Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Jumat, 13 Juli 2012

CINTA KEDUA PART 23

Halo! Pasti lupa sama cerita sebelumnya kan ya? Cek di notes aja yak. Gak pake kronologi baru kok jadi gampang dicari :)

Selamat membacaa~


 


 

PART 23


 


 

AROMA rumah sakit tercium jelas. Bau obat-obatan daritadi sangat mengganggu pernafasannya. Jujur dia tidak menyukai rumah sakit. Berada di sini sudah cukup untuk membuat kepalanya pusing. Namun hal itu bisa sedikit diatasinya. Yang lebih banyak memenuhi volume pikirannya kini adalah seorang gadis yang sedari tadi berada di ruangan putih itu. Sudah lebih dari lima belas menit dia berjalan mondar-mandir di depan pintu yang berada di hadapannya. Dia gelisah. Mengapa sampai detik ini dokter belum juga memberikan kabar tentang keadaan Sivia.


 

"Lo bisa tenang dikit nggak sih Kak? Kalau lo begitu malah bikin gue tambah khawatir juga tau nggak!"


 

Cakka melihat ke arah adik semata wayangnya. Sejenak dia berpikir. Kalau saja Ray tahu ini semua adalah ulah nya, bukan hal yang tidak mungkin Ray akan menonjok dirinya lagi sampai babak belur seperti malam itu. Cakka menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Lalu dia menandaskan tubuhnya di bangku yang berhadapan dengan pintu dimana Sivia masih ditangani oleh dokter.


 

"Lagian, tumben banget lo kayak gini?"


 

Cakka menoleh. "Maksud lo?"


 

"Ya tumben banget lo khawatir sama Kak Sivia. Aneh aja."


 

Cakka menghembuskan nafas berat. Dia mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Ray. Diketuk-ketukkan jarinya ke meja kecil yang berada di sebelahnya. Dia bingung harus mulai menjelaskan dari mana.


 

"Nggak tau deh. Gue aja bingung. Kenapa ya?"


 

Kali ini giliran Ray yang menoleh. "Dasar aneh! Lo itu—"


 

Adu argumen kakak beradik ini berhenti manakala pintu itu terbuka dan keluarlah seorang dokter bersama suster perawat dari ruangan itu. Cakka dan Ray langsung berdiri menghambur menghampiri si dokter.


 

"Bagaimana keadaannya, Dok?"


 

"Kak Sivia kenapa, Dok?"


 

"Dia baik-baik aja kan, Dok?"


 

"Kak Sivia sudah sadar, Dok?"


 

Dokter itu membenarkan letak kacamatanya. Dia berdehem pelan. Lalu matanya mengarah ke Cakka dan Ray secara bergantian. Lalu tersenyum kecil.


 

"Untung kalian membawa gadis itu dengan cepat. Kalau tidak—"


 

"—kalau tidak kenapa, Dok? Kak Sivia kenapa? Ya Tuhan!"


 

"Ray! Bisa diam nggak sih?" kali ini Cakka yang menegur adiknya.


 

Dokter itu memasukkan tangannya ke kantung jas putih yang dikenakannya. Lalu menghembuskan nafas berat. "Kalau tidak, keadaan gadis itu akan parah dan semakin susah untuk ditolong."


 

"Maksud dokter?"


 

"Jadi, dia mempunyai penyakit sesak nafas. Ditambah lagi, darahnya turun drastis menjadi 50 Hb. Sepertinya dia terlalu menyimpan banyak beban. Sesak nafasnya kumat bukan karena keletihan. Banyak masalah yang dipendamnya. Menurut pengamatan saya, ya seperti itu."


 

Ray menyenderkan tubuhnya di tembok. Tangannya mengepal. Dia sendiri membenarkan pendapat dokter itu.


 

Cakka merasa terpukul. Andai saja dia tahu kalau masa lalu Sivia begitu kelam dibanding dirinya, ini semua tidak akan terjadi.


 

"Tapi tenang saja. Sekarang keadaannya sudah sedikit membaik. Oh ya, saya sarankan, lain kali tolong bujuk Sivia untuk tidak memendam suatu masalah. Karena itu dapat membahayakan dirinya sendiri. Saya permisi."


 


 

***


 


 

Sudah berkali-kali Gabriel memencet bel rumah itu. Namun, sedikit pun dia tidak mendapatkan respon dari pemilik rumah. Gabriel sempat putus asa. Diraihnya ponsel di kantung celananya. Sama sekali tidak ada pesan. Dia membuka kontak, mencari satu nama dan dengan gesit dia menekan tombol 'call' di ponselnya.


 

"Please angkat dong angkat..."


 

Kali ini dia benar-benar putus asa. Yang dihubunginya sama sekali tidak menjawab. Apa yang harus dilakukannya? Gabriel mengelap keringat yang mengucur dari dahinya. Sudah setengah jam yang lalu dia berdiri memencet bel rumah itu sambil terus mengecek ponsel nya. Dia berniat untuk pergi saja dan kembali lagi nanti. Namun ketika dia berbalik, orang yang ditunggu nya sejak tadi muncul bersama mobil jazz nya. Segera saja dihampirinya orang itu.


 

"Gabriel? Ngapain lo disini?"


 

"Ya Tuhan Rio! Gue hubungin lo daritadi tau nggak! Lo kemana aja sih? Gue udah setengah jam disini!"


 

"Gue habis jalan sama Ify."


 

"APA?" Gabriel sempat kaget.


 

"He? Kenapa lo Yel?"


 

Rio menatapnya bingung. Gabriel menggelengkan kepalanya lalu menarik Rio duduk di kursi pelataran rumah Rio. Rio menuruti saja perintah sahabatnya. Gabriel duduk di kursi sebelah.


 

"Jadi gini Yo, sebenarnya gue bingung juga mau ngejelasin ini semua darimana. Tapi gue mesti kasih tau lo tentang ini."


 

Gabriel bisa melihat gurat kebingungan di wajah Rio.


 

"Tentang apa Yel?"


 

"Intinya gue kesini mau kabarin lo kalau barusan gue dapat kabar dari Cakka. Sivia masuk rumah sakit, Yo. Sesak nafasnya kumat. Dan dia anemia."


 

"APA?" Kali ini giliran Rio yang kaget.


 


 

***


 


 

Sudah lebih dari tiga jam Rio bersama dengan Ify menghabiskan waktu di mall. Rio sengaja meminta Ify untuk menemaninya berbelanja keperluan rumah karena Angel sedang ada panggilan menyanyi di luar kota. Kepada siapa lagi Rio meminta tolong kalau bukan kepada Ify.


 

"Thanks ya, Fy."


 

"Sama-sama Kak. Aku seneng kok bisa bantu Kakak."


 

Rio bisa melihat jelas kalau Ify sedang tersenyum. Dia menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Ify.


 

"Sudah sampai nih Fy."


 

"Nggak mampir dulu Kak? Kakak nggak pernah mampir loh."


 

"Hah? Emm boleh deh."


 

Ify menggandeng tangan Rio masuk menuju rumahnya—rumah Sivia yang dirampas oleh orang tuanya—. Ify membuka kenop pintu dan melangkahlah mereka berdua ke dalam. Rio melihat ke sekeliling rumah. Ini adalah kedua kalinya dia bertandang ke rumah besar ini. Sudah banyak yang berubah. Memorinya kembali terputar pada saat orang tuanya dan almarhum orang tua Sivia mengadakan makan malam bersama. Dari awal pertemuan itulah dia menyukai Sivia. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Rio sempat mengajak Sivia berbicara di halaman depan rumah. Orang tua mereka masih mengobrol tentang bisnis di dalam. Saat itu juga Rio tidak mau membuang-buang waktu. Biar saja orang bilang ini cinta monyet atau apa, yang jelas dia berhasil mendapatkan hati Sivia malam itu.


 

"Kak Rio? Kak?"


 

Rio menghentikan laju memorinya berjalan. Roh nya kembali berhadapan dengan Ify. Namun bayang-bayang Sivia tidak bisa terhapus dari kepalanya.


 

"Kenapa Fy?"


 

"Kakak kenapa? Daritadi aku panggilin kok nggak denger-denger sih? Kakak mau minum apa?"


 

"Eh itu? Nggak usah repot-repot deh, Fy. Aku mau pulang juga. Aku baru ingat kalau handphone aku ketinggalan. Perasaanku agak nggak enak gini. Kenapa ya?"


 

Rio menggaruk belakang telinganya. Semakin lama dia berada disini, semakin jelas terputar memorinya bersama Sivia. Setiap sudut rumah itu menggambarkan jelas sosok Sivia yang sangat ingin dihindarinya untuk beberapa saat. Mengingat Sivia sudah bersama laki-laki lain sekarang.


 

"Yah kakak gimana si? Tadi katanya mau mampir? Kok tiba-tiba nggak jadi?"


 

"Sorry ya Fy. Handphone aku ketinggalan sih. Aku lupa. Lain kali aku pasti mampir ke sini lagi kok. Aku pulang dulu ya. Bye!"


 

Dengan cepat Rio berjalan kembali menuju mobilnya. Sempat dia mendengar Ify memanggil-manggil namanya. Namun Rio tidak menghiraukannya. Entah mengapa raganya ingin sekali segera pulang ke rumah. Dilirik jam yang melingkar di tangannya. Jam sepuluh pas. Pantas saja jalanan sudah agak sepi sehingga dia bisa melaju kencang menembus gelapnya malam.


 

"Kenapa perasaan gue nggak enak gini yah? Apa mungkin Kak Angel nelfonin gue? Ah kenapa juga handphone gue bisa ketinggalan."


 

Rio menyalakan radio di mobilnya. Mencoba menepis perasaan gusar dalam hatinya. Rio menekan tombol random untuk mencari frekuensi otomatis. Setelah dapat, dia menyaringkan volumenya.


 

"Selamat malam aja buat elo elo semua yang lagi di rumah, yang lagi jalan bareng pacar, atau yang lagi di mobil, jangan kemana-mana ya! Gue bakalan balik lagi setelah lo denger lagu galau yang satu ini. Buat yang lagi galau, nikmatin aja masa-masa galau lo! Semoga terhibur!"


 

Rio sempat merasa tersinggung. Penyiar itu seakan-akan menyindir dirinya. Dia melirik radionya sinis. Seakan-akan lirikannya itu sampai ke penyiarnya. Tapi setelah dipikir-pikir, padahal kenal saja tidak. Lalu mengapa Rio emosi seperti ini? Kenapa juga dia merasa tersinggung? Apa dia galau? Siapa yang digalaukannya? Ify kah? Rasanya tidak. Sebagian dirinya menolak untuk menjawab pertanyaan itu. Karena pasti yang muncul bukan nama Ify. Kalau bukan Ify, sudah dapat dipastikan jawabannya adalah Sivia. Ah Rio memukul-mukul kepalanya pelan. Berharap Sivia pergi jauh-jauh dari otaknya. Dia tak mau terus-menerus mengingat nama itu. Tapi, yang sangat disayangkan, mengapa dia sama sekali tidak bisa melupakannya?


 

Aku berjalan di dalam kesendirian

Aku mencoba tak mengingatmu dan mengenangmu


 

Rio terhenyak. Mengapa harus lagu ini yang dia dengar? Bukankah itu semakin membuat rasa kehilangannya menjadi-jadi? Apa tidak ada lagu lain? Dari sekian banyak lagu, mengapa lagu ini yang dia dengar? Ah tidak! Buat apa dia marah? Bukankah dia sedang belajar melupakan Sivia? Yah! Dia menahan tangannya untuk tidak mematikan radio itu.


 

Aku t'lah hancur lebih dari berkeping-keping

Karena cintaku karena rasaku yang tulus padamu


 

Hatinya ter-enyuh. Namun.....Tidak! Dia tidak galau! Yah penyiar itu mungkin sedang menyinggung seseorang disana. Bukan dia. Yah Rio berusaha santai. Namun, tetap saja wajah Sivia masih terbayang. Rio merutuki radio-nya.


 

Begitu dalamnya aku terjatuh

Dalam kesalahan rasa ini


 

"Ah sial! Gue kok jadi kayak orang bego begini sih!"


 

Rio memukul stir mobilnya. Menumpahkan rasa kesalnya. Dia tak mengerti dengan semua ini. Dia bertemu dengan Sivia. Lalu dipisahkan. Sekarang? Mereka dipertemukan lagi. Tapi mengapa Sivia tidak sendiri? Mengapa Sivia harus bersama sahabatnya? Dan kenapa harus Cakka yang dipilihnya? Rio membiarkan otaknya untuk membahas Sivia sebentar.


 

Jujur aku tak sanggup

Aku tak bisa

Aku tak mampu dan aku tertatih

Semua yang pernah kita lew—


 

Rio mematikan radio-nya. Dia tidak suka mendengar lagu ini. Hanya akan membuat memori masa lalunya terputar dan itu akan semakin susah untuk mencoba merelakan Sivia. Walau dia tahu, dia tidak akan bisa melupakan Sivia.


 

Rio menghentikan mobilnya tepat di pelataran rumahnya. Keningnya berkerut melihat motor Gabriel terparkir asal di depan mobilnya. Matanya kemudian beralih ke depan pintu rumahnya. Benar saja. Gabriel berdiri di sana sambil menelpon seeseorang. Rio keluar dari mobilnya.


 

"Gabriel? Ngapain lo disini?"


 

Yang ditegur langsung berbalik menghampiri dirinya dengan cepat. Dia memasukkan ponselnya ke kantung celananya.


 

"Ya Tuhan Rio! Gue hubungin lo daritadi tau nggak! Lo kemana aja sih? Gue udah setengah jam disini!"


 

"Gue habis jalan sama Ify."


 

"APA?" Gabriel sempat kaget.


 

"He? Kenapa lo Yel?"


 

Rio melihat Gabriel menggeleng pelan. Lalu Gabriel menariknya untuk duduk di kursi depan rumahnya. Kemudian Gabriel ikut duduk di sampingnya. Rio menatapnya bingung. Mengapa Gabriel tidak menghubunginya saja? Ah! Dia baru ingat! Handphone nya tertinggal. Jelas saja Gabriel langsung datang ke rumahnya. Sepertinya ada hal yang sangat penting. Kalau tidak penting, ngapain juga Gabriel rela datang ke rumah Rio malam-malam begini? Apa ini ada hubungannya dengan perasaan yang tidak mengenakkan yang sejak beberapa menit lalu menyerangnya? Entahlah..


 

"Jadi gini Yo, sebenarnya gue bingung juga mau ngejelasin ini semua darimana. Tapi gue mesti kasih tau lo tentang ini."


 

Rio terlihat tambah bingung.


 

"Tentang apa Yel?"


 

"Intinya gue kesini mau ngabarin lo kalau barusan gue dapat kabar dari Cakka. Sivia masuk rumah sakit, Yo. Sesak nafasnya kumat. Dan dia anemia."


 

"APA?" kali ini giliran Rio yang kaget.


 

Pantas saja dia ingin cepat-cepat pulang. Ternyata batinnya dengan batin Sivia masih saling terhubung. Sivia masuk rumah sakit. Jelas saja dia merasa gelisah sekali ketika sampai di rumah Ify. Rio bergegas berdiri meninggalkan Gabriel. Namun, beberapa pertanyaan muncul di benaknya. Rio mengurungkan niatnya lalu berbalik kembali menghadap ke arah Gabriel.


 

Rio mengerutkan keningnya. Dia baru sadar satu hal. Mengapa Gabriel bisa tahu kalau dia sangat mengkhawatirkan Sivia? Lalu? Mengapa juga Gabriel mengabari keadaan Sivia kepadanya? Bukankah hanya dia dan Sivia yang mengetahui hubungan itu? Dia tidak pernah menceritakan hal tentang Sivia kepada siapapun termasuk Gabriel. Lalu ini?


 

"Yel? Elo?"


 

"Iya. Gue tau apa yang mau lo tanyain. Mendingan lo duduk dulu. Biar gue jelasin semuanya."


 

Rio berpikir sebentar, lalu mengangguk cepat. Kemudian dia menuruti perintah Gabriel untuk duduk kembali.


 

"Gue kenal Sivia sudah hampir setahun yang lalu. Lo tau kan kalau gue di adopsi dari panti? Dari sanalah gue sama Sivia kenal pertama kali." Gabriel mengulang penjelasannya terhadap Cakka kemarin.


 

"Panti? Maksud lo? Selama ini, Sivia tinggal di panti?"


 

"Iya. Emangnya dia nggak cerita ke elo Yo pas lo berdua ketemu?"


 

"Enggak. Dia cuman cerita kalau dia tinggal di tempat yang layak. Gue seneng banget waktu ketemu dia lagi. Jadi gue nggak sempet nanya ini itu Yel. Eh emangnya Sivia cerita ke lo ya?"


 

"Semua! Dia cerita semuanya Yo. Gue deket banget sama dia."


 

"Berarti, lo tau dong kenapa Sivia pindah sekolah di SMA Putra Bangsa? Kenapa juga Sivia pacaran sama Cakka? Terus, lo juga pasti tau dong kenapa Sivia pergi dari rumahnya? Dan kenapa juga dia tinggal di panti?"


 

Gabriel menelan air ludahnya. Begitu banyak pertanyaan dari Rio. Apa dia tidak salah jika menceritakan semua privasi Sivia itu pada Rio? Apa dia berhak?


 

"Gue tahu semua alasannya. Gue tahu semua jawabannya. Gue juga tahu semua masalah lo sama Sivia. Tapi, kayaknya lo tanya ke Sivia langsung aja deh. Gue nggak bisa ngomong. Ini privasi Sivia, Yo."


 

"Loh? Tadi katanya lo mau jelasin semuanya? Berarti kan ceritanya panjang?"


 

"Eh? Enggak. Maksud gue, gue cuman bakalan ceritain kenapa gue sama Sivia kenal. Udah gitu doang. Kalau masalah kalian berdua, gue nggak berhak ngomong Yo. Maaf banget. Lo pasti ngertilah maksud gue. Tapi kalau lo mau cerita sama gue tentang Sivia, gue jamin lo pasti nyambung."


 

Rio menghembuskan nafas berat. Dia menggelengkan kepalanya. Dia menyerah. Sepertinya memang harus dari mulut Sivia dia akan mendengar semua penjelasan itu. Entah kapan...


 

"Jadi, lo jenguk Sivia kan?"


 

Rio menoleh. Dia menimbang-nimbang sebentar. Dia ingin sekali menjenguk keadaan Sivia. Sangat ingin. Tapi ada sesuatu yang sempat dilupakannya tadi. Disana pasti sudah ada Cakka. Dia takut kalau emosinya tidak bisa diredam dan akhirnya terjadi sesuatu yang tidak di inginkan. Lagipula, Sivia juga sudah membuktikan kalau dia mencintai Cakka dengan kejadian waktu itu kan? Ah Rio sudah merasa kalah. Lebih tepatnya, mengalah.


 

"Kayaknya nggak deh. Setelah gue pikir-pikir, kan ada Cakka juga." ujar Rio sedih.


 

Kali ini Gabriel yang menoleh. Rio membuang muka.


 

"Apa salah kalau lo ngejenguk Sivia?"


 

"Jelas salah lah."


 

Gabriel mengerutkan keningnya. "Dimana letak kesalahan lo?"


 

"Kesalahannya adalah gue datang kesana sebagai mantannya Sivia. Dan gue nggak mau sampai Cakka tahu kalau sebenarnya—"


 

"—Cakka sudah tahu. Gue yang ceritain kalau lo cinta pertamanya Sivia."


 

Rio memicingkan matanya. Apa-apaan Gabriel ini? Tadi katanya dia tidak mau menceritakan privasi Sivia kepada dirinya. Lalu kenapa dia menceritakan privasi Rio kepada Cakka?


 

"Tenang aja Yo. Gue tahu kalau Sivia nggak bakalan cerita masalah itu ke Cakka karena lo sahabatan sama Cakka. Gue yakin dia nggak mau ngerusak persahabatan lo berdua. Alhasil gue yang ngejelasin ke Cakka pelan-pelan tentang masalah ini. Cakka berhak tau. Tapi lo tenang aja. Dia bakalan jaga rahasia itu kok." jelas Gabriel. Sangat melenceng dari cerita aslinya. Dan sebenarnya sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaan Rio tadi.


 

Bukan karena apa. Sebenarnya dia tidak ingin memihak kepada siapapun. Kepada Cakka ataupun kepada Rio. Namun, situasinya berbeda sekarang. Kalau dia berpihak kepada Rio, Sivia pasti tidak akan senang karena itu sama saja membunuh karakter Ify. Tapi jika dia berpihak kepada Cakka, Sivia tidak perlu mengetahuinya bukan? Toh dirinya sudah menyuruh Cakka untuk pura-pura tidak tahu saja jika di depan Sivia. Anggaplah tidak ada yang diceritakan oleh Gabriel kemarin. Lagipula, siapa tahu saja Cakka bisa merubah sikapnya karena sudah mengetahui sepelik apa hidup Sivia. Gabriel hanya berharap semoga ini keputusan terbaik yang pernah di ambilnya.


 

'Sorry Yo. Gue bohong. Kalau lo tahu Sivia sama Cakka cuman pacaran pura-pura, gue yakin pasti lo ngejar Sivia dan lo bakalan ninggalin Ify. Sivia pasti nggak mau liat Ify sedih. Sekali lagi, maafin gue Yo. Suatu saat, lo pasti ngerti.'


 

Rio menutup kedua matanya. Masalah ini benar-benar kompleks. Terlalu banyak lakon dalam kehidupannya membuat dunianya semakin ribet.


 

"Jadi gue mesti gimana Yel? Gue bingung."


 

"Lo jenguk aja Sivia."


 

"Lo yakin? Cakka?"


 

"Dia pasti bakalan ngerti. Lagian emang lo mau ngapain juga sama Sivia disana? Nggak ngapa-ngapain kan? Yaudah santai aja."


 

Rio berpikir sebentar.


 

"Ayolah Yo."


 

"Lo kenapa sih pengen banget gue ngejenguk Sivia, Yel?"


 

Gabriel terdiam. Dia mencari kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan singkat dari Rio.


 

"Emm, sebenarnya bukan gue yang ngebet. Tapi...Cakka."


 

Rio menoleh takjub.


 


 

***


 


 

"Kalau udah ngantuk, tidur aja di sofa. Nggak usah ngebohongin mata lo. Ntar juga palingan Sivia sadar. Biar gue yang gantian jaga."


 

Ray menoleh ke Cakka yang sedang menonton televisi di sebuah kursi kayu. Dia sangat-sangat tidak percaya kalau Cakka bisa menjaga Sivia. Namun rasa kantuknya sudah tidak dapat ditahannya lagi.


 

"Gue nggak ngantuk."


 

"Gue bilang tidur aja. Ini udah jam sebelas malem. Sivia biar gue yang jaga. Nggak percaya lo sama gue?"


 

Ray berdiri lalu menghampiri Cakka. "Awas aja kalau lo macem-macem ya Kak!" Ray memberikan peringatan keras. Ia lalu mengambil selimut kecil yang berada di atas sofa itu. Kemudian direbahkannya tubuh mungilnya di atas sofa itu. Tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat Ray masuk ke dalam alam mimpinya.


 

Cakka melirik sekilas. Ray sudah tertidur. Dia mematikan siaran televisi itu. Lalu berdiri keluar dari ruangan itu. Dia celingak-celinguk sedang mencari seseorang. Lebih tepatnya dua orang. Namun objek yang dicarinya belum juga nampak. Ia mengangkat kedua bahunya. Lalu kembali masuk kembali ke ruangan Sivia.


 

Cakka menduduki kursi yang beberapa saat lalu diduduki oleh adiknya. Dia memperhatikan gadis itu. Sekilas dia terbayang cerita-cerita Gabriel kemarin. Sungguh tragis. Dia baru menyadari ternyata dibalik keceriaan Sivia, tersimpan luka yang amat mendalam. Sivia kehilangan kedua orang tuanya dan cinta pertamanya. Lalu setelah itu kehilangan tempat tinggal dan kebahagiaan. Jika dibandingkan dengan dirinya, sama sekali tidak ada apa-apanya. Cakka masih punya Papa. Masih punya adik. Dan masih bisa tinggal di rumah mewah milik Ayahnya. Dia mengakui dirinya sangat bodoh. Terbesit rasa benci pada dirinya sendiri. Dia sungguh kagum pada sosok Sivia. Di saat semua meninggalkannya, gadis itu masih tetap bisa tersenyum bahkan mengikhlaskan semuanya. Dia bangga.


 

Cakka sangat menyesal dengan semua perlakuannya pada Sivia. Jika diberikan kesempatan, dia akan mencoba pelan-pelan merubah semua ini. Yah. Cakka mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Dia meraba tangan gadis itu. Lalu merengkuhnya dalam genggaman tangannya yang hangat. Cakka menutup matanya sejenak. Lalu tersenyum kecil.


 

"Lo jangan balik ke panti ya. Ray masih ngebutuhin elo."


 

Cakka membuka matanya. Lalu bergumam lagi. "Dan apa lo tau? Gue jauh lebih ngebutuhin elo, Siv."


 


 

***


 


 

Cie senyum senyum ya baca adegannya Cakka? Ngaku deh ngaku! Haha! (?)

Hai! Halo! Saya balik~ Sudah selesai UN. Jadi nganggur 4 bulan nunggu kuliahan *terus?-__-

Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan cerita yang ngadat-ngadat nggak jelas ini. Tiga bulan nggak ada nyentuh CK, ngebuat saya jadi lupa jalan cerita sama arah tujuan cerita nya haha! Anyway, makasih banyak buat yang mention sama nge wall buat nagih cerita ini-____- Tisa, Fhita, Ivo, Alya, Ismi, Kak Tari aduh siapa lagi saya lupa saking lamanya nggak dilanjut lanjut-___- *gantung diri*

Ah pokoknya buat semuanya yang sudah baca dan like part CK sebelumnya, saya ucapkan terima kasih banyaaaak~ berharap di part ini yang comment di fb maupun twitter masih se rame kayak yang sebelum-sebelumnya. Amin. Love you all :3


 

Cerbung CK ini juga bisa dibaca di http:www//resaechaa.blogspot.com

Follow me on twitter @Resaechaa

Tidak ada komentar: