Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Minggu, 29 Juli 2012

GUE DIANTARA MEREKA – PART 10


 

Di lain tempat Sivia sedang duduk dengan gusar di tempat dia berjanji dengan Gabriel, sesekali matanya melihat ke jam tangannya, sudah hampir satu jam dia menunggu, namun belum terlihat sedikit pun tanda-tanda Gabriel akan datang ke tempat itu, namun Sivia tetap menunggu.,.,.,.,.

***

Pemakaman Ibunda Agni telah selesai dilaksanakan karena memang tidak ada keluarga lain yang harus ditunggu Agni. Para pelayat pun sudah mulai berpamitan, termasuk keluarga Gabriel, kecuali Gabriel sendiri. Agni terlihat begitu rapuh, begitu lemah, tak berdaya, matanya menatap lesu tempat tidur dimana selama ini ibunya berbaring lemah tak berdaya menyerah kepada penyakit paru-paru yang di deritanya. Air mata Agni kembali membasahi pipinya, sesaat ketika dia teringat bagaimana dia merawat ibunya selama ini, menyuapinya, memandikannya, ibunya yang selalu mendengar keluh kesahnya. Sejurus kemudian Agni mengalihkan perhatiannya pada sesosok laki-laki yang dari semenjak pemakaman ibunya tidak pernah jauh dari dirinya. Laki-laki itu adalah Gabriel, sahabatnya, satu-satunya orang yang dimiliki Agni saat ini, tidak ada orang lain yang didekatnya kini selain Gabriel. Gabriel sendiri terlihat gundah, sesekali matanya melirik jam tangan digital yang dipakai di sebelah kanan tangannya, terlihat waktu sudah menunjukan jam setengah tujuh malam.

"Udah lewat jam enam, gw yakin Via udah pulang, ga mungkin dia nunggu gw sampe semalem ini" Batin Gabriel

"Tapi kalo dia masih disana gimana???Apa gw sms dia aja ya.,???" Dia merogoh-rogoh semua kantong bajunya.

"Akh sial, hape gw ketinggalan dirumah" Gumam Gabriel.

"Gw harus kesana, siapa tau Via masih nunggu gw disana, diakan orangnya nekat" Pikir Gabriel, seraya bangkit dari posisi duduk sila nya, berniat pergi ke tempat dimana tadi Sivia menunggu dirinya yaitu halaman belakang sekolah. Namun baru saja Gabriel berada di posisi berdiri tangan Agni menahan dirinya.

"Please Yel, jangan tinggalin gw" Agni begitu memelas

"Gw sekarang ga punya siapa-siapa lagi selain elu, gw sendirian Yel" Air mata Agni semakin deras saja membasahi kedua pipinya yang tirus.

Gabriel saat itu betul-betul berada di puncak kebimbangan. Tidak mungkin dia meninggalkan Agni disaat terburuk dalam hidupnya, Agni yang selama ini selalu ada untuk dirinya.

"Ya Tuhan, seandainya saat ini gw bisa menjadi orang yang egois seperti biasanya, seandainya saat ini gw bisa menjadi gw yang ga peduli sama sekitar gw" Batin Gabriel lagi. Akhirnya Gabriel kembali pada posisi duduknya semula, dengan Agni yang menyandar kan kepalanya di bahunya Gabriel.

"Lu janji ya Yel, lu jangan pernah tinggalin gw"

"Gw kan dah pernah bilang Ag, gw bakal ada selalu buat lu, karena lu temen baik gw, satu-satunya sahabat gw" Jawab Gabriel.

"Via, maafin gw, saat ini gw bener-bener ga bisa ninggalin Agni sendiri, lu pasti bisa ngerti" Ujar Gabriel dalam hatinya.

***

Malam sudah beranjak larut. Sunyi, sepi, hanya suara jangkrik yang terdengar dihalaman belakang sekolah itu. Hanya cahaya bulan yang menerangi bagian paling belakang dari sekolah SMA itu. Semua ruangan kelas terlihat begitu kosong, hampa, tak ada satu siswa atau guru pun terlihat, begitu berbanding terbalik dengan keadaan di siang hari. Namun diantara gelapnya malam hari itu, Sivia masih duduk termangu di kursi tembok halaman belakang sekolahnya itu, sesekali dia menengokan kepala ya kearah pagar pembatas sekolah dengan halaman belakang itu. Dia masih sangat berharap kalau Gabriel akan menemuinya malam itu. Terdengar bunyi langkah dari samping pagar pembatas itu, mendengar itu Sivia begitu sumringah.

"Iyel.," Panggilnya.

Namun hanya kekecewaan yang Sivia dapat, setelah Sivia perhatikan ternyata itu hanya suara angin yang meniup daun-daun kering yang menutupi kebun sekolahnya.

"Iyel, gw nunggu lu, berjam-jam gw nunggu lu, kenapa lu ga dateng Yel.,???Apa iya semua yang gw lakuin buat lu selama ini ga ada artinya apa-apa buat lu???" Sivia berbicara kepada dirinya sendiri.

Dia mengarahkan pandangannya ke atas langit dimana bulan purnama bercahaya begitu kontras diantara dominasi warna hitam langit malam itu.

"Apa gw ga punya kesempatan jadi terang buat lu kaya bulan purnama itu Yel???Apa hati lu sedikitpun ga ada buat gw Yel???Gw kecewa sama lu Yel. Ternyata selama ini gw terlalu berharap banyak dari lu" Ingin rasanya Sivia meneteskan air matanya pada saat itu, namun dia tahan meskipun hatinya begitu sakit, kekecewaan luar biasa menyelimuti seluruh ruang hatinya.

"Gw ga akan nangis gara-gara cowo egois kaya lu Yel. Lu ga berhak bikin gw buang percuma air mata gw Yel, ternyata lu jahat Yel" sekuat tenaga Sivia menahan air matanya, namun dia hanya gadis biasa yang selalu mencurahkan segala perasaannya lewat tangis, akhirnya air matanya mulai keluar dari sudut-sudut matanya. Nafasnya begitu sesak, dia menghapus setiap tetes bening yang bergulir di pipinya, mencoba untuk menghentikan laju air matanya, namun percuma, kelenjar air matanya berfungsi begitu baik, menghasilkan tetesan-tetesan deras yang tak henti-henti.

"Ternyata lu jahat Yel" Gumam Sivia lagi.

Tepat disaat itu handphonenya berdering. Terlihat tulisan 'Ayah' di layar handphone nya.

"Iya Ayah.," Sivia menjawab telponnya dengan suara terbata-bata menahan tangisnya, dia tidak ingin ayahnya mengetahui kesedihan hatinya, meskipun selama ini dia selalu bercerita tentang Gabriel kepada ayahnya itu.

"Ini udah jam tujuh malem Via, bibi bilang kamu belom pulang dari pulang sekolah tadi, kamu dimana.,???" Tanya Ayahnya khawatir

"Via masih di sekolah Ayah, lagi ada acara, Via sekarang mau pulang kok Yah, Ayah jangan khawatir, bentar lagi Via nyampe rumah"

"Ya udah Ayah tunggu"

Sivia memutuskan untuk pulang, langkahnya begitu gontai meninggalkan tempat dimana dia dan Gabriel merasa begitu dekat tadi siang.

***

Seperti biasa pagi hari itu semua aktivitas sebuah SMA dimulai, terlihat berratus-ratus siswa berlalu lalang dengan seragam abu-abunya sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang sudah mulai bergosip, beberapa ada yang menyerbu kantin karena belum sempat sarapan, ada juga yang sibuk dengan pulpen dan buku peernya sedang mencontek peer yang harusnya dikerjakan dirumah.

Sivia terlihat sudah menempati bangkunya, wajahnya begitu terlihat murung, melihat sekilas ketempat duduk Gabriel yang masih tak berpenghuni.

"Akh, kenapa gw masih peduli sama tuh orang sih??? Pikir Sivia

"Senyum Via, Senyum, ga boleh cemberut kaya gini" Sivia memaksakan sedikit senyuman di bibirnya, tapi bukan senyum yang terbentuk, malah muka Sivia yang terlihat jadi aneh.

"Lu kenapa Vi.,???" Tanya Angel teman sebangku Via, yang saat itu baru tiba di kelasnya.

"Bibir lu lagi kenapa, kok lu mencong-mencongin kaya begitu" Tanyanya lagi.

"Ga pa pa kok, lagi olah raga muka" Jawab Via sekenanya

"Lu ada-ada aja Vi"

Tepat pada saat itu, sosok yang sangat begitu di tunggu Sivia semalam terlihat memasuki ruangan kelas. Sivia yang masih menyimpan kekecewaan dihatinya sama sekali tidak menghiraukannya, dia memalingkan wajahnya pada saat Gabriel tepat melintasi mejanya. Gabriel yang merasakan sikap dingin yang aneh dari Sivia ini menyadari kalau hal ini sudah barang tentu akibat ketidakhadirannya di belakang sekolah itu.

Gabriel menempati tempat duduknya, pandangannya dia tujukan kearah Sivia yang kini tengah berbincang dengan Angel teman sebangkunya.

"Vi, gw tau lu bakal marah, tapi kenapa gw ngerasa ga nyaman banget ya pas lu sama sekali ga peduliin gw" Ujar Gabriel dalam hatinya.

***

Jam istirahat tiba, kini giliran Gabriel yang duduk sendiri di halaman belakang sekolahnya. Sama seperti yang dilakukan Sivia semalam, dia mengarahkan pandangannya kearah pagar pembatas itu, berharap Sivia melakukan apa yang biasanya dia lakukan, yaitu selalu mendatangi Gabriel ke tempat itu pada jam istirahat. Namun yang diharapkan Gabriel sama sekali tidak terjadi, sampai bel istirahat selesai berbunyi, tak sedikit pun Sivia menampakan batang hidungnya di halaman belakang sekolah itu. Entah mengapa rasa kecewa yang begitu besar menggelayuti hatinya.

"Vi, apa perasaan ini yang lu rasain kemaren???perasaan kecewa yang teramat sangat karena gw ga dateng Vi???" Tanyanya kepada Sivia yang tidak berada disitu.

"Kenapa lu harus ada di hidup gw sih Vi, kenapa lu bikin gw jadi aneh kaya gini, kenapa gw sangat berharap lu dateng dan nanya alasan gw kenapa ga bisa dateng kemaren, kenapa gw jadi sangat peduli terhadap lu Vi???" Gabriel mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Dan tak lama kemudian dia kembali menuju kelasnya.

***

Jam pulang sekolah sudah berakhir sepuluh menit yang lalu. Gabriel kini telah duduk manis di salah satu bangku metromini yang bangku sebelahnya masih kosong. Metromini itu belum melaju, masih menunggu penumpang-penumpang yang akan menuju tempat sesuai trayek dari metromini tersebut.

Mata Gabriel tertuju pada sosok gadis manis yang baru saja menaiki metromini tersebut.

"Via.," Ujarnya pelan.

Gabriel sangat berharap Sivia memilih tempat duduk di sampingnya seperti kebiasaannya akhir-akhir ini. Namun harapan Gabriel kembali sia-sia, Sivia lebih memilih duduk di bangku kosong yang terletak di depan bangkunya Gabriel. Sesaat kemudian metromini itu penuh sesak oleh penumpang, dan mulai melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi. Gabriel hanya bisa menatap punggung Sivia, dia memperhatikan rambut kuncir kuda milik Sivia yang bergerak ke kiri ke kanan mengikuti gerak dari metromini tersebut.

Sivia kembali berdiri pada saat ibu muda yang sedang mengandung tidak mendapatkan tempat duduk ketika menaiki metromini tersebut. Kejadian beberapa hari lalu terulang, Sivia merasa pundaknya ditepuk dan terlihat Gabriel berdiri di belakang Sivia memberikan bangkunya agar Sivia bisa duduk.

"Duduk Vi" Ujar Gabriel

"Ga usah, ma kasih, bentar lagi juga nyampe kok, ga usah so' peduli sama orang deh" Jawab Sivia dengan tampang juteknya.

Beberapa saat kemudian Sivia memang turun tepat di depan jalan kompleks perumahannya.

Dan selang lima menit kemudian Gabriel pun turun didepan jalan menuju rumahnya. Gabriel berjalan terlihat begitu tidak bersemangat. Dia menundukan kepalanya, menyembunyikan kedua tangannya di saku celananya, menendang-nendang kerikil yang ada di depan kakinya, debu mengepul di setiap gerakan tendangannya.

"Vi, apa lu beneran semarah itu sama gw???" Gabriel berbicara sendiri.

"Apa lu udah ga mau peduli lagi sama gw, kalo kaya gitu itu artinya lu bohong sama gw Vi, lu bilang apapun yang terjadi lu bakal tetep peduli sama gw Vi, apa kesalahan gw begitu telak, sampe-sampe lu lupa sama janji lu sendiri Vi???" Pertanyaan-pertanyaan itu begitu deras mengalir di otaknya Gabriel.

Pikiran dan seluruh perhatian Gabriel masih terpusat pada Sivia sampai akhirnya dia tiba di rumahnya, dan mendengar percakapan antara Rio dan Ify yang saat itu sedang membicarakannya dirinya. Pembicaraan yang betul-betul membuat Gabriel mengerti kenapa dirinya diperlakukan berbeda oleh papanya diantara saudara-saudaranya yang lain.

"Yo, akhir-akhir ini kamu kok keliatannya lagi seneng banget sih???" Tanya Ify

"Iya nih Fy, aku seneng soalnya Iyel mulai berubah jadi lebih baik akhir-akhir ini" Terang Rio begitu bersemangat.

"Oh Ya, kok bisa Yo???"

"Iya, ini gara-gara Via, temen sekelasnya Iyel yang waktu itu pernah aku certain sama kamu. Aku sendiri ga tau gimana caranya dia bisa merubah Iyel sedikit demi sedikit. Yang jelas aku senang dengan perubahan Iyel ini Fy,"

"Aku kan udah bilang Yo, ngedepin Iyel itu harus banyak-banyak sabar, kayanya sabar kamu kalah tuh sama Via"

"Mungkin iya kaya gitu ya." Jawab Rio

"Kamu tau ga Fy, sekarang Iyel mulai sayang sama Iyan, dia juga sekarang lebih sering bertanya sesuatu sama aku, trus yang lebih penting lagi dia ga pernah ngungkit-ngungkit soal papa Fy"

"Bagus donk kalo gitu Yo"

"Hemm, dan kamu tau itu artinya apa Fy???" Tanya Rio

"Apa???"

"Itu artinya rahasia itu akan tetap tersimpan Fy, karena Iyel sudah berubah"

"Tadinya aku sedikit berpikir untuk menceritakan siapa Iyel sebenernya Fy, kalau dia sama sekali tidak bisa berubah"

"Jadi sekarang kamu udah lega kan Yo, dan kamu sudah mulai bisa menjadi kakak yang lebih baik buat dia tanpa menyinggung-nyinggung siapa dia sebenernya"

"Kamu benar Fy, aku legaaaa banget, akhirnya aku ga harus kasih tau dia kenapa papa bersikap tidak adil terhadapnya, kenapa papa selalu menyayangi aku daripada dia, dan yang jelas akhirnya aku ga usah kasih tau dia, kalau dia itu bukan anak mama sama papa.,.,." Terang Rio tanpa menyadari bahwa Gabriel sedari tadi berdiri dibelakang tembok yang menyekat ruang tamu dan ruang keluarga rumahnya itu, dan pendengaran Gabriel begitu baik mencerna setiap kata demi kata yang keluar dari bibirnya Rio pada saat itu.

Gabriel terpaku, berdiri mematung, dengan ekspresi sedingin batu es terbentuk di wajahnya,.,

"Ternyata gw bukan anaknya papa sama mama.


 

Facebook: Ek Rkwt

Twitter: @rekscasillas

Tidak ada komentar: