Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Rabu, 31 Agustus 2011

"CINTA KEDUA" PART 21

Halo! Sebelum baca, minal aidzin dulu ya cemanceman;) Mohon maaf lahir batin ya semua:) Maaf kalau saya ada salah sama kalian. Catat. Kalau Ada! Oke~ Happy reading!


***


Sudah tiga hari ini Sivia terlihat uring-uringan. Semenjak pertemuan laknat itu terjadi, ia lebih sering menyendiri di kamar. Di sekolah pun jarang untuk dirinya keluar dari kelas. Lagi males. Itu alasannya kepada Shilla. Aslinya? Ia ingin menghindar dari Rio. Senyum Ify yang tulus sangat tidak mungkin untuk di hancurkan olehnya. Ia tak akan pernah melakukan hal setega itu. Setiap ketika berpapasan dengan Rio dan Ify, hanya senyum yang ia sunggingkan. Sekedar membalas halo atau pura-pura tidak melihat pun sudah barang dilakoni oleh Sivia.

"Sivia? Kantin yo?" tegur Shilla sambil mencolek lengan Sivia pada jam istirahat.

"Males Shill. Gue gak laper ah." Jawab Sivia ogah-ogahan.

"Lo kenapa sih Vi? Lo beda tau gak!" Sivia bisa melihat raut muka Shilla yang berubah menjadi sedikit serius. "Cerita dong sama gue. Gue jadi ikutan bad mood nih kalo elonya ga napsu gitu." Ujar Shilla jujur. Memang dirinya sudah menyadari tingkah laku Sivia yang akhir-akhir ini seperti menyimpan banyak masalah.

"Gue gak papa Shill! Gue cuman lagi pengen sendiri aja kok. Lo kantin deh sana. Cacing lo bikin orasi gede-gedean tuh. Buktinya kedengaran sama gue. Hahaha..!" Sivia mencoba meyakinkan.

Shilla menyerah. Selalu jawaban itu yang keluar dari bibir merah Sivia. "Huuh. Iyadeh! Lo tau aja kalo gue lagi laper. Tapi kalau lo mau cerita, gue siap kok nampung cerita lo!"

"Iya! Iya! Bawel bener deh lo."

"Asem! Mau titip gak lo?"

"Enggak deh."

"Yaudin. Dah Viaa."


***


Shilla memasuki area kantin yang sudah dijejali dengan murid-murid yang sudah diambang pintu kelaparan. Matanya jelalatan mencari menu makanan yang akan dipesannya. Satu stand disana sepertinya sukses menarik perhatiannya. Melangkahlah kakinya menuju stand yang ia inginkan.

"Eh, Cakka sama anak baru itu pacaran gak sih menurut lo?"

"Nah itu yang mau gue tanyain. Gue juga bingung deh."

"Dibilang pacaran kaya engga pacaran deh. Abisan ga ada mesra-mesranya. Iya gak?"

"Iya iya gue juga mikir gitu. Pulang pergi aja barengan, terus pas di sekolah biasa aja tuh."

Samar-samar Shilla mendengar pembicaraan beberapa kelompok geng di kantin itu. Dia berdiri di stand bakso untuk memesan semangkuk bakso. Namun diurungkan niatnya itu karena ia ingin menajamkan telinga nya sejenak. Jelas yang sedang dibicarakan adalah Cakka. Mantannya. Sekolahnya kan hanya mempunyai satu murid yang bernama Cakka. Dan ia harus tahu apa yang terjadi pada Cakka.

"Gue penasaran deh sama tuh cewe. Baru juga jadi murid baru disini, eeh langsung bisa dapetin Cakka. Belagu banget kan! Envy gue jadinya."

"Gue juga! Eh balik yo gue belom ngerjain bahasa nih."

"Masa ada? Astajim! Gue lupa! Oke cabut!"

Sesaat Shilla tercengang. Anak baru? Siapa? Memang akhir-akhir ini ia jarang bertemu dengan Cakka. Pesan yang dikirimnya beberapa hari yang lalu saja tidak dibalas oleh Cakka. Shilla semakin penasaran. Apa cewek itu yang membuat Cakka berpaling? Apa cewek itu yang membuat hubungannya dengan Cakka kandas begitu saja? Siapa cewek itu? Hatinya mulai memanas.

"Neng? Mau pesan bakso?"

Suara abang tukang bakso mengagetkan Shilla. "Eh? Nggak bang." Dengan langkah besar, Shilla meninggalkan kantin itu. Pikirannya tak menentu. Ternyata yang katanya 'anak baru' itu yang lagi deket sama Cakka. Oke! Dalam hati dikuatkan niatnya untuk mencari tahu tentang anak baru itu.
Siapapun orangnya, ia akan meminta pertanggung jawaban yang pasti!



***


Sivia melihat Shilla yang berlalu hilang di balik pintu kelasnya. Kini hanya tinggal dirinya sendiri di kelas itu. Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Tidak ada satu panggilan masuk ataupun pesan. Dengan malas dimasukkannya kembali ponsel itu ke dalam tas. Ia melungkupkan kepalanya di atas meja. Terngiang kembali wajah Ify yang tersenyum penuh bahagia melihat Rio. Senyum yang sampai saat ini masih dijaganya. Dan tak akan pernah dihancurkannya. Meski hatinya terluka, ia berjanji akan menjaga senyum manusia yang ia sayangi.

Sivia menutup kedua matanya. Ia ingin melupakan pikiran itu. Tapi bagaimana caranya? Rasa cintanya dengan Rio masih ada. Dan mungkin tidak akan pernah hilang. Bagaimana bisa ia bersikap cuek kepada Rio padahal dalam hatinya sakit? Haah ia mengingat-ingat lagi bagaimana teduhnya wajah Rio saat membiarkan tangan Ify bergelayut manja di tangannya. Saat Ify memanggil Rio dari kejauhan dan Rio membalasnya dengan senyuman. Saat mereka bertiga bertemu dan naasnya Rio sudah memilih Ify sebagai pacar barunya. Ah kalau tidak ada Cakka kemarin, mungkin air mata itu sudah berjatuhan tanpa henti di depan Rio dan Ify.

Ehm! Cakka? Coba ulangi? Cakka? Kenapa nama itu tiba-tiba terlintas di otaknya? Memang Sivia tidak merutuki kedatangan Cakka waktu itu. Malah jauh dalam lubuk hatinya ia berterima kasih kepada sosok Cakka yang entah mengapa sedikit banyak bisa membuatnya sedikit tenang. Namun, rasa gengsi nya yang besar-besaran masih sanggup berdiri kokoh dihadapan Cakka.

Sivia membuka matanya. Getaran ponsel di dalam tas membuatnya bangun untuk meraih benda itu sekaligus membunuh pikiran tentang Ify,Rio dan tentu saja Cakka.

"He? Tumben pake banget ni orang gila sms?"

Dengan malas Sivia membuka pesan singkat itu.

From : Cakka

Siv, lo ga ke kantin? Ga makan lo? Ntar sakit?

Sivia mengerutkan keningya. Apa maksudnya si Cakka? Entah mengapa kupingnya terasa memanas membaca pesan dari Cakka itu. Kenapa? Yah siapa saja perempuan normal yang dapet sms kaya gitu dari seorang lelaki kan pasti senyum-senyum gajelas toh? Dan hal itu kurang lebih sama seperti keadaan Sivia sekarang.

"Sialan nih Cakka! Ogah banget gue kemakan perhatiannya."

Sivia menggelengkan kepalanya. Ia sadar kembali kalau Cakka adalah manusia waras yang setengah gila. Ia bersumpah dalam hati tidak untuk kedua kalinya termakan perhatian palsu Cakka.

To : Cakka

Engga. Males. Knp emang?

From : Cakka

Kok engga ke kantin? Oke gue jemput ke kelas lo sekarang ya

Sivia meremas ponselnya. Kemudian menghentak meja dengan kepalan tangannya. Apalagi rencana sialan Cakka? Apa perlu satu sekolah tau kalau mereka pacaran? Engga kan? Sivia merutuki Cakka. Bibirnya komat-kamit mengumpat nama Cakka. Dahsyatnya kebencian yang disimpan Sivia rapat-rapat sepertinya sekarang sedang meluap. Apa lagi sih maunya Cakka?

"Kantin bareng gue yok Siv!" suara itu terdengar jelas di telinga Sivia. Suara Cakka. Suara yang membuat Sivia bertambah keki. "Cepet banget lo nyampe sini? Serius lo mau kantin bareng gue? Gue mah ogah!"

Sivia melihat Cakka berdiri di depan pintu kelasnya sambil bersandar pada daun pintu itu dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sok cool banget, pikirnya. "Mau gak mau, lo harus ikutin permintaan gue kan? Inget ga lo? Apa perlu gue jemput ke situ? Terus gandeng tangan lo ke kantin? Itu mau lo?"

Sivia geram. Ia menghentakkan kakinya. Dengan langkah ogah-ogahan, dia berdiri lalu berjalan mendekati Cakka. Ia sempat melengos ketika lewat di depan Cakka. Senyuman sinis itu terlihat jelas lagi di wajah Cakka. Sivia benar-benar heran dengan kelakuan super ajaib si Cakka. Baru aja beberapa hari yang lalu Cakka sukses menenangkannya, eh malah sekarang diganggu lagi. Masya Allah..

"Lo kok maksa banget sih? Terserah gue juga kali mau ke kantin apa engga!"

"Pede banget lo? Gue maksa lo ada tujuannya kale!"

Sivia menghela nafas panjang. "Apa lagi sih?"

"Gue lupa bawa dompet. Kita makan pake duit lo. Oke?"

GUBRAK -_-

Sivia memutar bola matanya. Lalu dengan malas berjalan mengikuti Cakka yang sudah jalan terlebih dahulu menuju kantin. Dasar kurang ajar! Pikirnya.

"Gue mampir ke perpus bentar."

"Ah! Oke lima menit! Gak pake lebih!"


***


Sivia memasuki perpustakaan itu. Luas memang. Namun sangat sepi menurutnya. Pada jam-jam seperti ini pasti anak-anak lebih menggandrungi kantin daripada membaca atau meminjam buku di tempat seperti ini. AC yang ada pada ruangan itu sedikit menyejukkan tubuhnya. Hanya ada satu atau dua anak yang berada di situ. Ia berkeliling untuk mencari rak novel yang katanya Shilla berada di pojok perpustakaan itu.

Sivia melangkahkan kakinya sambil tersenyum lebar saat matanya melihat novel yang dicarinya.
Novel twilight itu sudah menjadi targetnya dari hari kemarin. Namun ia belum sempat mampir ke perpustakaan karena memang ia sedang tidak ingin keluar dari kelas. Karena ia pasti akan bertemu dengan dua manusia yang sekarang sedang dihindari keberadannya.

"Sivia?" sebuah suara memaksa Sivia untuk berhenti dari aktivitasnya. Tangannya sudah menjangkau novel itu. Namun ditariknya kembali. Sekilas ia mengenal suara yang ia dengar menyerukan namanya itu.

Saat Sivia berbalik. Betapa kagetnya dia melihat laki-laki itu. Wajah teduh yang tidak dihiraukannya beberapa hari belakangan, muncul kembali ke hadapannya. "Hai Vi!"

Sivia tersenyum sekilas. Jantungnya berdegup kencang. Matanya tak mampu menatap mata Rio. Hatinya tak keruan. Laki-laki manis di hadapannya ini berdiri dengan tidak semangat dan menatap tajam ke Sivia. Sivia jelas melihat kantung mata Rio yang agak membesar. "Kak Rio? Kakak kenapa?"

Terlintas rasa prihatin di hati Sivia. Melihat keadaan Rio seperti itu, ingin rasanya ia memeluk Rio. Mencoba memberikan perhatian yang sebenarnya juga ingin ia rasakan. Mencoba menenangkan Rio dari masalahnya. Walaupun ia tak tahu apa sebabnya. Mungkin ini ada hubungannya dengan Ify.

Ify? Ah nama itu lagi. Sivia menggigit bibir bawahnya. Ia menyapukan pandang ke arah belakang, sisi kanan dan sisi kiri Rio. Ia mencari sosok Ify. Namun, bola matanya tak menemukan objek yang dicarinya. Satu hal yang ia dapatkan, mungkin sekarang Rio tidak sedang pergi bersama Ify.

"Vi?" merasa terpanggil, Sivia menghentikan pencariannya dan lalu menatap Rio. Rio menyunggingkan senyum termanisnya. Namun entah mengapa, ada rasa sakit yang mendera disana. Senyum Rio terkesan pahit. "Aku mau nanya.." Ia tak tahu apa pertanyaan yang ingin ia utarakan benar atau salah. Ia menarik nafas panjang. Dan lalu menghembuskannya perlahan setelah itu, senyum kepiluan tertampak jelas di wajahnya.

"Kamu.. Kamu beneran pacaran sama Cakka?" tanyanya. Sebenarnya Rio sengaja mengikuti Cakka tadi. Feeling nya mengatakan Cakka akan pergi menemui gadisnya. Dan ternyata memang benar. Cakka mendatangi Sivia. Rio bisa merasakan sakit yang teramat sangat. Dengan diam-diam ia ikuti kedua orang tersayangnya itu. Dan sampailah ia disini. Di perpustakaan ini. Bersama Sivia. Yang mungkin sudah menjadi pacar sahabatnya.

"Eh? Cakka? Emm.." Sivia tak mampu berkata apapun. Ia terkejut mengapa dengan cara tiba-tiba Rio menanyakan hal seperti itu kepadanya. Dengan kata lain, Sivia yakin Rio masih menyimpan perasaan yang sama dengannya. Ia tak ingin menyakiti Rio. Tapi, ia juga tidak ingin menyakiti Ify. Dengan situasi seperti ini, bisa saja Sivia meluapkan perasaan liarnya itu dengan mengajak Rio kembali kepadanya. Namun, ia masih punya hati. Masih ingat satu kalimat yang ada di kamus Sivia? Jika orang yang disayanginya bahagia, maka dia akan ikut bahagia. Dan itulah yang akan dilakukannya untuk menjaga senyum manis Ify. Walaupun ia tahu, perasaan ini tidak akan bisa ia tahan.

"Jawab Vi.."

"Itu…" Sivia bingung. Air matanya sedikit banyak menggenang di pelupuk mata indahnya. Rio melihat itu. Senyum dibibirnya hilang seketika. Ia masih menunggu jawaban dari gadis yang berdiri tepat di hadapannya ini. Melihat Sivia seperti itu, ia berusaha bertanya sekali lagi. Dan tahukah kalian? Ia sangat berharap kata 'tidak' keluar dari mulut Sivia.

"Kamu beneran jadian sama Cakka, Vi? Please jawab.." tanya Rio lembut, namun syarat akan kepedihan. Tangan kanannya menjapai tangan Sivia. Ia bisa merasakan tangan Sivia bergetar.

Sivia merasakan tangan Rio dingin. Ia menatap Rio sekali lagi. Oh Tuhaan. Aku tidak sanggup menyakiti hati Kak Rio. Aku juga ingin bersamanya Tuhan. Aku tidak ingin berada posisi tersulit seperti ini. Aku ingin bersama Kak Rio..

"Apa Vi?" Rio semakin mendesak. Hatinya terasa sakit. Sama seperti dulu pada saat dirinya diputuskan secara sepihak oleh Sivia. Semakin kuat genggaman tangannya menggenggam Sivia. Semakin kuat pula hatinya bergejolak.

"Aku.." Sivia kalut. Ia tak tahu harus dijawab dengan kalimat apa pertanyaan Rio tadi.

"Kamu gak pacaran sama Cakka kan Vi? Iyakan? Gak pacaran kan Vi?" Rio tersenyum pahit. Nadanya seperti orang depresi. Ia sadar hatinya sedang menangis kencang disana. Sakit yang menderanya makin meluap. Sakit yang dirasakannya bukan sakit biasa. Namun sakit yang memang benar-benar terluka. Hatinya tercabik.

"Kak Rio.." Sivia merasakan air matanya menetes perlahan. Mimik muka Rio sangat menyentuh hatinya. Ia tak sanggup harus mengatakan status nya. Ia tak sanggup jika melihat Rio seperti ini. Ia seperti berada di pilihan yang sulit. Sangat sulit. Hatinya terguncang melihat keadaan Rio sekarang. Sudah barang tentu ini semua adalah sebabnya. "Kak.."

"Pak, novel twilight masih ada? Belom ada yang minjem kan?"

"Eh? Neng Ify? Belom neng! Tuh ada di tempat biasa."

"Oh? Iyadeh. Makasih Pak!"

Dengan cepat Sivia berusaha melepas genggaman tangannya dari Rio. Suara Ify terdengar jelas dari arah pintu perpustakaan itu. Tangan kirinya menghapus air mata yang baru saja membanjiri pipinya. Namun, apa yang dilakukan Rio?

"Kak! Tangan lo!" suara Sivia terdengar seperti berbisik. Ia masih berusaha melepaskan genggaman tangan itu. Namun sepertinya, Rio tidak menghiraukannya. Langkah kaki Ify semakin terdengar jelas datang ke arah mereka. "Kak! Ada Ify! Plis lepasin tangan lo!" Sivia terdesak. Ia tetap berusaha melepaskannya. Tapi, sepertinya usahanya gagal. Rio menatapnya tanpa ekspresi.

"Kak!! Tolong lepasin!" Sivia merintih. Akhirnya Rio menuruti permintaan Sivia. Dilepaskannya genggaman tangan itu. Pas pada saat itu juga, suara ketukan kaki Ify berhenti.

"Loh? Kak Rio? Sivia? Kalian…?"

Sivia gelagapan. Otaknya berusaha keras mencari alasan yang tepat akan pertemuan bodoh ini. Ia tak ingin Ify menganggapnya sebagai wanita penggoda. Ia tak ingin jika tiba-tiba Ify membencinya. Ia kalut. Namun benar-benar beda dengan sikap Sivia, Rio hanya berdiam mematung disana dan tetap bersikap santai. Seolah-olah apa yang terjadi dengan dirinya dan Sivia hanya kejadian biasa.

"Ify?" Tanya Sivia sekenanya. Berusaha menetralkan suasana. Ia tak ingin sikap gusarnya tercium oleh Ify.

"Sivia? Ngapain disini? Sama.. Kak Rio?" Ify mengerutkan keningnya. Sempat terlintas pikiran negative di otaknya. Namun, buru-buru ia menepisnya mengingat Sivia adalah saudara sepupunya yang ia tahu, tidak akan menusuknya dari belakang.

"Gue.. Emm gue ini Fy--" Sivia tergagap.

"Aku kesini mau nyari novel twilight buat kamu, Fy. Gak sengaja ketemu Sivia." Ucap Rio masih tanpa ekspresi dan tentu saja masih dengan tatapan tajam ke mata Sivia. Ia sempat merutuki keberadaan Ify yang benar-benar mengganggu situasi. Namun ia kembali sadar akan status Ify sebagai pacarnya. "Aku sama Sivia gak ngapa-ngapain. So? Kamu ga usah kaget gitu ya!" Rio melangkahkan kakinya mendekati Sivia. Sivia menunduk. Rio mengambil novel twilight yang berada di rak tepat dibelakang Sivia berdiri.

"Aku gak akan nyerah sampai aku tau status kamu sama dia apa." Bisiknya di belakang Sivia yang sepertinya sudah tidak sabar ingin pingsan.


***


Sivia terduduk diam di kelasnya. Pelajaran Sejarah itu membuat segelintir anak mengantuk. Tapi itu tidak berlaku untuk dirinya. Dan bahkan sama seperti teman sebangkunya. Mereka. Sivia dan Shilla. Larut akan pikirannya masing-masing. Shilla dengan 'anak baru' yang sepertinya berhasil mencuri perhatian mantannya. Ia masih memikirkan sosok anak baru itu. Seberapa cantik kah sosok itu? Apa ia kalah? Setelah pulang nanti, ia berniat bertanya langsung kepada Cakka perihal soal ini. Walaupun dengan perasaan tak menentu, ia yakinkan dalam hatinya.

Sementara disebelahnya ada Sivia dengan Rio yang selalu berada di benaknya. Sivia tak habis pikir ternyata Rio juga masih menyimpan perasaan yang sama. Ia berpikir keras untuk hubungan itu. Ify dan Rio. Dua nama yang sangat disayangi oleh Sivia. Sama-sama memberikan arti besar dalam hidup Sivia. Sepertinya, kali ini ia harus benar-benar berkorban perasaan untuk Ify. Biarkanlah Ify bahagia. Yah, Sivia rela. Ia memejamkan matanya. Mencoba tersenyum menahan perasaannya yang semakin hari semakin rapuh. Apakah ia sanggup benar-benar merelakan Rio untuk Ify?

Mereka, Shilla dan Sivia menerawang. Matanya kosong. Sejak jam pelajaran mulai tadi, tak ada obrolan yang keluar dari mulut mereka berdua. Satu hal yang baru terjadi selama mereka mengenal satu sama lain.

"Jadi, anak-anak. Soekarno-Hatta itu sudah berusaha keras untuk membuat Indonesia merdeka, dan oleh karena itu, Sivia dan Shilla, coba kalian jelaskan apa yang sudah dilakukan Soekarno-Hatta untuk merebut kekuasaan Indonesia!"

Dengan cepat, Sivia dan Shilla membunuh pikiran yang sedari tadi bergelayut di otak mereka masing-masing. Kini mereka berpandangan. Sivia seolah bertanya 'apa Shill?' dan dengan raut wajahnya, Shilla seolah menjawab 'gue juga gak tau, Vi.'

"Sivia! Shilla! Kenapa kalian melamun? Saya tidak suka ada anak yang tidak konsentrasi pada saat jam pelajaran saya!" seru guru yang memang terkesan galak itu. Spontan anak-anak lainnya yang tadi sudah menguap berpuluh-puluh kali, menjadi segar. Matanya tajam menatap papan tulis. Tak ada lagi yang melungkupkan kepalanya ke meja. Ataupun bersandar di kursi mereka.

"Maaf Pak!" seru keduanya lalu menunduk.

"Lain kali kalian saya hukum!" singkatnya. Lalu kembali melanjutkan pelajaran yang euh seperti dongeng di siang bolong. Pikir anak kelas itu. Sivia dan Shilla sudah tidak lagi memikirkan masalah mereka. Yang sekarang ada di otak masing-masing hanyalah Soekarno dan Hatta. Dan tentu saja guru killer dengan tatapan ganas di depan kelas mereka. Di saat situasi seperti ini, hanya bel yang mampu menolong mereka.


***


Ify memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Bel surga sudah dua puluh menit yang lalu menggema di Putra Bangsa. Hari ini ia pulang bersama Ozy. Rio sudah memberi tahunya bahwa hari ini ada latihan basket. Dan Ify tidak perlu menunggunya. Ify mengiyakan saja. Tapi entah mengapa, kejadian di perpustakaan tadi selalu mengusiknya hingga sekarang.

"Gue kenapa sih ah! Fy! Sivia itu sepupu lo! Kenapa lo harus cemburu sama dia? Sadar Fy! Sadar!"

Ify memukul-mukulkan pelan kepalanya. Merasa bodoh akan hal yang baru saja terlintas di otaknya. Sudah barang tentu Sivia tidak mungkin setega itu mengkhianatinya. Ify tahu jelas. Namun yang membuatnya bingung. Rio akhir-akhir ini seperti terlihat mempunyai beban masalah yang berat. Sedikit berubah menjadi pendiam dan tertutup. Setidaknya itu yang bisa ditangkap dari raut wajah Rio.

"Fy?" sebuah suara menghentikan deru otaknya untuk berpikir. Dilihatnya seorang laki-laki berdiri di depan kelasnya. "Kak Iyel? Kenapa Kak?"

"Liat Rio gak?"

Ify mengerutkan keningnya. "Bukannya latihan basket sama kakak toh?"

Gabriel merasa bingung. "Oh? Iya iya. Bye Fy!"

Ify mengangkat kedua bahunya lalu menggeleng melihat tingkah kakak kelasnya yang aneh dan terkesan linglung. Dengan gesit ia langkahkan kakinya keluar kelas dan segera menemui Ozy beserta supirnya di gerbang sekolah.


***


Gabriel melanjutkan langkahnya. Dari tadi ia sudah berkeliling sekolah mencari sosok Rio. Namun tak nampak juga dimatanya. Pengakuan Ify tadi sepertinya membuatnya berpikir tentang satu argument.

"Pasti Rio boongin Ify lagi. Kita kan bukan latihan basket. Cuman nongkrong, trus main basket."

"Oke! Gue nyerah Yo! Mending gue nyusul Cakka aja ah ke lapangan."

Sambil mengambung-ambungkan kunci motornya, Gabriel berjalan pelan menyusuri koridor panjang itu. Sekolah sudah lumayan sepi. Hanya beberapa anak saja yang terlihat masih mengobrol dengan teman lainnya di depan kelas masing-masing.

Saat hendak berbelok menuju ujung koridor dimana itu adalah salah satu jalan menuju lapangan basket, Gabriel melihat pemandangan yang sepertinya menarik dan sukses menghentikan langkahnya untuk bersembunyi. Ia mencoba menajamkan telinga dan matanya untuk mendengar dan melihat apa yang terjadi antara laki-laki dan perempuan itu. Laki-laki itu adalah laki-laki yang sudah sejak tadi dicarinya. Dan perempuan itu. Dia.. Dia Sivia kah?


***


Sivia keluar dari kelasnya. Anak-anak yang lain sudah lebih dahulu pulang. Hari ini Sivia ada jadwal piket siang. Dan naasnya lagi, teman-temannya menyuruh dia piket sendiri. Sivia berjalan ke lapangan sekolah. Cakka menyuruhnya kesana. Dan ia menuruti saja perintah itu. Namun, belum lagi ia sampai di tempat tujuan, seseorang yang entah siapa itu menarik tangannya.

"Aww!" Sivia kesakitan. Ia sempat meronta kalau saja tak dilihatnya pemilik mata merah padam itu. "Kak.. Kak Rio?"

Rio menariknya dengan kasar. Ia sudah tidak sabar mendengar penjelasan Sivia tentang Cakka. Jantungnya bergejolak hebat. Rasa cemburu yang menderanya dari sekian hari lalu, kini mencapai puncaknya. Tak bisa ditahannya lagi. Emosinya benar-benar meluap sekarang. Sampai di tempat yang menurutnya aman, ia melepas tangannya. Dan lalu membiarkan dirinya mengatur nafas nya yang sepertinya sudah terlalu letih.

Sivia merasakan denyut jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena perasaan cintanya terhadap Rio. Melainkan rasa takut yang amat sangat. Ia mampu melihat mata Rio yang sepertinya memberikan aura neraka. Tidak seperti biasanya Rio bersikap seperti ini pada perempuan. Apalagi pada dirinya.

Rio masih mengatur nafasnya. Mencoba menetralkan denyut jantungnya seperti semula. Namun sepertinya tak bisa. "Aku rasa ini saatnya kamu jelasin apa yang terjadi antara kamu sama dia."

Sivia diam mematung. Mencari kata-kata yang pas untuk memulai penjelasannya. Harus dari mana ia memulai? Tiba-tiba wajah Ify melayang-layang bebas dan jelas di kepalanya. Ia tidak akan pernah bisa merusak kebahagiaan orang lain. Ia tak mampu. Sivia memejamkan matanya. Rio adalah manusia yang disayanginya juga. Sivia harus memilih salah satu orang terkasihnya untuk dia sakiti. Jika ia memilih Ify, maka Rio lah yang tersakiti. Tapi jika ia memilih bersama Rio, maka Ify lah yang tersakiti.

Sivia membuka matanya. Nampaknya ia sudah menyiapkan jawabannya. Hal ini sudah dipikirkannya sejak masuk pelajaran sejarah tadi. Rio masih menatapnya dengan tatapan menusuk. Ia meneguk air liurnya sendiri. Lalu mencoba membuka mulutnya.

"Kak Cakka itu sebenarnya--" Rio menunggu dengan serius. Sedikit harapan bernanung dihatinya.

"--memang pacar aku, Kak."

GOD!

Sivia lebih memilih Ify. Ia tak akan mampu menyakiti Ify. Jika Sivia berkata Cakka bukan pacarnya, otomatis Rio akan selalu mengejarnya dan mengabaikan Ify. Ia tak mau itu terjadi. Sepertinya ini jawaban yang tepat. Beribu ucapan maaf mengaung di hatinya untuk Rio.

Rio terdiam. Emosinya mulai meluap kembali. Keningnya berkerut. Sejurus kemudian ia menarik tangan Sivia kasar. "KAMU PASTI BOHONG VIA! KAMU BOHONG!" teriaknya.

"Kak Rio!" Sivia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Rio. Tak disangka Rio mampu berbuat seperti ini padanya. Sivia takut kalau sampai ada yang melihat kejadian ini.

"Vi! Bilang ke aku kalau kamu bohong Vi! Bilang Vi! Bilang!" Rio kini memegang kedua pundak Sivia dengan kencang. Ia sangat tidak bisa menerima kenyataan itu. Kenyataan pahit yang sudah berhasil memporak-porandakan hatinya.

"Vi! Aku masih sayang banget sama kamu! Cepet bilang kalau kamu juga sayang sama aku! Kita masih bisa benerin hubungan kita yang dulu Vi! Please!"

"Aku.. Aku gabisa Kak.."

"Sivia! Please! Aku mau kita sama-sama kaya dulu lagi Vi. Aku gabisa jauh-jauh dari kamu Vi. Aku cintanya sama kamu. Bukan sama Ify."

Sivia terkejut. Rio..? Rio sama sekali gak mencintai Ify? Oh Tuhan! Ify?
Sivia tidak tega jika cinta Ify bertepuk sebelah tangan. Ia tidak bisa tinggal diam sekarang. Sepertinya ia harus bertindak keras. Demi Ify. Yah.. Demi Ify.

"Aku gabisa Kak! Hubungan kita udah lama berakhir. Sekarang aku sudah sama Cakka. Dan Kak Rio sudah sama Ify kan! Kita udah gaada apa-apa lagi Kak! Sekarang aku mencintai Cakka." Dengan lantangnya Sivia menamparkan satu kalimat hebat di depan Rio. Rio terkesiap.

"Kamu bohong Vi!"

"Aku gak bohong!"

"Aku gak percaya!"

"Aku bisa buktiin!"

"Apa buktinya?"

Sivia menelan ludahnya lagi. Salah! Ia salah bicara dan itu membuatnya diam tak berkutik. Apa buktinya ia mencintai Cakka? Menyebut nama nya saja ia sudah enek. Dan sekarang? Ya Tuhan sepelik ini kah kisah hidupku?

"Coba buktiin!"

Sivia menghapus air matanya. Ini ia lakukan semuanya semata-mata hanya untuk Ify. Ia bertekad daam hatinya untuk menjaga senyum Ify dan kali ini adalah perjuangan terakhirnya. Ia harus membuktikan hubungannya dengan Cakka di depan Rio agar cinta pertamanya ini melupakannya dan mencintai Ify dengan sepenuh jiwanya.

"Aku bakal buktiin Kak! Dan aku harap, setelah ini, Kak Rio bisa cintain Ify yang jauh amat sangat mencintai Kak Rio!"



***


Keadaan sekolah sudah sangat sepi. Maklum sudah pukul tiga lewat lima belas menit. Cakka men-dribble bola basketnya santai sambil mengulum permen kaki yang dibelinya tadi menggunakan uang Sivia. Ia berjalan bolak-balik menunggu Gabriel, Rio dan Alvin datang. Janjinya mereka bermain basket. Alvin sedang membeli minuman untuk mereka ber-empat. Namun, Rio belum juga menampakkan batang hidungnya sampai sekarang. Maka dari itu, Gabriel diutus oleh Cakka untuk mencari Rio terlebih dahulu.

"Cak!" panggil seseorang.

Cakka menoleh. Seorang gadis pembuat desiran aneh itu kini berada tepat di hadapannya. Cakka masih tetap mendribble bola basketnya santai dan lalu membuang tongkat permen kaki yang sebelumnya, permen itu sepertinya sudah malang masuk ke perut Cakka.

"Apaan?" jawabnya singkat. Cakka tak menatap Sivia. Ia tak ingin jika tiba-tiba desiran aneh itu datang lagi menyergapnya. Ia ingin menghindari itu jika berada di tempat umum seperti ini.

Sivia mencoba menguatkan dirinya dengan apa yang dilakukannya. Sejenak ia berbalik ke belakang. Namun hanya kepalanya yang berbalik. Tidak untuk badannya. Ia mendapati sosok Rio berdiri di balik sebuah pintu kelas. Ia tersenyum pilu. Sejujurnya ia sama sekali tak ada niat dan maksud untuk menyakiti hati Rio dari dulu toh? Ia hanya ingin menjaga perasaan sepupunya. Apa ia salah?

Sivia kembali membalikkan kepalanya. Kali ini matanya menangkap sosok Cakka yang masih asyik dengan bola basketnya tanpa peduli keberadaannya. Sejenak ia kepalkan tangannya untuk menguatkan dirinya dengan apa yang niatnya ingin lakukan.

"Cakka!" panggilnya lagi.

"Apaan sih!"

Cakka merasakan desiran aneh itu semakin kencang lagi manakala Sivia berjalan mendekati arah tubuhnya. Ia terkejut. Sivia membuang bola basketnya yang ia rengkuh di samping perut kanannya. Sivia menatap matanya teduh. Cakka membalas tatapan itu.

"Mau apa lo Siv?"

Jarak pandang wajahnya ke mata Sivia sudah terlampau dekat dan terus mendekat, hingga kini dia dapat merasakan hangatnya hembusan nafas Sivia di wajahnya..

"Sivia?" bisik Cakka.

Cakka tercengang dengan perlakuan Sivia. Ia membeku. Perasaan aneh dia rasa dalam hatinya. Getaran halus dalam hatinya tiba-tiba bergemuruh dengan sangat kuat, terlebih pada saat dia menyadari kini wajah Sivia tampak hanya berjarak lima centi saja dari wajahnya sendiri. Keringat dingin terasa membasahi sekujur tubuhnya pada saat dia mengira-ngira apa yang akan Sivia lakukan.

Ia merasa Sivia menyusupkan tangan kanannya ke lehernya. Menuntun wajahnya lebih mendekat ke wajah Sivia. Cakka hanya memejamkan matanya, menahan nafas, sampai akhirnya dia merasakan kehangatan yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya pada saat bibirnya bertemu dengan bibir Sivia.

Hening. Tenang. Suasana yang amat sangat tidak terduga. Beberapa detik kemudian, Sivia melepas ciumannya, ia menatap mata Cakka yang perlahan terbuka, entah karena apa jantungnya bisa berdetak sekencang ini.

Rio terduduk di lantai sana. Cukup! Sudah! Ia tak tahan melihat lagi percintaan itu. Blangsak! Sakit hatinya melihat adegan itu sukses membuat air matanya mengalir untuk kesekian kalinya. Hancur! Ia sakit! Sakit sekali. Perasaan sakit itu sepertinya membuat kepalanya tak sanggup lagi untuk berpikir. Pembuktian yang ditunjukkan Sivia sudah sangat lebih dari cukup untuk membuatnya tamat. Ia melungkupkan kepalanya di antara kedua kakinya. Dan lalu meraung-raung pelan meneriaki nama Sivia. Hatinya terlalu hancur untuk menerima kenyataan bahwa gadisnya sudah benar-benar mencintai laki-laki lain sekarang.

Cakka membalas tatapan Sivia. Jantungnya sudah tak karuan sekarang. Entah sadar atau tidak, ia melingkarkan tangan kanannya di pinggang Sivia. Ia masih bisa merasakan kehangatan itu. Sejurus kemudian, dikecupnya bibir Sivia sedetik. Mukanya memerah. Sivia mendorong badan Cakka pelan. Ia mengusap bibirnya. Dan lalu pergi berlari meninggalkan Cakka sendirian di tengah lapangan itu.

Sivia berlari menghilang dari lapangan. Nafasnya satu dua. Air matanya sudah jauh lebih deras mengalir dengan paksa. Sesaat ia berhenti melangkah. Sambil terus mencoba bernafas dengan wajar, ia membalikkan tubuhnya. Dengan mata yang berlinang air, Sivia masih bisa melihat seorang laki-laki disana terduduk putus asa.

"Maaf Kak Rio."

"Kita sudah berakhir."

Dengan kekuatan seadanya, Sivia kembali berbalik dan lalu berlari lagi kemanapun kakinya hendak melangkah. Air matanya semakin jelas berjatuhan ke bumi. Ini adalah pilihannya. Ia sukses mempertahankan senyum Ify. Yah, ia kembali ingat akan satu hal, kalau Ify bahagia, pasti dia juga akan bahagia. Kalau Ify tersenyum, pasti ia juga akan tersenyum. Dan, ia sadar. Rio telah menjadi korban dalam sandiwara ini. Korban sandiwara kehidupan dan takdir yang diberikan Tuhan untuknya. Untuk Sivia.

Jangan lagi kau sesali keputusanku
Ku tak ingin kau semakin kan terluka
Tak ingin ku paksakan cinta ini
Meski tiada sanggup untuk kau terima

Aku memang manusia paling berdosa
Khianati rasa demi keinginan semu
Lebih baik jangan mencintai aku dan semua hatiku
Karena tak kan pernah kan kau temui cinta sejati

Berakhirlah sudah semua kisah ini dan jangan kau tangisi lagi
Sekali pun aku takkan pernah mencoba kembali padamu
Sejuta kata maaf terasa kan percuma
Sebab rasaku t'lah mati untuk menyadarinya

(Kerispatih-Tapi Bukan Aku)


***



FRONTAL banget ini ya? maaaaaaffff:'(( ah, anak kecil dilarang baca ini ya! (udah pada baca kale-_-) sorry banget deh memang saya akuin ini part nya frontal banget caksiv nya. Please maafkanlah saya:'( Anyway, konfliknya masih ribet kan ya? kalo begini bakal lama banget nih baru tamat. Padahal saya sangat menginginkan CK segera tamat dan saya terbebas dari tuntutan(?) oke ga penting!

Ayo para siviyoholic mari menangis masal (?) sudahlah. Ini hanya cerita. Dan sekedar have fun. Iya gak? Hehe peace yaa anak siviyoholic! Terus baca karya saya yaa walaupun ini bukan couple favourite kalian.

Comment dan like nya saya tunggu. Saya ga heran kalau misalnya ada pembaca CK yang tiba-tiba lari ditiup kipas angin(?) atau apalah saya maklumi karena ke frontalan ini. Saya sadar..

Jangan jadi pembaca gelap yaaa^^
Cerbung CK ini juga bisa di lihat di resaechaa.blogspot.com
Follow and Listen me on Twitter and Heello @Resaechaa





Tidak ada komentar: