kan Nov?” Acha menoleh ke arah Nova mencari dukungan.

“Lho? Punya gua darimana?” protes Nova mengangkat wajahnya dari balik boneka dan menoleh ke arah Acha, tapi begitu melihat ekspresi wajah Acha, Nova langsung berusaha berimprovisasi.

“Maksud aku, CD yang itu memang bukan punya aku Kak, tapi punya kakaknya aku” kata Nova dengan wajah yakin.

“Bukannya lo anak tunggal Nov?” Rio semakin heran.

“Eh, maksud aku…punya kakak sepupunya aku Kak.” Nova gelagapan.
Acha memindahkan foto Ozy ke tangan kanannya sambil berlari menuju meja belajarnya. Dengan cepat dia ambil kalkulatornya dengan tangan kiri dan menyerahkannya pada Rio.

“Nih Kak. Udah kan? Sana gih, pake aja. Aku udah selesai make kok” kata Acha setengah memaksa.
Rio mengangkat bahu. “Cewek-cewek yang aneh…” kata Rio sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tapi toh, Rio berbalik dan melangkah keluar, “Kalkulatornya gua bawa dulu ya Cha!” serunya sambil berjalan. Begitu Rio menutup pintu kamar, Acha langsung menghembuskan nafas lega, sementara Nova meledakkan tawanya.

“Ah, udah ah Cha, gua balik aja. Kayaknya gua aja deh yang ngatur strategi. Lo tinggal jalanin aja, Oke cintaa??” Nova berdiri sambil menyampirkan tasnya di bahu, “Tapi, baidewei eniwei baswei, PR Fisika itu udah lo beresin kan? Gua bawa ya?” kata Nova sambil mengambil buku yang tergeletak di atas meja Acha. Acha hanya mengangguk.
Tiba-tiba Nova mengerutkan kening. “Cha, gua baru nyadar. Kenapa lo ga minta tolong sama Kak Rio ajah? Kan Kak Rio sobatan sama Kak Gabriel. Dan si cowok-yang-tatapan-matanya-tiada-tanding-tiada-banding itu kan adeknya Gabriel?!”
Acha menggeleng tegas.

“Ya ampun Nooovvv… Gua ga berani membayangkan gimana Kak Rio bakalan nyecar gua dengan berbagai pertanyaan. Lo tau sendiri kan betapa protektifnya Kak Rio ke gua? Tahun lalu aja, waktu Kak Irsyad senyum ke gua sambil maen basket, dia udah dilempar Kak Rio pake gelas aqua.”

“Yah Cha, itu mah karena Kak Irsyad waktu itu udah jadian sama si Keke kaliiii…”

“Ah, lo tau sendiri lah. Lagian, Kak Rio kayaknya terlalu sibuk deh…”
Nova mengangkat bahu.

“Ya udah deh, terserah elo. Gua balik dulu ya. Tengkyu looo PR Fisikanya. Tapi impas sih hitungannya. Kan gua udah ngasih elo foto si cowok-paling-menyenangkan-di-seluruh-kelas-XI” Nova tersenyum menggoda sambil melangkah keluar.

“Dasar! Pamrih lo!”

“Eh, Cha, gua cuma menerapkan prinsip dasar ekonomi. Ada uang, ada barang. Ada info dan foto, salinan PR beres doooong…” sahut Nova sambil tertawa.
Acha tidak menjawab. Dia memandangi kembali foto di tangannya. “Mungkin Tuhan salah bikin waktu sedang menciptakan Ozy kali ya. Waktu itu, mungkin Tuhan niatnya bikin malaikat, tapi yang jadi malah Ozy…” pikir Acha dalam hati, tidak lagi menyadari bahwa Nova sudah hilang. Yang ada di benaknya hanya dua hal. Senyum Ozy, dan mata Ozy. Dua hal itu saja.

***

Utami Irawati
PS Kimia FMIPA Unlam
>+62-81351396681
utami_irawati@yahoo.co.uk
@utamiirawati

Minggu, 04 September 2011

"JIKA ACHA DAN OZY JATUH CINTA" PART 5


PART 5 : RIO VERSUS PAK DAVE/PATTON DI RUANG GURU

Di ruang guru, Rio tidak perlu banyak waktu untuk mencari Pak Dave. Pak Dave sedang berdiri di depan cermin besar yang dipajang di dinding ruang guru, memandangi bayangannya sendiri.

“Umm… Pak Dave manggil saya?”

“Oh. Rio. Bagus deh kalo kamu udah dateng. Gimana Yo, bagus nggak model rambut saya yang baru?” Pak Dave menggerak-gerakkan kepalanya di depan Rio, memastikan bahwa Rio melihat semua sisi dari kepalanya. Rio membelalakkan mata. Pak Dave memanggil dia kesini hanya untuk itu?

“Bapak perlu jawaban yang jujur, atau jawaban yang hanya sekedar membuat Bapak senang?”

“Hmmm… Pilihan yang berat. Baiklah, kalau begitu, kamu lebih baik tidak usah menjawab” kata Pak Dave dengan wajah serius. Rio mengangkat alis dan memutar-mutar bola matanya.

“Oke, Rio. Sekarang alasan Bapak memanggil kamu kesini belum bisa Bapak sampaikan. Karena Bapak masih harus menunggu Patton”

“Saya udah datang kok Pak” sahut Patton, yang tiba-tiba saja sudah berdiri di
belakang Pak Dave.

“Ow. Disitu kamu rupanya. Baiklah. Jadi Rio, kamu tahu kan kalau acara ulang tahun sekolah kita akan diselenggarakan sekitar dua bulan lagi?”

“Satu setengah bulan lagi Pak” Patton mengoreksi.

“Yah, beda-beda tipis lah. Pokoknya sebentar lagi. Dan Rio, walaupun kamu sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua OSIS, Bapak yakin kalau kamu pasti masih peduli dengan sekolah kita ini kan? Termasuk dengan kegiatan-kegiatannya OSIS?”
Rio mengangguk. Dia sebenarnya agak curiga. Apalagi melihat ekspresi wajah Patton, yang berusaha terlihat serius, tapi seperti menyimpan senyum jahil.

“Baik. Jadi Bapak ingin tahu, apakah kamu siap membantu kegiatan OSIS untuk acara ulang tahun sekolah kita ini?”


“Siap Pak.”

“Kamu berjanji?”

“Janji Pak” jawaban Rio yang terdengar mantap membuat Pak Dave mengangguk senang.

“Bagus. Patton, silakan jelaskan lanjutannya”.
Patton menyeringai, dan mulai menjelaskan rencananya kepada Rio. Saat Patton menjelaskan garis besar rencananya mengenai konsep acara ulang tahun sekolah, Rio mengangguk-angguk setuju. Ide yang diajukan oleh Patton menurutnya cukup bagus. Tapi begitu Patton sampai pada bagian yang memerlukan keterlibatan Rio, Rio langsung membelalak.

“APA? GAK! Ga mau!” seru Rio.

“Lho, kan Kak Rio sudah janji?” kata Patton sambil menyeringai semakin lebar.

“Iya Rio, kamu tadi sudah berjanji sama Bapak.” Kata Pak Dave sambil melipat tangan dan menatap Rio. Rio gelagapan.

“Tapi caranya gak bisa kayak gini dong Pak!”

“Kenapa tidak bisa? Dan kalaupun tidak bisa, toh kamu sudah menyanggupi. A promise is a promise Rio” kata Pak Dave sambil tersenyum.
Rio dengan kesal menoleh ke arah Patton. Patton malah mengalihkan pandangan sambil bersiul-siul tidak jelas.

“Ya udahlah Pak. Udah terlanjur basah, saya nyebur sekalian ajah…” ujar Rio pasrah.

“Bagus. Bapak tahu kalau kami bisa mengandalkan kamu” Pak Dave mengangguk dengan senang.
Rio memutar-mutar bola matanya.

“Baiklah, sekarang kalian lebih baik segera kembali ke kelas masing-masing. Sebentar lagi bel” kata Pak Dave sambil duduk seraya mengibaskan poni barunya.
Rio melangkah keluar berdua bersama Patton.

“Elo ini emang yaaa… Pake bawa-bawa Pak Dave segala” rutuk Rio kesal pada Patton.

“Soalnya Zevana yakin Kak, kalo kami berdua yang ngomong sendiri sama Kakak, Kakak ga akan setuju. Hehehehe… Tapi Kak Rio ikhlas kan bantuin kami?” sahut Patton sambil terkekeh.

“Iyeee…” sahut Rio. Di ujung koridor mereka berpisah, Rio naik ke lantai dua, tempat deretan kelas XII, sementara Patton berbelok ke kiri, menuju kelas XI-IPA3. Sebelum menaik tangga, Rio memanggil Patton.

“Patton!”

“Ya Kak?” Patton menoleh ke arah Rio.

“Sukses buat acaranya ya!” kata Rio tersenyum. Bagaimanapun juga, ide yang disampaikan Patton tadi cukup menarik hatinya. Patton balas tersenyum dan mengangkat sebelah jempolnya. Dengan langkah ringan Patton terus berjalan menuju kelasnya kembali, sementara Rio terus menaiki tangga. Di ujung tangga, ternyata Zevana sedang berdiri menunggunya.

“Thanks ya Kak, udah mau bantuin kami” kata Zevana sambil tersenyum sumringah.
Rio mengangguk sambil tersenyum tipis. “Lo emang pinter ya Zev. Penuh taktik” ujar Rio. Zevana tertawa kecil.

“I’ll take that as a compliment” sahut Zevana santai sambil menuruni tangga.
Rio masuk ke kelasnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Bagaimanapun juga, dia bangga dengan pasangan Patton dan Zevana yang meneruskan kepemimpinannya dan Angel di OSIS. Patton dengan ide-ide cemerlangnya, dan Zevana dengan strategi yang jitu untuk mewujudkan ide-ide Patton tersebut. Pasangan yang serasi, pikir Rio sambil tersenyum geli.

***

Utami Irawati
PS Kimia FMIPA Unlam
>+62-81351396681
utami_irawati@yahoo.co.uk
@utamiirawati

"JIKA ACHA DAN OZY JATUH CINTA" PART 4


PART 4 : DI KANTIN, DI SEKRETARIAT OSIS

Dengan tidak sabar Nova mengetuk-ngetukkan pensilnya di atas meja. Pandangannya berpindah-pindah, dari buku pake yang ada di depannya, ke arah Bu Rahmi yang sedang menjelaskan entah apa, Nova toh tidak benar-benar menyimak semenjak awal pelajaran tadi , ke arah jam tangan bulat di pergelangan tangan kirinya, dan ke arah Acha yang duduk manis mendengarkan Bu Rahmi sambil sekali-sekali membuat catatan di buku tulisnya. Nova mendesah kesal. Sepuluh menit berasa sepuluh kali enam puluh menit bagi Nova . Apalagi untuk pelajaran yang penuh dengan nama Latin begini. Bagi Nova, nama-nama ajaib itu diucapkan aja udah bikin lidah terlilit jadi simpul mati. Apalagi dihafalkan, bakal bikin otak keseleo deh kayaknya. Nova yakin banget, dia dan Biologi memang ditakdirkan untuk saling tidak menyukai satu sama lain.

“Acha…” bisik Nova pelan.

“Hmm…” sahut Acha ga jelas, tanpa menoleh ke arah Nova.

“Ntar istirahat lu mesti bareng gua ya. Banyak yang mesti kita omongkan.”

“Soal apa?”

“Itu… Soal si anak kelas XI-IPA2 ituuuu…”

“SSSTTTTT!!!” bisik Acha keras sambil langsung menoleh ke arah Nova. Tanpa disadarinya, suaranya terdengar lebih nyaring daripada yang dia perkirakan. Akibatnya, tidak hanya teman-teman sekelasnya yang menoleh ke arahnya dengan wajah bertanya. Bu Rahmi pun berhenti menjelaskan dan dengan heran menatap Acha.

“Ya Acha? Ada yang ingin kamu tanyakan?”
Pipi Acha yang putih terasa memanas. Untunglah tiba-tiba saja bel yang menandakan waktu istirahat berdering kencang, sehingga Acha bisa terbebas dari keharusan menjawab pertanyaan Bu Rahmi tersebut.

“Elo sih…” kata Acha dengan kesal sambil memukul pundak Nova dengan buku catatan Biologinya. Nova tidak menjawab. Dia justru berdiri dengan cepat dan menarik tangan Acha.

“Buruan. Kita mesti ke kantin sekarang. Detik ini juga. Ini soal batas antara hidup dan mati. Jangan membuang sepermilidetik pun!” kata Nova sambil menyeret Acha keluar kelas.

“Nova ih! Kita emang mau kemanaaaa? Mau ngapaiiiin??? Serem amat sih bawa-bawa urusan hidup dan mati segala?”
Nova tidak menyahut. Dia malah berhenti mendadak, sambil tetap mencengkeram tangan Acha. Acha yang tidak menyangka Nova akan berhenti otomatis menabrak punggungnya.. Acha sudah melotot dan siap mengomeli Nova, begitu dia sadar, saat ini mereka berdua sudah berada di depan kelas pintu XI-IPA2. dan… dan… Oh My God.. Ya Tuhaaann… Ozy sedang berjalan menuju pintu sambil mengobrol dengan Obiet.

“Nova! Maksud elo apa sih???” bisik Acha pelan.
Bukannya menjawab, Nova malah melambai ke arah Ozy sambil berseru menyapa Ozy,

“Ozyyyy!!!!”
Ozy mengangkat wajah, dan langsung tersenyum. Membuat Acha merasa tubuhnya membeku, tapi juga meleleh pada saat yang bersamaan.

“Eh…” kata Ozy, masih tersenyum sambil berjalan, semakin mendekat…dari jarak lima meter menjadi tinggal beberapa langkah.
Acha tidak bisa bernafas. Dia langsung menepis tangan Nova yang mencengkramnya dan menggumam pelan “Nov, gua ke kantin duluan”. Sebelum Nova sempat mencegahnya, Acha sudah setengah berlari meninggalkan TKP, menuju kantin.

“Ada apa Nov?” kata Ozy, masih dengan senyum ramahnya.
Nova nyengir, dan menyahut, “Ga Zy, negor ajah. Eh, gua duluan ya… Tuh, temen gua udah keburu hilang dari peredaran. Dah Ozy…”. Sedetik kemudian, Nova sudah menghilang.
Obiet menepuk bahu Ozy. “Kenapa Zy?” tanyanya. Ozy sendiri mengangkat bahu. Dia sendiri tidak mengerti, dan agak kecewa. Kenapa Acha harus tiba-tiba pergi begitu saja sih?

“Eh, tapi lo setuju dong sama gua, kalo si Acha tadi emang mirip bidadari?” lanjut Obiet sambil bersama-sama Ozy melangkah ke kantin. Ozy hanya tertawa. Menyembunyikan gundah di hatinya.

***

Di kantin, Acha masih melaksanakan aksi ngomel terhadap Nova.

“BIKIN MALU, tau ga seeehhh???”

“Lho, Acha… Itu kan langkah pertama dari misi kita…!!!”

“Misi apaan? Lo tambah lama tambah ga jelas deeehhh…”

“Ya misi supaya elo bisa jadian sama anak ituuuu…”

“Sama siapa?”

“Ya Ozy laaaahhh…”
Acha semakin melotot.

“Sekalian aja lo umumin pake speaker Nov!”

“Eh, boleh? Bagus juga kalo gitu. Gua minta izin aja sama Pak Dave buat pinjem mikrofon di ruang guru itu. Jadi kan bisa gua umumin..ADUH!”
Dengan kesal Acha melempar bungkus permen yang ada di atas meja tempat mereka berdua duduk.

“Nova, lu ngerti sarkasme ga sih?”

“Enggak…”
Acha semakin kesal.

“Cha, langkah pertama adalah membiasakan diri Ozy untuk bertemu denganmu. Bisa dimulai dari saling menyapa dulu… Trus lama-lama bisa ngobrol…”
Acha masih belum merubah ekspresi kesalnya.

“Nova, cari kode rahasia deh… Biar gosip ini ga muncul di mading minggu depan.”

“Ya udah. Gua lanjutin. Seterusnya kita mesti menganalisis gimana sikap si-cowok-dengan-senyum- yang lebih-manis-daripada-3-liter-sirup itu kalo ketemu kamu”
Mau tidak mau Acha tersenyum mendengar bagaimana Nova menyebut Ozy. Yah, ga salah-salah amat sih sebenernya.

“Nov, pake kata “dia” aja udah cukup kali…”

“Apapun deh. Pokoknya lu ngerti maksud gua kan? Kita mesti liat, gimana sikap si cowok-dengan-pandangan-mata-yang-menghanyutkan itu kalo lagi ngomong ke kamu. Soalnya tipe cowok kayak dia itu susah Cha. Gua udah bilang kan kalo dia itu selalu ramah sama siapa aja? Nah, makanya kita mesti liat, kalo misalnya dia memang ada hati dan rasa sama elo, mestinya sikapnya beda dong ke elo. Ramah ke siapa aja emang ciri khas dia, tapi kalo dia ada filing gimana gitu, pastilah di depan elo dia bakal jadi laiiinn..”
Acha manggut-manggut. Walaupun dia tidak habis pikir, gimana caranya Nova bisa ngomong sebanyak itu hanya dengan 2 kali tarikan nafas dan kecepatan yang diatur konstan pada angka 120 km/jam.

“Ya udah deh. Secara gua tau pasti reporternya anak-anak mading bertebaran di keempat penjuru mata angin sekolah ini, ntar sore gua ke rumah elo untuk merancang langkah kita selanjutnya” kata Nova dengan mantap.
Acha mengangguk, “Apa kate lo deeehhh… Yang penting selama di sekolah, lo tutup mulut soal ini!”
Nova tidak menanggapi Acha. Dia sudah melihat hal lain yang menarik perhatiannya.

“Kak Angel!!!” panggil Nova, sambil melambai-lambai dengan semangat kepada mantan wakil ketua OSIS yang cantik itu. Angel menoleh, tersenyum dan melangkah menuju meja yang ditempati Nova dan Acha.

“Nova… Acha… Gua boleh ikutan duduk disini ga? Kantinnya penuh banget nih…”

“Silakan kak… Duduk ajah… Buat Kak Angel, apa sih yang enggak…” sahut Nova mempersilahkan Angel duduk.
Angel duduk, mengibaskan rambut panjangnya dan kembali menyeruput isi botol minuman di tangannya.

“Kak, udah denger belum, jadinya perayaan ulang tahun sekolah kita mau dibikin gimana sama anak-anak OSIS? Yah, walopun Kak Angel udah pensiun jadi wakil ketua, pasti masih punya akses informasi terpercaya dooonggg…” Nova mulai melancarkan aksi penggalian informasinya.

“Eh, gua masih belum tau lho. Iya nih, tumben-tumbenan anak-anak OSIS tahun ini jadi penuh rahasia gitu. Kemaren gua ketemu Zevana, terus gua tanyain, dia jawabnya ngambang gitu.”

“Zevana kan wakil Kak… Pernah nanya langsung ke Patton gak Kak? Secara kan sebagai Ketua OSIS, dia
Mestinya paling tahu dong rencana OSIS” kata Nova masih penasaran.

“Lah, jawaban Patton juga kurang lebih sama. Dia cuma bilang ‘masih kami godok dalam rapat koordinator panitia’. Ih, si Patton ya, mukanya imut gitu, pilihan katanya bisa keren sangat…” sahut Angel lagi, “Tapi gua malah jadi tambah penasaran. Kayaknya anak-anak OSIS bener-bener berusaha ngerencanain supaya rapi dan bisa lebih spektakuler deh. Tau sendiri lah gimana bergengsinya acara ulang tahun sekolah kita ini.”

“Eh, jadi inget tahun lalu. Tahun lalu juga keren kok Kak acaranya…” kata Nova sambil mengingat acara tahun lalu yang bertema Sport Mania. Angel mengangguk.

“Iya. Gua juga inget, tahun lalu gua sama anak-anak OSIS kerja abis-abisan buat nyiapin acara itu. Termasuk kakak lo yang ketua OSIS itu Cha. Inget ga, gua sama si Rio sampe sempet digosipin gara-gara selama persiapan acara itu Rio sering banget nganterin gua pulang? Padahal dia kalo nganterin gua pulang juga ga pernah ngomongin apapun selain soal acara itu. Banyakan diemnya malah. Pas udah nyampe rumah gua juga dia langsung cabut. Ga singgah-singgah segala…”
Acha mengangguk. Dia sendiri masih ingat soal gosip itu. Bukan hanya Rio yang gondok, Acha sendiri merasa terganggu. Bayangkan saja, saat gosip itu mulai meruak, setiap hari Acha harus menglarifikasi sekitar 328 pertanyaan yang nadanya sama, bener ga sih Rio sama Angel jadian. Yah, itulah susahnya berada di bawah bayang-bayang seorang Kakak yang popularitasnya ga jauh beda sama Robert Pattinson .
Angel menyambung, “Tapi sekarang gimana si Rio Cha? Udah punya pacar belum? Atau masih sok cool kayak dulu aja? Belum pernah deh gua denger gosip Rio naksir siapapun, apalagi jadian!”
Walaupun bukan dia yang ditanya, Nova sudah keburu menyerobot, “Kak Angel, kalo sampai Kak Rio jadian, itu bakalan jadi berita terheboh di SMA kita selama dekade ini! Bayangkan, the most wanted boy di sekolah kita jadian? Duh, bakal banyak cewek yang nangis sambil garuk-garuk tanah kalo sampai itu terjadi…”

“Termasuk elo ya Nov?” kata Acha dengan nada datar. Angel tertawa.
Nova cengengesan sambil menjawab, “Ya ga lah!”

“Oh ya?”, Acha membelalakkan matanya tidak percaya.

“Kalo gua sih bakal melolong-lolong sambil membentur-benturkan kepala gua ke dinding sumur…” sambung Nova lagi sambil tertawa.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Angel.

“Hei!”
Angel menoleh, “Ify! Mau balik sekarang?”
Ify mengangguk. Di sebelahnya Gabriel berdiri dengan tenang, hanya melemparkan senyum pada Acha dan Nova. Acha gelagapan. Dia baru menyadari kesamaan antara Gabriel dengan adiknya. Senyum. Senyuman yang membuat orang jadi ingin ikut tersenyum…
Angel melompat berdiri dari bangkunya. Dia melambai pada Acha dan Nova, “Duluan yaaa…”, sementara Ify tersenyum dan mengangguk ramah pada mereka sebelum melangkah pergi dari kantin.
Nova menyikut Acha dan tertawa, “Yaelah, lo baru liat kakaknya udah salting duluan… Apalagi ketemu adeknyaaa…”
Acha menjulurkan lidah ke arah Nova. “Ah, udah ahhh… Balik yok baliiiikkk…” dan buru-buru berjalan keluar dari kantin.

***

Rio memetik gitar perlahan di dalam ruang sekre. Berusaha tidak berharap banyak. Tapi berkali-kali menengok ke arah pintu. Sampai akhirnya, sesosok bayangan muncul di pintu. Rio merasakan jantungnya berdebar kencang, sampai akhirnya bayangan itu muncul menjadi sosok seorang cewek. Wajah cewek yang muncul itu membuat Rio menghembuskan nafas yang secara tidak sadar sudah dia tahan dari tadi.

“Kak Rio? Sivia udah datang belum?” ujar si pemilik bayangan, yang ternyata adalah Silla.

“Belum tuh…” jawab Rio, diam-diam menahan kecewa.

“Ow, ya udah deh, aku datengin ke kelasnya aja kali ya…” kata Silla sambil mengangkat bahu.

“Eh, ga mau tunggu disini aja? Tadi pagi dia bilang mau kesini kok pas jam istirahat” Rio berusaha mencegah. Kalau sampai Sivia dan Shilla tidak jadi bertemu di sekre OSIS, artinya sia-sia saja Rio dari tadi menunggu kehadiran Sivia disini, melewatkan jam istirahat tanpa mengisi perut .

“Ga kok Kak, gapapa… Biar aku ke kelasnya ajah.. Eh, ini orangnya datang…” kata Silla.
Debaran jantung Rio yang tadi beranjak normal tiba-tiba berpacu kembali. Apalagi ketika melihat wajah Sivia yang kini berdiri di sebelah Shilla.

“Masuk aja Siv!” kata Silla sambil melangkah masuk.
Rio berlagak cuek, terus memetik gitarnya.

“Misi ya Kak…” kata Sivia sambil mengikuti Shilla dan melempar senyuman tipis ke arah Rio. Rio merasa ingin pingsan saat itu juga.

“Eh, iya… gapapa… Masuk aja gih…” kata Rio sambil mengalihkan pandangan ke gitarnya. Diam-diam, dia melirik ke arah Sivia.
Setelah mereka berdua duduk, Shilla mulai berbicara…

“Sivia, jadi gini lho. Kemaren kan…” kata-kata Shilla terpotong oleh Irsyad yang tiba-tiba muncul di pintu.

“Rio!!!”
Rio menoleh kesal. Konsentrasinya melirik ke arah Sivia dari jarak yang sangat menguntungkan ini terganggu. “Kenapa Syad?” jawab Rio dengan malas-malasan.

“Elo dipanggil Pak Dave! Buruan! Keburu bel ntar…” kata Irsyad lagi.

Rio menghela nafas. Pak Dave adalah guru yang mengajar Akuntansi di SMA Bina Putra. Selain itu, beliau juga bertindak sebagai Pembina OSIS. Sebenarnya orangnya baik, lucu dan dekat dengan siswa. Akan tetapi dalam kondisi saat ini, dimana pilihannya adalah bisa memandangi Sivia dari jarak dekat atau bertanya-jawab dengan Pak Dave, pilihan pertama terasa seribu kali lebih baik.

“Iyeee….” Kata Rio sambil berdiri dan mengikuti Irsyad. Di pintu, Rio berbalik,

“Eh, gua duluan ya…” katanya, menyempatkan diri untuk kembali memandang Sivia.

“Iya Kak…” kata Shilla. Sivia hanya tersenyum tipis. Sambil berjalan, Rio lamat-lamat mendengar Shilla menjelaskan sesuatu tentang menyanyi. Rio mengerutkan kening. Dia tahu kalau Shilla adalah ketua ekskul vokal grup tahun ini. Tapi setahu Rio, Sivia bukan anggota ekskul itu. Rio mengangkat bahu sendiri, dan melangkah menuju ruang guru.

***

Utami Irawati
PS Kimia FMIPA Unlam
>+62-81351396681
utami_irawati@yahoo.co.uk
@utamiirawati

"JIKA ACHA DAN OZY JATUH CINTA" PART 3


PART 3 : KARENA RIO HANYA MENCARI ALASAN

Rio melangkah menuju ruang Sekretariat OSIS. Dia sebenarnya sudah tahu bahwa Alvin akan ada di ruangan itu. Rio cuma sekedar mencari alasan untuk bisa ke kelas XI-IPA2, supaya bisa mencuri pandang ke arah seorang cewek di kelas itu. Seseorang yang sudah 6 bulan ini membuat Rio penasaran. Kalau sebagian besar cewek di SMA Bina Putra berusaha beramah tamah dengan Rio, justru cewek yang satu ini tidak pernah terlihat antusias untuk mencari perhatiannya. Dan justru kekalemannya itu yang mencuri perhatian Rio. Waktu Rio bertanya sambil lalu kepada Alvin , Alvin bilang bahwa cewek itu pindahan dari luar negeri, kabarnya orang tua cewek itu adalah diplomat yang sering bertugas di luar negeri.

Menurut Alvin lagi, cewek itu sekarang tinggal dengan kakek-neneknya di komplek perumahan elit di dekat sekolah mereka. Sebenarnya banyak lagi hal yang ingin diketahui oleh Rio tentang cewek itu. Tapi untuk bertanya-tanya lebih lanjut, Rio merasa segan. Gengsi. Selama ini, dia dikenal sebagai cowok cool, kesannya kok gimana banget kalau sampai dia ketahuan mencari-cari informasi tentang seorang cewek. Sayangnya sepertinya tadi cewek itu sedang keluar kelas. Tapi Rio tahu bahwa cewek itu pasti sudah datang, karena Rio melihat tas berwarna biru tua milik cewek itu di atas kursi yang posisinya sudah dihafal Rio beberapa bulan terakhir ini. Rio menggeleng kecewa mengingat ketidakberuntungannya di kelas XI-IPA2 tadi. Di dalam hati Rio berharap bisa sekedar mencuri pandang lagi ke arah kelas itu waktu istirahat nanti. Sambil menghela nafas, Rio memasuki ruang sekretariat OSIS. Di ruang itu, sudah ada dua orang murid yang duduk berdampingan di depan komputer.

“Kak Rio!” tegur Agni begitu melihat Rio memasuki ruangan, “Yang kemaren udah aku print sesuai perintah Kakak nih” Agni melambai-lambaikan selembar kertas. Di sebelahnya, Alvin dengan serius memandangi layar komputer. Tapi tentu saja, sebagaimana sudah diduga, keseriusan wajah Alvin saat memandangi layar komputer itu bukan karena sedang menekuni pekerjaan yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia, melainkan bermain Solitaire dengan intensnya, berpikir kartu mana lagi yang bisa digeser untuk mengisi kolom yang kosong.

“Bagus lah kalo begitu…” kata Rio sambil mendekati kedua orang itu. Agni dan Alvin adalah Kapten Tim Basket untuk SMA Bina Putra ini, dan tidak ada yang meragukan keahlian mereka berdua di lapangan basket. Rio sendiri tidak kaget ketika beberapa bulan yang lalu mendengar kabar bahwa keduanya memutuskan untuk jalan bareng tidak hanya di lapangan basket saja, tapi sekalian jadian. Toh, menurut Rio mereka berdua memang cocok satu sama lain. Lagipula, kalau kapten tim basket putra adalah pacar kapten tim basket putri, pasti ekskul basket jadi lebih mudah dikoordinasi. Begitu pikir Rio. Gampang kan?

“Vin, hasil seleksinya juga udah diprint?” kata Rio lagi sambil meneliti jadwal latihan.

“Udah. Udah ditempel kok di depan” jawab Alvin sambil mengambil kemasan minuman kotak yang sedang diminum Agni. Agni dengan cepat merebutnya kembali.

“Ray yang anak kelas X-B itu masuk kan?” tanya Rio.

“Yup! Badannya emang ga tinggi-tinggi amat sih, tapi Kak Rio juga liat sendiri kan betapa lincahnya anak itu di lapangan waktu seleksi kemaren? Kak Irsyad aja sampe ngos-ngosan waktu nguji dia” sahut Alvin, sambil berusaha mengambil minuman Agni kembali

“Iya. Ngomong-ngomong… Alvin, kamu pelit amat sih, beli minuman sendiri aja ga mau?” kata Rio, sambil mengomentari adegan perebutan minuman antara Alvin dan Agni.
Merasa dibela Rio, Agni dengan penuh rasa kemenangan menjulurkan lidahnya pada Alvin.

“Tuh kaaaannn… Dengerin tuuuh! Iya nih Kak, si Alvin ini, udah ga mau keluar modal, hobinya tebar pesona pula! Padahal kan waktu seleksi kemaren jelas-jelas aku berdirinya di sebelah dia, eh, dia masih sempet aja senyum-senyum ga jelas ke anak-anak cewek kelas X yang ikut seleksi…” curhat Agni.

“Kamu tuh yang pelit… Lagian gua bukannya tebar pesona, gua kan cuma bersikap ramaaaahh…” sahut Alvin tidak mau kalah.

“Eh, tapi Kak, ceweknya kemaren lumayan cakep-cakep lho… Apalagi yang namanya Aren tuh, manis tuh!” kata Alvin lagi dengan penuh semangat.

“Ehm… Tolong ya, diinget nih…diinget… Emang gua ga lo anggap manis gitu?” seru Agni sambil dengan gemas melemparkan segumpal kertas ke arah Alvin.”

“Agni.. berapa kali sih gua mesti bilang. Elo tu bukannya manis, tapi sangar…” sahut Alvin dengan cueknya, Agni kembali meraih selembar kertas bekas, meremasnya dengan cepat, dan melemparnya ke arah Alvin.

“Eh, tapi biarpun sangar… Elo doang yang bisa memenuhi kriteria cewek ideal bagi gua…” sambung Alvin sambil menangkis gumpalan kertas kedua yang melayang ke arah dahinya.
Rio tertawa melihat kelakuan pasangan itu. Tawanya terhenti mendengar suara halus dari arah pintu sekre.

“Ehm. Permisi…”
Jantung Rio berdetak cepat, Suara itu jarang terdengar, tapi justru Rio hafal sekali dengan suara itu. Tidak hanya suaranya yang dihafal Rio, tapi raut wajah sang pemilik suara pun sudah sangat dihafal Rio.

“Ya? Cari siapa?” sahut Rio sambil berbalik menghadap ke arah pintu. Dalam hati Rio kebingungan sendiri, apakah dia harus tersenyum, atau tetap menyetel wajahnya supaya terlihat cool seperti biasa. Rio merutuk dalam hati, kenapa kalau berhadapan dengan cewek ini dia jadi susah mengatur ekspresi?
Tepat pada saat cewek itu membuka mulut untuk berbicara, bel sekolah berdering nyaring. Cewek itu menutup mulutnya kembali, tersenyum tipis, dan berkata, “Ga jadi deh Kak. Keburu bel. Ntar pas istirahat aja aku balik ke sini”. Selesai berkata seperti itu, si cewek berambut indah itu langsung membalikkan badan dan melangkah menuju deretan kelas XI. Rio tahu pasti, kemana cewek itu akan pergi, kelas XI-IPA2. Bahkan Rio hafal dimana cewek itu duduk. Bangku paling depan, barisan kedua dari pintu. Dimana cewek itu biasa menghabiskan waktu istirahat pun Rio tahu. Tapi saat ini, Rio belum sempat berkata apapun, bel sekolah sialan itu sudah menghancurkan kesempatannya. Walaupun Rio sendiri tidak yakin, kalau kesempatan itu ada, apakah dia bisa menemukan pilihan kata yang pas untuk memulai percakapan apapun. Di hadapan cewek itu, Rio yang juga andalan sekolah dalam lomba debat, tiba-tiba saja speechless. Gagu. Gagap.
Rio berbalik kembali, berusaha supaya wajah dan suaranya terdengar tetap cool seperti biasanya.

“Eh, gua ke kelas dulu ya” kata Rio sambil menepuk bahu Alvin.
Alvin mengangguk. Rio melangkah keluar menuju kelasnya. Di belakangnya, Alvin dan Agni mengikuti keluar, dan berjalan menuju deretan kelas XII. Sambil berjalan, Rio sudah tahu dia akan menghabiskan waktu istirahatnya dimana. Bukankah cewek bermata indah tadi berkata akan kembali ke ruang Sekretariat OSIS pada jam istirahat nanti?

***

Utami Irawati
PS Kimia FMIPA Unlam
>+62-81351396681
utami_irawati@yahoo.co.uk
@utamiirawati

"JIKA ACHA DAN OZY JATUH CINTA" PART 2

PART 2 : BIDADARI YANG LEWAT DI DEPAN KELAS

Acha mengikatkan pita berwarna ungu muda bergaris-garis putih di kuncirnya sambil berjalan menuruni tangga. Di meja, Papa sedang membaca koran di hadapan sepiring roti bakar, sementara Mama menuangkan kopi ke cangkir Papa.

“Pagi Ma…, Pagi Pa…” kata Acha sambil mencium pipi Mamanya.

“Hmmm…” sahut Papanya pendek, tanpa melepaskan pandangan dari koran.

“Pagi sayang… Sini pitanya Mama benerin dulu”, Mama meletakkan teko kopinya, dan beranjak mendekati Acha. Acha kemudian duduk, meraih segelas susu yang sudah disiapkan Mama. Mama menguraikan pita ungu Acha, dan mengikatkannya kembali.

“Kak Rio mana?”, Acha bertanya sambil lalu, dan meminum susunya seteguk. Enak. Acha meneguknya lagi, kemudian mengambil sepotong roti.
Mama mengamati kembali pita Acha sambil menjawab,“Lagi di dapur. Ngambil keju...”, sampai disini, Mama mengerutkan kening, seakan baru menyadari sesuatu hal.

“Sebentar, ngapain anak itu nyari keju ya? Tadi ditawarin roti ga mau. Dia bilang dia mau makan apel aja. Terus keju itu mau diapain ya?”, Mama menggeleng kecil memikirkan kelakuan anak sulungnya, dan duduk di samping Acha, mengambil sepotong roti dan mengoleskan mentega di atasnya.

“Yah Ma, Kak Rio mah memang suka salah tempat, kalo orang bereksperimen di lab, dia mah eskperimennya kalo ga di meja makan, ya di dapur. Kayak kemaren Ma, inget ga waktu dia makan spaghetti dikuahin pake kuah bakso ? Udah gitu dia bilang enak… Anak itu mah PARAH Ma kalo urusan perut”.
Mama tertawa kecil, tapi tidak menanggapi komentar Acha tadi. Mama menoleh melihat jam dinding sambil bertanya “Kamu udah siap berangkat, Cha? Kok tumben pagian?”

“Ma, Acha pagi ini ga berangkat bareng Kak Rio deh… Acha pengen berangkat bareng Nova ajah.”

“Ngapain kamu berangkat bareng si cerewet itu?” tanya Rio yang tiba-tiba muncul dan duduk di sebelah Acha. Dengan cueknya Rio mengambil gelas susu yang dipegang Nova, dan menghabiskannya sekaligus dalam beberapa tegukan.
Acha menjulurkan lidah. “Nova ga cerewet kok… Dia cuma…”

“Kebanyakan ngomong? Ga kenal tanda titik koma? Kepanjangan nafas?” potong Rio sambil mengembalikan gelas susu yang kosong ke depan Acha.
Acha memukul lengan Rio dengan garpu sambil melotot. Tapi dua detik kemudian dia teringat sesuatu.

“Kak Rio! Surat yang aku kasihin kemaren udah dibaca?”
Rio mengerutkan kening, “Surat yang mana?”

“Itu lhoooo… yang dari Zahraaa… Yang amplopnya warna pink?”

“Oh. Itu. Sudah.” Rio dengan santai mengambil sebutir apel dan menggigitnya.

“Terus? Gimana?”

“Gimana apanya?”

“Balasannya? Jawabannya?” ujar Acha penuh harap. Tuhan, Tuhan, tolonglah Tuhan… Sekali iniiii saja…
Rio mengangkat bahu. “Mau dijawab gimana? No comment.”, dan menggigit kembali apel di tangannya.

“Yah… Kak Riooo… Terus aku mesti bilang apa nih sama Zahra?”

“Bilang aja gua sibuk. Jadi ga sempet mikir macem-macem.” Sahut Rio dengan wajah lempeng sambil menghabiskan apel di tangannya.
Acha kembali merengut. Dia jadi tidak enak harus bilang apa pada Zahra yang kemarin dengan wajah penuh harap menitipkan surat itu padanya. Tapi mau gimana lagi? Semenjak Acha duduk di kelas X, sudah banyak teman-temannya yang menitipkan salam dan surat untuk Rio lewat dia. Tapi jawaban Rio selalu sama. Jawaban standar. Dua kalimat itu: “Gua sibuk. Ga sempet mikir yang macem-macem”.

“Cepetan kalo mau berangkat sekarang. Motor udah gua panasin kok. Rotinya dibawa aja. Gua ada perlu nih di sekolah” kata Rio sambil berdiri dan menyelempangkan tas ranselnya.
Acha merengut, tapi sepertinya dia tidak punya pilihan lain. Sambil menyambar tasnya, Acha lari mengejar Rio. “Ma… Pa… Acha berangkat dulu yaaa…”

***

Sampai di parkiran sekolah, Acha turun dari motor dan menyerahkan helmnya kepada Rio. Mereka berjalan berdampingan menuju ke kelas mereka ketika berpapasan dengan Oik, teman sekelas Acha di kelas X dulu.

“Pagi Cha…”, sapa Oik ramah.

“Pagi Oik…”

“Pagi Kak Rio” sambung Oik sambil menoleh ke arah Rio.
Rio hanya mengangkat alis sambil terus berjalan. Dengan kesal, Acha menyikut Rio.

“Jadi orang ga usah terlalu cool kenapa sih?”

“Eh, cowok cool itu udah imej gua Cha.”
Acha cemberut, tapi lalu mengerutkan kening. “Kak Rio ngapain jalan ke arah sini juga? Kelas XII itu kan deretannya di sono tuh…”

“Kan udah gua bilang tadi, gua ada perlu. Gua mau ke kelas XI-IPA2”.
Jantung Acha terasa berhenti berdetak untuk sesaat mendengar kelas XI-IPA2 disebut-sebut.

“Sama siapa Kak?

“Sama Ozy”
Wajah Acha tiba-tiba terasa panas.

“Eh, salah ding. Ozy mah nama adiknya si Iyel. Gua perlunya sama si itu tuh, sama Alvin. Tuh kan, huruf awalnya rada sama sih, jadi aja gua ketuker-tuker..” lanjut Rio, menoleh ke arah Acha, dan langsung mengerutkan kening.

“Cha, kamu sakit ya? Kok muka kamu merah gitu?” kata Rio sambil menempelkan tangannya di kening Acha. “Tuh kan Cha, rada anget gitu… Kamu demam deh kayaknya.”
Acha menepiskan tangan Rio cepat. “Enggak kok Kak. Ini efek naik motor tadi. Eh, Kak, tu kelas XI-IPA2, aku ke kelasku dulu ya…” sahut Acha sambil melangkah cepat-cepat meninggalkan Rio. Saat melewati kelas XI-IPA2, Acha sempat melirik sebentar ke dalam kelas, dan serasa mau pingsan. Ozy sedang berdiri di depan papan tulis, tengah tertawa-tawa sambil bercanda dengan seorang cowok yang tidak dikenal Acha namanya. Acha semakin mempercepat langkahnya, dan memasuki kelasnya. Saking terburu-burunya, Acha menabrak seseorang yang sedang berjalan ke arah luar kelas.

“Weits… Sabar tuan putri… Belanda masih jauhhhh…” kata Deva yang ditabrak Acha.

“Belanda dari Hong Kong??!!” sahut Acha kesal.

“Wah, rupanya lu bangun dengan posisi yang salah ya tadi pagi? Semua orang juga tau kok kalo Belanda dan Hong Kong itu jauh…” jawab Deva sambil mengikuti Acha yang tengah berjalan menuju bangkunya. “Tapi biarpun dirimu lagi agak amnesia soal geografi, PR Matematika lu udah terjamin kaaann?” sambung Deva lagi dengan wajah mupeng.

“Rese!” omel Acha, tapi dia tetap mengeluarkan sebuah buku tulis dan mengangsurkannya ke arah Deva. Deva bertepuk tangan gembira.

“Acha… Kau memang tiada duanya. Bidadari turun dari kahyangan. Gua doain lu cepet dapet pacar deh Cha…” cerocos Deva sambil meraih buku itu. Tapi pada saat Deva berbalik menuju bangkunya, Nova sudah berdiri di hadapan Deva dan merebut buku Matematika milik Acha. “Eits. Tunggu dulu. Tunggu giliran Dev.” kata Nova sambil mengipas-ngipaskan buku milik Acha. “Lagian lu bilang apa tadi ke Acha? Mau doain dia cepet dapet jodoh? Asal tau aja ya Dev ya, sobat gua yang satu ini sekarang lagi nak…” kalimat Nova langsung terhenti begitu Nova menyadari bahwa Acha tengah melotot ke arahnya.

“Nak? Nak apaan? Naksir? Naksir gua ya?” kata Deva dengan GRnya…

“Enggak Dev. Nakut-nakutin.” Kata Nova berusaha menetralisir suasana.

“Nakut-nakutin gimana maksud lo? Apa hubungannya? Aneh deh…” balas Deva tidak mengerti

“Nakut-nakutin dirinya sendiri bahwa kalo sampai dia pacaran, ga bakal deh dia jadi juara kelas. Padahal lo tau sendiri kan kalo di kelas ini Acha teruuuus yang jadi juaranya?” karang Nova.

“Sungguh alasan yang aneh…” kata Deva sambil menggeleng-gelengkan kepala, sementara Nova sudah duduk dan mulai menyalin PR Acha. “Cha, minggir dulu deh, gua duduk sebelah Nova dulu dong, biar bisa barengan nyalin PR nya” kata Deva lagi sambil agak mendorong Acha. Setengah tidak rela, Acha berdiri dari kursinya, tapi masih sempat menoyor kepala Deva dengan pensilnya yang berwarna ungu. “Huuu… Udah nyontek, ngusir lagi…” omel Acha sambil melangkah keluar kelas.

***

Ozy sedang tertawa-tawa mendengar Obiet menceritakan pengalamannya saat mencari kucingnya yang hilang sampai harus dikejar-kejar anjing tetangga. Tiba-tiba Ozy melihat Acha yang berjalan cepat melewati kelasnya. Belum sempat Ozy menyapa, Acha sudah berlalu. Ozy mengeluh dalam hati. “Yah, ga sempet tebar pesona gua…” pikir Ozy dalam hati, “tapi gapapa lah… yang penting kemaren dia udah tahu bahwa ada yang namanya Ozy di sekolah ini”.
Obiet yang merasakan perubahan Ozy yang mendadak melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Ozy. “Zy? Woi! Liat apaan lu? Kayak habis liat setan aja…”.
Ozy tertawa, dan menyahut, “Bukan, habis liat bidadari ”. Obiet ikut tertawa.

“Wah Zy, kalo ada bidadari beneran di sekolah ini, Jaka Tarub nya pasti elu ya?”. Mereka tertawa bersama.

“Tapi ngomong-ngomong soal bidadari Zy, gua belum pernah denger elu punya gebetan
deh. Emangnya di sekolah ini yang lu anggap cantik bagaikan bidadari siapa Zy?” lanjut Obiet tiba-tiba.
Ozy terperangah, tidak menyangka akan ditanya seperti itu. Walaupun selama ini mereka berdua cukup dekat, Ozy tidak pernah bercerita kepada Obiet tentang bagaimana dia selalu diam-diam memandangi Acha dari jauh. Bahkan Ozy belum pernah bercerita pada siapapun. Dia masih merasa minder untuk bisa mengakui bahwa dia juga salah satu penggemar Acha di sekolah ini.

“Um… Sebenernya sih…” Ozy tengah menimbang-nimbang untuk memberitahu Obiet, saat melihat sosok seseorang di pintu kelas.

“Eh, Kak Rio. Cari siapa Kak?” sapa Ozy dengan ramah.

“Alvin udah dateng Zy? Gua mau nanyain, jadwal latihan basket yang baru gimana. Biarpun udah kelas XII, gua masih pengen ikut latihan rutin juga” sahut Rio.

“Wah, Alvin tadi ke Sekre OSIS tuh Kak. Kayaknya memang mau ngeprint jadwal itu untuk ditempel di papan pengumuman deh. Soalnya tadi dia dijemput sama Agni yang anak XI-IPA3, terus kalo ga salah denger, mereka ada nyebut-nyebut soal jadwal gitu” jawab Ozy.

“Oh, ya udah deh, gua nyusul mereka kesana aja” kata Rio sambil tersenyum. Rio kemudian berbalik dan melangkah menuju ruang OSIS. Ozy sendiri berbalik dan melangkah menuju bangkunya.

“Jadi Zy? Siapa?” kata Obiet tiba-tiba dari belakang Ozy. Rupanya Obiet masih penasaran dengan jawaban Ozy yang belum tuntas.

“Hah? Siapa apanya? Alvin?”

“Ngaco kamu Zy. Itu… bidadarinya sekolah ini menurut kamu siapa?”
Ozy tertawa. Bukannya menjawab, dia balik bertanya kepada Obiet.

“Kalo menurut lo sendiri Biet, siapa bidadarinya SMA Bina Putra?”

“Wah, kalo gua bilang sih… yang paling manis itu si Acha. Tau kan lo? Yang anak kelas sebelah? Adeknya Kak Rio tadi kan?”
Ozy nyaris tersedak permen karet mendengar kata-kata Obiet.

“Jadi maksud lo, lo naksir sama Acha?” Ozy berusaha supaya suaranya terdengar biasa-biasa saja.

“Zy, 11 dari 10 cowok di SMA ini naksir sama Acha.”
Ozy merogoh tasnya, mengeluarkan botol minum dan meneguk isinya. Pikirannya langsung rusuh. Tidak mungkin. Masa sih dia harus bersaing melawan sahabatnya sendiri?
Untunglah, sebelum Obiet menagih kembali jawaban Ozy, Cakka dan Lintar yang juga sekelas dengan mereka masuk. Dalam waktu singkat mereka sudah berbincang seru tentang pertandingan antar kelas yang akan dilangsungkan bulan depan. Tak ada yang menyadari, selama mereka bercakap-cakap, Ozy berkali-kali melempar pandangan ke arah pintu kelas, berharap sang bidadari itu lewat kembali…

***

Utami Irawati
PS Kimia FMIPA Unlam
>+62-81351396681
utami_irawati@yahoo.co.uk
@utamiirawati

Jumat, 02 September 2011

"JIKA ACHA DAN OZY JATUH CINTA" PART 1

PART 1 : SEJARAH CD HIJAU DAUN

Minggu siang yang menyenangkan. Matahari tidak bisa segarang biasanya, karena terhalang barisan awan mendung. Di sebuah toko kaset di salah satu mall di Jakarta, Acha sedang melihat-lihat CD yang dipajang. Diantara deretan yang ada, CD terbaru dari Ungu menarik perhatian Acha. Dia meraih CD itu untuk mengamatinya lebih jelas. Tapi ternyata, Acha bukan satu-satunya yang tertarik pada CD itu. Di saat yang bersamaan, seseorang juga meraih CD yang sama dengan yang ingin diambil Acha. Tak sengaja, tangan mereka berdua bertabrakan. Dengan kaget Acha menarik kembali tangannya.

“Ups, sorry!” seru Acha tertahan, langsung menarik tangan kanannya dan menyembunyikannya di balik punggung.

“Ga. Eh, ga papa kok maksudku” balas sang pemilik tangan tersebut, seorang cowok berambut ikal. Acha memandangi wajah cowok itu dengan kening berkerut. Ada yang sangat familiar dengan wajah cowok itu.

“Kayaknya kok aku pernah liat kamu ya?” kata Acha.
Cowok itu tersenyum. Melihat senyum itu, Acha semakin yakin. Dia pernah melihat senyum itu.

“Acha ya? Aku Ozy. Kita sama-sama di SMA Bina Putra. Tapi aku di kelas XI-IPA2. Kamu di kelas XI-IPA1 kan ya kalo ga salah? Yang kelas unggulan itu?”
Acha mengangguk. Tatapan matanya sudah berpindah dari wajah Ozy ke CD lain yang ada di tangan Ozy.

“Umm… Ituuuu… CDnya ST12 ya?” kata Acha sambil menunjuk CD yang dipegang Ozy.

“Yang ini? Iya. Kenapa? Kamu suka juga ya?” Ozy mengacungkan CD yang ada di tangannya.

“Hah? Suka? Please deh ya… Melayu gitu…” kata Acha, sedikit ketus.
Ozy tertawa, dan bertanya kembali, “Memangnya kenapa ga suka? Lagunya enak-enak kok…”
Acha melengos. “Enak? Enak buat ngamen maksudmu?”.
Ozy kembali tertawa. Tiba-tiba Acha merasa, tawa itu seperti memiliki magnet. Acha setengah mati menahan diri untuk tidak terpaku menatap wajah Ozy. Dengan gugup dia membolak-balik CD yang tertumpuk rapi di rak di depannya.

“Ya ampun Cha… Kamu ini memang ga suka, atau cuma gengsi aja sih?”
Acha melotot. “Beneran ga suka kok! Sorry ya, tapi yang model Melayu gitu bukan selera aku banget ”
Ozy tersenyum ramah, “Ya gapapa juga sih, namanya selera orang kan beda-beda… Eh, tapi kalo didengerin bener-bener, lagu Melayu enak kok… Atau perlukah aku menyanyikannya di depan kamu sekarang?”
Acha menggeleng kuat-kuat. “Enggak! Ga usah! Lagian aku ga punya waktu. Ini aku udah ketemu CD yang aku cari kok. Aku mau bayar sekarang” seru Acha dengan nada agak kesal, sambil melambaikan CD yang dia ambil dengan tergesa-gesa karena gugup.
Ozy malah tertawa kembali, membuat Acha semakin gugup. Wajah cowok ini kalo tertawa ternyata bisa begitu menarik, membuat Acha kehilangan kata-kata.

“Yakin kamu mau beli yang itu Cha?” kata Ozy sambil menaikkan alisnya dan tersenyum menggoda Acha.

“Iya! Aku suka kok sama..” Acha berhenti sebentar untuk memperhatikan sampul CD yang dia ambil secara acak tadi, dan ternganga.. “… Hijau Daun??? Kok keambil yang ini siiih?”. Acha merasa wajahnya semakin panas. Dia tidak berani membayangkan betapa merahnya wajahnya di depan Ozy saat ini.
Ozy tersenyum, dan mengangsurkan sebuah CD yang lain. “Kalau CD Gita Gutawa ini, mungkin lebih cocok ga dengan selera kamu?”.
Dengan cepat Acha mengambil CD itu dari tangan Ozy, dan meletakkan kembali CD Hijau Daun itu ke rak di depannya. “Iya. Ini dia yang aku cari dari tadi. Kamu sih gangguin aja, Jadi aja aku salah baca” kata Acha berusaha mencari alasan.

“Lho? Aku kan ga ngapa-ngapain” kata Ozy sambil mengangkat bahu. Acha melengos kembali dan langsung melangkah menuju kasir. Acha berdoa semoga Ozy tidak merasakan kegugupannya. Di depan kasir, Acha mencuri pandang kembali ke arah tempat Ozy berdiri. Ternyata Ozy masih memandanginya, sehingga tak ayal pandangan mata mereka beradu. Ozy tersenyum, dan melambaikan tangannya ke arah Acha. Acha membuang muka. Buru-buru dia menyerahkan uang dan menerima plastik berisi CD dari si kasir. Acha langsung melangkah keluar. Begitu sampai di pintu keluar mall, baru dia sadar. “Ya ampuuuunnn… Kan kemarin Kak Rio sudah beliin aku CD nya Gita Gutawaaaa….!”, seru Acha tertahan sambil menepuk keningnya.

***

Ozy tidak bisa berhenti tersenyum. Dia lupa tadi malam dia mimpi apa. Tapi sepertinya mimpi baik deh. Buktinya tanpa disangka tanpa dinyana, dia bertemu dengan si cewek imut bermata bulat dari kelas sebelah. Bahkan sampai bisa memandangi wajah manis itu memerah, yang terlihat lucu sekali. Di sekolah, jarang-jarang dia bisa dapat kesempatan sebaik ini. Maklumlah, Acha memang kembangnya SMA Bina Putra. Tapi kabarnya, tidak banyak yang berani mendekati Acha karena merasa segan dengan Rio, kakak Acha satu-satunya yang duduk di kelas XII. Dan Rio yang “dewa basket” itu pernah sesumbar, jangan sampai ada cowok sembarangan yang berani mendekati adiknya. Dengan ancaman semacam itu dari seorang mantan Ketua OSIS, tidak banyak cowok yang berani mendekati Acha, termasuk Ozy. Apalagi sikap Acha di sekolah yang memang relatif dingin terhadap anak-anak cowok.
Ozy masih memandangi Acha yang berdiri di depan kasir, untuk membayar CD yang dia beli. Tiba-tiba Acha menoleh ke arahnya, sehingga mata mereka bertatapan. Ozy langsung tersenyum lebar sambil berharap senyumnya terlihat manis di mata Acha, dan melambaikan tangan. Bukannya balas melambai, Acha malah membuang muka ke arah lain. Seiring dengan gerakan kepalanya, buntut kuda Acha yang dihiasi selembar pita ungu bergaris-garis perak ikut bergerak-gerak lucu. Ozy memasukkan tangannya ke saku jeansnya, memandangi Acha yang keluar dari toko. Setelah Acha tidak kelihatan lagi, Ozy meraih CD Hijau Daun yang tadi sempat diambil Acha.

“Yah, walopun gua udah punya CD mereka yang ini, gua beli deh… kan udah pernah
dipegang Acha”, Ozy membatin sambil melangkah ke arah kasir.

***

Di kamar, Acha memelototi sejumlah baris soal Fisika. Setengah mati dia berusaha berkonsentrasi pada PR Fisika sialan itu. Tapi entah kenapa, huruf-huruf di bukunya seakan bertebaran keluar. Yang muncul di halaman buku itu justru wajah seseorang dengan senyuman manis yang sebenernya ingin membuat Acha balas tersenyum. “Aaaarrrrggghhh… Gua kenapa siiihhh…” kata Acha dengan kesal. Akhirnya Acha menyerah. Moodnya malam ini memang bukan untuk mengerjakan PR Fisika. Dia meraih handphonenya yang tergeletak di meja belajar, memencet sejumlah tombol, dan membanting dirinya di tempat tidur sambil menunggu telponnya diangkat. Baru tiga kali nada sambung, sebuah suara yang sudah dikenalnya bertahun-tahun terdengar.

“Ya Chaaaa….”

“Novaaaa…. Gua pusiiiiinggg….”

“Ya ampun, kayaknya langit mau runtuh deh kalo sampai juara kelas kita aja sampe pusing. Pasti gara-gara PR Matematika itu ya? Iya nih, aku aja udah mengalami pendarahan otak nih gara-gara ngerjain tu PR. Pak Duta emang ga kira-kira ya kalo ngasih PR. Duh, aku mendingan ngepel lapangan basket 5 kali deh daripada ngerjain 10 soal dari Pak Duta”

“Nova, bisa ga sih kamu kalo ngomong ga usah lebay? Lagian PR Matematikaku udah selesai dari kemaren kok. Ini aku tadinya lagi ngerjain PR Fisika.”

“Achaaaaa… Kamu udah kehilangan akal sehat ya? PR Fisika itu baru dikasih kemaren siang. Dan kata Bu Winda kan dikumpulnya minggu depan. Yang artinya kita punya waktu enam hari. Masih ENAM hari Cha. ENAM. Ngapain kamu ngerjain sekarang?? Eh, tapi berita bagus tuh kalo kamu udah selesai dengan PR Matematika yang seperti jarum neraka itu. Besok bisa dong teman sebangkumu ini terselamatkan dari hukumannya Pak Duta?”

“Nova, kamu sadar ga sih, selain lebay, kamu itu kalo ngomong ga pake titik koma?”

“Sadar kok. Tapi kan elu doang yang protes. Baidewei, tumben nih kamu pake acara setres segala ngerjain PR?”
Acha menghela nafas. Tiba-tiba saja dia jadi ragu untuk bercerita kepada Nova. Acha memang sebangku dengan Nova semenjak kelas X kemarin, sehingga sudah tahu benar betapa cerewetnya Nova. Tapi bagaimanapun juga, walaupun cerewetnya mengalahkan petasan cabe rawit yang berpadu dengan mercon, dia betul-betul teman sejati bagi Acha.

“Eh, tapi lu jangan ribut dan mikir yang macem-macem dulu ya, apalagi pake siaran berita segala.”

“Hah? Tapi kan aku punya reputasi yang harus dijaga sebagai sumber gosip terpercaya. Hehehehe… Tapi demi sahabatku tersayang ini, apa sih yang enggak… Come on honey, ceritakan padaku apa yang tengah mengganggu jalan pikiranmu”
Acha tersenyum. Inilah yang dia suka dari Nova, Nova selalu bisa membuat dia tertawa.

“Umm…Nov, kamu kenal sama anak-anak kelas XI-IPA2 ga?”

“Duh, pliiiiis dong ah Cha. Nova gitu lhooo… Salah satu tujuan gua ikut ekskul dance dan vokal grup kan supaya bisa kenal sama orang dari berbagai kelas plus gosip dan info faktual terbaru tentang merekaaa… XI-IPA2 ya? Yang mana? Obiet yang Ketua PMR itu? Anaknya lumayan manis sih, tapi kalo diajakin ngomong, jawabannya pendek-pendek melulu. Atau jangan-jangan si Cakka ya, yang jadi gitaris band sekolah kita? Aaaaahhhh….!!! Elu naksir Cakka ya Cha? Jangaaaann… Kau akan membuatku patah hatiiiii… Eh, tapi gapapa ding. Kalo Cakka pacaran sama kamu sih aku rela kok, tapi kalo aku boleh jujur, kalian bakal rada njomplang. Lo berdua emang sama-sama putih sih.. Tapi kan Cakka tinggi, sementara lo yang kurus gitu tingginya aja paling sebahunya Cakka doang…”
Acha menepuk kepala. Satu kalimat pendek dari Acha dibalas dengan ribuan informasi ga penting dari Nova.

“Yeee… Nuduh. Bukan.”

“Terus? Yang mana dong? Atau maksud kamu ceweknya? Aku sih yang kenal banget sama si Keke doang, sama-sama di vokal grup soalnya.”

“Umm…. Kalo sama Ozy, kamu kenal ga?”

“Hah? Ozy? Ya jelas kenal laaaahhhh… Anak itu kan senyumnya maniiiiis banget. Kamu pikir selama ini kalo aku ke kantin bareng kamu ngapain coba aku senyum-senyum ga jelas pas ngelewatin kelas XI-IPA2? Ya biar bisa berbalas senyum dengan Ozy doooonggg… Kenapa? Kenapa? Kamu naksirnya sama Ozy ya? COCOK! Huhuuuuuiiiii… Akhirnya sobat gua bisa naksir cowok! Gua selama ini sempet rada curiga sama elo Cha, habis kalo ditanya siapa cowok yang menurut elo cakep, masa jawaban lo Simba ? Alhamdulillah Ya Allah, terima kasih sudah menunjukkan jalan yang benar pada sahabat hamba ini….”
Acha tiba-tiba merasa menyesal bercerita pada Nova. Tapi sudah kepalang tanggung.

“Eh, siapa bilang? Enggak kok! Gua cuma pengen cerita kalo tadi gua ketemu sama dia di toko kaset”

“Kalo ga naksir, ngapain lu cerita segala? Kan sering kita ketemu sama temen kita di luar sekolah. Kata Deva aja kemaren dia ketemu elu lagi makan sama Olivia di mall, lu ga ada cerita ke gua. Sekarang ga ada angin barat timur utara selatan, tiba-tiba elu ceritaaa… Hayoooo… Kenapa tuuuhhh… Lagian kalo naksir juga ga papa kok. Setau gua Ozy belum punya cewek kok.”
Jantung Acha tiba-tiba berdegup kencang. Dan tanpa sadar, Acha langsung bertanya:

“Eh, beneran dia belum punya cewek?”

“NAH! TUH KAN! Kalo lu ga naksir, ngapain lu jadi semangat gitu nanyain statusnya Ozy??? Beneran. Di Facebooknya dia juga kan status dia single. Tapi dia emang baek gitu kok sama semua orang, termasuk sama semua-mua-mua cewek yang ada di sekolah. Ramaaah banget. Dia senyum terus sama semua orang. Bahkan kabarnya nih, lu tau Kak Dea kan? Dia cuma bisa ramah sama Ozy doang… “

“Oh gitu? Masak sih?” Acha semakin tertarik mendengar cerita Nova.

“Iyaaa… Tapi kayaknya itu faktor keturunan kali yaaa… Lu tau dong sama Kak
Gabriel? Pasti kenal kan? Temennya Kak Rio juga kan? Nah, Ozy itu adeknya Gabriel. Lu tau sendiri lah Kak Gabriel ramahnya gimana. Sampe dipilih sebagai Senior paling baik hati selama 2 kali MOS berturut-turut! Duh, coba aja Kak Gabriel belum pacaran sama Kak Ify, gua udah ngejar-ngejar dieeee…”

“Nov, fokus Nov. Kita tadi lagi ngomongin Ozy. Kok jadinya malah ngebahas Kak Gabriel sih?”

“Eh, iya… Muaaph… Kenapa… kenapaaaaa… Jadi kau bertemu dengan Ozy nih tadi siang?”

“Ya gitu deh…”, Acha menceritakan kembali kejadian tadi siang pada Nova, diselingi Nova yang tertawa terbahak-bahak mendengar betapa gugupnya Acha hanya karena disenyumin Ozy.

“Jadi gitu Nov… Dan ga tau kenapa, sampe malem ini aku jadi keinget Ozy melulu nih…”

“Itu….. Tandanya…… KAMUNAKSIRDIA!!!”

“Novaaaa…!!! Ah, udah ah… Capek gua lu ledekin mulu. Udah dulu ya Nov.”

“Yah Chaaaaa… Kok udahan siiiihhh… Kan gua masih pengen tau gimana perasaan sobat gua yang baru pertama kali ini tertusuk panah asmaraaaa…”

“HEH! Awas lu ya, ga usah cerita sama siapa-siapa!!! Udah ah, gua ngantuk. Sampai ketemu besok di sekolah ya Nov…”

“Oke deeeehhh… Baibai cintaaaaa…. “ sahut Nova dengan gaya lebaynya yang khas sebelum menutup telfon.
Acha meletakkan handphonenya di samping bantal. Perasaannya sedikit lega setelah
berbicara dengan sahabatnya. Tiba-tiba handphonenya berdering lagi, nama Nova berkedap-kedip di layar. Dengan terburu-buru Acha mengangkatnya, siapa tahu ada informasi lain tentang Ozy yang belum tersampaikan oleh Nova.

“Ya Nov??”

“Cha, ntar gua lupa. Besok lo pagian dikit ya datengnya, bawain gua PR yang dari Pak Duta itu tadi. Jangan lupa ye Mpokk… Harga diri teman sebangku lo ini ditentukan oleh PR itu niihh… Dadaaaahhh…”
Belum sempat Acha menjawab, Nova sudah memutuskan sambungan. Acha dengan kesal melemparkan handphonenya ke sebelah bantal, dan merebahkan kepalanya. Tapi sebentar saja, kekesalannya pada Nova sudah pupus, tergantikan bayangan kejadian tadi siang.
Tanpa sadar, dia tersenyum sendiri mengingat kata-kata Nova tadi, bahwa Ozy belum punya pacar. Dan Acha pun tertidur dalam keadaan tersenyum.

***

Ozy berbaring menatap langit-langit kamarnya. Kedua tangannya mengalasi kepalanya. Ada seraut wajah manis yang seakan terukir di langit-langit kamar. Wajah manis berponi dengan buntut kuda yang seakan menari-nari setiap pemilik rambut indah itu menggerak-gerakkan kepalanya. Ozy tersenyum sendiri… sampai tiba-tiba sebuah penghapus karet menghantam hidungnya.

“ADUH!” Ozy sontak terduduk dan mengusap-usap hidungnya, sementara Gabriel tertawa nyaring di samping meja belajar. “Kak Iyel ini apa-apaan siiihhh… Ganggu, tau ga!” Ozy balik melemparkan guling ke arah Gabriel, yang dengan mudah ditangkis oleh Gabriel.

“Ganggu apaan? Wong kamu lagi ga ngapa-ngapain kok Zy…”

“Ganggu orang lagi mikir!!!”

“Mikirin apaan? Mikirin soal Fisika? Ini aja yang di atas meja ini belum kamu selesaikan. Lagian mikirin apa sih kamu sebegitunya sampe aku masuk aja kamu ga denger…” sahut Gabriel sambil duduk di kursi di depan meja belajar Ozy.

“Ah… Susah ngomong sama orang sok tau. Kak Iyel mau ngapain? Mau pergi ya?” sahut Ozy melihat Gabriel yang sudah berpakaian rapi. Gabriel terlihat semakin tinggi dalam kemeja garis-garisnya. Ozy mengeluh dalam hati, kenapa gen yang mengatur tinggi badan sepertinya terkonsentrasi pada kakaknya ya?

“Iya, gua mau nonton sama Ify. Dia pengen nonton Percy Jackson katanya. Jadi yaaa… Secara gua adalah pacar yang baik, ya gua temanilah dia menonton malam ini.” Gabriel mengusap rambut ikalnya.

“Terus kesini mau ngapain? Nyari kunci motor? Tuh, di paku samping pintu…” tunjuk
Ozy.

“Seeeeppp…. Tapi Zy…”

“Apalagi? Bensin? Udah gua isi kok habis gua pake tadi.”

“Enggak. Lu belum jawab pertanyaan gua tadi. Lu lagi mikir apaan sih?” kata Gabriel
Belum sempat Ozy menjawab, Gabriel mengangkat tas plastik transparan berisikan CD Hijau Daun yang baru dibeli Ozy tadi siang sambil berseru, “Ya ampun Zy… Lu sebegitu ngefansnya kah sama Hijau Daun sampai-sampai lu punya DUA CD mereka?”
Ozy langsung meloncat dan merebut tas itu dari tangan Gabriel. “Heh! Jangan dipegang-pegang! Nanti nilai bersejarahnya rusak!” seru Ozy.
Gabriel mengangkat alis dengan bingung. “Nilai bersejarah apaan? Adakah hubungan antar nilai sejarah CD Hijau Daun ini dengan apa yang kau pikirkan tadi?”

“Ada deeeehhh…” sahut Ozy sambil menyimpan plastik tadi di bawah bantalnya. Pada saat itu, terdengar dering handphone milik Gabriel.

“Ya udah deh. Terserah. Kalo akhirnya lu memutuskan untuk cerita, cerita aja nanti. Tapi sekarang, gua cabut dulu ya… Si cantik sudah memanggil…” kata Gabriel sambil meraih handphonenya dan melangkah keluar.

“Ya deh… Sanaaa… Salam buat Kak Ify ya…” seru Ozy pada Gabriel. Gabriel tidak lagi menyahut karena sudah berbicara dengan Ify lewat handphone, Gabriel hanya melambai ga jelas pada Ozy. Sekilas Ozy masih mendengar suara Gabriel samar-samat berbicara: “Iya Fy… Ni baru mau berangkat, tadi habis nyari kunci motor dulu. Aku ga bakalan telat kok…”.
Ozy kembali membanting dirinya ke atas kasur. Sambil berbaring Ozy merogoh ke bawah bantalnya, mengeluarkan CD yang dibelinya tadi. Sambil tersenyum-senyum sendiri, Ozy mendekap CD itu sambil membayangkan wajah manis Acha. Ozy tidak tahu, bahwa beberapa kilometer dari sana, seorang Acha pun tengah terlelap sambil menyimpan senyum membayangkan raut wajah Ozy yang sedang tertawa…

***

Utami Irawati
PS Kimia FMIPA Unlam
>+62-81351396681
utami_irawati@yahoo.co.uk
@utamiirawati

Kamis, 01 September 2011

"JIKA ACHA DAN OZY JATUH CINTA" ( KAK AMI )


Oke. Saya disini mau bicara tentang kak Ami dan Cerbung nya 'JAdOJC' (?)
Ka Ami ini penulis yang bisa membuat saya terkagum-kagum loh teman-teman. Dulu pas saya dapet FS ning, terus baca cerita2 disana, bagus bagus dan kreatif. Tapi entah kenapa pas baca cerbungnya kak Ami yang ini, kok berasa beda gitu ya, rada plong aja gitu. Alurnya asyik. Terus konfliknya pas banget. ga terlalu berat, juga ga terlalu ringan. Pembahasaannya juga enak pake banget bacanya. WOW! Terus Kak Ami gak pernah lama banget kalau ngepost. Dia gak bakal bikin pembacanya menunggu lama. Ah saya ngefans banget mah sama karya-karyanya Kak Ami. Ehm! Catat sekali lagi. KARYANYA! bukan Kak Aminya ya:p Kabooor:p

Haha. Tapi semenjak satu tahun yang lalu, ning ditutup, beh hidup terasa hampa deh tanpa FF ICL. Apalagi sama cerita-cerita kak Ami yang selalu menjadikan Acha dan Ozy sebagai pemeran utamanya. Ah kangen bangeeeet bangetan deh. Nah untung aja saya berusaha keras buat nyari facebook sama twitternya ka Ami. akhirnya dapet tuh beberapa bulan yang lalu. terus saya ubek2 notesnya di fb, ko gaada cerbung 'Jika Acha dan Ozy Jatuh Cinta' ya? Aih deperesi deh saya. Mau nanya ke ka ami, takutnya dibilang sok kenal, mau mensyen di twitter, takut dikacangin.

Tapi beberapa hari yang lalu, saya memberanikan diri buat mensyen kak Ami dan ternyata, AAAAAA DIBALAS LOH temanteman!;D Dan akhirnya saya dapet lagi cerita JAdOJC itu di Fbnya Cut Rizky Ananda. Naah jadi intinya, saya mau re-post cerbung nya Ka Ami di blog saya. Buat sekedar baca-baca dan penghibur kalo lagi bete. Terus juga sekalian share ke teman-teman gitu maksud saya. Jadi, bolehkah saya re-post ceritanya kak ami? Tunggu jawabannya kak Ami dulu yaaaaaa;) Bye teman! Please wait!

Twitter @utamiirawati
Facebook : Utami Irawati