Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Minggu, 15 Januari 2012

"CINTA KEDUA" PART 22

Hai~ Happy reading!


***


Matahari begitu bersinar siang ini. Langit biru menyala dengan setia selalu mendampingi awan yang bergerak kesana-kemari dengan riang. Angin berhembus kencang hingga mampu membuat wajah itu terasa dingin. Dihirupnya udara itu. Lalu dihembuskannya pelan. Ia membuka matanya perlahan. Berdiri di balkon kamarnya adalah kegiatan rutin yang dilakukannya beberapa hari ini. Pohon-pohon di seberang jalan riuh melambai mengikuti arah angin. Dedaunan itu meninggalkan ranting nya dan lalu melayang bebas jatuh ke bumi. Kemudian terinjak oleh kendaraan yang lewat. Sungguh miris. Ia tersenyum. Namun senyum nya terasa pilu. Pedih. Itulah yang sampai saat ini dirasakannya.

“Sampai kapan kamu menghindar kaya gini, Yo?” seru salah satu suara. Suara perempuan. Ia duduk terdiam memandangi saudara laki-laki nya yang berdiri membelakanginya. “Sampai kapan kamu mau meratapi hidup? Bangkit lah Yo! Hidup kamu itu masih panjang.” Gadis itu meneguk segelas susu putih yang ia buat sebelum masuk ke kamar adiknya. Ia lalu menaruh gelas itu ke meja belajar dan berdiri berjalan mengikuti adiknya yang berdiri di balkon. Ia lalu memandangi wajah adiknya dari samping.

“Sampai aku bisa terima kekalahan ini, Kak.”

“Iya tapi kapan? Sampai kapan kamu mau bohongin semua orang kalau kamu sakit? Sudah banyak temen-temen kamu yang mau jenguk ke rumah tapi kakak tolak karena kemauan kamu. Kakak ga tenang juga kalau kamu kayak gini terus, Yo.”

“Aku kan emang sakit, Kak.” Ia tersenyum kecut. “Sakit hati.” Jawabnya pilu. Nasib dedaunan yang dilihatnya tadi sepertinya tidak jauh beda dengan keadaannya sekarang. Miris. Hancur. Seperti tercabik, hatinya meraung keras disana.

Tanpa ba-bi-bu, Angel langsung memeluk adik semata wayangnya itu. Mencoba menenangkan Rio yang merasa terguncang. Rio sudah menceritakan semuanya. Mulai dari ia bertemu Sivia, sampai kejadian dua hari lalu, dimana Sivia dengan nekat mencium Cakka sebagai bukti kalau gadis itu sudah tidak lagi mencintai adiknya. Oh Tuhan! Sungguh kejam takdir itu. Ia mengerti keadaan Rio. Ia turut berduka dengan semua ini.

“Aku pasti bangkit, Kak. Aku bisa hadapin semua ini. Tunggu waktu yang tepat aja.”

“Yo?...”

“Besok aku pasti masuk sekolah, Kak. Kakak tenang aja ya.”


***


Gadis itu terduduk lesu di hadapan kaca riasnya. Diliriknya sebentar jarum jam weker yang berdetak di depannya. Pukul 10.00. Lalu pandangannya kembali tertuju ke kaca riasnya. Wajahnya kucel. Muram. Acak-acakan. Tangannya memegang pipinya yang sempat dilewati oleh air. Dari semalam, ia menangis tak ada hentinya. Matanya sembab. Hidungnya memerah. Ia tahu persis bagaimana keadaannya sekarang. Sama hancurnya dengan perasaan seorang laki-laki disana. Sudah dua hari ini ia mendapat kabar kalau Rio tidak masuk sekolah. Sakit. Itulah alasan yang didengarnya dari Gabriel sewaktu bertemu di sekolah pada saat pulangan. Ia merasa bersalah. Salah besar. Ia sudah membunuh karakter Rio dalam hidupnya. Dan bukan tidak mungkin dalam hidup Rio juga. Ia terlalu kalut.

Tok..Tok..Tok..

Terdengar suara ketukan pintu. Sivia sama sekali tak berniat membuka pintu itu. Ia ingin sendiri saat ini. Mencoba menenangkan hatinya yang juga hancur. Ia menutup matanya. Tak dihiraukannya lagi suara ketukan pintu yang semakin mengiang keras di telinganya.


***


“Mungkin masih tidur kali ya, Bi?” tanya Ray di luar kamar Sivia. Sudah dari semalam Ray mencoba mengetuk pintu itu, namun sama sekali tak ada jawaban dari manusia di dalam kamar itu.

“Bisa jadi, den.” Jawab pembantunya.

“Yaudah deh Bi. Makanannya bawa ke dapur aja lagi.”

“Baik, den.”

Ray menggelengkan kepalanya. Sebenarnya apa yang sedang terjadi pada Sivia? Mengapa ia terlihat begitu murung beberapa hari terakhir ini. Senyum pun seadanya saja. Tak seperti biasanya. Tak ada lagi Sivia yang sewot karena kelakuan Cakka. Tak ada lagi Sivia yang selalu memberinya perhatian lebih. Akhir-akhir ini rumahnya terlihat sunyi. Sepi karena tidak ada suara Sivia yang terdengar di rumah itu.

Ray menghembuskan nafasnya berat. Sepeninggal pembantunya, Ray lalu berjalan naik ke tangga menuju kamarnya dengan langkah malas. Sesampainya di lantai dua, ia melihat pintu kamar kakaknya sedikit terbuka. Entah mengapa ia sedikit tertarik untuk melihat apa yang empunya kamar sedang lakukan.

Kakinya mengendap pelan menuju pintu itu. Kepalanya menyembul sedikit diantara pintu yang terbuka. Dilihatnya sang empunya kamar sedang melihat selembar foto. Entah siapa itu. Ray tidak bisa melihatnya dengan jelas karena Cakka duduk menyamping. Tapi satu yang ia tahu, itu gambar seorang gadis dengan kedua orang tuanya yang sepertinya sedikit familiar di otak Ray. Mata Cakka sangat tajam menatap foto itu. Siapa sih manusia-manusia itu? Ray penasaran. Familiar.. tapi gak familiar.. Ah dirinya bingung..

“Ngapain lo berdiri di situ?”

Glek! Ray menelan ludahnya. Ketahuan sudah!

“Gaada kerjaan lain ya ngintipin kamarnya orang? Dasar penguntit!”

“Sorry kak, emm bukan gitu. Jadi.. gue gak sengaja lewat, terus...”

“Terus tutup pintunya! Pergi dari situ!” bentak Cakka.

Dengan gesit Ray langsung menutup pintu itu. Keningnya mengkerut kesal. Kok ada ya kakak sejutek itu? Pikirnya dalam hati. Cakka berbeda tebal dengan Sivia. Kalau bisa memilih, Ray lebih memilih terlahir sebagai adiknya Sivia daripada adiknya Cakka. Sungguh miris kakak beradik ini.

“Coba aja kakak gue itu Kak Sivia hm.” Ray berjalan menjauh dari pintu itu, namun beberapa saat kemudian, ia teringat akan seseorang.

“Kak Sivia..” gumamnya pelan. Ia kembali mendekati kamar yang tertutup rapat itu. Siapa tahu, ulah Cakka yang membuat Sivia seperti ini. Yah, bukan hal yang tidak mungkin kan? Pikir Ray. Namun emosinya dapat ia redam mengingat mungkin ada hal lain juga yang membuat Sivia seperti itu. Ia tidak mau gegabah lagi dalam mengambil kesimpulan seperti kejadian waktu itu.

Tok..Tok..Tok..

“APA?” terdengar suara bentakan dari dalam kamar.

Tok..Tok..Tok..

“APA SIH?” bentakan itu semakin keras.

Tok..Tok..Tok..

“MAU APA LAGI HAH?” Kali ini sang empunya kamar langsung membuka pintu dengan wajah geram. Matanya sedikit merah. Nafasnya terlihat berat.

Ray menelan ludahnya lagi. “Emm.. gue mau ngomong hal penting sama elo kak.” Jawabnya. Berusaha untuk tegas tegas.

Cakka diam. Ia memberikan signal untuk Ray agar lanjut berbicara. “Jangan lama!”

Ray mengangguk mengerti. “Lo... Emm.. Elo tau gak kenapa Kak Sivia murung gitu, Kak?”

Cakka terbelalak. Keningnya berkerut. “Sivia? Mana gue tau.” Jawabnya acuh.

“Ah lo gak boong kak?” Ray tidak puas dengan jawaban Cakka yang sebegitu cueknya.

“Udah gue bilang gatau ya gatau! Ngotot banget sih lo! Udah ah gue mau tidur siang! Ngantuk.” Cakka hendak menutup pintunya namun masih dapat ditahan oleh Ray.

“Please kak gue gamau liat Kak Sivia sedih gitu! Lo setidaknya bantuin gue lah.”

“Bantuin apa sih? Kaya gaada kerjaan lain aja. Ga penting banget deh.”

“Bantuin cari alasan kenapa kak Sivia jadi kayak gini. Lo ga kasian apa liat dia berubah gitu? Seharusnya lo lebih peduli sama dia kak! Dia yang udah ngasih perhatian ke kita berdua! Seharusnya lo bisa sedikit berbalas budi lah sama kebaikannya. Bukan malah cuek gini. Gatau terima kasih banget sih lo Kak!” bentak Ray keras. Kalau bisa, ia ingin menampar wajah kakaknya yang terlihat begitu bodoh di depan dirinya. Bukannya bersyukur dikirimkan seseorang yang penyayang, malah di sia-siakan.

“Bodo amat!”

Ray masih menahan pintu itu agar Cakka tak menutupnya dulu sebelum ia selesai berbicara. Emosinya kembali memuncak. “Gue mohon lo bersikap dewasa kak! Jangan kaya gini terus! Gue capek ngadepin sikap lo yang ga ada berubahnya semenjak Bunda meninggal.”

“Apaan sih Ray!” Cakka malas mendengarkan itu.

“Kak Sivia lagi butuhin kita kak! Siapa lagi yang bisa nenangin dia selain kita? Dia gapunya siapa-siapa kak! Gue mohon elo bisa ngerti! Dia cuman punya kita kak. Please!” tenaga Ray melemah.

“Tau ah sebodo amat deh sama dia!” Cakka membanting pintunya keras. Ia menang.

“KAK!!!”

Dengan sigap Cakka mengunci pintu kamarnya dan lalu memutar dvd dengan sangat kencang agar dirinya tak bisa mendengar celotehan adiknya di luar sana. Ia malas. Malas harus berurusan dengan anak kecil yang menurutnya tak seharusnya mencampuri urusan orang lain.

Sementara Ray diluar hanya menggelengkan kepalanya. Pasrah. Sepertinya tak ada yang bisa dilakukannya selain bersabar. Ia meninggalkan kamar itu dan berlalu pergi. Kesal juga kalau harus berlama-lama membujuk Cakka yang kepalanya keras layaknya batu karang. Tak ada gunanya.

Miris. Sungguh miris. Dan sama sekali tak pantas disebut saudara kakak beradik. Yang bisa terlihat hanya pertengkaran dan perselisihan di rumah itu. Kapan ini berakhir? Kapan ada kata damai di rumah itu? Hanya waktu yang akan menjawabnya nanti. Dan waktu itu hanya ditentukan oleh mereka. Cakka dan Ray.


***


Ruangan itu berantakan. Baju-baju berserakan dimana-mana. Buku-buku tak berada di tempatnya. Sungguh tragis ruangan itu. Sepertinya penghuni kamar itu sedang mengalami masalah hebat.

Nafasnya tersengal. Beribu kata yang keluar dari mulut Gabriel dua hari lalu cukup membuatnya bimbang sampai saat ini. Tangannya mengepal kuat dan lalu di hentaknya tembok itu hingga menimbulkan benturan keras. Ia kesal. Ia benci dirinya sendiri.

Cakka mengelap keringat yang bercucuran di dahi dengan tangannya. Dengan tertatih, ia berjalan menuju tempat tidurnya. Ia duduk disana. Lama ia berdiam merenung. Bimbang. Ia sendiri letih mengapa dirinya terlalu tertutupi oleh awan ke-gengsi-an yang begitu tebal.

“Gue ini kenapa sih? Aarggh!” Ia meraung keras sambil meremas kepalanya. Bingung harus melakukan apa agar semuanya kembali seperti biasa. Kalau bisa waktu diputar, ia tidak akan pernah meminta Sivia sebagai pacar pura-puranya. Ia menyesal. Namun, nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Semua sudah terjadi. Hanya penyesalan lah yang tersisa di bagian akhirnya. Ia mengambil selembar foto. Ia memandangi foto itu (lagi). Foto yang diberikan Ray beberapa minggu lalu agar dirinya menyadari kesalahannya meninggalkan Sivia di tengah hujan. Yah itu foto Sivia kecil bersama kedua orangtuanya. Ia tak menduga semuanya akan terjadi seperti ini.

Flashback—

"Cak!" panggil seseorang.

Cakka menoleh. Seorang gadis pembuat desiran aneh itu kini berada tepat di hadapannya. Cakka masih tetap mendribble bola basketnya santai dan lalu membuang tongkat permen kaki yang sebelumnya, permen itu sepertinya sudah malang masuk ke perut Cakka.

"Apaan?" jawabnya singkat. Cakka tak menatap Sivia. Ia tak ingin jika tiba-tiba desiran aneh itu datang lagi menyergapnya. Ia ingin menghindari itu jika berada di tempat umum seperti ini.

Mata Sivia menangkap sosok Cakka yang masih asyik dengan bola basketnya tanpa peduli keberadaannya. Sejenak ia kepalkan tangannya untuk menguatkan dirinya dengan apa yang niatnya ingin lakukan.

"Cakka!" panggilnya lagi.

"Apaan sih!"

Cakka merasakan desiran aneh itu semakin kencang lagi manakala Sivia berjalan mendekati arah tubuhnya. Ia terkejut. Sivia membuang bola basketnya yang ia rengkuh di samping perut kanannya. Sivia menatap matanya teduh. Cakka membalas tatapan itu.

"Mau apa lo Siv?"

Jarak pandang wajahnya ke mata Sivia sudah terlampau dekat dan terus mendekat, hingga kini dia dapat merasakan hangatnya hembusan nafas Sivia di wajahnya..

"Sivia?" bisik Cakka.

Cakka tercengang dengan perlakuan Sivia. Ia membeku. Perasaan aneh dia rasa dalam hatinya. Getaran halus dalam hatinya tiba-tiba bergemuruh dengan sangat kuat, terlebih pada saat dia menyadari kini wajah Sivia tampak hanya berjarak lima centi saja dari wajahnya sendiri. Keringat dingin terasa membasahi sekujur tubuhnya pada saat dia mengira-ngira apa yang akan Sivia lakukan.

Ia merasa Sivia menyusupkan tangan kanannya ke lehernya. Menuntun wajahnya lebih mendekat ke wajah Sivia. Cakka hanya memejamkan matanya, menahan nafas, sampai akhirnya dia merasakan kehangatan yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya pada saat bibirnya bertemu dengan bibir Sivia.

Hening. Tenang. Suasana yang amat sangat tidak terduga. Beberapa detik kemudian, Sivia melepas ciumannya, ia menatap mata Cakka yang perlahan terbuka, entah karena apa jantungnya bisa berdetak sekencang ini.

Cakka membalas tatapan Sivia. Jantungnya sudah tak karuan sekarang. Entah sadar atau tidak, ia melingkarkan tangan kanannya di pinggang Sivia. Ia masih bisa merasakan kehangatan itu. Sejurus kemudian, dikecupnya bibir Sivia sedetik. Mukanya memerah. Sivia mendorong badan Cakka pelan. Ia mengusap bibirnya. Dan lalu pergi berlari meninggalkan Cakka sendirian di tengah lapangan itu.

Cakka masih berdiri disana. Ia masih bisa melihat Sivia berlari dan entah mengapa ada butiran air mata yang menetes disana. Sejenak Sivia menghentikan langkahnya. Ia berbalik. Namun bukan menghadap ke Cakka. Sivia berbalik menghadap ke suatu kelas. Wajahnya terlihat sendu tak bersemangat. Cakka tak mengerti apa yang dilakukan Sivia. Ia berniat mengejar Sivia namun seseorang menahan pundaknya untuk tidak pergi.

“Gabriel?”

“Ada hal penting yang perlu gue omongin sama elo, Cak.”

Kening Cakka berkerut. Ia bimbang. Ingin sekali hatinya mengejar Sivia berlari dan menanyakan maksud perihal perlakuannya beberapa menit yang lalu.

“Ini tentang Rio sama...”

“Gue ada urusan penting, Yel. Ntar gue kerumah lo aja ya!” Cakka sudah menggendong ranselnya di pundak dan membawa bola basketnya. Hatinya bergejolak ingin mengejar Sivia. Beribu pertanyaan menyembul di otaknya atas perlakuan Sivia tadi.

“Ini lebih penting, Cak!” bentak Gabriel.

“Sorry Yel! Gue gabisa dengerin cerita lo dulu. Gue buru-buru banget.” Cakka sudah melangkahkan kakinya meninggalkan Gabriel di lapangan.

“Cakka! Biarin Via sendiri dulu! Dia butuh nenangin dirinya!” Gabriel setengah berteriak. Cukup sudah ia bersabar menghadapi ini. Ia harus turun tangan untuk membantu Sivia yang selama ini sudah cukup tersakiti.

Tak sia-sia, Cakka pun menghentikan langkahnya. Ia berbalik pelan lalu berjalan sampai berdiri tepat di hadapan Gabriel. “Via? Maksud lo... Sivia?”

Gabriel mengangguk pasti. “Sudah saatnya lo tau semua tentang Sivia.”

Cakka mengerutkan keningnya. Ia belum mengerti. “Elo...?”

“Iya! Gue udah kenal Sivia sejak dulu. Gue tau semuanya tentang Sivia. Gue tau kalo Sivia tinggal dirumah lo. Gue tau kalo tiap hari elo jutekin dia mulu. Gue juga tau kalo lo minta Sivia jadi pacar pura-puraan lo. Dan gue juga tau maksud dari perlakuan Sivia tadi ke elo Cak!!”

Cakka tercengang. Bagaimana Gabriel bisa tahu semua itu? Ada hubungan apa Gabriel dengan Sivia? mengapa Gabriel baru menceritakan ini kepadanya? Belum sempat Cakka menafsirkan apa yang ada di otaknya, Gabriel memulai kalimatnya kembali.

“Gue sama Sivia itu satu panti. Lo tau kan kalau gue di adopsi dari panti?”

Cakka nampak berpikir. Ia mengangguk sekilas. Nampaknya ia sudah mengerti arah pembicaraan Gabriel.

“Bokap lo pasti ketemu Sivia di jalanan. Karna anak panti dari pagi sampe sore kerjanya ngamen. Sivia itu anaknya ceria. Bawel. Rame. Hidupnya kaya gaada beban. Gaada kata ngeluh di dalam dirinya. Setiap orang yang pertama kali liat dia, pasti berpikiran sama kaya gue. Termasuk bokap lo. Pasti beliau berpikir kalau Sivia bisa nemanin lo sama Ray dirumah. Setidaknya itu yang gue tangkep.”

Cakka menyimak dengan serius. Ia tak berkomentar. Toh apa yang dikatakan Gabriel, memang benar kenyataannya.

“Waktu gue liat Sivia masuk sekolah ini, gue sempet shock. Bukannya gue gamau ketemu dia. Tapi, gue gamau liat dia hancur karena ketemu semua orang di dalam masa lalunya.”

“Maksud lo?”

Gabriel tersenyum sekilas. “Jadi lo belum tahu apa-apa? Gue pikir, bokap lo udah cerita tentang ini.”

“Bokap gue cuman bilang kalau Sivia itu dari panti. That’s it. Urusan Sivia dari mana, beliau gapernah cerita ke gue maupun ke Ray.”

“Itu karna elo terlalu cuek sama orang Cak.”

Cakka tak berkomentar.

“Jadi gini, Sivia masuk panti bukan semata-mata karena orangtuanya meninggal. Tapi karena dia di depak sama Oom dan Tantenya sendiri. Menurut cerita yang gue dengar dari Sivia langsung, Oom dan Tantenya itu mau nguasain seluruh harta kekayaan orangtua Sivia. Karena itu, Sivia difitnah mencuri perhiasan Tantenya dan lalu didepak dari rumahnya sendiri. Dan karena itulah, dia dikirim ke panti.”

Cakka sungguh takjub. Ia tak menyangka bahwa kehidupan asli Sivia seperti itu. Sungguh miris. Sivia yang dikenalnya sungguh menyebalkan dan ceria. Namun dibalik keceriaannya selama ini, tersimpan kesedihan yang amat dalam.

“Oom dan Tantenya itu punya dua anak. Satu laki-laki dan yang satu lagi perempuan. Mereka seumuran sama Sivia. Sivia sayang banget sama mereka. Begitupun sebaliknya. Sivia sering banget bilang ke gue, kalau dia ga bakalan nyakitin orang yang dia sayang. Kecuali terpaksa.”

Cakka terdiam. Kalau dipikir-pikir, hidupnya dan hidup Sivia jelas jauh berbeda. Ia masih mempunyai ayah dan adik yang menyayanginya. Sedangkan Sivia? Tak ada seorang pun yang membalas rasa sayangnya. Ia simpatik.

“Setelah semua kejadian itu, Sivia shock. Ia tertekan. Tapi karna cinta seseorang, ia lebih bisa menerima kenyataan kalau di dunia ini ia tidak sendiri. Ia sadar, hidupnya masih panjang. Dan ia masih bisa tersenyum walau sudah tak ada lagi harapan kebahagiaan dalam hidupnya.”

“Emm.. Gue rada gak ngerti sama perkataan lo barusan, Yel.” Cakka berjalan pelan. Lalu ia menandaskan bokongknya ke pinggiran lapangan.

“Setelah orangtuanya meninggal, nyatanya Sivia masih mempunyai seseorang yang menyayanginya. Itu cinta pertamanya dia, Cak. Dan yang gue tau, sampai saat ini rasa itu masih sama. Gue tau banget kalau Sivia sayang sama cinta pertamanya itu. Dan begitupun sebaliknya.” Gabriel mengikuti Cakka. Ia duduk tepat di samping Cakka.

Salah. Perkiraan Cakka salah. Ternyata masih ada yang membalas perasaan sayang Sivia.

“Jadi? Elo kenal sama cinta pertamanya dia?” Cakka melongos. Belum cukup rasa terkejutnya akibat masa lalu Sivia ia redam, malah tambah besar rasa terkejut itu mencuat.

“Bukan cuman gue yang kenal. Bahkan elo salah satu sahabat terbaiknya.” Gabriel tersenyum hambar.

“Hah?” Cakka tak mampu berkata.

Gabriel menerawang. “Iya Cak. Mario. Rio sahabat kita. Dia cinta pertama Sivia. Gue udah mengira ini semua bakal terjadi sejak Sivia menginjak sekolah ini. Gue udah ngerasa gaenak waktu Sivia deket sama elo. Dan yang paling parah...”

“Tunggu Yel. Lo bilang, Sivia masih sayang sama Rio? Begitupun sebaliknya? Tau dari mana lo? Buktinya Rio kan udah pacaran sama adik kelas kita. Siapa tuh namanya? Ifa?” sanggah Cakka sewot.

“Ify!” Gabriel meralatnya. “Justru itu. Sebenarnya gue juga baru tau beberapa menit yang lalu kalau Rio itu masih sayang banget sama Sivia. Rio marah banget waktu tau Sivia ngaku kalau dia pacaran sama elo. Sivia bimbang. Disatu sisi dia pengen banget nerima Rio balik ke kehidupannya. Tapi di sisi lain, dia gamau bikin Ify sakit.”

“Hah? Emang Sivia ada hubungan apa sama cewenya Rio?”

“Ify itu sepupunya Sivia. Anak dari Oom dan Tantenya. Kalau gue liat, Sivia udah nemu jawabannya. Dia rela membunuh Rio di hidupnya demi kebahagiaan Ify. Maka dari itu, tadi dia nyium elo di depan Rio buat ngasih bukti ke Rio kalau dia sama sekali gaada rasa lagi sama Rio.”

Cakka menghela nafasnya berat. Ia terdiam sangat lama. Otaknya berpikir keras. Tak menyangka bahwa semua ini terjadi tanpa ada diduga sebelumnya.

“Rio ada di dalam kelas sana ya tadi?” Cakka menunjuk kelas yang sempat dilihat oleh Sivia sebelum dia melanjutkan langkahnya untuk berlari.

“Iya, Cak.”

Cakka kembali berpikir. Entah apa yang dipikirkannya. Yang jelas, pandangannya terhadap Sivia berubah sudah.

Gabriel merasa lega. Ia sudah menceritakan semuanya yang ia simpan rapat-rapat selama ini. Setidaknya, memang sudah saatnya Cakka mengetahui latar belakang Sivia. Toh entah mengapa, Gabriel merasa Cakka akan bisa sedikit merubah sifatnya terhadap Sivia. Gabriel berharap ini yang terbaik.

Cakka berdiri dari duduknya. Ia merangkul ranselnya kembali dan membawa bola basketnya. Terjawab sudah pertanyaannya tadi. Setelah mendengar semua pengakuan Gabriel tentang Sivia, ia merasa puas. Ada perjanjian yang ia buat di dalam hatinya disana. Dan sepertinya Gabriel perlu tahu tentang itu.

“Gue bakal berusaha jagain Sivia, Yel. Gue janji sama lo.”

Flashback end—

Cakka menutup matanya dengan kedua tangannya. Pikirannya tak menentu. Mengapa mengucapkan janji itu sangat mudah ketimbang melakukannya? Ia sudah berjanji pada Gabriel dan hatinya sendiri kalau ia akan menjaga Sivia. Namun, sudah berapa hari ini, ia sama sekali tak ada bertegur sapa dengan Sivia. Bertatap muka pun jarang.

Ia bingung. Rasa gengsi-nya masih sangat menyelimutinya. Apa yang harus dilakukannya?

Lo prihatin gak sama Sivia?
Prihatin.

Lo kasian ga ngeliat dia sedih gitu?
Kasian lah.

Lo tega gak ngeliat dia terpuruk terus?
Gak.

Lo pengen bantu dia kan?
Iyalah.

Terus tunggu apa lagi?
Gue gatau mau mulai dari mana.

Gampang! Lo tinggal datengin dia. Terus minta maaf sekalian tanyain deh ada apa sama dia. Selesai kan?

Nice! Cakka tersenyum puas. Setelah menanyakan kepada hatinya sendiri, ia akhirnya mendapatkan jawaban itu. Simple! Mengapa tak terpikirkan olehnya daritadi? Ia tersenyum sekilas. Ia berdiri dan betapa kagetnya ia melihat sosok itu sudah berdiri di pintu kamarnya dengan pakaian rapi dan... membawa tas tas besar.

“Maaf, gue udah ketok pintunya tapi gaada jawaban. Jadi gue masuk aja.”

“Muka lo kok pucet banget Siv?”

“Emm.. Ada hal penting yang mau gue omongin sama lo, Kak.”

“Badan lo juga kok keliatan lemes gitu?”

“Gue gapapa Kak.”

Cakka diam. Ia menyilangkan tangannya di depan dadanya. Menunggu Sivia bersuara. Sepertinya hal penting yang ingin disampaikannya membuat Cakka agak berdegup tak karuan. Entah karena apa.

“Emm... Gue berenti kerja dirumah ini Kak. Gue pengen balik aja ke panti. Kayaknya, gue gak cocok tinggal dirumah ini. Dan juga, sampaikan kata makasih banget atas semuanya yang Pak Dermawan kasih ke gue. Gue gak usah dibayar juga gapapa kok. Gue ikhlas.”

Cakka terbelalak. Ia kaget setengah mati. Namun wajahnya tetap santai seperti tak ada beban.

“Lo serius, Siv?”

“Iya Kak.” Sivia menunduk menahan sedih. “Maaf atas semua yang udah gue lakuin ke elo selama ini ya. Ini murni atas kemauan gue. Bukan karena masalah sama lo. Gue ga pantes aja berada di sini. Semuanya terlalu indah buat gue. Makasih atas semuanya ya Kak. Sampaikan salam gue ke Ray. Soalnya tadi dia udah tidur. Jadi gak sempat ketemu.”

Cakka terdiam. Ia hanya mampu melihat gadis itu berkata-kata pilu. Pintar sekali membohongi perasaannya. Cakka tak habis pikir.

“Gue pamit Kak. Sekali lagi gue minta maaf atas semuanya ya. Gue fine aja kok kalo lo benci gue seumur hidup. Hehe. Sampai ketemu lagi ya!”

Cakka tak berkomentar. Ia berbalik membelakangi Sivia.

Sivia berusaha tenang. Ia juga membalikkan badannya ke arah pintu kamar Cakka. Badannya tambah lemas. Walaupun ia tak tau akan sampai di panti atau tidak malam ini, tekadnya sudah bulat untuk keluar dari rumah itu. Karena semakin lama ia berada disana, semakin sakit juga hatinya dan akan semakin banyak juga orang yang terluka. Perlahan ia melangkahkan kakinya. Ia menggapai tas nya dan membawanya untuk keluar dari kamar Cakka, namun..

“Ray masih butuhin elo dirumah ini, Siv.” Langkah Sivia terhenti. Ia kembali berbalik menghadap Cakka yang membelakanginya. Namun entah mengapa kepalanya terasa tambah pusing. Mungkin efek dari semalaman tidak ada menyentuh makanan apapun. Namun samar-samar ia masih bisa mendengar suara Cakka.

“Dia butuh orang buat ngasih perhatian ke dia.” Cakka menghela nafasnya. “Dan kayaknya itu juga berlaku buat gue, Siv...”

Lama Cakka terdiam. Tak ada jawaban juga dari Sivia. Apa Sivia sudah pergi? Ah gak mungkin. Penasaran, Cakka berbalik. Dan betapa kagetnya ia saat melihat tubuh Sivia sudah terbujur kaku di lantai kamarnya.



***



Hai~ Hehehe :p Gue ngeselin banget ya? Wkwkwk gaada dosa banget ya? Gatau kenapa tibatiba mood banget ngerjain proyek ini lagi. Hahaha! Maaf banget yang udah nungguin sampe bosen sampe lumutan sampe karatan-____- Maaf banget juga kemaren sempat janjiin eh gataunya ga ngepost ngepost hahaha~ :p Makasih buat semuanya yang selalu nagih di facebook, tiwtter maupun sms. gue sayang banget sama kaliaan *peluk satu satu. Anyway, maaf banget kalau ceritanya ga memuaskan. Atau terkesan berlebihan. Mohon dimaafkan *salaman satu satu. Pesimis banget yang baca bakal beda jauh sama yang kemaren kemaren. Ga sampe 50 ini gue yakin banget-__- gapapa deh yang jelas saya sudah berusaha sekuat tenaga wkwkwk.

Comment dan like nya saya tunggu. Main main deh ke wall saya juga  Atau iseng deh mention di twitter yaa kawankawan~ Saya ga heran kalau misalnya ada pembaca CK yang tiba-tiba lari ditiup kipas angin(?) atau apalah saya maklumi karena ke leletan ini. Saya sadar..

Jangan jadi pembaca gelap yaaa^^
Cerbung CK ini juga bisa di lihat di resaechaa.blogspot.com
Follow me on Twitter @Resaechaa