Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Selasa, 24 Juli 2012

GUE DIANTARA MEREKA – PART 3

Dengan langkah gontai Gabriel meninggalkan pekuburan itu.

Pikirannya yang kosong kini tertuju pada salah satu makam yang terletak tidak begitu jauh dari makam kedua orang tuanya.

Terlihat seseorang yang sangat di kenal Gabriel sedang berdoa di depan makam itu.

Seseorang yang terlihat tak asing di mata Gabriel itu kini sedang menatap kearah Gabriel juga. Dia tersenyum, kemudian berdiri berjalan menuju kearah dimana Gabriel kini berdiri.

"Ternyata bukan dunia aja ya yang sempit itu.," Ujar Sivia kepada Gabriel.

Gabriel hanya tersenyum sinis mendengar kata-kata Sivia itu.

"Gw kesini ke makam nyokap gw,." Ujar Sivia tanpa ditanya oleh Gabriel

"Gw ga nanya dan gw ga peduli." Kata Gabriel

Sivia hanya tersenyum mendengar ucapan Gabriel barusan.

"Bibir lu ga nanya Yel.,tapi mata lu yang nanya.,gw liat tatapan lu yang penasaran kenapa gw ada disini.,iya kan.,???"

"Jangan sok tau lu."

"Gw ga sok tau.,kalo lu ga penasaran kenapa tadi pas lu liat gw, lu cuma berdiri, bukan pergi dan ga peduli seperti biasanya.,???"

Mendengar ucapan Sivia barusan Gabriel hanya diam saja. Dalam hatinya tidak bisa menyangkal apa yang dikatakan Sivia itu memang benar. Dia memang bertanya-tanya kenapa Sivia ada di makam itu. dan sejurus kemudian dia tersadar, rasa penasarannya telah terjawab oleh kata-kata Sivia tadi, kalau Sivia berada disitu adalah untuk mengunjungi makam ibunya.

"Kenapa lu diem.,???bener kan apa yang gw bilang.,???"

Gabriel tak menanggapi omongan Sivia, dia hanya berlalu meninggalkan Sivia begitu saja tanpa permisi.

"Akhirnya lu kembali seperti diri lu Yel."

Ucapan Sivia ini membuat Gabriel menghentikan langkahnya.

"Apa maksud lu.,???"

"Lu ga sadar Yel.,sedetik tadi lu keluar dari diri lu yang arogan seperti ini. Tanpa lu sadar lu penasaran dengan apa yang gw lakuin disini, itu tandanya lu udah bisa peduli sama sekitar lu Yel.," Terang Sivia.

"Gw sama sekali ga ngerti maksud lu.," Gabriel kembali melanjutkan langkah kakinya.

"Tunggu Yel.," Sivia berlari mengikuti Gabriel, berusaha menyamakan langkahnya dengan Gabriel

"Ngapain lu ngikutin gw.,???" Tanya Gabriel

"Jangan sok tau lu.,gw ga ngikutin elu, ini kan jalan kearah rumah gw juga."

Gabriel tak bisa berkata apa-apa lagi, dia hanya membiarkan Sivia tetap berjalan di sampingnya, tanpa mempedulikan apa saja yang Sivia bicarakan saat itu. meskipun mau tidak mau dia tetap bisa mendengar apa yang Sivia bicarakan.

"Lu tau ga Yel, pas nyokap gw meninggal tiga tahun lalu, gw ngerasa ga ada lagi orang yang bisa ngertiin gw, ga ada lagi orang yang bisa ngelindungin gw. Gw saat itu benar-benar terpuruk, gw ga mau makan, gw ga mau sekolah, gw ga mau ngapa-ngapain, tapi setelah lama gw pikir, ternyata gw hidup bukan sama nyokap doank, gw masih punya bokap, gw masih punya temen-temen, dan tanpa gw sadari mereka ternyata peduli sama gw., dan yang gw lakuin itu ternyata bikin mereka sedih Yel.,"

"Udah ngomongnya.,???" Tanya Gabriel dengan nada yang tetap terdengar sinis.

Sivia tak menjawab pertanyaan Gabriel barusan, dia hanya menatap mata Gabriel. Gabriel sendiri membalas tatapn Sivia itu dengan dingin.

"Gw tau Yel, dibalik sifat lu yang cuek dan dingin sama semua orang, sebetulnya lu hanya menutupi kesedihan lu doank.,"

"Kesedihan itu bukan buat di simpen Yel, tapi buat dibagi biar kesedihan itu ga memenuhi pikiran kita terus Yel."

Gabriel sama sekali tak bisa mengeluarkan suara sepatah kata pun. Dengan terpaksa omongan Sivia itu begitu menyindir hatinya, namun entah mengapa separuh dari hati Gabriel yang keras itu berpendapat bahwa apa yang dikatakan Sivia itu memang benar.

"Ya udah Yel.,sampai ketemu besok di sekolah ya.," Ternyata pada saat itu Sivia memang sudah sampai di mulut gang tempat dimana rumahnya berada.

Gabriel melanjutkan langkahnya setelah Sivia tak terlihat lagi di pandangannya. Pikirannya di penuhi oleh omongan Sivia tadi.

Gabriel menendang batu kerikil yang ada di depan kakinya.

"Aaarrrgghhh.,kenapa omongan dia tadi gw pikirin terus sih.,siapa dia ampe bikin gw begini.,gw ga peduli siapapun kecuali diri gw sendiri, karena orang lain pun memang ga ada yang peduli sama gw." Gabriel menggerutu sendiri.

***

Rumah berlantai dua itu kini sudah berada di depan mata Gabriel. Sebelum melangkah masuk, Gabriel sejenak memandang rumah itu.

"Tujuh belas taun gw tinggal dirumah ini, tapi gw ga pernah merasa hidup didalam sana, gw ga pernah ngerasa nyaman dirumah itu. gw ngerasa gw bukan siapa-siapa diantara mereka." Pikir Gabriel dalam hatinya.

Kemudian Gabriel melanjutkan niatnya memasuki rumahnya itu. Selangkah dia berada didalam rumah itu, terlihat adik bungsunya Bastian sedang memainkan mobil-mobilannya sendiri di lantai, terlihat disampingnya Shilla tertidur, mungkin karena terlalu capek menjaga Bastian terus-terusan. Kepala Gabriel celingukan ke seluruh bagian rumah itu, tidak terlihat sama sekali Rio disana.

"Mungkin dia lagi pergi sama Ify." Batinnya.

Gabriel duduk di sofa dengan pandangan mengarah ke adik bungsunya itu.

"Entahlah gw harus sayang atau harus benci sama elu Yan.," tanya Gabriel dalam hatinya.

"Gw belum bisa lupa kejadian dua tahun lalu yan.,lu yang nyebabin nyokap meninggal.,karena itu gw ga bisa sayang sama lu.," Gabriel berbicara dengan nada berbisik kepada Iyan, sedangkan Iyan sendiri yang diajak bicara oleh Gabriel tetap sibuk dengan mainannya.

Gabriel teringat kejadian dua tahun lalu, disaat ibunya meregang nyawa dalam proses kelahiran Bastian. Setelah Bastian berhasil di lahirkan, ibunya banyak kehilangan darah, dan dokter tak bisa menyelamatkan nyawa ibunya. Teringat peristiwa itu, rasa benci dan menyalahkan pada Iyan kembali timbul dalam hati Gabriel. Kemudian rasa peduli yang sedikit timbul terhadap Iyan saat itu kembali ia pendam dalam-dalam, dia berlalu begitu saja berjalan menuju kamarnya.

***

Pagi itu suasana rumah yang dihuni oleh empat orang kakak beradik itu sudah terlihat sibuk. Shilla yang sudah bersiap-siap untuk pergi sekolah, begitu juga Rio yang sudah rapi dengan PDHS nya, Bastian yang kini sudah berada si pangkuan ibu Ira seorang pengasuh yang di bayar Rio untuk menjaga adiknya selama kakak-kakaknya sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Sedangkan Gabriel sendiri dengan malas-malasan dia baru selesai keluar dari kamar mandinya. Walhasil dia telat sampai disekolahnya.

***

Tiba di ruangan kelasnya, Gabriel melihat ruangan itu sudah lengkap oleh semua murid dan seorang guru matematika bernama Bu Winda duduk di meja guru yang terletak di depan kelasnya.

Gabriel mengetuk pintu kelasnya, dan karena memang Gabriel baru terlambat sepuluh menit saja, Bu Winda memperbolehkan Gabriel untuk masuk dan mengikuti pelajarannya.

Gabriel berjalan memasuki ruangan kelas itu menuju tempat duduknya yang terletak di barisan paling belakang. Semua mata siswa yang ada di kelas itu tertuju padanya tak terkecuali dengan Sivia, namun Gabriel sama sekali tidak peduli, dia tetap berjalan sampai suara dari gurunya memanggil namanya.

"Gabriel, rapikan baju kamu.,"

Gabriel memang tidak pernah peduli dengan kerapihan bajunya. Dia selalu saja membiarkan seragam sekolahnya melambai-lambai diluar celana seragamnya, padahal salah satu peraturan di sekolah ini adalah harus selalu rapi.

Gabriel sama sekali tidak menghiraukan perkataan gurunya itu, dia hanya kembali berjalan menuju tempat duduknya.

Bu Winda hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku anak didiknya yang satu ini. Dan hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.

"Ya sudah, sekarang keluarkan selembar kertas, sesuai janji kita minggu kemarin kita adakan ulangan hari ini." Tanpa protes semua siswa langsung mengeluarkan kertas dan mengerjakan semua soal yang tertulis di selembar fotocopyan yang di bagikan oleh gurunya itu.

Baru setengah jam ulangan itu berjalan, Gabriel sudah berdiri dari tempat duduknya, dia berjalan kearah meja dari gurunya, dan kemudian menyerahkan selembar kertas jawaban dari tangannya, tanpa bersuara sepatah kata pun.

"Kamu betul-betul sudah selesai Gabriel.," Tanya bu Winda.

"Ibu pikir saya akan memberikan kertas jawaban itu kalau saya belom nyelesaiin semuanya, saya ga sebodoh itu." Ujar Gabriel seraya langsung meninggalkan ruangan kelas itu.

"Anak itu, tidak sopan sekali.," Kata Bu Winda dalam hatinya, tapi tidak bisa dipungkiri Gabriel memang mempunyai kemampuan luar biasa dalam bidang matematika ini.

***

Gabriel kini sedang menyendiri di tempat favoritnya, yaitu di halaman belakang sekolahnya. Dimulutnya terlihat sebatang rokok yang sudah habis separuh.

Tanpa disadari Sivia kini sudah duduk disampingnya juga.

"Apa enaknya rokok sih Yel.,???"

Gabriel tidak menggubris pertanyaan Sivia itu. karena kesal tak mendapatkan respon dari Gabriel, kemudian Sivia mengambil bungkus rokok yang sedang di genggam oleh Gabriel dan mengeluarkan sebatang rokok, menyulutkan api dan kemudian menghisapnya. Belum sampai asap rokok itu sampai di kerongkongannya, rasa gatal menyelimuti tenggorokan Sivia. Dia langsung terbatuk, lalu mematikan rokok itu dengan mengijak-nginjaknya.

"Udah tau lu sekarang apa enaknya ngerokok.,???" Pertanyaan Gabriel itu terdengar begitu sinis. Lalu Gabriel bangkit, meninggalkan Sivia yang masih sibuk dengan batuknya.

Sivia yang melihat Gabriel meninggalkan dirinya, ikut bangkit dan mengikuti kemana Gabriel melangkah.

Gabriel kini berjalan di koridor sekolah, menuju kelasnya. Namun sampai di depan sebuah kelas, ia merasa kakinya dijegal oleh seseorang yang sedang berdiri disana. Dia mengalihkan pandangan kearah orang yang menjegalnya tadi, terlihat Cakka disana dengan senyuman sinisnya. Tanpa membuang waktu, Gabriel sudah dalam posisi yang siap untuk menonjok Cakka, namun satu suara menghentikan niatnya itu.


 

Facebook: Ek Rkwt

Twitter: @rekscasillas

Tidak ada komentar: