Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Jumat, 13 Juli 2012

CINTA KEDUA PART 24

Halo~ Nggak ngaret kan? Selamat membacaJ


 


 

PART 24


 


 

Rio berjalan beriringan dengan Gabriel. Mereka sudah sampai di rumah sakit tempat Sivia di rawat. Tidak ada obrolan yang mengaung. Mereka fokus pada pikiran masing-masing. Rio lebih tertarik memikirkan bagaimana jika dirinya dan Cakka bertemu nanti. Apakah Cakka akan menertawakannya? Apa mungkin Cakka berpikiran Rio terlalu berlebihan karena telah menangisi Sivia yang ternyata lebih memilih Cakka? Kepalanya serasa ingin meledak jika ternyata memang itu yang dipikirkan Cakka. Tapi? Kalau memang begitu adanya, mengapa Cakka menyuruhnya untuk menjenguk Sivia? Apa sebenarnya yang Cakka inginkan? Bukankah akan lebih baik baginya jika Rio menjauh dari Sivia? Tapi ini?


 

"Yo!"


 

Gabriel menyenggol lengan Rio. Mereka berdua berhenti di depan sebuah kamar. Rio menoleh. "Kenapa Yel?"


 

"201. Ini kamarnya. Lo masuk gih. Gantian aja jenguknya."


 

Rio terlihat menimbang-nimbang. "Cakka mana?"


 

"Nggak tau gue. Lo masuk duluan aja."


 

"Sendirian? Nggak ah! Bareng lo aja Yel." nadanya seperti memohon.


 

"Tapi..." Gabriel menghembuskan nafas berat. "Yasudahlah..."


 

Mereka melangkahkan kaki untuk masuk ke kamar itu. Rio mengetuk pintunya tiga kali dengan pelan. Namun tidak ada jawaban. Gabriel mengangkat kedua bahunya. Lalu dia menunjuk kenop pintu dengan dagunya. Rio mengerti lalu mengangguk. Dia membuka pintu itu, dan......


 


 

***

    


 

Jantungnya serasa ingin loncat sekarang juga. Pintu itu sudah terbuka. Namun tangannya masih memegang kenop pintu ruangan itu. Entah mengapa kepalanya terasa panas. Keringatnya sedikit membasahi kepalanya. Matanya menangkap pemandangan yang menurutnya buruk. Buruk sekali. Apa maksudnya menyuruh dia kesini jika hanya melihat Cakka bermesraan dengan Sivia? Apa? Apa yang diinginkan Cakka? Apa dia sengaja memamerkan itu di depan Rio? Memegang tangan Sivia dengan lembut? Apa Cakka sengaja? Menatap wajah Sivia dengan seenaknya? Apa Cakka ingin membuatnya cemburu? Untuk apa? Amarah memuncak di dadanya. Ingin rasanya menghempaskan tangan Cakka sekarang juga lalu menonjoknya hingga babak belur.


 

Namun sejenak dia sadar akan satu hal. Siapa dirinya sekarang? Pantaskah dia menaungi rasa cemburu di dasar hatinya untuk Sivia? Atas dasar apa? Bukankah dia bukan siapa-siapa sekarang? Hanya sekedar mantan. Yang sangat sudah tidak dibutuhkan lagi oleh Sivia. Perasaannya hancur. Bayang-bayang ciuman itu kembali bersarang di kepalanya. Dia bingung mengapa kejadian itu melekat di kepalanya dan tidak ingin pergi sampai saat ini.


 

Rio meremas kenop pintu itu dengan kuat. Membuang energi negatif yang menyerang dirinya sekarang. Dia benar-benar kalah. Kalah telak oleh sahabatnya sendiri.


 


 

***


 


 

Gabriel berdiri mematung di samping Rio. Apa yang dilihatnya juga cukup membuatnya sedikit tegang. Sejak kapan Cakka memandang seorang perempuan seperti itu? Sejak kapan Cakka memegang tangan seorang perempuan terlebih dahulu? Setahunya, Cakka tidak akan memegang tangan perempuan kecuali perempuan itu sendiri yang mengenggamnya lebih dahulu.


 

Gabriel berdiri takjub. Seserius itu kah perkataan Cakka kemarin? Dia akan menjaga Sivia? Awalnya Gabriel tidak percaya. Dia menganggapnya seperti angin lalu. Tapi sepertinya kepercayaan itu sedikit demi sedikit mencuat di hatinya. Dia turut senang jika Cakka sudah akan benar-benar berubah. Tapi tunggu! Gabriel melupakan sesuatu. Oh Tuhan! Bagaimana bisa dia melupakan itu? Perasaan senangnya hilang seketika. Gabriel menelan ludahnya. Dia menoleh perlahan. Takut-takut dia memandang Rio. Sahabatnya itu berdiri menunduk. Hatinya terenyuh. Gabriel turut prihatin. Dia bisa melihat bagaimana gurat kekecewaan yang amat mendalam di diri Rio. Dia bisa mengerti. Namun apa yang bisa dilakukannya? Gabriel kembali melihat objek pertamanya. Disana Cakka sudah memandangnya dengan kening berkerut. Gabriel menghela napas berat. Mengingat masalah sahabat-sahabatnya yang tidak begitu jauh dengan dirinya dan Alvin, kepalanya serasa ingin pecah sekarang juga. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain... pasrah.


 


 

***


 


 

"Gabriel? Rio?"


 

Cakka berdiri meninggalkan Sivia yang masih terkulai lemas. Kakinya melangkahkan dia sampai ke hadapan kedua sahabatnya itu. Dia sedikit kaget dengan kedatangan Gabriel dan Rio yang secara tiba-tiba. Atau mungkin karena dia terlalu serius memikirkan hidupnya sehingga dia tak sadar jika yang ditunggunya sudah berdiri sejak beberapa detik yang lalu dan memandanginya dengan tatapan nanar.


 

"Kok kalian berdiri disini sih? Bukannya langsung masuk aja."


 

Gabriel merutuki Cakka. Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu kepada dirinya dan Rio. Sebenarnya dia sih nggak masalah. Tapi, menurut Gabriel, pertanyaan itu adalah masalah besar bagi Rio.


 

"Nggak enak lah."


 

Benar apa yang dipikirkannya. Gabriel menoleh ke arah Rio. Cakka mengernyit heran. "Maksudnya, Yo?"


 

Rio membuang muka. "Apa menurut lo gue pantes ngerusak momen kemesraan lo sama dia?"


 

Gabriel menelan ludahnya lagi. Dia sudah tau hal ini cepat atau lambat pasti akan terjadi. Dimana seseorang akan merasa terpukul dengan cinta pertamanya yang kini telah menjadi gadis sahabatnya. Pengkhianatan memang. Dan Gabriel yakin, itulah yang saat ini selalu melayang-layang bebas di pikiran Rio. Gabriel sedikit gemetar. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.


 

"Hah?"


 

Sesaat Cakka terdiam. Momen kemesraan? Maksudnya? Ohya! Cakka mengingat-ingat hal yang dilakukannya beberapa waktu lalu. Dimana dia menggenggam tangan Sivia dan memandangnya sayu. Yah. Cakka mengerti sekarang. Rio terlalu cepat mengambil kesimpulan. Seandainya dia tahu kalau Cakka sama sekali tidak ada niat untuk membuatnya cemburu. Dan seandainya juga Rio tahu kalau sebenarnya tidak terjadi apa-apa antara Cakka dan Sivia. Dia pasti lebih ringan menjelaskan ini semua. Tapi hal ini berbeda...


 

"Sorry, gue nggak nyadar kalau kalian sudah datang." Cakka mencoba menenangkan Rio yang sepertinya mulai sinis terhadapnya. Dia sudah mencoba mencari jawaban yang pas namun hanya kata-kata tadi yang bisa diucapkannya.


 

Rio menatap Cakka. Matanya berapi-api. "Bilang aja lo sengaja akting kayak gitu di depan gue. Lo sengaja nyuruh gue dateng kesini, trus lo sengaja mesra-mesraan sama Via dan akhirnya gue ngeliat itu semua. Itu kan maksud lo?" suaranya mulai meninggi.


 

Cakka memicingan matanya. Dia terkejut dengan perlakuan Rio yang tiba-tiba melabraknya dengan kata-kata yang sama sekali tidak mengenakkan hati. "Yo? Bukan gitu maksud gue!"


 

"Lo pikir gue bego? Lo pasti sengaja lakuin itu semua biar lo bisa ketawain gue kan Cak? Itu kan tujuan lo? Lo emang pinter Cak! Ternyata bener dugaan gue."


 

Cakka mengerutkan keningnya. Dia sudah menyiapkan kalimat-kalimat untuk membalas argumen dari Rio. Sebenarnya dia sama sekali tidak ingin ini terjadi. Dia tidak ingin ada perpecahan antara dirinya dengan Rio. Tapi mau bagaimana lagi? Matanya sempat melirik Gabriel sekilas. Ketegangan sangat terlihat di wajahnya yang mulai pucat. Cakka kembali menatap Rio. Mata sinis Rio masih terpampang di hadapannya. Cakka sempat tersenyum kecil.


 

"Asal lo tau ya, gue sama sekali nggak ada niat sengaja buat lo cemburu! Lagian juga, lo kenapa marah sama gue? Sadar lah Yo. Seharusnya lo nggak berhak marah lah. Terserah gue juga mau ngapain sama Sivia. Toh dia sudah jadi pacar gue dan itu semua bukan urusan lo. Iya nggak?" ujarnya tegas namun tetap santai.


 

Rio terhenyak. Dia terdiam. Tidak ada balasan yang keluar dari bibirnya yang mulai bergetar. Namun matanya masih menatap panas ke arah Cakka. Tangannya sudah mengepal. Bersiap untuk menghantam Cakka tadi. Namun disaat dia mendengar kalimat Cakka, dia mengurungkan niat itu. Benar apa yang dikatakan oleh Cakka. Dia bukan siapa-siapa untuk Sivia. Sebenarnya ini sudah dipikirkannya tadi. Namun entah kenapa, emosinya malah semakin besar dan akhirnya yang tidak diinginkannya pun terjadi sudah. Dia menunduk malu. Malu terhadap dirinya sendiri. Tangannya sudah di lemaskan. Sakit itu kembali menyerangnya.


 

"Sorry, Cak."


 

Kemudian hening. Tidak ada yang hendak membuka suara lagi. Baik Cakka maupun Rio. Tidak ada lagi adu mulut diantara mereka. Hanya hembusan nafas mereka bertiga yang menyembul diantara keheningan yang ada.


 

Gabriel menyandarkan dirinya di tembok sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Apa yang terjadi di antara mereka? Apa persahabatan yang sudah mereka bangun selama dua tahun belakangan ini, akan hancur begitu saja hanya karena cinta? Apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki ini semua? Gabriel mencoba mencari jawaban itu namun dia tidak bisa menemukannya. Bagaimana dia bisa? Sedangkan sampai saat ini dia juga masih bertengkar dengan Alvin karena masalah yang sama. Hanya saja Rio dan Cakka belum menyadari hal itu.


 

"Kak? Uhuk... Kak?"


 

Mereka bertiga menoleh ke arah sumber suara. Gabriel berlari cepat meninggalkan Cakka dan Rio yang masih berdiri mematung di depan pintu. Gabriel kemudian berdiri di sebelah tiang infus Sivia. Dengan telaten dia membenarkan poni-poni Sivia yang sedikit berantakan. Dia tak peduli siapa yang dipanggil Sivia dengan sebutan 'Kak'. Karena selama ini Sivia memanggil dirinya tidak ada embel-embel 'Kak'. Dengan kata lain, hanya ada dua jawaban. Antara 'Kak' Rio dan 'Kak' Cakka. Namun dia tidak mau memusingkan hal itu. Agak tidak penting baginya.


 

"Vi, ini gue Iyel. Syukurlah lo udah sadar."


 

Gabriel tersenyum melihat Sivia yang sudah mulai mengerjapkan matanya perlahan. Dihapusnya sekelabat pikiran-pikiran tentang konflik persahabatannya. Dia meraih tangan Sivia dan lalu menggenggamnya sama dengan yang Cakka lakukan beberapa waktu lalu.


 

Sementara Rio masih tetap pada posisi semula. Dia tak ingin beranjak dari tempatnya. Melihat Sivia sudah sadar saja hatinya sedikit tenang. Apalagi seandainya dia bisa berjalan menghampiri Sivia dan memeluknya dengan sayang. Ah! Khayalannya terlalu tinggi. Rio melupakan pikiran anehnya tersebut. Dia menghembuskan nafas berat lalu melihat ke arah Cakka yang dalam diam sudah melangkah meninggalkannya.


 

Cakka berjalan pelan lalu berdiri di sebelah Gabriel. Dia melihat keadaan Sivia. Seulas senyum terukir di wajahnya yang sedikit mengeluarkan keringat akibat adu mulut dengan Rio tadi. Gabriel menoleh ke arahnya. Mereka saling bertukar pikiran melalu batin. Lalu sekilas mereka sama-sama mengangguk.


 

Gabriel berjalan menjauhi Sivia dan Cakka. Dia menghampiri Rio yang masih saja berdiri mematung di pintu ruangan itu.


 

"Gue mau keluar sebentar, Yo."


 

Seakan tidak butuh tanggapan, Gabriel langsung saja keluar dari ruangan itu dan lalu menghilang dibalik tikungan koridor rumah sakit itu. Rio sedikit bingung dengan perlakuan Gabriel. Dia kemudian ingin berbalik kembali ke ruangan itu untuk berpamitan kepada Cakka yang tak disadarinya sudah berdiri di hadapannya.


 

"Cakka?"


 

"Gue nggak tau siapa 'Kak' yang Sivia maksud tadi dan siapa yang dia butuhin sekarang. Entah gue, atau lo. Yang jelas, gue mau lo sama Sivia nuntasin masalah lo berdua. Gue nggak mau ada kebencian diantara kita. Gue kasih kesempatan buat lo ngomong berdua sama Sivia."


 

***


 


 

Kepalanya pusing. Apa yang sudah dilakukannya? Mengapa rasa sakit itu sungguh membiarkan kita dalam hawa emosi yang begitu besar? Dia sadar dirinya lelaki. Tapi apa itu berarti dia tidak boleh menangis? Walaupun di dalam hati? Apa tak boleh?


 

Rio membenarkan semua perkataan Cakka. Tidak sewajarnya dia membiarkan rasa cemburu itu mengalir di dadanya. Sementara dia sudah memiliki kekasih sendiri. Dia sadar itu. Tapi mengapa dia tidak bisa sedikit pun melupakan Sivia? Yang kini sudah benar-benar menjadi milik Cakka? Mengapa? Toh Sivia sudah tidak menganggapnya sebagai siapa-siapa lagi.


 

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Rio bisa melihat Gabriel dan Cakka berdiri di samping Sivia yang sepertinya sudah sadarkan diri. Sebenarnya dia juga sangat-sangat ingin berada disana. Tapi entah mengapa kakinya enggan untuk melangkah.


 

Inilah yang ditakutkannya sejak tadi. Berada disini membuatnya bingung harus berbuat apa. Sebenarnya mudah saja. Dia pergi kesini untuk menjenguk. Dan mengapa sekarang dia hanya berdiri di depan pintu yang terbuka? Dirinya merasa bodoh.


 

"Gue mau keluar sebentar, Yo."


 

Rio sedikit kaget dengan teguran Gabriel. Dia memerhatikan Gabriel yang melintas di depannya tanpa sedikit pun menoleh kepadanya. Rio mengekor di belakang Gabriel. Dia bisa melihat bagaimana Gabriel menghilang di tikungan koridor rumah sakit itu. Rio menggelengkan kepalanya pelan. Apa maksud Gabriel meninggalkan dirinya dengan Cakka di ruangan itu? Bukankah ada Gabriel saja mereka adu mulut. Apalagi tidak ada Gabriel?


 

Rio mengangkat kedua bahunya pelan. Lalu berdehem. Dia ingin pamit pulang saja. Dia tak ingin kalau-kalau Cakka memamerkan kemesraan lagi padanya. Cukup sudah yang dilihatnya beberapa waktu lalu. Dia muak. Rio melangkahkan kakinya kembali ke ruangan itu. Dan betapa kagetnya dia ketika berbalik, tubuh Cakka sudah berdiri di hadapannya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku celananya.


 

"Cakka?"


 

"Gue nggak tau siapa 'Kak' yang Sivia maksud tadi dan siapa yang dia butuhin sekarang. Entah gue, atau lo. Yang jelas, gue mau lo sama Sivia nuntasin masalah lo berdua. Gue nggak mau ada kebencian diantara kita. Gue kasih kesempatan buat lo ngomong berdua sama Sivia."


 

Rio tercengang.


 

"Dan satu lagi. Gue sama sekali nggak ada niat buat bikin lo cemburu Yo."


 

"Cak?"


 

Cakka tersenyum sekilas. Lalu menepuk-nepuk pelan pundak Rio. "Gue mau ke bawah. Bayar administrasi. Titip Sivia sebentar ya."


 


 

***


 


 

Sivia diam membisu. Badannya sudah agak mendingan. Infusan darah yang mengalir ke dalam tubuhnya memberikan dirinya sedikit tambahan energi. Namun, melihat laki-laki yang sudah hampir setengah jam lalu berdiri menunduk di hadapannya membuat hatinya terkoyak. Apa yang terjadi pada cinta pertamanya itu? Bebarapa hari lalu, Sivia mendengar kabar dari Gabriel bahwa Rio sudah dua hari tidak masuk sekolah. Itu terjadi setelah Rio melihat dengan jelas bagaimana Sivia mencium Cakka di tengah lapangan waktu itu. Sivia begitu khawatir. Setiap bertemu dengan Gabriel, dia selalu menanyakan kabar Rio. Namun hanya gelengan kepala yang di dapatnya. Sekarang, laki-laki yang selalu mengisi otaknya sudah berada di hadapannya. Lalu mengapa lidahnya kelu untuk mengeluarkan kata-kata? Dia mencari kalimat-kalimat yang pas untuk di lontarkan, namun otaknya sama sekali tidak menemukannya.


 

"Vi?"


 

Sivia sedikit merinding mendengar suara Rio yang agak gemetar. "Hm?"


 

Rio mengangkat kepalanya pelan. Matanya bertemu dengan mata Sivia. Selang beberapa waktu, Sivia membuang muka. Dia tak ingin terlalu lama memandang Rio. Dia takut perasaannya luluh. Dia takut perasaan sayang itu kembali mencuat keras di hatinya. Walaupun dia tahu, belum sepenuhnya dia gembok hatinya dari segala kenangan yang Rio berikan. Masih ada yang tertinggal. Yah, setidaknya, hati itu mengakuinya. Dia kembali menoleh ke arah Rio yang sepertinya sudah mulai berbicara. Jantungnya tidak bisa berpacu dengan normal.


 

"Setelah aku pikir-pikir, ini semua salah Vi. Aku nggak mau hidup dalam rasa bersalah seperti ini. Aku harus perjuangin ini semua. Aku, kamu, Ify, Cakka. Ini semua salah."


 

Sivia mengerutkan keningnya. Salah? Apanya yang salah? Bukankah tidak ada yang salah? Rio sudah dengan Ify. Dan dirinya sudah dengan Cakka. Walaupun aslinya, dia masih sendiri. Sivia sedikit tidak mengerti dengan kalimat yang Rio lontarkan.


 

"Maksudnya?"


 

Rio menghela nafas panjang. "Vi, aku tahu kita sama-sama punya cinta. Sudah saatnya kita perjuangin cinta kita Vi. Kita harus coba!"


 

Sivia menganga. Kepalanya berdenyut. Jantungnya semakin berpacu. Apa mau Rio sebenarnya? Bukankah sudah berulang kali dijelaskan kalau sudah tidak ada apa-apa lagi diantara mereka berdua? Lalu mengapa Rio seperti ini? Itu sama saja membuat Sivia kembali mengorek luka dalam tentang bayangan Rio. Luka yang belakangan ini sudah dia coba kubur dalam-dalam. Hatinya sakit. Dia juga ingin bersama Rio. Namun dia tak bisa. Sampai kapan pun sudah tidak akan bisa.


 

Sivia ingin berbicara namun sepertinya Rio sudah memanggilnya lebih dahulu. Sivia menoleh. Mata sendu itu menatapnya nanar. Dia tahu Rio sakit. Namun apakah Rio tahu bahwa dirinya lebih sakit?


 

"Vi? Kamu mau kan jadi..."


 

Sivia menggigit bibir bawahnya. Sepertinya meninggalkan dia dan Rio disini adalah sebuah kesalahan besar. Dia merutuki Cakka yang dengan seenaknya pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun padanya. Dia takut. Takut mendengar apa yang akan dikatakan Rio sesaat lagi. Dia ingin menangis. Hatinya sudah meraung-raung keras. Namun disaat pikirannya kacau, kebingungan melanda Sivia manakala matanya menangkap tangan Rio yang terjulur ke hadapannya. Sekilas dia kembali menatap Rio.


 

Rio menutup matanya sejenak lalu membukanya kembali. Dia tersenyum kecut. "Kamu-mau-kan-jadi.....teman-ku?"


 

HAH? APA?


 

Sivia terhenyak. Dalam satu helaan nafas Rio mengucapkan kalimat yang sama sekali tidak terduga olehnya. Hatinya berteriak keras sambil bertanya-tanya.


 

"Kak?"


 

Sivia bisa melihat dengan jelas bagaimana Rio mengangguk. Air mata sedikit mengumpul di sudut matanya. Dia tak mengerti jalan pikiran Rio.


 

"Kak? Aku.. Aku--"


 

"--Aku bersumpah akan belajar mencintai perempuan lain. Walaupun aku nggak yakin bisa atau nggak."


 

Rio menarik tangan kanan Sivia dan menggengggamnya. "Jadi, mulai sekarang, kita berteman kan?"


 


 

***


 


 

Sivia membuka matanya. Sinaran matahari menyembul dari tirai jendela yang sedikit terbuka. Dia mengucek pelan matanya. Jam dindingnya menunjukkan pukul enam pagi. Sivia lalu bergegas menyiapkan peralatan sekolahnya dan segera mandi.


 

Tidak perlu waktu lama bagi Sivia untuk menyiapkan itu semua. Kini seragam sekolahnya sudah ia kenakan. Sivia berdiri menghadap cermin riasnya. Wajahnya sudah tidak terlalu pucat seperti dua hari yang lalu. Dia berdehem pelan. Lalu memoles pipinya dengan bedak agar wajah pucatnya yang masih sedikit nampak menjadi tidak terlihat. Rambutnya ia biarkan tergerai. Dia tersenyum sekilas lalu menyelampirkan tasnya. Dia keluar dari kamar menuju dapur.


 

Matanya menjelajah. Ray duduk di salah satu bangku sambil melahap roti cokelat buatan pembantunya. Sivia tersenyum sumringah lalu duduk di sebelah bangku yang Ray tempati.


 

"Loh? Kak Sivia? Mau sekolah ya? Memangnya sudah sehat?"


 

Sivia mengerutkan keningnya. "Iyalah. Masa kakak di rumah terus. Nggak betah. Nggak ada kamu di rumah. Sepi."


 

Ray tersenyum jahil. "Sepi karena nggak ada Ray, atau karena nggak ada Kak Cakka? Hahaha."


 

"Hah?" Sivia mengernyit heran.


 

Ray melirik Sivia sambil meneguk habis susu yang ada di gelasnya. Dia menaruh kembali gelas kosong yang tadinya berisikan susu malang itu. Lalu benar-benar duduk menghadap Sivia.


 

"Kak Sivia ini nggak usah me-nge-lak deh! Kak Cakka udah cerita kalau kak Sivia udah jadian sama Kak Cakka. Jadi? Congratulations ya Kak!"


 

Sivia tertawa hambar. Ulah Cakka yang bagaimana lagi yang harus dihadapinya sekarang? Dengan adiknya sendiri saja dia bersandiwara. Sebenarnya apa maunya laki-laki itu? Sivia sudah tidak sabar ingin melabrak Cakka sekarang juga. Tanpa permisi, dia langsung berdiri meninggalkan Ray dan bibi-nya yang senyum-senyum menggoda.


 

Sekilas Sivia mendengar godaan Ray. "Pagi-pagi udah pacaran aja nih Kak? Haha." Namun Sivia tidak menggubrisnya. Bibirnya sudah komat-kamit mengumpat nama Cakka. Dia berlari menaiki tangga dan berhasil sampai di depan pintu kamar penjahat itu. Tanpa mengetuknya, Sivia sudah memutar kenop pintu itu dan betapa kagetnya dia melihat Cakka juga sedang membuka pintu itu dari dalam.


 

"Sivia? Ada apa?"


 

Sivia melongo. Tumben banget tuh orang jam segini sudah mandi. Tumbenan juga nggak sarapan di kamar. Tapi melihat seragam Cakka yang masih setia dengan image berantakan, Sivia jadi menepis semua keheranan yang tadi sempat memenuhi kepalanya.


 

"Heh! Ada apa ada apa! Elo tuh ya! Ngapain pake acara bilang ke Ray kalau kita pacaran?" nadanya sedikit dia kecilkan. Takut terdengar oleh Ray di dapur. Dia tahu Cakka pasti akan marah kalau melanggar kehendaknya.


 

"Lah? Kan emang?"


 

"Apaan sih nggak jelas! Sebenarnya buat apa lo rahasiain ini ke Ray? Ini kan nggak penting. Lagian lo juga sih mintanya aneh-aneh. Apa gunanya coba jadiin gue pacar pura-pura lo didepan satu sekolah? Kayak nggak ada cewek lain aja deh di sekolah."


 

"Bawel bener sih lo?"


 

"Alasan lo nggak jelas sih. Aneh banget. Setelah gue pikir mateng-mateng, nggak ada gunanya juga kita pacaran pura-pura kayak gini tau!"


 

Cakka menatap Sivia. Tangannya disilangkan di depan dada. Lalu dia tersenyum. "Setelah gue pikir-pikir lebih mateng juga, suatu saat pasti ada gunanya."


 

Sivia menganga. "Hah? Maksudnya?"


 

"Nggak." Cakka membuang muka. Sambil tersenyum. Namun senyum nya bukan senyum kelicikan yang dulu hampir setiap hari didapatkan oleh Sivia. Senyum itu tidak bisa diartikan oleh Sivia. Dia mendengus kesal. Cakka sudah kembali ke sifat asalnya. Jutek. Ketus.


 

"Ngapain lo senyum-senyum? Aneh banget muka lo kalo senyum."


 

"Sewot aja lo!"


 

Cakka menatap Sivia lagi. Melihat sikap gadis di hadapannya ini, membuat dirinya tidak bisa menahan perasaan aneh yang selalu menghantuinya mulai beberapa hari lalu.


 

"Oh iya, gue seneng akhirnya lo udah balik kaya dulu lagi."


 

Sivia mengernyit heran.


 

"Udah nggak usah nanya 'maksudnya?' lagi." Cakka seakan tahu apa yang akan di lontarkan dari mulut Sivia.


 

Untuk sesaat Sivia tercengang. Cakka benar. Sivia memang akan menanyakan maksud dari kalimat aneh yang keluar dari mulut Cakka tadi. Lucu juga, pikirnya. Sivia menahan tawa. Dia tidak ingin tertawa di depan manusia setengah hantu itu. Jaga image dong.


 

"Kak Cakkaaa? Kak Siviaaa? Udah belom pacarannyaaa? Ray mau pergi sekolah nih! Mau cari ceweee! Eh? Salah Kak! Mau cari ilmuuuu!"


 

Sivia mendengar jelas teriakan Ray dari bawah. Kakinya sudah berhasil melangkah menghampiri Ray di bawah kalau saja tangannya tidak ditahan oleh Cakka. Dia berbalik. Sivia menatap tangan Cakka yang memegang tangannya. Lalu matanya menoleh ke arah Cakka.


 

"Kali ini, ulah gue nggak bakal buat lo rugi kok Siv. Suatu saat, lo pasti bilang terima kasih ke gue."


 

Cakka lalu melepaskan tangannya dan berlalu melintas di depan Sivia yang berdiri cengo. Sejujurnya dia masih sangat tidak mengerti tentang penjelasan yang diutarakan Cakka. Namun dia tidak ingin memusingkan hal itu. Sivia mengangkat kedua bahunya lali segera berjalan mengikuti langkah Cakka tadi.


 


 

***


 


 

Hai~ Sudah sampai part 24 belum tamat-tamat juga hahaha! Nggak tau ini gimana. Saya usahakan tamat sebelum bulan September deh insyaallah (?) Mumpung nganggur 4 bulan nyahaha *pamer.


 

Thanks ya yang masih setia baca CK ini-__- Likesnya di part kemaren menurun 20 jadinya 63 wkwk. Tandanya sudah banyak yang nggak tertarik lagi sama ini. Maka dari itu pengen cepet-cepet tamat biar terbebas dari kewajiban nyahaha. Thanks juga yang sudah nagih2-__-Love you all:3


 

Cerbung CK ini juga bisa dibaca di http:www//resaechaa.blogspot.com

Follow me on twitter @Resaechaa


 


 

Tidak ada komentar: