Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Jumat, 13 Juli 2012

CINTAKU BERSEMI DI KAMPUNG – CERPEN COUPLE ALVIA

Halo! CK-nya di pending dulu yaa! Sebagai gantinya, ngepost selingan cerpen dulu. Disini ada Sivia –seperti biasa-, Alvin, Shilla dan juga Rio! Selamat membacaaa!:-)


 

***


 

Mobil itu melaju kencang. Perjalanannya lumayan jauh. Sang pengemudi melihat takjub ke arah kiri dan kanan. Banyak gunung-gunung tinggi dan pepohonan yang rindang. Dia tersenyum sepintas. Namun mengingat tujuannya pergi ke Cirebon ini, membuat mood nya menurun drastis. Bagaimana tidak? Demi menuruti keinginan sang Nenek semata wayangnya yang terkesan kuno, dia rela pergi jauh-jauh dari Jakarta ke Cirebon untuk menjemput seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya. Bahkan, orang tuanya yang terkenal sangat disiplin saja, membiarkan dirinya tidak mengikuti kuliah untuk dua hari kedepan. Apa mungkin yang dikatakan Angel, kakak perempuannya tadi malam benar? Dia akan dijodohkan oleh wanita kampung pilihan almarhum kakeknya ini? Dan orang tuanya sudah setuju? Apa benar itu semua surat wasiat yang ditulis oleh almarhum kakeknya? Seketika tubuhnya merinding. Dengan cepat dia membuang pikiran-pikiran itu dan melesat di tengah heningnya jalanan pagi ini. Kalau memang benar, dia tidak ingin terlalu memusingkan omongan kakaknya semalam. Yang jelas, dia jemput perempuan itu, kemudian bawa ke Jakarta, lempar ke Neneknya, selesai deh! Urusan perjodohan, bisa dia gagalkan.


 


 

***


 


 

Sivia keluar dari rumahnya. Dia tersenyum memandang langit yang hari ini lumayan cerah. Gaya rambutnya seperti biasa. Di kelabang dua. Kanan dan kiri. Dengan kaos simple dan rok yang panjangnya di bawah lutut, dia berjalan menghampiri Ibunya yang sedang menjemur pakaian di halaman rumahnya yang lumayan luas. Yah, sekiranya dua mobil muat lah disana. Namun mengingat itu, Sivia memukul kepalanya. Mana mungkin ada mobil di halamannya?


 

"Vi, katanya nanti siang mau temenin Ibu jualan? Jadi nggak?" tanya Ibunya. Sivia menoleh lalu tersenyum.


 

"Jadi dong Bu."


 

Ibunya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat anak perempuannya itu. Sivia lalu berjalan menghampiri Ibunya untuk membantu menjemur pakaian. Sivia adalah anak semata wayangnya yang berumur 19 tahun. Pak Duta, Ayahnya bekerja sebagai penjual daging yang lumayan sukses di kampung mereka. Sementara Ibunya, Bu Winda adalah Ibu rumah tangga. Keluarga kecil ini sangat bersyukur karena masih bisa menikmati kesempatan hidup yang begitu berarti bagi mereka.


 

"Bu? Ibu? Itu mobil siapa ya Bu? Ibu punya temen yang bisa bawa mobil ya? Eh tapi kayaknya, Via nggak pernah liat mobil begitu deh Bu disini. Mobilnya kayak mobil artis."


 

Sivia takjub dengan apa yang dilihatnya. Sebuah mobil mewah terparkir rapi di halamannya. Baru saja beberapa menit yang lalu dia membayangkan hal itu, eh sekarang sudah menjadi kenyataan. Pakaian yang sudah akan dijemurnya, malah terpegang erat di tangannya.


 

Pengemudi mobil itu turun dari kendaraannya. Pakaiannya bersih. Kaos putih yang dibalut kemeja kotak-kotak membuat dirinya begitu berwibawa ketika menginjakkan kaki di tanah kampung ini. Kaca matanya dia lepaskan lalu di gantung di lehernya. Benar-benar seperti artis. Pikir Sivia.


 

"Selamat pagi, Bu?"


 

Sivia mengerutkan keningnya. Ibunya sudah berdiri di sampingnya sambil senyum-senyum. Sivia kembali memusatkan matanya pada pria di hadapannya ini.


 

"Apa benar ini rumahnya Pak Duta dan Ibu Winda?"


 

"Oh? Benar-benar! Ini rumahnya Pak Duta. Dan Bu Winda itu saya. Mas ini siapa ya?" Ujar Bu Winda ramah.


 

Laki-laki itu tersenyum sinis. Sivia bisa melihat bagaimana anak itu memandang rumahnya yang sederhana dengan mimik muka yang tidak bisa diartikan. Lalu dia melihat ke arah Sivia. Matanya menelusuri dari ujung rambut sampai ujung kaki Sivia. Wajar saja kalau kali ini Sivia sangat tersinggung.


 

"Berarti, elo yang namanya Pipia ya?"


 

Sivia langsung melotot.


 

"Heh! Kamu bisa sopanan dikit nggak sih? Mandang aku dari atas sampe bawah gitu. Terus ngeliatin rumah aku kayak gitu. Dasar orang kaya nggak punya sopan santun! Lagian namaku itu bukan Pipia! Tapi Sivia!"


 

"Via. Nggak sopan ih sama tamu begitu." Ibu menegurnya.


 

"Biarin aja Bu. Dia duluan kok yang nggak sopan."


 

Alvin memutar bola matanya. Apa ini gadis yang akan dijodohkan dengan dirinya? Mukanya sih, lumayan. Kulitnya juga putih. Sama seperti dia. Tapi mengingat kata 'kampung' Alvin bergidik. Ditambah lagi, gadis ini bawel. Dia sama sekali anti sama cewek bawel macam ini. Namun, dia tidak ingin mengecewakan neneknya. Dia berusaha sabar dan masa bodoh dengan sikap gadis itu.


 

"Langsung aja deh. Jadi begini Bu, saya Alvin. Saya ini cucunya Pak Ardiwilaga. Dan kakeknya Sivia ini pasti bernama Agung kan? Mereka sudah sangat lama berteman. Waktu di Jakarta, mereka bertemu dan menginginkan kalau cucu masing-masing nantinya akan dijodohkan." Alvin mengulang cerita Angel semalam.


 

Sivia shock. "APA? DIJODOHKAN? AKU? SAMA KAMU? NGGAAAAK!!!"


 

"Heh cewek bawel. Lo pikir gue mau? Seharusnya gue yang nolak mentah-mentah perjodohan ini. Masa cowok sekeren gue dijodohin sama cewek kampung kayak elo? Dih! Turun derajat gue. Lagian, lo padahal seneng kan bisa dapet cowok kayak gue? Ngaku aja deh lo! Pake sok jual mahal segala lagi. Ih!"


 

"Eh kalau ngomong dijaga ya! Kamu pikir aku cewek nggak laku? Di kampung ini banyak yang suka sama aku tau! Kang Deva, Kang Ozy, Kang Dayat, Kang Cakka, Kang Rio, Kang Daud dan masih banyak lagi. Kalo dibandingin sama kamu, ah nggak ada apa-apanya!"


 

"Halah terserah deh mau Kang ini kek, mau Kang itu kek, mau Kangguru kek, gue nggak peduli! Yang jelas sekarang lo mesti ikut gue ke Jakarta! Keluarga gue lagi nungguin lo di rumah!"


 

"APA? Eh asal kamu tahu ya---"


 

"---Via! Sudah dong jangan adu mulut begini nggak enak didengar tetangga." Lerai Ibunya.


 

"Habisnya dia duluan nih Bu. Songong banget!"


 

Alvin melirik tajam.


 

"Huss! Sudah-sudah. Mendingan kita masuk dulu. Tunggu ayahmu pulang, baru kita bicarakan hal ini baik-baik."


 

Sivia menurut. Dia sempat memeletkan lidahnya di depan Alvin lalu berjalan ke dalam rumah. Kalau saja bisa, Alvin ingin sekali menimpuk cewek yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu itu.


 


 

***


 


 

"Jadi, kamu ini cucunya almarhum Pak Ardiwilaga?"


 

"Benar, Pak. Saya datang kesini untuk menjalankan amanat almarhum Kakek saya. Beliau menginginkan saya dan Sivia ini dijodohkan. Maka dari itu, Nenek saya segera mengutus saya untuk menjemput Sivia dan membawanya ke Jakarta. Keluarga saya ingin sekali melihat Sivia, Pak."


 

Alvin menjelaskan dengan pelan. Dia sempat melirik ke arah Sivia yang mukanya acuh. Namun dia tidak peduli. Dia ingin ini semua cepat selesai.


 

"Hm. Saya juga sudah pernah dititipkan surat wasiat oleh almarhum ayah saya. Tapi, saya belum pernah membukanya. Dan mungkin, itu adalah surat wasiat yang sama dengan almarhum Kakekmu."


 

"Eh, tunggu sebentar Pak." Alvin memotongnya. Pak Duta menoleh. "Bapak bilang, 'almarhum'? Berarti? Pak Agung sudah...meninggal?"


 

"Benar nak Alvin. Ayah saya sudah meninggal satu bulan yang lalu." ujar Ayah Sivia. Mimik mukanya sedikit sedih jika mengingat hal itu.


 

"Hah? Serius?" Alvin melotot. "Alhamdulillah..." Alvin bersyukur. Senyum ceria menghiasi wajahnya.


 

Sivia saling berpandangan dengan Ayah dan Ibunya. Lalu kembali melihat ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya.


 

"Kurang ajar! Kakekku meninggal kamu bilang alhamdulillah? Heh! Dasar laki-laki nggak punya perasaan kamu ya! Pergi kamu dari sini! Pergi!!" Sivia mendorong-dorong tubuh Alvin.


 

Alvin meringis. "Aduh! Bukan! Bukan itu maksud gue." Alvin berdiri lalu menenangkan Sivia yang meledak-ledak emosi. "Sebentar, gue mau nelfon nyokap dulu." Alvin lalu pergi keluar rumah. Dia mengambil ponsel yang dia taruh di mobilnya.


 

"Via. Sudah-sudah. Mungkin ada maksud dari perlakuan dia tadi." Ibu mencoba ikut menenangkan Sivia yang masih emosi.


 

"Maksud apanya Bu? Jelas-jelas dia bilang 'Alhamdulillah' waktu tahu kakek sudah meninggal! Ih itu cowok memang harus dikasih pelajaran Bu!" Sivia menyingsingkan lengan bajunya.


 

"Sivia. Sabar dulu nak." Ibunya menuntunnya untuk duduk kembali.


 

Sivia menurut lalu mengatur nafasnya. "Pokoknya Sivia nggak mau ikut dia ke Jakarta! Titik!"


 


 

***


 


 

"Ya nggak bisa gitu dong sayang. Kamu harus tetap bawa gadis itu kesini. Walaupun keduanya sudah meninggal, tapi wasiat itu harus tetap dilaksanakan toh? Lagian dua hari lagi Nenek juga datang ke Jakarta." ujar mamanya di ujung telefon.


 

"Tapi Ma, anaknya bukan selera Alvin banget deh. Terus kampungan banget. Alvin nggak mau Ma."


 

"Alvin. Ini amanat kakek kamu. Namanya amanat itu harus dijalankan. Sudah sana jangan bantah mama."


 

Alvin menghela nafasnya. "Tapi kalau dia nggak mau gimana, Ma?"


 

"Mama nggak mau tau Alvin. Kamu kan playboy. Masa rayu gadis desa aja kamu nggak bisa sih? Aduh malu-maluin aja Vin."


 

"Tapi cewek ini beda Ma."


 

"Mama nggak mau tau. Sudah dulu yah! Mama lagi bantuin Bi Inem masak. Dah sayang!"


 

Alvin melihat layar ponselnya. Sambungan sudah terputus. Dia meringis lalu kembali masuk ke rumah Sivia.


 


 

***


 


 

Setelah membujuk Sivia berjam-jam, akhirnya Alvin, Ibu dan Ayah Sivia berhasil juga mengajak Sivia. Sivia mau dibawa ke Jakarta. Dia di iming-imingi berbagai macam oleh Alvin. Apa yang tidak di dapatkannya di sini, pasti bisa dia dapatkan di Jakarta. Alvin berjanji akan membawa Sivia keliling Jakarta nanti. Dan sore ini juga, Alvin resmi membawa Sivia ke Jakarta sesuai keinginan keluarganya. Namun, Sivia menerima tawaran ini semata-mata tidak ingin mengecewakan Ibu dan Ayahnya. Apa salahnya mencoba?


 

"Jaga diri baik-baik disana ya Nak. Yang sopan sama keluarganya nak Alvin." Kata Ibunya sambil membawa tas besar berisi pakaian-pakaian Sivia.


 

"Iya Via. Kamu jangan malu-maluin Ayah sama Ibu ya disana."


 

Sivia hanya memanyunkan bibirnya. Sampai kapanpun juga dia tidak akan menerima perjodohan ini. Sudah zaman modern, kok masih ada sih yang main jodoh-jodohan seperti ini? Pikirnya. Dia acuh mendengar nasehat-nasehat yang berkicau dari mulut Ayah dan Ibunya. Yang dia pikirkan hanyalah, bagaimana keluarga laki-laki rese itu akan menolak kehadirannya nanti. Dia menyiapkan hal-hal yang membuat dirinya sudah barang tentu akan memusingkan seisi rumah Alvin. Yah Sivia tersenyum tertahan.


 

"Nak Alvin, Ibu titip Sivia ya. Sivia dengerin apa kata Ibu sama Ayah tadi." Ibunya mencium kening Sivia. Lalu membelai rambutnya. Setelah itu, Sivia masuk ke dalam mobil.


 

"Salamin aja sama keluarga kamu ya nak Alvin. Lain waktu, berkunjung saja kemari."


 

"Iya Pak. Saya permisi dulu, Pak!" Alvin memasuki mobil Suzuki APV silver nya. Dia tersenyum kepada orang tua Sivia. Lalu mobil itu melesat pergi meninggalkan halaman rumah Sivia.


 


 

***


 


 

Sivia terbangun dari tidurnya. Dia mengerjapkan matanya perlahan. Kepalanya sedikit pusing. Mungkin akibat baru pertama kali naik mobil mewah seperti ini. Dia memandang ke kiri jalan. Gedung-gedung menjulang tinggi. Mall-mall yang besar. Rumah-rumah mewah. Matanya baru pertama kali melihat pemandangan ini. Dia tersenyum takjub. Apa dia sudah sampai di Jakarta?


 

"Kampungan banget sih lo! Norak tau nggak!" bentakan Alvin menghapuskan rasa kekaguman Sivia.


 

Sivia menoleh tajam. "Heh! Kamu itu—" Sivia merasa dirinya agak susah untuk bergerak. "—Eh aduh, kamu mau nyulik aku ya? Kamu mau jual aku ya? Ini ngapain akunya di ikat sih? Eh tolongin dong! Eh mas Alvin!"


 

Alvin mengernyit heran. Dia melirik sekilas lalu tertawa keras. "HAHA! Dasar kampungan lo ya! Itu tuh namanya SEAT BEALT! Kegunaannya supaya lo nggak kehempas kalau nge-rem mendadak. Dasar orang kampung!"


 

Sivia merasa malu.


 

"Heh? Kenapa diam? Nyerah lo? Haha! Kasian banget lo ya!"


 

"Tau ya!" Sivia melipat kedua tangan di depan dadanya. Dia membiarkan Alvin tertawa di sebelahnya.


 


 

***


 


 

"Sayang! Akhirnya kamu pulang juga. Masuk gih sana. Istirahat aja. Angel sudah tidur duluan. Ayah lagi ada meeting mendadak di luar kota. Jadi kemungkinan, dua hari lagi baru balik."


 

Alvin menguap lebar. "Iya Mah. Alvin ngantuk banget. Oh iya, tuh pesanannya Nenek sama Mamah ada di dalem mobil. Mamah aja yang samperin ya. Soalnya dia udik Mah. Buka pintu mobil aja masa nggak bisa. Hahaha!"


 

Bu Ira menggelengkan kepalanya. "Hus! Nggak boleh gitu. Yaudah masuk gih sana."


 

Bu Ira tersenyum lalu berjalan ke arah dimana mobil anaknya terparkir. Dia membuka pintu itu dari luar. Lalu Sivia turun dari mobil itu dengan rambut yang masih tetap di kelabang dua. Namun terkesan sedikit berantakan.


 

"Ini yang namanya Sivia ya? Cantik banget ya!"


 

Sivia mengernyit lalu tersenyum satu detik. "Makasih!" ujarnya cuek.


 

Bu Ira menyatukan alisnya. "Sivia, biar Ibu bantu bawa tas nya ya." Ujarnya ramah.


 

"Nggak perlu. Aku bisa sendiri kok. Makasih." Sivia berjalan ke dalam rumah meninggalkan Bu Ira yang masih berdiri mematung. Beliau sedikit bingung dengan tingkah laku anak itu. Kebanyakan orang-orang di kampung kalau datang ke kota pasti ramah-ramah dan sopan. Lalu ini?


 

"Kalau Ibu masih berdiri di situ, gimana aku bisa tau kamar tidurnya?"


 

Seketika Bu Ira menoleh pada Sivia. Beliau tersenyum menghampiri Sivia meski hal itu terus bergelayut di otaknya.


 


 

***


 


 

"Ya ampun ini kenapa kamar mandinya banjir gini? Alvin! Alvin!"


 

"Ada apa sih, Mah?" Alvin turun dari tangga sambil menguap.


 

"Ini loh. Lantainya banjir gini! Siapa lagi yang suka mandi pagi di sini selain kamu? Ayo cepat keringkan lantainya!"


 

Alvin mengernyit heran. Dia buka matanya lebar-lebar. Lalu melihat ke arah lantai yang dibanjiri dengan air sabun. "Mama ini gimana sih, Alvin aja baru bangun tidur. Kenapa mamah nuduh Alvin yang mandi disitu?"


 

Bu Ira berpikir sejenak. Benar juga apa yang dikatakan anak bungsunya ini. "Kalau bukan kamu, berarti?"


 

Seorang gadis keluar dari kamar mandi itu. Dia sudah mengenakan pakaian yang biasa dipakainya sehari-hari. Handuknya dia kalungkan di leher. Dia menunduk menahan tawa melihat air yang menggenangi lantai itu.


 

"SIVIA?" teriak Bu Ira dan Alvin.


 

Sivia sedikit kaget. Dia mengangkat kepalanya seketika. "Loh? Kalian? Ngapain disini? Mau ngintipin aku mandi ya?"


 

Alvin menganga. "Dih pede banget sih lo! Eh orang kampung, lantai rumah gue kenapa banjir gini? Lo kebiasaan mandi di sungai sih jadinya udik banget!"


 

"Alvin. Nggak sopan." Bu Ira mencoba menenangkan anaknya yang emosi. "Sivia, kenapa lantainya bisa kayak gini sih?" tanya Bu Ira mencoba sabar.


 

"Hehe. Aduh gini loh Bu, tadi aku mandinya masuk ke dalam bak mandi ituloh. Terus airnya tumpahan. Jadinya banjir gini deh." Jelas Sivia sambil cengar- cengir


 

Alvin menganga. Bu Ira melengos. Dia menarik nafasnya pelan lalu menghembuskannya. Dia berjalan hati-hati lalu mengintip keadaan kamar mandi itu. "Ya Tuhan! Itu kenapa semuanya jadi berhamburan di dinding? Di lantai juga?"


 

Sivia menepuk jidatnya, "Nah itu dia Bu. Sebenarnya Ibu ini asli orang kota kan? Sabun aja kok nggak bisa beli sih? Tadi aku udah nyari dengan teliti, aku pencet-pencet semua yang ada di dalem tuh. Nggak taunya isinya shampo semua. Jadi yaudah, tadi aku mandinya pake shampo. Katanya orang kaya, masa sabun mandi aja nggak punya. Huu payah!"


 

Bu Ira menggelengkan kepalanya. "Itu tuh namanya sabun cair Sivia! Kamu ini—"


 

"—Oh salah siapa nggak ngomong. Haha! Sudahlah Bu. Lagian aku kan baru juga datang ke kota. Wajar toh? Jadi jangan marah-marah ya." Sivia sudah melangkah pergi meninggalkan Bu Ira yang sudah berkacak pinggang dan Alvin yang duduk di tangga sambil bertopang dagu melihat Mamahnya dan Sivia berantem.


 

"Eh hampir lupa!" Sivia melangkahkan kakinya kembali. "Ini handuknya Bu. Tolong jemur ya. Aku kan tamu jadi nggak tau dimana tempatnya. Makasih ya Bu!" Sivia tersenyum manis lalu benar-benar pergi meninggalkan Ibu dan anak itu yang saling berpandang-pandangan.


 


 

***


 


 

Sivia menonton televisi di ruang keluarga. Sekarang sudah pukul delapan malam. Bu Ira sedang menyiapkan makan malam bersama Bi Inem, pembantunya. Sementara Alvin sedang mengerjakan tugas-tugas kuliah yang sempat tertunda karena kepergiannya ke Cirebon kemarin.


 

"Eh siapa lo?" Sivia menghentikan tangannya memencet-mencet remote televisi. Dia mendengar suara yang tidak pernah didengarnya sebelum ini. Dia berdiri lalu berbalik. Perempuan cantik berkulit putih berdiri merengut di hadapannya. Roknya pendek. Bajunya juga kurang sopan. Itu kesimpulan yang bisa ditarik dari apa yang dilihat Sivia.


 

"Eh ditanya malah bengong! Siapa lo? Pembantu barunya Alvin ya? Ngapain duduk disini? Sana ke dapur!"


 

Sivia melongo. "Heh dasar kurang ajar kamu ya! Aku ini bukan pembantu disini tau!" Sivia melipat kedua tangannya di depan dada.


 

"Lah terus kalau bukan pembantu, lo siapa? Gaya lo aja kampung gitu. Mana mungkin keluarga Alvin ada yang kaya elo?"


 

"Ada apa sih ini ribut-ribut?" Bu Ira berjalan menghampiri Sivia di ruang keluarga bersama Alvin dan Angel di belakangnya.


 

"Tante, ini nih pembantu ini kok malah enak-enakan duduk disini sih? Tadi Shilla suruh ke dapur, eh malah dianya bentak-bentak Shilla. Kurang ajar banget kan, Tan?"


 

"Enak aja! Aku kan sudah bilang kalau aku bukan pembantu!"


 

"Lah? Terus kamu siapa?"


 

Alvin menepuk jidatnya. "Eh sudah-sudah stop ya! Shilla kita ngobrol diluar aja yok. Biar aku jelasin semuanya!"


 

"Enggak mau!"


 

Sivia menoleh ke arah Alvin. Jadi namanya Shilla? Sepertinya Shilla ini pacarnya Alvin. Sivia berpikir keras dan yak! Dia dapat ide cemerlang. Dia tersenyum penuh kemenangan kali ini.


 

"Eh, mba Shilla. Asal kamu tau ya, aku ini cewek yang sudah dijodohkan sama Alvin. Sebentar lagi kita bakal tunangan. Dan kamu? Maaf belum beruntung! Silakan cari cowok lain aja ya nona Shilla!"


 

Shilla terperangah. Dia menoleh ke Alvin. Meminta pertanggung jawaban atas penjelasan dari gadis kampung di hadapannya ini.


 

"Ak..Aku..Eh itu bohong Shill bohong!"


 

Sivia mengernyit lalu dengan cepat menyanggahnya. "Eh mas Alvin kok bilang bohong sih? Bukannya mas Alvin sendiri yang jemput aku jauh-jauh dari Cirebon ke Jakarta? Kita kan mau tunangan mas? Duh mas Alvin ini pura-pura lupa lagi." Sivia tersenyum tak berdosa.


 

Alvin melotot tajam. Dia bingung harus menjawab dengan kata-kata apa.


 

"Mas? Lo manggil pacar gue 'Mas'? Eh lo jangan sok ngaku-ngaku deh ya! Dia ini Alvin pacar gue! Lo salah alamat kali!"


 

"Eh enak aja kalo ngomong! Nih biar aku kasih tau ya mba. Yang salah alamat itu bukan aku. Tapi Ayu TingTing. Itu tuh artis dangdut yang lagi naik daun. Mending Mba Shilla ini bantuin mba Ayu aja sana nyariin alamat. Kasihan sampai sekarang alamat yang dia cari belom ketemu-ketemu." Sivia berkata asal. Bu Ira dan Angel saling berpandangan. Wajah mereka memerah karena menahan tawa. Dengan cepat, mereka berjalan kembali ke belakang dan meninggalkan Sivia, Shilla dan Alvin disana.


 

Shilla menyatukan alisnya. "Eh gue nggak mau tau ya! Mau Ayu TingTing kek, mau Ayu TongTong kek, gue nggak peduli! Yang jelas Alvin ini pacar gue titik!" kata Shilla meledak-ledak.


 

Alvin menggaruk-garuk kepalanya yang memang gatal. "Aduh sudah sudah stop! Gue capek tau!" Alvin menoleh ke arah Shilla. "Shill, ayo sini biar kita ngomong di luar aja. Kamu jangan dengerin omongan cewek ini ya sayang." Alvin mencoba membujuk.


 

"Nggak! Aku nggak mau tahu! Urusin aja cewek kampung ini! Aku mau pulang!" Shilla melirik tajam ke arah Sivia lalu beranjak pergi keluar dari rumah Alvin.


 

Sivia tersenyum penuh kemenangan.


 

"Shilla! Shilla! Tunggu dulu dong sayang." Alvin mengejarnya. Dia meraih tangan Shilla.


 

"Aduh sudah deh! Aku pengen sendiri dulu!" Shilla menghempaskan tangan Alvin dengan kuat lalu benar-benar pergi meninggalkan rumah Alvin dengan mobil jazz biru miliknya.


 

Alvin mengacak-acak rambutnya. "Arrgh! Dasar cewek kampung! Bisanya ngerusak hidup gue ajaa!"


 


 

***


 


 

Shilla menghentikan mobilnya dipinggir jalan. Dia memukul setir mobilnya pelan. Lalu melungkupkan wajahnya di atas setir. Lama dia melamun. Kemudian dia duduk tegap kembali. Dia menghela nafas berat. Lalu mengambil ponselnya di dalam tas kecilnya.


 

"Halo? Alvin?"


 

"Sayang?" suara Alvin sudah dapat di dengarnya di ujung sana.


 

"Alvin, aku minta maaf ya. Nggak seharusnya aku kayak tadi."


 

"Ah iya nggak apa-apa! Kamu nggak perlu minta maaf sayang."


 

Shilla tersenyum puas. "Yaudah deh. Besok malem aku kerumah kamu lagi ya. Kita jalan-jalan. Oke?"


 

Tidak ada jawaban dari Alvin.


 

"Halo? Vin? Kamu denger kan?"


 

"Eh? Iya oke besok kita jalan."


 

"Ah sip deh sayang. Yaudah ya daah!"


 

Shilla memutuskan sambungan telefonnya. Dia sangat gembira. Musik yang mengalun dari radio mobilnya dia keraskan sedikit.


 

"Untung aja gue nggak bego! Hampir aja gue kehilangan rasa respect nya Alvin. Haha. Yes gue besok jalan. Kemana ya? Ah! Gue mau beli sepatu keluaran terbaru. Tas? Oh ya tas. Sama make up! Bedak gue aja udah mau habis. Hahaha love you Alvin sayaaang!"


 

Shilla melesat pergi bersama angin malam yang berhembus pelan.


 


 

***


 


 

Sivia menyiram tanaman di halaman rumah Alvin. Pagi ini dia memakai celana jeans selutut. Baju kaos bunga-bunga bekas Ibunya. Dan rambut yang di kelabang dua seperti biasanya.


 

"Sivia!"


 

Sivia menoleh. "Ya?"


 

Angel tersenyum. "Tumben nyiramin bunga? Udah betah ya tinggal disini?"


 

Sivia kembali menyiram tanaman-tanaman itu. "Enggak. Biasa aja. Lagi pengen."


 

Angel memutar kedua bola matanya. "Kakak mau nanya nih."


 

"Apa?" jawab Sivia singkat.


 

Angel menoleh ke kanan dan ke kiri. Memastikan kalau hanya ada mereka berdua di halaman itu sekarang. "Ehm, lo sudah nerima perjodohan ini ya?"


 

Sivia terbelalak. Selang air itu dijatuhkannya. "HAH? Siapa bilang? Nggak ada! Aku nggak mau."


 

Angel tersenyum jahil. "Ah masa sih? Terus kenapa lo semalem bilang ke ceweknya Alvin kalau lo sama Alvin sudah dijodohin? Lo cemburu ya Siv? Ngaku aja deh. Sama gue ini."


 

Sivia menggaruk belakang telinganya. "Oh itu? Nggak. Aku cuman nggak suka sama sifatnya cewek itu. Jadi, yaaa gitu deh." Sivia beralasan.


 

Angel terlihat berpikir. "Sejujurnya gue juga nggak setuju sih kalau Alvin pacaran sama Shilla itu. Nggak tau kenapa, gue kurang sreg aja gitu sama Shilla." Angel melipat kedua tangannya di depan dada.


 

Sivia acuh. Dia tidak peduli dengan urusan keluarga ini. Yang dia pikirkan adalah bagaimana caranya dia bisa secepatnya keluar dari rumah besar ini dan kembali pulang ke kampung sebelum Neneknya Alvin datang dan akan memaksanya untuk tinggal lebih lama di Jakarta.


 


 

***


 


 

Sivia berdiri melamun di balkon atas. Bau rumput yang basah oleh air hujan sedikit menyengat penciumannya malam ini. Di hadapannya kini ada beberapa baju dan celana yang akan di setrikanya. Namun dia bingung bagaimana cara menggosok pakaiannya dengan setrika listrik. Dia sama sekali tidak mengerti menggunakannya.


 

"Bi Inem mana Ngel?" Bu Ira berteriak di depan pintu kamar Angel. Sivia celingak-celinguk mencari sumber suara.


 

"Katanya sakit mah. Jadi Angel suruh istirahat aja." Jawab Angel tanpa keluar kamar.


 

Bu Ira bingung. Di tangannya ada sebuah gaun yang ingin dipakainya arisan sebentar lagi. Namun dia tidak punya waktu untuk menggosoknya. Dia ingin menyuruh pembantunya untuk menggosok sebentar namun apa daya pembantunya sedang sakit. Tak lama, matanya menangkap sosok Sivia yang dilihatnya sedang berdiri di balkon dengan beberapa pakaian di depan meja setrika. Dengan cepat Bu Ira menghampiri Sivia.


 

"Ah Sivia untung saja ada kamu. Ibu minta tolong sekalian setrika baju Ibu ya. Soalnya ini waktunya sudah mepet. Tolong ya." Bu Ira tersenyum lalu pergi meninggalkan Sivia tanpa membiarkan dirinya berkata sedikit pun.


 

Sivia melihat gaun merah yang di tumpukkan paling atas oleh Bu Ira tadi. Diraihnya gaun itu lalu dihamparkan di atas meja setrika. Dia mengambil setrika listrik di bawah meja. Lalu memperhatikan benda itu dengan seksama.


 

"Hayo lagi ngapain?" Alvin menepuk kuat pundak Sivia sehingga dirinya sedikit terguncang dan jantungnya memaksa berdetak lebih cepat karena kaget.


 

"Heh. Untung aku nggak jantungan! Dasar!"


 

Alvin mendumel. "Lagi ngapain lo?"


 

Sivia melirik sebentar. "Bukan urusan kamu." Dia lalu kembali memusatkan perhatian pada setrika itu lagi.


 

Alvin mengernyitkan keningnya. Ide cemerlang melintas di kepalanya dengan cepat.


 

"Ehm! Lo bingung ya cara gunainnya gimana?"


 

Sivia tidak memedulikan Alvin.


 

"Gue bantuin ya? Mau nggak? Yaa hitung-hitung permintaan maaf gue karena sering ngejek elo. Gimana?"


 

Sivia menoleh sebentar. Dia nampak berpikir.


 

Alvin tersenyum tulus. Lalu tanpa mendengar jawaban dari Sivia, di ambilnya setrika itu dari tangan Sivia. Sivia tidak menolak. Dia ingin pekerjaannya ini cepat selesai dan dia bisa tidur cepat malam ini tanpa harus berkumpul dengan keluarga Alvin.


 

Alvin menyolok kabel setrika itu. Lalu menaruhnya di atas gaun merah yang sangat dia tahu kalau itu adalah kepunyaan Mamanya.


 

"Ini lo puter sampai ke bacaan hot. Sudah deh. Lo tinggal nunggu setrikanya panas. Terus lo arahin deh setrikanya ke pakaian yang agak kumal."


 

Sivia menghela nafasnya. Dia mengangguk-angguk mengerti. Ternyata Alvin tidak seburuk yang dipikirkannya.


 

"Makasih ya Mas Alvin. Aku nggak ngerti pake setrika kayak gini Mas. Soalnya kalau di kampung, Ibu pakai setrika arang. Jadi nggak perlu cara-cara kayak gitu tadi."


 

Alvin tersenyum bangga. Dia menganggukkan kepalanya tanda menerima permintaan terima kasih dari Sivia.


 

"Oh iya Mas, ngomong-ngomong, berapa lama setrikanya baru panas Mas?"


 

'Dasar udik. Kalau udah dicolok, paling satu menit juga udah panas. Gue kerjain ah.' Alvin membatin.


 

"Emm lima belas menitan lah. Iya! Lima belas menit. Pasti udah panas kok. Oke? Ngerti kan sekarang?"


 

"Oh gitu. Njeh ngerti Mas. Makasih banyak ya Mas." Sivia tersenyum senang.


 

Alvin menaik turunkan alisnya. "Siap! Sekali-sekali gue berbuat baik ke elo kan nggak ada salahnya juga. Ehehhe. Oh iya, gue mau keluar dulu ya. Lo beneran udah ngerti kan Siv?"


 

"Sudah kok Mas. Sekali lagi makasih ya."


 


 

***


 


 

Alvin berdiri di depan pintu rumahnya. Tidak sampai sepuluh menit dia berganti pakaian untuk keluar. Sangat rapi. Baju kaos dengan kemeja dan celana jeans nampak menjadikannya laki-laki yang peduli dengan penampilan.


 

"Sayang?"


 

Alvin menoleh. "Shilla? Loh? Katanya aku jemput? Kok malah disini?"


 

Shilla tersenyum manis. Baju kaos dan rok mini melekat di tubuhnya. Sangat cantik. "Nggak pa-pa dong. Aku nggak sabar mau jalan sama kamu lah. Hehe."


 

Alvin tersenyum namun entah ada mengapa ada keraguan disana. Dia sendiri tidak tahu apa itu. Buru-buru dia buang pikiran aneh yang tiba-tiba saja bersarang di otaknya.


 

"Kita jalan sekarang kan? Ayok deh takut kemalaman. Ntar butiknya tutup lagi." Shilla sudah menarik tangan Alvin namun Alvin menahannya.


 

"Bentar-bentar sayang."


 

"Loh? Ada apa lagi sih?"


 

"Bentar deh." Alvin melihat-lihat ke lantai dua. "Dengerin ya. Satu.. Dua.. Tiga.."


 

"SIVIAAAA! GAUNNYA KENAPA BOLONG BEGINI?"


 

Alvin tertawa terbahak-bahak. Shilla hanya mengernyit heran. Dia tidak mengerti dengan kelakuan Alvin.


 

"INI GAUN KESAYANGAN SAYAAA! KENAPA KAMU RUSAKIN BEGINIII!!"


 

Dengan cepat Alvin menarik tangan Shilla. Mereka melangkahan kakinya menuju balkon atas.


 

"Ada apa sih sebenarnya Vin?"


 

"Udah sayang. Kamu liat aja ntar." Jawab Alvin sambil terus cekikikan.


 

Angel langsung keluar dari kamarnya begitu mendengar ada keributan. Lalu dengan cepat menghampiri asal suara itu. Dia berdiri di samping Alvin yang sudah lebih dulu sampai di tempat kejadian perkara.


 

"Maaf Bu. Saya nggak bisa pakai setrika listrik. Saya bisanya pake setrika arang. Jadi, saya nggak tahu apa-apa Bu." Jawabnya jujur.


 

"Nggak tahu apa-apa gimana Siv? Jelas-jelas kamu sudah merusak gaun ini!"


 

Sivia menggigit bibir bawahnya. Dia gugup. Sangat gugup. Namun, mungkin ini adalah kesempatan terbaik untuk membuat keluarga Alvin membencinya.


 

Sivia menarik napas lalu menghembuskannya kuat. "Yaudah sih Bu. Tingga beli lagi kan gampang? Lagian kan Ibu ini orang kaya. Baju segitu mah murah. Ya kan?"


 

Bu Ira menutup matanya dengan tangan kanannya. Lalu matanya menatap Sivia.


 

"Ini bukan masalah harga. Tapi masalah kenangan! Asal kamu tahu ya Sivia! Ini adalah hadiah pertama yang diberikan suami saya."


 

Sivia tertegun. Dirinya merasa sangat bersalah sekarang. Namun egonya kembali muncul.


 

"Kan saya tadi sudah minta maaf toh? Ya mau diapain lagi Bu.. Bu.."


 

"Kamu nggak ngerti Sivia! Saya nggak tau kenapa kamu bersifat seperti ini!"


 

"Yaudah lah Ma, kalau Mama mau, Alvin bisa antar Sivia pulang malam ini juga. Biar dia nggak ada lagi di rumah ini. Dan Mama bisa hidup tenang lagi." Tawar Alvin sambil berdiri gagah dan tersenyum licik.


 

Shilla melotot. Lalu menghentakkan kakinya. Dia tidak suka jika Alvin dekat-dekat dengan gadis kampung itu. Cewek yang boleh satu mobil sama Alvin hanya dia. Shilla! Bukan gadis ini atau yang lain.


 

Angel mengerti dengan sikap Shilla. Dengan cepat dia menarik tangan Shilla lalu membawanya pergi ke tempat lain menjauhi Alvin. Dia tidak ingin masalah itu semakin runyam.


 

Bu Ira menatap Sivia sedih. Dia menggelengkan kepalanya lalu berlalu pergi meninggalkan Alvin dan Sivia. Mungkin Bu Ira memerlukan waktu.


 

Sivia menatap Alvin tajam. "Nggak usah. Saya bisa pulang sendiri kok. Nggak perlu diantar. Terimakasih atas semuanya. Maaf kalau saya banyak salah selama disini. Permisi."


 

Sivia membawa semua pakaian yang hendak digosoknya tadi. Lalu berlalu di depan Alvin. Alvin cengengesan. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya bila tidak ada gadis kampung itu. Dia akan kembali hidup merdeka seperti biasanya. Yah semoga.


 


 

***


 

Angel masuk ke kamar tamu. Kamar yang selama dua hari belakangan ini diisi oleh perempuan yang dijemput Alvin di Cirebon. Dia menggigit bibir bawahnya. Lalu dengan pelan melangkahkan kaki menghampiri Sivia.


 

Sivia berbalik. Sedikit kaget dengan kedatangan Angel secara tiba-tiba itu.


 

"Siv? Lo yakin mau pulang sendiri? Memangnya lo tahu jalan? Udah deh mendingan besok aja pulangnya dianter sama Alvin. Yah?"


 

Sivia menghentikan kegiatannya merapikan tempat tidur kamar tamu itu. Dia lalu duduk di sana. "Nggak. Aku bisa kok. Tenang aja."


 

Angel mengikuti kegiatan Sivia. Dia duduk di samping Sivia lalu memandangnya sambil tersenyum. "Lo udah berhasil ya? Hebat deh!"


 

Sivia mengernyit. Tidak mengerti dengan kata-kata Angel.


 

"Haha gue tahu lagi. Lo kayak gini gara-gara nggak mau dijodohin sama Alvin kan?"


 

Sivia membuang muka.


 

"Menurut gue, lo berhasil Siv! Lo berhasil bikin seisi rumah nggak suka sama lo. Tapi sayangnya, lo gagal di mata gue." Angel menghela nafas. "Gue udah tau semenjak lo pertama kali datang kesini. Lo sengaja bikin nyokap gue nggak suka sama kelakuan lo. Itu semua lo lakuin biar nyokap gue ngedepak lo balik ke kempung kan?"


 

Sivia berdiri. Dia tidak ingin berlama-lama mendengar celotehan Angel. Yang dia pikirkan hanyalah kembali ke kampung dan melupakan pertemuan ini. Sivia meraih tas besar yang dibawanya dari kampung. Lalu berjalan meninggalkan Angel. Namun saat sampai di pintu, dia berhenti. Lalu perlahan membalikkan tubuhnya menghadap Angel.


 

"Maaf. Selama ini aku salah. Aku nggak bermaksud—"


 

"—Iya gue ngerti kok. Jaga diri lo baik-baik ya Siv. Oh iya!" Angel mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. "Ini nomer telfon rumah sama nomer hp Alvin. Nyokap tadi yang pesanin ke gue. Nih. Suatu saat pasti lo butuhin ini."


 

Sivia meraih kertas kecil itu. Lalu memasukkan ke dalam saku tas nya.


 

"Kalau ada apa-apa, hubungin nomer itu ya."


 

Sivia mengangguk. Dia lalu tersenyum kecil.


 

Angel sedikit kaget dengan senyuman yang menghiasi wajah Sivia. Semenjak dia ada dirumah ini, Angel sama sekali tidak pernah melihat dia tersenyum. Mau tak mau, Angel melangkahkan kakinya lalu memaksa memeluk Sivia sebagai tanda perpisahan.


 

"Makasih ya Kak Angel."


 

Angel semakin kaget manakala Sivia memanggilnya dengan sebutan 'Kak'. Entahlah, yang jelas dia merasa terhibur semenjak Sivia ada di rumah itu.


 

"Lo tau nggak Siv? Kalau boleh gue jujur sejujur-jujurnya, gue jauh pengen elo yang jadi pacarnya Alvin. Bukan Shilla itu."


 

Angel tertawa saat Sivia melepas pelukannya dengan kilat. "Haha! Gue serius sih. Tapi gue tau lo-nya nggak bakal mau. Jadi yaudah deh. Gue nggak maksa kok."


 

Sivia tertawa hambar. Lalu benar-benar pergi dari rumah itu setelah sedikit bercanda dengan Angel.


 


 

***


 


 

Sivia berjalan menembus keheningan malam. Entah sudah berapa jam dia berjalan di trotoar itu. Jalanan di Jakarta masih cukup ramai. Tentu saja dia tidak terlalu takut. Sivia lelah. Dia duduk di sebuah bangku panjang tempat menunggu bus. Dia menyenderkan tubuhnya. Lalu menaruh tasnya di aspal. Dia menghembuskan nafas pelan.


 

"Gimana caranya aku pulang ya?"


 

Sivia merasa kedinginan. Dia membuka ikatan rambutnya sebelah kanan dan kiri. Mungkin rambutnya yang tergerai itu bisa sedikit menyelimuti lehernya agar angin malam tidak terlalu menusuknya.


 

Sivia menoleh ke kiri dan kanan. Perasaannya tidak enak. Dia melihat ke arah jam yang ada di tangannya. Pukul sebelas malam. Kemana dia harus pergi?


 

"Sendirian aja nih mba?"


 

Sivia menoleh. Dia melihat seorang laki-laki memakai baju yang tidak ada lengannya. Gelang-gelang hitam besar memenuhi tangannya. Celananya rombeng. Dia memegang sebotol minuman. Sepertinya minuman keras. Sivia merinding. Walaupun dari kampung, dia mengerti kalau style-style seperti ini adalah style orang jahat.


 

"Pergi kamu! Jangan ganggu aku! Kita nggak kenaaal!"


 

"Lah mba? Justru karena nggak kenal, kita kenalan dulu mba!"


 

"OGAAH!"


 

Dengan cepat Sivia membawa tasnya lalu segera pergi meninggalkan laki-laki aneh itu. Langkahnya bertambah cepat. Dia sempat menoleh kebelakang dan sangat shock ketika laki-laki itu juga mengikutinya sambil menegak minuman keras itu. Mau tak mau Sivia berlari sangat kencang. Dia takut. Pikiran-pikiran aneh menyerang otaknya. Dia tidak tahu harus berbuat apa selain berlari dan terus berlari sampai laki-laki itu tidak nampak lagi di matanya.


 


 

***


 


 

Alvin menyetir mobilnya dengan tenang. Namun, entah mengapa perasaannya sedikit tidak enak.


 

"Sayang? Kita ke butik kesayangan aku dulu ya?"


 

Alvin menoleh. "Ya ampun ini sudah hampir jam dua belas. Aku capek Shil. Belanjaan kamu udah banyak tuh." Alvin menunjuk ke arah belakang. Benar saja kantung-kantung belanjaan Shilla menggunung disana.


 

"Yah, ayolah sayang. Sekaliii ini aja. Yaa?"


 

"Besok-besok aja deh. Aku capek banget. Kamu nggak kasian sama aku apa?"


 

Shilla tidak kehabisan akal. Dia memegang pundak Alvin. "Sayang? Ayolah. Barangnya limited banget. Ntar keburu abis. Yaa?" katanya manja.


 

"Aduh aku nggak bisa. Udah capek banget Shill! Ngertiin aku sedikit bisa nggak sih?" Alvin sedikit membentak. Namun itu sama sekali tidak meluruhkan hati Shilla.


 

Shilla tidak kehabisan akal. Dia tersenyum. Lalu mendekatkan dirinya dengan Alvin. "Sayaang."


 

Alvin merasa risih. "Aduh kamu mau ngapain Shill?" Dia menoleh ke arah Shilla sambil menyetir.


 

"Please sekali ini aja ya? Aku pengen banget ke butik itu. Sayaang?"


 

"Aduh kan udah aku bilang aku—" Alvin kembali melihat jalanan. "—AAAAA!!"


 

Alvin menginjak pedal rem secara mendadak. Mereka berdua teriak bersamaan.


 


 

***


 


 

Sivia menutup kupingnya dengan kuat. Tasnya sudah terlempar entah kemana. Nafasnya terhengal. Dia tidak tahu apaah laki-laki itu masih mengejarnya atau tidak. Lampu sebuah mobil menyorot dirinya pada saat akan menyebrangi jalanan yang sudah semakin sepi itu. Mobil itu seperti akan menabraknya. Sivia masih bisa mendengar bunyi mobil itu yang sepertinya di-rem dengan kuat oleh pengemudinya. Dia berjongkok di jalanan itu. Lalu memejamkan matanya.


 

"Sivia?" pundaknya disentuh seseorang.


 

"AAAAAA!! Pergi kamu!! Jangan ganggu aku!!" erangnya sambil meronta


 

"Sivia? Ini gue Alvin!"


 

Perlahan Sivia membuka matanya. Lalu berdiri. Benar saja, Alvin berdiri di hadapannya.


 

"Mas Alvin?" Sivia tidak percaya.


 

"Iyalah ini gue. Lo ngapain disini sih? Katanya mau pulang?"


 

Sivia menunduk. "Aku.. Aku nggak tau jalannya Mas. Aku.. Aku takut." Dia menahan tangis.


 

Alvin merasa iba. Sekejam-kejamnya dia terhadap gadis kampung itu, dia tidak akan tega membiarkan Sivia terkantung-kantung di Jakarta seperti ini. Apalagi dia yang membawanya dari kampung. Dan kalau boleh jujur, Alvin sangat tidak tega melihat perempuan menangis. Siapapun itu. Termasuk Sivia.


 

"Eh. Jangan nangis dong lo! Ntar dikira gue macem-macem lagi."


 

Sivia menurut. Dia mengangguk kecil. Lalu menghapus air matanya yang sempat menetes.


 

"Yaudah malem ini juga, gue anter lo ke Cirebon ya." Alvin mengambil tas Sivia yang terlempar ke sisi jalan.


 

"Nggak bisaa!" Shilla tiba-tiba turun dari mobil. Dia menghampiri Sivia. "Lo ngapain sih disini? Dasar orang kampung! Manja banget sih lo pulang aja harus diantar sama pacar gue!"


 

"Ye sirik aja ya kamu." Sivia memeletkan lidahnya. Dia merasa menang.


 

"Udah deh kalian nggak usah ribut. Aku capek!" Alvin datang sambil membawa tas Sivia.


 

"Aduh sayang udah deh kita lanjut jalan aja. Biar aja dia pulang sendiri. Kan dia yang mau toh?"


 

"Nggak bisa Shill. Aku mesti antar dia. Aku yang tanggung jawab semuanya. Jakarta ke Cirebon kan jauh."


 

"Dengerin tuh mba Shilla!" Sivia benar-benar menang.


 

Shilla marah. Perasaan cemburu menderanya. Dia membanting tas Sivia yang dipegang Alvin. Lalu menarik tangan Alvin hingga berada di depannya. Kakinya sedikit menjinjit lalu dia mencium Alvin.


 

Sivia menganga. Dia tidak menyangka Shilla sampai segitunya.


 

"Apa-apaan sih kamu Shill?" Alvin menjauh dari Shilla.


 

"Sayang! Aku nggak mau kamu lebih milih dia daripada aku!"


 

"Aku nggak milih siapa-siapa disini! Udah deh jangan bikin aku pusing! Sekarang kalian berdua masuk ke mobil! Biar aku antar pulang!"


 

"Nggak! Aku nggak mau satu mobil sama orang kampung!"


 

Shilla sudah berbalik meninggalkan Alvin namun tangan Alvin menahannya. "Shill ini sudah malam. Ayo mendingan aku antar pulang!"


 

"Nggak! Kamu pilih dia atau aku Vin?" Shilla meronta namun tangan Alvin memegangnya kuat.


 

"Udahlah Mas. Aku balik sendiri aja ke Cirebon. Mas Alvin antar mba Shilla pulang aja ya." Sivia membuka suara.


 

Alvin menoleh ke arah Sivia. Dia bingung. Alvin merutuki dirinya sendiri mengapa mengatasi dua perempuan ini sangat sulit?


 

"Udah deh Siv jangan bikin masalah tambah runyam!" Alvin menegur Sivia. Kemudian dia kembali membujuk Shilla. "Ayolah Shill. Biar aku antar pulang ya?"


 

"Nggak mau! Kamu urusin aja cewek kampung itu. Aku mau pulang sendiri aja!" tolak Shilla.


 

Alvin merasa jengkel. "Oke fine! Silakan pulang sendiri! Aku capek. Sebodo deh!" Alvin berjalan ke arah Sivia lalu mendorong tubuhnya masuk ke mobil. Dia mengemudikan mobilnya lalu melesat meninggalkan tempat itu.


 

"ALVIIIIN!!" teriak Shilla.


 


 

***


 


 

"Apa Mba Shilla nggak apa-apa ditinggal sendirian Mas?" Sivia yang sudah lima belas menit yang lalu membisu, akhirnya membuka suara juga. Agak takut juga melihat Alvin yang meledak-ledak seperti tadi.


 

"Tenang aja. Dia pinter kok. Nggak kaya elo."


 

Sivia tersinggung. "Maksud kamu apa?"


 

Alvin tertawa dalam hati. Lucu ya. Giliran lagi baik, Sivia memanggil dirinya dengan Mas Alvin. Giliran lagi marah, Sivia memanggil dirinya dengan sebutan kamu.


 

Alvin menoleh sebentar, lalu kembali memusatkan pikirannya pada jalan. "Tumben rambut lo di urai gitu? Mau tebar pesona sama gue ya? Sorry deh ya nggak mempan sama sekali!" Alvin mengabaikan pertanyaan Sivia.


 

Sivia memukul lengan Alvin kuat. "Kepedean banget sih!"


 

Alvin tertawa. "Jujur aja deh lo. Pake malu-malu gitu lagi."


 

"Dih pede banget!" Sivia membuang muka sambil melipat kedua tangannya di depan dada.


 


 

***


 


 

Bu Winda menemani Pak Duta menonton siaran pertandingan bola. Di saat sedang asyik menonton, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Mereka saling bertatap, lalu Bu Winda mengangkat kedua bahunya tanda tidak mengetahui juga siapa yang bertamu tengah malam begini. Mereka berdua lalu melangkahkan kakinya ke arah pintu.


 

"Loh? Nak Alvin?"


 

Alvin tersenyum lalu menyapa Pak Duta dan Bu Winda ramah. "Iya. Malem Pak, Bu."


 

"Kenapa jam segini kemari Nak? Sivia mana?" Bu Winda sudah tolah-toleh mencari batang hidung Sivia.


 

"Ada di mobil Bu. Dia ketiduran. Sivia minta pulang. Katanya nggak betah di Jakarta." Jelas Alvin singkat.


 

"Oh? Sivia.. Sivia.. Yah sudah kalau gitu Nak Alvin biar istirahat aja dulu di dalam ya. Pasti capek kan? Biar Ibu bangunin Sivia dulu." Bu Winda sudah berjalan ke arah mobil Alvin. Namun Alvin menahannya.


 

"Eh, jangan dibangunin Bu. Kayaknya dia capek banget deh. Biar Alvin gendong aja ya?"


 

Bu Winda dan Pak Duta saling bertatapan. Lalu mereka mengangguk perlahan. "Yasudah gimana baiknya aja Nak Alvin." Kata Pak Duta singkat.


 

Alvin tersenyum lalu berjalan menuju mobilnya. Tanpa dia ketahui, sepasang mata disana menatapnya dengan geram.


 


 

***


 


 

Alvin membuka matanya. Sinaran matahari yang masuk lewat jendela kamar Sivia memaksanya untuk berpisah dari bunga tidurnya. Jam dinding Sivia menunjukkan pukul sembilan pagi. Dia memang tidur di kamar Sivia. Sementara Sivia tidur bersama Bu Winda. Pak Duta tidur di depan televisi karena menonton pertandingan sepak bola semalaman.


 

Dia lalu berdiri. Tiba-tiba saja dia mendengar suara ribut-ribut di luar. Segera saja dia berlari mencari sumber keributan.


 

"Kamu ini gimana sih Vi? Tiga hari nggak ada kabarnya, eh taunya kamu datang sama cowok lain. Kamu pikir aku ini siapa?"


 

"Aduh maaf-maaf! Aku kan sudah bilang maaf Kang. Biar aku jelasin dulu ya."


 

Alvin menguping dan mengintip lewat kaca jendela kamar Sivia. Dia melihat Sivia dengan seorang lelaki kurus berkulit agak hitam yang tingginya sepantaran dengan Sivia. Segera saja dia menajamkan telinganya.


 

"Jelasin apa? Jelas-jelas kamu pulang sama cowok yang bawa mobil ini kan semalem? Kamu mesra-mesraan sama dia. Aku nggak nyangka kamu sejahat ini sama aku Vi!"


 

"Hah? Mesra-mesraan? Nggak pernah! Aduh Kang Rio dengerin penjelasan aku dulu. Aku sama sekali nggak suka sama cowok itu. Dia orang kaya tapi sombong banget Kang! Dia bukan tipe aku sama sekali kok. Jadi Kang Rio tenang aja ya."


 

"Halah aku benci sama kamu Vi! Nggak nyangka banget kamu malah memilih orang kaya seperti dia dibanding orang kampung kayak aku. Sudahlah."


 

"Ada apa ini ribut-ribut?" Bu Winda datang bersama Pak Duta. Di tangannya masing-masing membawa dua plastik kecil berisi sarapan.


 

"Kamu lagi Rio? Heh sudah saya bilang berkali-kali ya! Jangan pernah dekatin anak saya lagi. Kerja dulu! Baru dekatin Sivia. Jangan mau enaknya saja kamu! Lagian Sivia sudah dijodohkan dengan orang Jakarta. Jadi, kamu jangan coba-coba perngaruhi Sivia lagi ya!"


 

Rio menoleh tajam ke arah Sivia. Lalu benar-benar pergi meninggalkan keluarga itu dalam perasaan sakit.


 

"Ibu jahat banget sih!" Sivia mengomel.


 

"Loh kok jahat? Kan emang gitu toh?"


 

"Ibu nggak ngerti!" Sivia lalu berlari entah kemana. Alvin bisa mendengar bagaimana Bu Winda dan Pak Duta memanggil-manggil Sivia. Namun Sivia sama sekali tidak menjawabnya.


 

Alvin menggelengkan kepalanya lalu melangkahkan kakinya ke depan meja rias yang ada di kamar itu. Lama dia bercermin di depan meja rias kecil milik Sivia.


 

"Sivia punya pacar toh?"


 

"Baru tau gue."


 

"Kalau dipikir-pikir, kok gue turun derajat banget ya?"


 

"Jelas-jelas cowok tadi itu jauh banget dibanding gue. Gue keren. Nah dia? Tampang preman gitu. Nggak punya kerjaan lagi!"


 

"Tapi, yang jadi pertanyaan, kenapa Sivia lebih tertarik sama dia ketimbang gue coba?"


 

"Mau ditaruh dimana muka gue? Masa gue dikalahin sama preman kampung gitu?"


 

"Nggak bisa! Gue Alvin! Dan gue nggak mungkin direndahin kayak gini."


 

"Oke. Kayaknya gue mesti netap disini selama beberapa hari deh."


 

"Sampai Sivia bisa ngeliat gue. Dan dia pasti jatuh cinta sama pesona gue!"


 

"Gue harus buktiin ke diri gue sendiri kalau gue jauh lebih bisa mengambil hati Sivia dibanding preman kampung itu."


 

"Yah! Gue yakin! Sivia? Liat aja ntar! Lo bakal gue dapetin!"


 

Alvin senyum-senyum sendiri di depan cermin. Dia yakin rencananya kali ini pasti akan berjalan dengan lancar. Yah. Semoga.


 


 

***


 


 

Sivia masuk ke rumah dengan muka cemberut karena tidak berhasil menemui Rio dimana pun. Ibu yang sedang mengobrol dengan Alvin pun langsung berdiri menghampiri Sivia.


 

"Akhirnya dateng juga kamu Vi. Ibu minta tolong ya. Kamu ke pasar sebentar. Soalnya nak Alvin mau menginap disini selama dua atau tiga hari."


 

Sivia melotot ke arah Alvin. Dia sudah bersuara kalau saja Ibunya tidak menahannya. "Sudah diam dulu! Ibu yang tawarin nak Alvin untuk menginap. Dan alhamdulillah dia mau Vi!" kata Ibunya sambil tersenyum sumringah.


 

Sivia menganga. Sejak kapan orang itu mau tinggal di kampung? Dan apa kata Ibu tadi? Nginap? Ya Tuhan! Sivia merutuki itu semua.


 

"Yasudah, ini daftar belanjaannya sama uangnya. Kamu pergi ke pasar sana gih." Suruh Ibunya.


 

Sivia merengut. Lalu mengambil daftar dan uang itu dari tangan Ibunya tanpa berkata apapun. Sivia sudah pergi meninggalkan rumahnya. Dia sempat berhenti di depan mobil Alvin.


 

"Heh! Kamu ngapain masih parkir di halaman rumahku sih? Seharusnya kamu sudah balik ke Jakarta sana! Bikin repot aja deh." Sivia menendang lampu mobil Alvin. Sesaat kemudian, dia meringis sambil memegangi kakinya.


 

"Eh kenapa Vi?" Alvin datang. Sivia menoleh sinis.


 

"Nggak pa-pa." Jawabnya singkat lalu pergi meninggalkan Alvin. Alvin tidak tinggal diam.


 

"Eh tunggu." Alvin menahannya. "Pasarnya jauh kan? Pergi sama aku aja ya. Mau ya?" Alvin memohon.


 

Sivia mengerutkan keningnya. Sejak kapan Alvin mengucapkan kata aku-kamu di depannya? Ada yang tidak beres. Sivia curiga Alvin akan mengerjainya lagi.


 

"Nggak. Dijamin aku nggak bakal ngerjain kamu lagi deh Vi. Yah walaupun aku tahu, pasti pikiranmu sudah aneh-aneh kan?" Alvin seakan mengerti jalan pikiran Sivia.


 

Sivia membuang muka.


 

"Kamu sadar nggak Vi? Dari awal kita ketemu disini aja kita udah berantem. Mau sampai kapan kita kayak gini? Apa kita nggak bisa berteman? Sejujurnya aku nggak mau ngecewain Nenek aku tentang perjodohan ini. Kenapa kita nggak coba mengenal satu sama lain dulu gitu?" Alvin mencoba meyakinkan dengan hati-hati.


 

Sivia memikirkan kata-kata Alvin. Sepertinya Alvin benar. Dari awal mereka sudah bertengkar. Dan sejujurnya Sivia juga lelah. Sepertinya hatinya membenarkan semua perkataan Alvin. Dia juga tidak ingin mengecewakan almarhum kakek tersayangnya. Sivia menghela nafas panjang.


 

"I.. Iya juga sih Mas. Aku juga capek. Lagian ini juga bukan salah kita kalau kita dijodohin. Aku juga nggak mau ngecewain almarhum Kakek aku Mas."


 

"Em, Jadi sekarang kita teman ya?" tanya Alvin pelan.


 

Sivia mencoba tersenyum lalu mengulurkan tangan kanannya.


 

Alvin tersenyum lebar. Berhasil! Dia membalas uluran tangan Sivia. Lalu berjalan membukakan pintu mobilnya. Gayanya yang bak belaga prajurit istana membuat Sivia tertawa. Mobil itu lalu pergi meninggalkan jejak di halaman Sivia. Bu Winda dan Pak Duta menggelengkan kepalanya saat mengintip di jendela ruang tamu rumah mereka.


 


 

***


 


 

Rio duduk di atas motor bebeknya. Matanya tolah-toleh memperhatikan pengunjung pasar. Memang kalau akhir pekan seperti ini, pasar di kampung menjadi sangat ramai. Tak lama, matanya menangkap sosok yang tidak asing. Pemilik rambut berkepang dua yang dikenalnya hanya Sivia. Dan apa yang dilihatnya sekarang adalah Sivia? Bersama...laki-laki itu? Rio shock.


 

"Apa lagi Vi yang dibeli?" Alvin membawa barang belanjaan di tangan kanannya.


 

"Kayaknya itu aja deh Mas." Sivia melihat lagi dengan teliti daftar belanjaan yang diberikan oleh Ibunya tadi sehingga dia tidak terlalu memerhatikan jalanan.


 

"Awas Vi!" Alvin menarik tangan Sivia cepat. Untung saja! Kalau tidak, Sivia pasti sudah bertubrukan dengan bapak-bapak yang mengangkut bakul sayur di pundaknya.


 

Alvin memerhatikan wajah Sivia yang lumayan dekat dengannya. Tangannya masih memegang tangan Sivia.


 

"Eh.." Sivia dengan cepat menjauh dari tubuh Alvin. Bau parfum Alvin masih melayang-layang di saluran pernafasannya. Dia tersenyum malu-malu. Mereka berdua salah tingkah.


 

"Em, udah semua kan Vi?" Alvin mencoba menetralkan suasana.


 

"Udah Mas. Kita pulang sekarang?"


 

Alvin mengangguk. Mereka lalu melangkahkan kakinya keluar dari pasar dan menuju sebrang jalan tempat mobil Alvin terparkir. Entah sadar atau tidak, Alvin dan Sivia berpengangan tangan saat akan menyebrang. Entah siapa yang memulainya. Yang jelas, senyum malu-malu masih setia menghiasi wajah mereka.


 

Rio benar-benar terpukul melihat adegan demi adegan yang terpampang di depan matanya tadi. Hatinya panas. Dia tidak rela jika gadis itu diambil oleh laki-laki lain. Dengan cepat Rio menyalakan mesin motornya, lalu mengikuti mobil Alvin. Tak dihiraukannya suara Kakaknya yang memanggil-manggil namanya. Dia meninggalkan kakaknya di pasar. Dia ingin melabrak laki-laki yang telah mengambil Sivia dari tangannya.


 


 

***


 


 

Mobil Alvin berhenti di halaman rumah Sivia. Dengan cepat dia turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Sivia. Sivia tersenyum lalu membawa seluruh barang belanjaannya yang lumayan banyak. Dan saking banyaknya, tangannya tidak bisa untuk membawa barang itu semua dan akhirnya kantung-kantung pastik itu berjatuhan ke aspal.


 

"Yah kamu nggak mau sabaran sih Vi. Aturannya tadi taruh aja disitu biar aku yang bawa." Alvin mengomel sambil membantu Sivia memungut kantung-kantung plastik yang berjatuhan tadi.


 

Sivia memperhatikan Alvin yang memarahinya. Dia tersenyum. Entahlah mengapa dia menyukai sifat Alvin yang ini.


 

"Heh kamu! Berani-beraninya gangguin pacar aku! Sini kamu!"


 

Sivia kaget melihat Rio datang tiba-tiba dan langsung memberikan bogem mentah pada Alvin hingga tersungkur ke aspal. Sivia langsung berdiri.


 

"Kang Rio! Apa-apaan ini!" Sivia melerai lalu mendorong Rio yang sepertinya masih ingin memukul Alvin.


 

"Kamu juga! Katanya dia bukan level kamu! Katanya kamu ngga suka sama orang kota kaya dia. Tapi nyatanya apa? Apa? Dasar perempuan matre kamu ya!"


 

Sivia geram. "Heh kalau ngomong dipikir dulu ya! Pantes aja Ayah sama Ibuku nggak mau kalau aku pacaran sama kamu! Bukan salah aku dong kalau aku dijodohin sama Mas Alvin. Lagian, bener kata Ibuku. Kerja dulu sana! Baru berani deketin aku!" Sivia membuang muka. Lalu menghampiri Alvin yang masih terduduk di aspal.


 

"Mas Alvin nggak pa-pa?"


 

Alvin berdiri lalu menatap Sivia. "Agak sakit sih.."


 

Sivia meringis. Dia lalu menuntun Alvin masuk ke rumahnya. Yah! Alvin berhasil menarik simpatik Sivia. Sepertinya recananya akan berjalan dengan sangat lancar.

Sivia sempat menoleh ke arah Rio dan lalu memeletkan lidahnya.


 

Rio mengacak-acak rambutnya. "Brengsek!" Dia kemudian pergi melaju dengan motornya.


 


 

***


 


 

Sudah dua hari ini Sivia lewati bersama Alvin. Mereka sangat berbeda sejak pertemuan awal kemarin. Ibu dan Ayahnya pun sampai dibuat bingung. Bagaimana tidak, mulai dari kemarin pagi hingga sekarang, Alvin sangat akrab dengan Sivia. Sungguh perubahan yang sangat signifikan.


 

"Besok nak Alvin pulang ke Jakarta ya?"


 

Ibu Winda bertanya sambil merapikan meja ruang tamunya. Disana juga sedang ada Pak Duta yang sedang menghirup teh hangatnya di sebelah bangku Alvin.


 

"Iya Bu. Maka dari itu, saya mau keliling-keliling kampung sebentar sama Sivia. Yah kan siapa tau saya bakal lama baru kesini lagi."


 

Bu Winda tersenyum. "Oh gitu ya. Pantesan aja Sivia lama banget dandan di kamar. Mau pergi sama nak Alvin toh."


 

"Nggak biasanya Sivia begitu ya Bu. Mungkin karena perginya sama nak Alvin ya." Pak Duta berpendapat.


 

Alvin tersenyum simpul. "Ah nggak gitu juga kali Pak."


 

Selang waktu kemudian, Sivia keluar dari kamarnya. Penampilannya malam ini... masih tetap sama seperti biasanya. Rok dibawah lutut sedikit. Dan baju kaos bergambar kartun doraemon di bagian depannya. Namun ada sedikit yang berbeda di wajahnya. Bedak dan lipstik.


 

Alvin menahan tawa melihat itu semua. Namun tidak bagi Bu Winda dan Pak Duta. Bagi orang kampung, penampilan Sivia malam ini sudah sangat pantas. Tapi bagi Alvin, malam ini Sivia norak. Bedaknya terlalu tebal. Dan kalau diperhatikan lebih teliti, pemberian lipstiknya tidak rapi. Sangat berbeda jauh dengan Shilla jika berdandan. Alvin tertawa keras dalam hatinya. Bagaimana mungkin dirinya bisa dijodohkan dengan gadis kampung yang norak seperti ini?


 


 

***


 


 

Mereka telah sampai di danau Cirebon. Hanya perlu waktu sepuluh menit untuk mobil Alvin sampai ke tempat ini. Mereka duduk bersampingan di sebuah pohon yang sudah ditebang.


 

Sivia menggigit bibirnya. Lalu, setiap menit selalu saja dia meghusap-husap mukanya. Sepertinya penampilannya malam itu telah membuat percaya dirinya hilang.


 

"Kamu kenapa sih Vi?" Alvin merasa terusik dengan perlakuan Sivia.


 

"Hah? Nggak pa-pa kok Mas." Sivia menutupi kegelisahannya. Dia menyesal karena telah memakai bedak dan lipstik milik Ibunya yang sama sekali tidak pernah disentuhnya. Dia sendiri juga bingung mengapa tiba-tiba terlintas pikiran untuk berdandan malam ini.


 

Alvin tertawa dalam hati. Dia yakin kalau Sivia mulai menyukainya. Buat apa Sivia yang cuek dengan penampilannya ini repot-repot memakai bedak? Hatinya tertawa geli.


 

"Kamu nggak biasa pake bedak sama lipstik gitu ya Vi?"


 

Sivia yang tadinya menghusap-husap mukanya, kini menggaruk belakang telinganya. Alvin memerhatikan Sivia.


 

"Hah? I..Iya kayaknya Mas."


 

Alvin langsung tertawa terbahak-bahak. Kalau diperhatikan lebih teliti dengan jarak yang lumayan dekat seperti ini, Sivia terlihat seperti dakocan. Alvin sudah tidak bisa menahan hasratnya untuk tertawa sejak di rumah Sivia tadi.


 

Sivia melirik Alvin. Apa mungkin wajahnya seperti orang aneh malam ini sehingga Alvin tertawa seperti itu? Sivia merasa malu. Ternyata dia sama sekali gagal dalam urusan berdandan. Sivia menunduk. Namun, rasa gatalnya di wajah dan bibirnya membuat dia menghusap-husap mukanya lagi. Dia ingin menangis. Kalau tahu begini, mending dia tidak usah sok-sokan memakai bedak Ibu tadi.


 

Alvin menghentikan tawanya. Dia melihat ke arah Sivia yang semakin gelisah. Terselip rasa khawatir di dirinya.


 

"Vi? Sivia?" Alvin menggoyang bahu Sivia. Sivia menunduk sehingga Alvin tidak bisa melihat wajahnya. Alvin penasaran. Dia lalu menahan tangan Sivia yang tadinya terus menghusap-husap wajahnya. Kemudian mengangkat dagu Sivia.


 

"Ya Tuhan? Sivia? Muka kamu kenapa merah gini? Terus itu bibir kamu? Kenapa pecah-pecah begitu?" Alvin sangat kaget.


 

Sivia menggeleng lalu membuang muka. "Nggak pa-pa kok Mas. Paling bentar lagi juga hilang." Tangannya sudah tidak sabar untuk menghusap wajahnya yang makin lama semakin terasa gatal. Namun dapat ditahannya.


 

Alvin merasa kasihan. Dia lalu berpikir keras.


 

"Tunggu sini ya Vi. Aku ambil sesuatu dulu."


 

Sivia tidak menghiraukan Alvin. Wajahnya sudah sangat gatal. Dia menangis.


 

Alvin datang membawa satu kantung belanjaan dari mobilnya. Dia lalu mengeluarkan tissue basah dari dalamnya. Kemudian Alvin mengarahkan badan Sivia sehingga menghadap ke arahnya. Dengan teliti dia menghapus bedak Sivia yang sudah tidak terlihat karena wajahnya yang memerah akibat di garuknya tadi.


 

"Nah. Masih gatel nggak Vi?"


 

Sivia menggeleng. Lalu membuka matanya perlahan. Ternyata wajahnya dengan Alvin sangat dekat. Dia agak salting.


 

"Eh em makasih ya Mas Alvin."


 

Alvin tersenyum tulus. Lalu mengarahkan badannya menghadap ke danau. Sivia mengikuti Alvin.


 

"Barang-barang belanjaan di mobilku, ambil aja ya. Yaaah hitung-hitung oleh-oleh aku dari Jakarta lah."


 

Sivia menoleh. "Tapi itukan punya Mba Shilla. Kenapa dikasih ke aku? Nggak mau ah Mas."


 

Alvin menoleh juga. "Kenapa nggak mau? Itu semua pake duit aku lagi. Kamu tenang aja. Ntar pas aku balik ke Jakarta, kan aku bisa belikan Shilla yang baru."


 

Sivia hanya meng–o-kan bibirnya. Entah mengapa dia tidak senang jika Alvin menyebut-nyebut nama Shilla sekarang.


 

"Kamu kenapa? Kok diem? Biasanya bawel?"


 

Sivia menggeleng lemah.


 

"Oh kirain cemburu."


 

"Ih pede banget! Ngapain juga cemburu. Haha!"


 

Sivia merasa aneh. Hatinya berkata lain. Cemburu? Apa iya dia cemburu? Apa... Apa dia sudah menyukai Alvin? Secepat itukah? Apa yang harus dilakukannya?


 

Alvin tersenyum miring. Alvin ingin meyakinkan sekali lagi kalau Sivia benar-benar sudah jatuh cinta kepadanya. Malam ini penentuannya. Yah minimal Sivia harus mengakui di depan Alvin kalau dia jatuh cinta kepada Alvin.


 

"Vi?"


 

"Hm?"


 

Alvin menghela mafas. "Malam ini juga, aku mau pulang ke Jakarta."


 

Sivia menoleh cepat. "Loh? Kok pulang Mas? Katanya besok sore baru pulang? Trus kenapa malah berubah?"


 

"Emang sih, tapi setelah aku pikir-pikir, kayaknya aku nggak berhak deh maksa kamu buat nerima perjodohan ini. Walaupun kita nggak enak sama almarhum kakek kita, tapi kalau kita nggak cocok, mau gimana lagi? Aku nggak bisa maksain perasaan kamu untuk bisa suka sama aku Vi." Kata Alvin panjang lebar.


 

"Aku tahu kamu nggak suka sama aku Vi. Buktinya waktu aku ngomongin Shilla, kamu sama sekali nggak cemburu kan? Itu namanya kamu nggak ada perasaan apa-apa ke aku Via.."


 

Sivia bingung harus berkata apa. Dia sedikit kecewa. Di satu sisi, hatinya mulai mengakui kalau dia suka kepada Alvin. Tapi disisi lain, dia malu mengungkapkannya. Ditambah lagi Alvin akan pulang secepat itu.


 

"Aku bisa jelasin ke keluarga aku besok kalau kamu memang nggak ada perasaan sama aku kok. Buktinya awal ketemu aja kita udah berantem. Mau dicoba bagaimanapun, kita tetap nggak cocok Vi."


 

"Tapi, Mas..."


 

"Sudahlah Vi. Aku nggak mau kamu terpaksa nerima perjodohan ini. Aku juga nggak mau kamu terpaksa suka sama aku. Cinta itu nggak bisa dipaksain kan?"


 

"Tapi Mas sebenarnya aku...Emm aku..."


 

"Kenapa Vi?" Alvin sudah tidak sabar mendengar pengakuan dari Sivia.


 

"Emm sebenarnya... aku ini beneran...."


 

"Beneran apa Vi?"


 

"Beneran.. itu.. beneran suka kok... sama.. sama Mas Alvin." Sivia menundukkan kepalanya. Dia malu.


 

YAAAH!! Hati Alvin berteriak puas. Dia berhasil. Akhirnya rencananya berjalan dengan lancar. Hanya dalam waktu dua hari, dia bisa menaklukan hati Sivia. Dia bangga pada dirinya sendiri. Hahaha!


 

"Ehm, sudahlah Vi. Kita jalanin sendiri-sendiri aja ya. Anggap aja kita nggak saling kenal. Aku tau kamu terpaksa bilang suka ke aku."


 

"Aku.. aku nggak terpaksa Mas. Aku.. memang beneran suka. Sama Mas Alvin."


 

Hati Alvin berteriak lagi. Dia puas sekarang! Akhirnya Sivia mengakuinya juga.


 

"Udah malem nih. Aku antar pulang ya. Takutnya aku kemaleman sampe ke Jakarta. Yuk."


 

Sivia benar-benar merasa kecewa. Dia tidak mengerti mengapa Alvin tidak mempercayai dirinya kalau dia benar-benar sudah menyukai Alvin. Apa Alvin tidak tahu bagaimana rasanya seorang perempuan menyatakan perasaannya duluan di hadapan laki-laki itu?


 

Sivia berjalan gontai di belakang Alvin. Hatinya sakit.


 


 

***


 


 

"Aduh nak Alvin buru-buru banget loh ini. Nginep aja dulu malam ini. Baru besok pagi pulang ke Jakarta. Yah?" Ibu mencoba menahan Alvin.


 

"Iya nak Alvin. Mendingan istirahat dulu." Pak Duta ikut membujuknya. Sementara Sivia hanya menunduk diam di samping Bu Winda.


 

"Nggak pa-pa Bu, Pak. Saya baru ingat kalau besok ada Ujian di kuliahan. Jadi malam ini juga mesti balik ke Jakarta." Jelasnya sopan. Alvin sempat tersenyum miring melihat Sivia diam tertunduk.


 

Pak Duta dan Bu Winda saling berpandangan. Mereka tidak bisa lagi menahan Alvin.


 

"Yasudahlah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya nak Alvin. Salam sama keluarga di Jakarta."


 

"Iya Bu. Saya pamit pulang ya Bu. Terimakasih atas semuanya."


 

Bu Winda tersenyum. Dia lalu menyenggol lengan putri semata wayangnya. "Vi? Kamu ini gimana toh? Daritadi diem aja. Ucapin salam sama nak Alvin tuh."


 

Sivia mengangkat wajahnya. Dia menatap Alvin sedih. Sejurus kemudian dia berlari masuk ke dalam rumah.


 

"Viiii! Siviaaa!! Aduh itu anak gimana toh?"


 

"Sudah-sudah Bu. Nggak pa-pa. Mungkin Sivia sedih saya pulang ke Jakarta. Salam aja sama Sivia ya Bu. Saya pulang dulu. Permisi."


 

Bu Winda dan Pak Duta berdiri sampai mobil Alvin menghilang di tikungan rumahnya. Kemudian mereka bergegas masuk ke rumah untuk melihat keadaan Sivia.


 

"Vi? Buka pintunya nak! Kamu kenapa toh?"


 

"Nggak mau! Sivia nggak mau keluar kalau nggak ada Mas Alvin!"


 

Bu Winda dan Pak Duta saling berpandangan di depan pintu yang terkunci rapat. Mereka agak sedikit bingung.


 

"Lah kamu ini gimana toh Vi? Kemaren katanya benci sama Alvin? Sekarang kok malah begini?" Pak Duta menggelengkan kepalanya.


 

"Pokoknya Sivia nggak mau keluar kalau nggak ada Mas Alvin titik!!"


 

Bu Winda dan Pak Duta menyerah. Sivia memang keras. Mereka memilih pergi dan berhenti mengintrogasi Sivia. Mereka yakin Sivia sedang ingin sendiri. Mereka tak ingin mengganggu dulu.


 


 

***


 


 

Sinar matahari pagi menyilaukan matanya. Dia bangkit dari tempat tidurnya. Senyum puas masih menghiasi wajahnya.


 

"Hoaaam! Akhirnyaaa hidup gue tenang juga. No perjodohan. No kampung. Ah akhirnya hidup gue kembali lagi ke awal!"


 

Alvin beranjak ke luar. Tak lupa dia mengambil handuk yang menggantung di belakang pintunya. Dia menuruni tangga rumahnya. Sampai dibawah, dia menghampiri Mamanya dan kakaknya di meja makan.


 

"Pagi Mah! Pagi Kak!" sapanya.


 

"Hm pagi. Mandi gih sana baru sarapan."


 

Alvin celingak celinguk. "Mah? Kok rumah sepi banget sih?"


 

Angel menoleh. "Bukannya emang biasanya sepi begini ya Vin?"


 

Alvin merasa bodoh. Dia menggaruk-garuk belakang telinganya. Benar juga kata kakaknya.


 

"Baru juga pisah sama Sivia, sudah ngerasa sepi aja. Hahaha!" Angel menggoda Alvin. Alisnya naik turun.


 

"Ye enak aja! Udah ah gue mau mandi."


 

Angel menatap Mamahnya. "Alvin kenapa tuh Mah?"


 

"Nggak tau deh Ngel. Kayaknya....." Mamahnya mengangkat kedua bahunya sambil senyum-senyum. Sepertinya mereka memikirkan hal yang sama.


 


 

***


 


 

Sampai saat ini Sivia juga belum keluar dari kamarnya. Sepertinya perkataannya serius. Dia tidak akan keluar sebelum ada Alvin.


 

"Vi makan dulu Nak. Udah sore nih. Seharian kamu nggak ada makan. Ibu sama Ayah khawatir Vi."


 

"Sivia kan sudah bilang Bu. Nggak akan keluar sebelum ada Mas Alvin!" Sivia tetap mengeras.


 

Ibunya tidak kehilangan akal. "Yasudah nanti malam kita hubungin Mas Alvin aja. Gimana? Ibu temanin ke warung telfon di depan deh Vi. Tapi makan dulu ya Nak."


 

Sivia membuka kamarnya pelan. Dia menatap Ibunya. Lalu mengangguk pelan.


 


 

***


 


 

Malam ini Alvin berdiri di balkon atas. Baju kaos dan celana levis pendek menjadi pakaian kesukaannya jika sedang di rumah. Tidak biasanya dia mau berdiri disini. Namun entah mengapa kakinya melangkahkannya sampai di tempat ini. Dia menatap meja setrika di hadapannya. Dia tersenyum geli jika melihat kejadian waktu dia mengerjai Sivia habis-habisan. Masih teringat jelas bagaimana wajah polos Sivia berdiri tersenyum di hadapannya waktu itu.


 

"Hayo! Ketahuan lo mikirin Sivia! hahaha."


 

Alvin merengut. "Apaan sih lo kak? Sok tau deh."


 

Angel ngedumel. "Pake ngeles lagi lo. Ngapain lo disini? Tumben banget!"


 

"Terserah gue dong. Yee."


 

Sementara di sana, Sivia mencoba menghubungi nomer ponsel Alvin, namun tidak ada jawaban. Alvin memang sengaja menaruh ponselnya di dalam kamar.

Sivia tidak putus asa. Dia mencoba nomor telfon rumah yang tertera di bawah nomer ponsel Alvin yang diberikan oleh Angel kemarin.


 


 

***


 


 

Shilla celingak-celinguk di depan rumah Alvin. Alvin sudah berjanji akan menemaninya jalan-jalan malam ini. Mereka sudah baikan. Dia senang mendengar cerita Alvin tadi dikampus kalau gadis kampung itu sudah tidak ada di sini lagi. Dia melangkah masuk ke rumah Alvin.


 

"Vin? Alvin?" Shilla berdiri di ruang tamu. Namun tidak ada sahutan dari Alvin. Rumahnya sangat sepi. Kemana semua orang? Shilla ingin mendatangi Alvin ke kamarnya di lantai dua. Namun panggilan telfon rumah disana menghentikan langkahnya. Shilla memang sering main ke rumah Alvin. Jadi dia sudah menganggapnya seperti rumah sendiri.


 

"Halo? Siapa ya?"


 

Sivia kaget. Dia mendengar suara perempuan yang familiar ditelinganya. Bu Ira? Ah bukan! Kak Angel? Kayaknya juga bukan. Lalu?


 

"Halo ini siapa sih? Jawab dong!"


 

"Hm, ini aku Sivia. Mas Alvinnya ada? Aku ada perlu sama dia nih. Tadi aku telfon ke handphone nya tapi nggak di angkat. Jadi aku telfon ke rumah aja. Oh iya, Mba itu siapa ya?" Sivia lupa siapa pemilik suara itu.


 

Shilla kaget. Ternyata Sivia. Gadis kampung yang merusak hubungannya dengan Alvin.


 

"Oh jadi elo! Dasar cewek kampung! Masih aja nelfonin Alvin. Heh asal lo tahu ya. Alvin nggak mau lagi berhubungan sama lo. Buktinya, dia nggak angkat telfon dari lo kan? Udah deh terima nasib aja. Kasian banget. Sekali kampung, tetep kampung. Dan yang jelas, Alvin nggak bakalan mau sama orang kampung kaya lo. Nyadar diri sedikit kenapa sih? Ganjen banget deh." Kata Shilla galak. Dia lalu memutus sambungan telfonnya tanpa ada jawaban dari Sivia disana. Kali ini dia menang. Menang telak. Dia tertawa puas lalu berjalan ke lantai dua untuk menemui Alvin. Sepertinya orang rumah tidak mendengar ada suara telfon.


 

Sivia menutup telfon itu. Dia memandang Ibunya lewat kaca jendela wartel. Hatinya sakit. Seharusnya dia sadar daridulu kalau Alvin memang sebenarnya tidak ada perasaan apa-apa terhadapnya. Seharusnya dia tahu kalau Alvin ter-pak-sa untuk mencoba mendekatkan diri kepadanya. Dia sedih. Sivia keluar dari warung telfon itu lalu berlari melewati Ibunya. Ia tidak peduli dengan suara Ibunya yang berteriak memanggil namanya. Dia ingin cepat sampai dirumah lalu mengurung diri di kamar. Dia menangis.


 


 

***


 


 

"Kayaknya telfon di bawah tadi bunyi deh Vin. Angkat gih sana. Siapa tahu Mama nelfon." Suruh Angel.


 

"Ah males. Lo aja deh yang turun kak." Tolak Alvin.


 

Angel ngedumel. Lalu dia berbalik ingin pergi ke lantai bawah. Namun langkahnya terhenti melihat Shilla yang sudah berdiri di ujung tangga.


 

"Nggak ada telfon dari siapa-siapa kok kak Angel. Tadi pas Shilla angkat, katanya salah sambung."


 

Angel agak sedikit risih dengan perlakuan Shilla yang semaunya itu. Memang benar dia sering bermain kerumah ini. Tapi apa itu berarti dia boleh seenaknya seperti itu? Mengangkat telefon tanpa seizin empunya rumah? Angel hanya menggelengkan kepalanya. Sejujurnya dia agak tidak percaya dengan perkataan Shilla tadi. Namun dia berusaha untuk tidak memikirkannya.


 

"Oh yaudah. Lain kali jangan angkat telfon sembarangan ya. Nggak sopan deh." Sembur Angel. Lalu pergi ke lantai bawah melewati Shilla.


 

"Huu jutek amat sih jadi cewek." Shilla ngedumel nggak jelas setelah Angel benar-benar pergi.


 

Alvin berbalik menghampiri Shilla. "Menurut aku, Kak Angel ada benarnya. Nggak seharusnya loh kamu angkat telfon kayak gitu."


 

Shilla merengut. "Kamu gimana sih sayang? Bukannya belain aku, malah marah-marah."


 

"Aku nggak marah. Cuman nasehatin aja kalau kamu—"


 

"--Udah deh kita kan udah dua hari nggak ketemu. Memangnya kamu nggak kangen sama aku?"


 

Alvin membuang muka. "Kangen."


 

Shilla tersenyum lalu menggamit lengan Alvin manja. "Kita jalan yuk sayang? Katanya Ify di kampus tadi pagi, di butik langganan aku lagi buka diskon besar-besaran tau! Aku pengen kesana sayang."


 

Alvin melipat kedua tangannya di dada. "Sekarang?"


 

Shilla mengangguk cepat.


 

"Yaudah kita pergi sekarang." Kata Alvin.


 

Namun, Shilla menahan Alvin. "Loh? Kamu nggak ganti baju dulu? Masa mau jalan pake baju kayak gini sih? Ih."


 

"Loh emangnya kenapa? Ada yang marah kalau aku pake pakaian begini? Nggak ada kan?"


 

Shilla sudah ingin mengeluarkan suara lagi. Namun dengan cepat Alvin memotongnya. "Oke gue ganti baju. Tunggu sini." Alvin berlalu dari hadapan Shilla. Sepertinya dia malas mencari ribut sekarang.


 

"Ribet banget deh jalan sama lo." Umpat Alvin saat sudah agak jauh dari Shilla.


 

"Kenapa sih Shilla nggak bisa kayak Sivia? Yang mau nerima gue apa adanya. Gue jadi ngerasa di peralat deh sama Shilla. Jadi curiga gue." Alvin mengomel sendiri saat berganti pakaian di kamarnya.


 

"Kalau jalan sama Sivia, dia mah terserah aja guenya mau pake baju apa. Terus juga nggak pernah ngerepotin gue. Beda banget sama Shilla."


 

"Sebenarnya mereka sama. Sama-sama cerewet. Tapi kenapa gue lebih nyaman sama cerewetnya Sivia ya daripada Shilla?"


 

"Astaga! Terus kenapa gue ini jadi ngebandingin mereka berdua ya? Kenapa juga dari tadi pagi yang ada dipikiran gue Sivia Sivia Sivia mulu? Setiap hal yang gue pikirin pasti nyambungnya ke Sivia. Sebenarnya gue kenapa sih? Arggh!"


 

Alvin lalu mengambil kunci mobilnya di atas tempat tidur dan segera bergegas keluar untuk pergi bersama Shilla. Sempat dilihat layar ponselnya. Ada dua panggilan tidak terjawab. Karena nomer itu tidak dikenalnya, dia mengabaikannya lalu memasukkan ponselnya ke saku bajunya.


 


 

***


 


 

"Pokoknya Sivia nggak mau tahu! Sivia mau kawin aja sama Kang Rio. Mas Alvin udah jahat sama Sivia!" Sivia menangis meraung-raung. Pak Duta dan Bu Winda dibuat bingung akan perbuatan Sivia.


 

"Tapi Via.."


 

"Sivia patah hati Bu! Sivia mau kawin aja sama Kang Rio biar patah hatinya hilang. Huaa."


 

"Aduh Sivia. Dia itu preman kampung. Udah gitu nggak punya kerjaan lagi. Jangan ya nak." Bu Winda ikut menangis di samping Sivia.


 

"Nggak peduli! Yang penting Kang Rio bener-bener cinta sama Sivia Bu. Nggak kayak Mas Alvin yang jahat sama Sivia! Pokoknya kalau Ibu sama Ayah nggak setuju, Sivia bakalan bunuh diri aja. Biar Sivia nggak ngerasain sakit hati kaya begini. Huaaaa!"


 

"Aduh jangan-jangan Nak. Iya-iya. Besok kita bicarain sama keluarganya si Rio ya. Jangan bunuh diri ya. Ibu sayang sama Sivia."


 

Sivia memeluk Ibunya. Hatinya sakit sekali mendengar semua ucapan dari Shilla tadi.


 

"Mas Alvin jahat sama Via Bu.."


 

Bu Winda membelai rambut Sivia dengan lembut. Beliau menatap Pak Duta yang hanya bisa menganggukkan kepalanya pasrah.


 

"Yasudah, kalau begitu Ibu telfon keluarganya Alvin sekarang juga ya. Perjodohan ini sebaiknya dibatalkan dan anggap saja tidak ada apa-apa antara masing-masing anak kita." Jelas Ayahnya.


 


 

***


 


 

Shilla menggamit lengan Alvin. Alvin merasa bosan. Setiap mereka jalan, pasti tujuan Shilla ke mall, ke butik, pokoknya tempat-tempat yang menghabiskan uang. Dan yang membuat Alvin bingung, mengapa selalu dia yang membayar semua keperluan Shilla? Memang benar dirinya adalah pacar Shilla. Tapi apa itu berarti dia yang harus menjamin kehidupan Shilla? Alvin mulai memikirkan hal yang sebelumnya sama sekali tidak dipermasalahkan olehnya.


 

"Sayang, aku mau yang ini deh. Kayaknya bagus ya? Bagus kan?" tanya Shilla manja.


 

Alvin melirik sebentar lalu berdehem.


 

Shilla merengut. "Kamu nggak ikhlas ya sayang? Ih kamu jahat sama pacar sendiri!" Shilla membuang baju pajangan yang di pegangnya tadi ke lantai butik.


 

Alvin sudah membalas argumen dari Shilla kalau saja suara ponselnya tidak berdering. Alvin menatap Shilla tajam sambil merogoh ponsel di saku bajunya.


 

"Halo?"


 

Alvin menjauhkan dirinya dari Shilla.


 

"Iya ini Alvin, kenapa Kak?"


 

"APA?"


 

Shilla menoleh kaget mendengar teriakan Alvin. Dengan cepat dia menghampiri Alvin yang sudah memutuskan sambungan telfonnya. Kemudian Alvin segera berbalik.


 

"Shill! Lo ngomong apa aja sama Sivia, HAH? Jawab!"


 

"Hah? Sivia?" Shilla menggigit bibir bawahnya. "Aduh sayang jangan teriak-teriak disini dong. Kan aku malu!"


 

"Heh gue nggak peduli ya lo mau malu kek apa kek, yang jelas mulai sekarang, berhenti manggil gue sayang! Gue bosen sama lo! Gue tolol banget ya baru nyadar sekarang kalau gue cuman di peralat sama lo!"


 

"Vin dengerin penjelasan aku dulu Vin." Shilla menahan tangan Alvin agar tidak meninggalkannya. "Kamu kenapa sih? Segitu marahnya sama aku? Kamu suka sama Sivia?!"


 

Alvin merenung sebentar. Lalu membuka suara. "Bukan urusan lo!"


 

"Vin aku bisa jelason semuanya Vin please!"


 

"Semuanya udah jelas Shill. Denger ya! Sampai gue tau apa yang lo bilang ke Sivia tadi, gue bakal bikin perhitungan sama lo Shill. Inget aja kata-kata gue!" Alvin menghempaskan tangan Shilla lalu pergi berlari keluar dari butik itu tanpa menoleh ke arah Shilla yang terus-menerus meneriaki namanya. Dia tidak peduli. Dia ingin cepat-cepat sampai di rumah. Angel berkata padanya bahwa sebenarnya yang menelfon ke nomer rumah tadi adalah Sivia. Alvin tahu pasti Shilla sudah berkata macam-macam kepada Sivia. Alvin sadar, tanpa sengaja dia sudah membuat hati Sivia sakit. Maka dari itu dia ingin segera bertanggung jawab.


 

Alvin memakirkan mobilnya asal di halaman rumahnya. Dengan gesit dia berlari masuk ke dalam rumah. Alvin agak sedikit bingung. Di ruang tamu sudah ada Neneknya yang baru datang dari Bandung dan Ayahnya yang sudah pulang dari tugas kerjanya di luar kota. Namun bukan sepenuhnya itu yang dia bingungkan. Mengapa saat Alvin masuk ke ruang tamu, semuanya bungkam sambil memandang Alvin? Padahal sebelum sampai di ruang tamu, dia mendengar suara keluarganya yang lumayan ribut.


 

"Kenapa ini? Kok semuanya pada mandang Alvin?"


 

Keluarganya saling bertatapan satu sama lain. Kemudian, dengan bijak, Mamanya berdiri sambil tersenyum memandang Alvin.


 

"Alvin, kami sudah berbicara tentang perjodohan kamu dengan Sivia. Dan hasilnya..."


 

Alvin berdebar.


 

"...perjodohan ini sudah resmi dibatalkan oleh Nenekmu. Kami semua sadar tidak bisa memaksakan kehendakmu Nak. Kalau memang tidak cocok, ya tidak bisa diteruskan. Dan sebagai gantinya, kami merestui hubungan kamu dengan Shilla."


 

Alvin menganga. Dia memandang keluarganya satu per satu. Mencari kepastian di mata mereka. Mereka semua tersenyum. Kecuali Angel. Alvin dengan cepat membuka suara.


 

"Kenapa jadi begini? Kenapa perjodohannya batal? Bukannya kalian yang maksa-maksa Alvin kemarin? Trus sekarang, kenapa dibatalin?"


 

Angel berdiri. "Bukan pihak kita yang membatalkan Vin. Tapi Sivia." Angel bisa melihat ekspresi keterkejutan dari Alvin. Angel melanjutkan penjelasannya "Jadi gini, tadi Bu Winda nelfon ke rumah. Sivia lagi sakit hati gara-gara kamu ninggalin dia gitu aja. Dia nggak mau ngapa-ngapain. Nggak mau makan. Nggak mau keluar rumah. Dan akhirnya, dia memutuskan untuk kawin dengan Kang.. Kang siapa ya gue lupa Vin." Angel mengetuk-ngetukkan tangan di keningnya.


 

"Rio bukan?" Alvin mencoba menebak-nebak.


 

"Nah! Itu dia! Bener-bener!"


 

"HAH? SIVIA SAMA SI RIO PREMAN ITU?"


 

Alvin gelisah. Dia menyesal telah bermain-main dengan perasaan Sivia kemarin. Tanpa sadar, dia juga menyukai Sivia. Dia bingung harus berbuat apa sekarang.


 

"Kamu kenapa Vin? Kok pucat gitu?" tegur Neneknya.


 

"Aduh Nek, perjodohannya nggak bisa dibatalin Nek. Alvin nggak setuju!"


 

"HAH?" Keluarganya kompak mengeluarkan suara. Mereka agak terkejut dengan kata-kata Alvin.


 

"Aduh gimana ya, susah jelasinnya. Yang jelas, Alvin nggak setuju kalau Sivia kawin sama orang lain."


 

"Loh? Bukannya kamu nggak mau dijodohin Vin? Katanya kamu benci toh sama Sivia?" tanya Bu Ira.


 

"Aduh itu dulu Ma! Sekarang......"


 

".....sekarang Alvin jatuh cinta sama Sivia Ma! Hahahaah!" Angel memotong perkataan Alvin. Alvin sempat melotot ke arah kakaknya. Namun Angel tidak peduli. Dia tersenyum puas sambil memeletkan lidahnya.


 

"Benar itu Vin?" tanya Neneknya. Beliau turut senang jika memang itu benar.


 

Alvin menunduk pasrah. "I...Iya Nek."


 

"Tuh kaaaan! Apa Angel bilang! Pasti Alvin kena karma. Dari benci beneran, jadi cinta beneran hahaha!"


 

"Diem lo kak!" Alvin malu.


 

"Husss sudah-sudah!" lerai Ayahnya. "Kalau memang Alvin mau dijodohkan dengan Sivia sesuai amanat almarhum, besok pagi-pagi sekali kita semua pergi ke Cirebon saja untuk membicarakan hal ini biar lebih jelas. Bagaimana?"


 

Alvin langsung tersenyum sumringah. Entahlah. Dia menganggap hari ini adalah hari paling bahagia dalam hidupnya. Tinggal satu yang menjadi pikirannya malam ini. Apakah Sivia mau menerimanya kembali setelah semua yang dilakukannya? Alvin hanya bisa berharap dan berdo'a agar Sivia bisa menerimanya kembali.


 


 

***


 


 

Bu Winda dan Pak Duta sedang membersihkan halaman rumahnya. Siang ini juga mereka berencana untuk membicarakan pertunangan Sivia dengan Rio. Semalam Bu Winda sudah mengabarkan kepada keluarga Alvin kalau Sivia membatalkan perjodohan itu karena lebih memilih Rio.


 

Sebuah mobil yang sangat familiar di mata Bu Winda dan Pak Duta berhenti tepat di depan halaman mereka. Seseorang lari tergopoh-gopoh menghampiri mereka.


 

"Bu, Sivia mana Bu? Alvin mesti ngomong sama Sivia sekarang juga Bu. Ini penting Bu!"


 

Bu Winda agak sedikit kaget dengan kedatangan Alvin secara tiba-tiba itu.


 

"Bu, Sivia nya mana Bu?" Alvin tolah toleh mengelilingi halaman rumah Sivia. "Siviaaaaa! Aku datang Siviaaaa! Kawin sama aku ajaaa! Siviaaaa!"


 

Alvin kembali menghampiri Bu Winda dan Pak Duta. Bu Winda dan Pak Duta hanya mampu menunjukkan tangannya ke dalam rumah tanpa berkomentar sedikit pun. Mereka bingung harus berkata apa.


 

"Di dalem? Makasih Bu, Pak." Alvin langsung melangkahkan kakinya. Kali ini lebih santai dari sebelumnya. Dia menarik nafas pelan.


 

Bu Winda dan Pak Duta memandangi punggung Alvin. Kemudian matanya melihat ke arah mobil Alvin. Ternyata Alvin tidak pergi sendiri. Dia bersama seluruh keluarganya. Bu Winda dan Pak Duta langsung menghampiri mereka. Lalu saling menyapa dan mengobrol berbasa-basi.


 

Sivia keluar dari rumahnya membawa sepeda kesayangannya. Namun kakinya terhenti manakala matanya menangkap sosok Alvin yang memakai kemeja dan celana jeans hitam. Matanya sempat tidak berkedip melihat penampilan Alvin pagi ini. Agak kalem dan sungguh.....WOW!


 

"Mas Alvin?"


 

Sivia tidak bisa mengatur detak jantungnya. Ada apa Alvin kemari lagi? Jujur saja, seorang Avin pagi ini sungguh menarik perhatiannya. Namun mengingat Alvin sudah menyakiti hatinya, Sivia langsung membuang muka. Dia tidak ingin berlama-lama melihat wajah Alvin.


 

Dengan sama sekali tidak terduga sebelumnya, Alvin langsung menyambar tangan Sivia dan memegangnya kuat.


 

"Vi maafin aku ya! Jangan kawin sama Rio, Vi."


 

Sivia menoleh. Dia kaget. Sedikit harapan terselip di hatinya. Namun, lagi-lagi dia mengingat kebohongan Alvin kemarin. Dia langsung menarik kembali tangannya.


 

"Sudah Mas Alvin pulang saja lah. Aku sudah terlanjur sakit hati sama Mas Alvin. Kalau aku kawin sama Kang Rio, kan sakit hatinya bisa hilang. Lagian Kang Rio itu bener-bener cinta sama aku. Nggak kaya Mas Alvin. Bisanya cuman mainin perasaan orang kampung kayak aku."


 

Alvin menunduk. Dia merasa sangat bersalah.


 

"Maafin aku Vi. Aku ngaku salah. Tapi jangan kawin sama Rio, Vi. Please!" mohon Alvin.


 

"Kenapa emang? Itukan hak aku mau kawin sama siapa. Bukan urusannya Mas Alvin toh?"


 

"Tapi kan kita sudah dijodohin Vi? Itu amanat loh. Harus dilakukan."


 

Sivia menoleh. "Kalau sama sekali nggak cocok, mau dijodohin bagaimanapun tetap aja nggak jodoh Mas." Sivia mengulangi kata-kata Alvin beberapa hari lalu.


 

Alvin hampir putus asa. Dia menoleh ke belakang. Di halaman sana terlihat seluruh keluarganya memberikan support. Angel dan Neneknya paling bersemangat. Alvin menoleh menghadap Sivia lagi.


 

"Vi, aku mohon jangan kawin sama Rio ya?"


 

"Loh, kok gitu?!" Sivia merasa dongkol.


 

"Karena.. Karena aku maunya.. kamu.. kamu kawin sama aku aja. Jangan sama Rio." Alvin mengucapkannya sambil terbata.


 

Sivia kaget. Sivia senang. Sangat senang! Namun bibirnya masih enggan untuk memberikan komentar. Perasaannya masih bisa di kontrol agar tidak meluap-luap. Apa dirinya tidak salah dengar?


 

"Hari ini juga, aku mau ngelamar kamu. Aku sudah bawa semua keluarga aku buat resmiin perjodohan ini. Kamu mau kan? Aku mohon Vi.."


 

Sivia terenyuh. Bibirnya sudah tidak bisa ditahannya lagi untuk menyunggingkan senyum. Alvin ikut tersenyum melihat Sivia menganggukkan kepalanya pelan.


 

"Kamu mau Vi? Seriusan?"


 

"Iya. Tapi Mas Alvin janji jangan nyakitin Sivia lagi, ya?"


 

Alvin merasa sangat bahagia. "Pasti!" Alvin langsung memeluk Sivia erat. Keluarganya berteriak histeris menghampiri mereka berdua. Akhirnya perjodohan ini bisa diterima oleh Sivia dan Alvin. Mereka semua tertawa bahagia. Mulai sekarang, tidak akan ada lagi pertengkarang di antara mereka. Di kampung ini mereka mulai mengenal satu sama lain. Dan di kampung ini jugalah mereka menemukan cinta itu. Dan sesuai dengan judulnya, cinta mereka benar-benar bersemi di kampung.


 


 

TAMAT

Eh.. belum deng. Hahaha.


 


 

***


 


 

Seorang perempuan berjalan sambil mengumpat jijik melihat jalanan yang di laluinya. Dia menyesal tidak membawa ban cadangan di mobilnya. Alhasil dia harus berjalan kaki.


 

"Duh sial banget sih gue! Kemarin di putusin Alvin. Sekarang? Giliran gue mau nyusul Alvin ke Cirebon, eh malah ban mobilnya kempes. Untung aja udah deket. Dan untungnya lagi gue sempet nyatat alamat rumah Sivia di meja telfon Alvin. Tapi sekarang gue mesti gimana kerumahnya cewek kampung itu? Huaaaa masa gue jalan kaki sih. Jalanannya becek gini lagi. Ihh." Shilla membersihkan sedikit sepatu yang terkena lumpur.


 

"Apa emang gue udah nggak ditadirkan pacaran sama Alvin lagi ya? Tuhaaan! Terus gue sama siapaaa?"


 

Shilla berjalan lagi sambil mengomel. Namun karena terlalu serius memperhatikan jalanan, dia tidak melihat seseorang di hadapannya. Alhasil dia menubruk orang itu.


 

"Eh aduh, maaf-maaf!"


 

Shilla agak sedikit ketakutan. Dia tidak bisa membayangkan jika laki-laki yang ditabraknya akan habis memki-maki dirinya. Atau, bisa saja laki-laki ini akan berbuat jahat padanya.


 

"Nggak pa-pa mba. Lain kali kalau jalan, hati-hati ya."


 

Shilla menganga. Ternyata, penampilannya aja yang preman. Tapi orangnya sopan.


 

"Eh iya. Makasih."


 

"Mba dari kota ya? Mau kemana? Oh iya kenalin saya Rio."


 

Shilla ogah-ogahan membalas uluran tangan itu. Namun entah dapat dorongan darimana, tangannya tiba-tiba saja ikut terulur. Dan bibirnya membalas senyum laki-laki itu yang menurutnya lumayan...manis.


 

"Shilla." Katanya singkat.


 


 


 

TAMAT

Ini baru beneran tamat! Haha!


 


 

***


 


 

Huhahuhahuha aneh ya ceritanya? Dibilang cerpen, kepanjangan. Dibilang novel, kependekan. Bingung juga ini. Jadi namanya mini story aja ya hahaha (apa bedanya coba sama cerpen?Bingung kan?Sama!-_-)


 

Cerpen ini untuk merayakan hari ulang tahun AVNH. Dan ini memang sangat-sangat telat wkwkwk.


 

Oke yang mau comment silakan comment. Yang mau like silakan like. Yang nggak mau comment sama like juga ora popo. Semoga kalian senang yaaa! Harapannya sih kalian terhibur habis baca ini. Minimal ketawa sambil pukul-pukul dinding lah (?) haha!


 

Cerpen ini dapat juga dilihat di resaechaa.blogspot.com

Follow me on twitter @Resaechaa

Tidak ada komentar: