Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Minggu, 31 Juli 2011

"CINTA KEDUA" PART 4

***


Murid-murid baru masih berkumpul di lapangan sekolah. Setelah melaksanakan upacara bendera tadi, anak-anak merasa lelah. Maklum, sambutan dari Kepala Sekolah panjang amat. Belum lagi tadi benderanya kebalik. Malu-maluin banget sih. Masa nampil di depan adek kelas, benderanya kebalik. Bagaimana Indonesia mau maju?

Saat ini, murid baru SMA Putra Bangsa masih berdiri untuk mendengarkan berbagai macam pengumuman MOS dari Kakak-kakak OSIS mereka.

“…jadi kalian harus mengikuti perintah dari Kakak OSIS. Mengerti kalian semua?” tanya anak laki-laki yang umurnya tak jauh beda dengan Cakka. Kulitnya putih. Posturnya tinggi.
“mengerti Kak.” Teriak anak-anak baru.
“kalau ada yang mau ditanyakan, silakan langsung saja mendatangi Cakka, Gabriel, atau saya di ruang OSIS. Mengerti?” teriak anak itu lagi.
“mengerti Kak.” Murid-murid baru itu berteriak lemas.
“bagus. Ada yang mau ditanyakan sebelum kalian masuk ke kelas masing-masing?”

Seorang murid laki-laki mengangkat tangan. “saya Kak.”
“ya. ada apa?” tanya kakak OSIS tadi dingin.
“Kak Alvin, ketua OSIS nya kok gak ada ya Kak?” tanya anak laki-laki itu.

Alvin melirik ke arah temannya.
“jelasin Yel !” perintahnya. Temannya mengangguk mengiyakan.
“oke, jadi begini, Ketua OSIS sekolah kita masih berada di Manado bersama keluarganya. Mungkin dua minggu lagi baru pulang ke Jakarta. Jadi, selama dia pergi, saya, Alvin, Cakka dan pengurus-pengurus OSIS yang akan mengatur jalannya MOS.” Jelas kakak OSIS yang juga berportur tinggi. Tapi lebih kurus dari kakak OSIS yang pertama.
“ada pertanyaan lain?” anak-anak menggeleng. “baik. Kalau tak ada pertanyaan lagi, silakan masuk ke kelas kalian masing-masing. Kakak-kakak pendamping akan mendampingi kalian. Bubar!” perintah Alvin. Kemudian, murid-murid baru itu berjalan beriringan menuju kelas masing-masing.


***


Di kelas Ray yang baru, ia tak terlalu banyak bicara. Maklum, tak ada seorang pun teman sekelasnya dulu yang sekelas dengannya. Saat ini ia duduk sendirian di bangkunya. Belum ada seorang pun yang mengajaknya duduk sebangku. Ia melirik ke seluruh kelas. Semua murid-murid baru sudah mendapat teman sebangku masing-masing. Tapi, Ray tak terlalu memusingkan hal itu. Ia lebih memilih memperhatikan gadis yang duduk tepat di depannya. Ia memperhatikan gadis itu berbicara dengan teman sebangkunya. Gadis itu tertawa renyah. Ray tersenyum melihat kelakuan gadis itu yang begitu lucu. Sampai-sampai orang yang menghampirinya pun diacuhkan.

”cewek, gue boleh duduk di samping lo gak?” tanya anak laki-laki yang datang menghampiri Ray.
Ray yang masih terkagum-kagum melihat pesona gadis di depannya pun tak menghiraukan anak laki-laki itu.
“eh, kok diem sih? Hellow?” anak laki-laki tadi menggerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan di depan wajah Ray. Alhasil, hal itu membuat Ray menoleh.
“ish. lo ngapain sih? Ganggu aja.” Ray berdecak kesal. Tak tahu apa kalau dia lagi serius menatap anak gadis itu?
“sorry. Gue mau duduk di samping lo. Boleh kan? Soalnya udah gak ada tempat kosong lagi selain di sini.” Anak itu menunjuk ke arah bangku kosong yang ada di samping kanan Ray.

Ray melihat anak itu. Kemudian ia mengangguk setuju. Anak itu tersenyum senang. Ia pun langsung duduk di bangku samping Ray yang masih kosong. Kemudian ia memperkenalkan diri pada Ray.
“hai. Gue Ozy. Salam kenal ya. Lo siapa? Cantik juga.” Ucap anak laki-laki tadi yang ternyata adalah Ozy.

“cantik? Maksud lo apa?” Ray mengernyitkan dahi. Tak mengerti dengan ucapan teman barunya itu.
“ya lo cantik. Rambutnya gak terlalu panjang. Cocok lah sama selera gue.” Ozy tersenyum tanpa dosa. Apa yang bisa membuatnya berfikir kalau Ray adalah laki-laki? Apa karma rambut Ray yang gondrong?

“wwoy! Gue cowok! Nama gue Ray. Raynald. Jadi lo jangan beranggapan kalau gue ini cewek. Sembarangan aja lo!” Ray naik darah. Tak terima dengan ucapan Ozy tadi yang menganggapnya sebagai perempuan.

“aah? Lo cowok? Astaga. Gue kira cewek.” Ozy kaget setengah mampus. Serius. Kali ini gayanya lebay banget.

Anak-anak memandang Ray dan Ozy dengan tatapan aneh. Sejurus kemudian, mereka kembali dengan aktifitas mereka. Tak terlalu sibuk mengurusi masalah Ray dan Ozy.

“sorry man. gue gak tau.” Ozy meminta maaf pada Ray. Tulus.
“iya gue maafin.” Ucap Ray singkat.

Kemudian Ray kembali memperhatikan gadis dihadapannya. Betapa kagetnya dia melihat gadis itu tertawa lembut melihat kelakuan dirinya dengan Ozy.
“kalian berdua lucu. Hahaha.” Anak gadis itu terus tertawa. Ray sangat senang melihatnya. Rasa berbunga-bunga menghampirinya.

“namaku Acha. Kalau kamu?” tanya Acha yang menjulurkan tangannya pada Ozy. Ozy pun menyambut uluran tangan itu dengan manis.
“Ozy. Salam kenal ya Cha.” Ucapnya. Acha mengangguk. Kemudian ia kembali menjulurkan tangannya pada Ray.
“kalo kamu?” Ray tersenyum manis melihat gadis itu. Sesegera mungkin ia menyambut uluran tangan gadis itu.
“Muhammad Raynald Prasetya. Panggil aja Ray.” Ray terlihat senang. Jujur ini adalah cinta pertamanya. Love at first sight.


***




Cakka sedang berada di ruang OSIS bersama kedua temannya. Mereka sedang sibuk mengurusi data murid-murid baru di sekolahnya.

“Muhammad Raynald Prasetya, kelas 10A, weis, ni adek lo kan Cak?” tanya Gabriel pada Cakka. Cakka hanya mengangguk. Ia sibuk dengan handfon-nya.
“10A? berarti sekelas dong sama adek gue.” Alvin menanggapi kata-kata Gabriel.
Yap. Cakka, Alvin dan Gabriel sudah bersahabat sejak SMP. Sebenarnya ada satu lagi sahabat mereka. Tapi masih berlibur di Manado. Jadi belum bisa ngumpul. Mereka ber-empat menjadi idola di SMA Putra Bangsa. Tentunya dengan kelebihan masing-masing. Mereka ber-empat bisa dibilang ‘kebanggaan sekolah’. Ya walaupun Cakka masih setia dengan kata-kata ‘playboy’ yang melekat didirinya. Dia tetap bisa memberikan prestasi terbaiknya dalam bidang basket. Sementara Alvin dan Ray berkecimpung di dunia bola.

“jadi Acha sekolah di sini juga?” Cakka akhirnya memasukkan handfonnya ke saku bajunya. Ia merasa cukup untuk membalas sms dari pacarnya.
“iya. Dia pengen masuk sekolah ini dari dulu.” Ujar Alvin sambil memakan keripik kentang yang dibelinya tadi di warung sekolah.
“ooo” Cakka dan Gabriel membulatkan bibirnya.
“hm. Btw, Rio bawa oleh-oleh apa nih buat kita?” tanya Alvin kepada kedua sahabatnya yang sedang asyik membaca nama-nama daftar siswa baru.
“gak tau Vin. Tuh anak susah banget dihubungin. Bikin kesel aja.” Ujar Gabriel disetujui anggukan oleh Cakka.
“oh. Awas aja kalo gak bawa oleh-oleh buat kita. Gak selamet dia. Hahaha.” Mereka bertiga tertawa puas di ruang OSIS. Sampai seseorang wanita datang dengan membawa dua buah es krim di tangannya.

“hai sayang. Sorry lama. Nih aku ada es krim buat kamu.” Wanita itu memberikan sebuah es krim dengan senyum manisnya.

“thanks ya Shil.” Cakka menerima sebuah es krim yang diberikan Shilla, pacarnya. Shilla adalah siswa kelas 11. Ia baru dua minggu pacaran dengan Cakka. Gayanya centil. Cantik memang. Tapi, banyak yang tak suka padanya karena gayanya itu yang terlalu berlebihan di depan anak-anak cowok.

“kayaknya kita ganggu. Cabut yuk Vin.” Kata Gabriel. “gue duluan Cak. Selamat bersenang-senang.” Alvin mengikuti Gabriel pergi meninggalkan Cakka dan Shilla yang asyik pacaran. Sementara Cakka sendiri, cuek bebek melihat salah satu sahabatnya itu terbakar cemburuuu.


***

Tak terlalu banyak siswa saat ini di kantin. Mereka lebih asyik menonton para murid-murid baru yang lagi MOS di kelas. Menurut mereka itu adalah hal yang seru. Ya sekedar hiburan ajalah. Lumayan tontonan gratis.



“lo masih ada rasa sama Shilla, Yel? Woy. Ingat ! lo udah punya cewek man !” Alvin memperingati sahabatnya. Ia tak mau kalau pada akhirnya persahabatan mereka akan hancur hanya karena masalah cewek.

“gak. Gue cuman butuh proses aja buat lupain Shilla. Jujur gue masih sayang ‘sedikit’ sama dia. Dan gue belum rela kalau Shilla ntar disakitin sama Cakka. Walaupun pada akhirnya pasti Cakka bakal ninggalin Shilla.” Gabriel mengadah.

“yeee. ‘Sayang’ kok sedikit. Adaaa aja lo Yel !” Alvin nyengir gak jelas. Meskipun ia sangat tahu bagaimana perasaan Gabriel pada saat itu. Sedih.

“oiya, ngomong-ngomong, kapan ya kira-kira si Cakka berubah dari sifatnya itu?” Alvin bergeming. Ia juga sebenarnya tak nyaman melihat kelakuan salah satu sahabatnya itu.

“huuuft. Suatu saat pasti dia berubah kok. Cuman waktu aja yang bisa ngejawab semuanya.” Gabriel berkata bijak.
Mereka berdua kemudian kembali mengecek kelas satu per satu.
Setelah kira-kira jam 12, MOS selesai dilanjutkan besok. Murid-murid baru itu pun terasa bebas dari orientasi itu. Mereka kembali ke rumah masing-masing.

***

“SIVIAAAAA. MAKANAN GUE MANAAA ????” teriak Cakka dari dapur. Seisi rumah dapat mendengar teriakan itu. Kecuali Sivia. Bi Inem yang mendengar teriakan Cakka langsung masuk ke kamarnya. Ia takut kalau-kalau anak majikannya itu akan membentak-bentaknya tanpa sebab.
Sementara Ray? Dia lagi sibuk mikirin Acha di kamarnya. Tak peduli dengan kelakuan kakaknya saat itu.

“mana sih ni pembokat gue? Udah jam segini belum nyiapin makanan!” Cakka mengomel sambil menaiki anak tangga rumahnya. Tak lama, sampailah dia di sebuah pintu.

Kemudian, Dibukanya pintu itu dan, Waaow.

Betapa terkejutnya Cakka melihat kamar tidurnya saat ini. Matanya jelalatan menyusuri setiap barang-barang yang ada di kamarnya. Ia melihat lantai kamarnya kini sangat bersih. Baju-baju yang tadinya berserakan kini sudah ada di keranjang. Lemari pakaian yang tadinya tak bisa tertutup rapat karena penuh dengan jejalan baju, kini sudah kembali seperti semula. Pernak-pernik basket dan bola kini sudah tersusun dengan sangat rapi di meja khususnya. Kaset CD yang tadinya ada dimana-mana, kini sudah berada di tempatnya. Seprei, bantal, dan gulingnya pun tersusun rapi di atas tempat tidurnya.

Cakka yang daritadi masih di luar akhirnya memasuki ‘kamar barunya’ itu. Masih sedikit shock melihat situasi kamarnya yang begitu berbeda dengan beberapa jam terakhir sebelum dia pergi ke sekolah.

Cakka terkagum-kagum melihat kamarnya, tiba-tiba seseorang masuk ke kamarnya. Tapi tak melihat jalan. Ia asyik dengan handfonnya.

“kak, lo liat Kak Sivia gak? Daritadi gue cariin kok gak nongol-nongol ya?” Ray menyapa Cakka sambil terus asyik memainkan game di handfonnya. Tanpa memperhatikan Cakka yang lagi bengong.

Merasa ada yang datang, Cakka berbalik.
“eh, Ray?” Cakka kaget. Lagi asyik perhatiin kamar baru, eee sang pengganggu datang.
“iya ini gue Ray kak. Lo kira siapa? Eh, gue tadi nanya elo kak.” Ray akhirnya berhenti memainkan gamenya. Kemudian memasukkan handfonnya ke saku celananya. Lalu ia memandang ke depan. “lo liat Kak Siv…” perkataan Ray terhenti seketika. Ia melakukan hal yang sama dengan Cakka tadi. Shock melihat kamar itu.

“kak? Gue salah masuk kamar ya?” tanya Ray.
“gak.” Jawab Cakka singkat.
“yang bener?”
“iya.”
“lo becanda kak?”
“gak.”
“serius?”
“iya.”

Hening sejenak, tiba-tiba,
“YA TUHAAAN. INI MIMPII KAAAAN ? APA GUE GAK SALAH LI.. aphtffzzjrhbpph ” Ray refleks berteriak. Namun, karena tak suka keributan, Cakka mendekap kuat mulut Ray. Hingga Ray tak bisa berkata apa-apa lagi. Cakka membawa Ray keluar kamarnya.

“lo bisa santai gak sih?” Cakka geram dengan adiknya saat ini.
“sorry kak. Gue hilaf. Habisnya gue kaget liat kamar lo yang berubah 180 derajat dari biasanya.” Ray berkata jujur. Cakka tersinggung. Tapi, sebenarnya apa yang dikatakan Ray tadi ada benarnya juga.
“akhirnya lo sadar juga kak kalau kamar lo tuh berantakan.”
“bukan gue yang beresin.”
“hah? Jadi?”
“mana gue tau.” Cakka mengangkat kedua bahunya. “udah ah gue capek. Mau istirahat. Mending lo suruh Bi Inem masak sana gih. Gue laper. (perasaan Cakka laper mulu ya.) Cepetan!” Perintah Cakka lalu masuk kembali ke kamarnya, dan menutup pintunya dengan pelan.

‘loh? Biasanya pintunya di banting. Kok sekarang enggak ya? ah bodo amat deh. Mending gue nyari Kak Sivia.’ Ray membatin lalu segera pergi ke dapur menemui Bi Inem untuk meminta membuatkan makanan dan sekalian menanyakan Sivia.

***

Selasa, 26 Juli 2011

"CINTA KEDUA" PART 3

***

Mungkin ada dua menit mereka berdua saling menatap sinis dengan jarak yang begitu dekat.
Tak lama, Cakka menghapus raut wajah sinisnya. Entah mengapa, Ia kemudian tersenyum.

Merasa ada yang aneh, Sivia membuka suara.

“kenapa lo?” Sivia merasa kikuk. Tak mengerti dengan apa yang ada di otak manusia gila dihadapannya saat ini. Sejurus kemudian, tangan kanan Cakka mengelus pipi lembut Sivia. Cakka tersenyum lebar melihat kepanikan Sivia.

Cakka semakin mendekatkan kepalanya ke kepala Sivia. semakin mendekat, terus mendekat dan lalu, CUP!
Bibir marah Cakka mendarat tepat di pipi kanan Sivia. Yap. Benar-benar kejadian tak terduga sebelumnya.
Sivia mengepalkan tangannya. Merasa ingin segera dapat menonjok muka orang yang saat ini masih mencium pipinya dengan sama sekali tak ada rasa berdosa. Tapi apa daya, tangan kanannya di genggam kuat oleh Cakka. Sivia pun tak bisa bergeming. Ia berharap ada seseorang malaikat yang bisa membantunya saat ini untuk melepaskannya dari Cakka. Dan, yak. Doanya terkabul.

“ngg. maaf mengganggu mas Cakka, eee, itu, ada telfon dari tuan Darmawan di luar.” Bi Inem memanggil Cakka untuk menerima telfon dari ayahnya di luar. Sebenarnya pembantunya sudah berdiri daritadi di pintu kamar Sivia. tapi, dia enggan untuk mengganggu aktifitas (?) Cakka. “kalau gitu, saya permisi mas,” ujarnya lalu meninggalkan kamar Sivia.

‘huh. Thanks god’ Sivia membatin.
Cakka melepaskan genggaman tangannya perlahan lalu menjauhkan bibirnya dari pipi Sivia. Ia menatap sadis mata Sivia.
“lo udah salah main api sama gue. Dan karena kesalahan lo itu, lo harus terima akibatnya. Lo udah jadi target gue. Jangan pernah nganggap gue gampang. Ingat itu!”


***


Singkat. Namun jelas. Terdengar sangat jelas perkataan-perkataan Cakka di telinga Sivia tadi siang. Ketika pipinya dikecup sadis oleh Cakka. Ketika tangannya di genggam paksa oleh Cakka. Sempat hadir di benak Sivia kalau anak itu adalah seorang psikopat. Bagaimana tidak? Baru saja dua jam kenal dengannya, ee udah di jahilin plus dijadiin mangsa.

“dasar cowok gilaaa! Kak Rio aja jarang-jarang nyium gue. Nah ini? Baru ketemu aja udah main nyosor! Dasar cowok gak tau sopan santun!” Sivia menggerutu di balkon kamarnya. Bibirnya komat-kamit mengumpat Cakka. “baru kali ini gue nemu cowok kurang ajar kayak Kak Cakka. Aaaah.” Sivia terus menerus mengumpat Cakka. Tak terima dengan perlakuan Cakka padanya. Sampai akhirnya,

“lo ngomongin gue?” kata salah satu suara. Sivia pun berbalik badan sekaligus celingak-celinguk untuk mencari asal suara itu. Namun belum juga ditemukan oleh sepasang matanya.

“ish. Dasar cewek! Bisanya cuman ngomong dibelakang aja.” Cakka berdiri di pintu kamar Sivia. Ia mendengar semua umpatan Sivia yang dilontarkan untukknya. Ia berjalan mendekati Sivia sambil membawa beberapa buku.

“lo memang gak sopan ya! masuk kamar orang itu ketuk pintu dulu! Gue kan cewek. Ntar kalo gue dari kamar mandi gak pake baju trus lo masuk seenaknya kan bahaya!!” umpat Sivia langsung pada orang yang sekarang berdiri di sampingnya.

“penting?”
Sivia membulatkan matanya. “dasar cowok gilaaaaaaaa! Mau ngapain sih lo?” teriak Sivia di depan Cakka.
“wooy! Santai dong. Stay cool!” ucapnya enteng. “nih! Baca!” perintahnya. Cakka melemparkan selembar kertas bertuliskan kata-kata yang baru saja ditulisnya tepat ke wajah Sivia.

Sivia mengambil kertas itu sebelum jatuh ke lantai. Kemudian, Ia membacanya dengan seksama kata demi kata yang ditorehkan di kertas itu. Matanya melotot. Sama sekali tak mengerti dengan jalan fikiran Cakka.

“maksud lo ini apa? Gue bukan pembantu disini!!!” umpat Sivia sambil berkacak pinggang.
“itu akibatnya kalau lo berani sama gue!” Cakka menjawabnya dengan senyum licik. “udah deh. Daripada lo marah-marah gak jelas gitu, mendingan lo buatin nasi goreng buat gue! Gue laper!”

Sivia ingin marah lagi, tapi ditahan oleh Cakka.

“mau apa? Gak terima? Marah? Berontak? Lo tau kan akibatnya kalau lo berani ngelawan gue?” Cakka tertawa penuh kemenangan. “sekali lo membantah, gue bakal lapor ke pimpinan panti. Lo sayang kan sama Ibu Panti itu? Ibu Ira? Nah, pasti lo gak mau kan kalau dia kecewa sama lo?”

“lo tau dari mana sih?” Sivia meredam amarahnya ketika mendengar nama Bu Ira disebut. Ia membenarkan apa kata Cakka. Dia sama sekali tak ingin mengecewakan ibu Ira. Ia sudah berjanji dengan bu Ira kalau akan bersungguh-sungguh bekerja di rumah ini. Dan akan menggunakan gajihnya untuk sedikit melengkapi kekurangan di panti.

“dari bokap gue. Tadi siang gue tanya semuanya tentang elo. Jadi, gue tau kelemahan lo.” Cakka berlalu dari kamar Sivia dengan deru tawanya. Ia meninggalkan Sivia yang sedang memikirkan Ibu Ira dan adik-adiknya di panti. Setelah membaca kertas yang diberikan Cakka tadi, mau tidak mau, Sivia harus melaksanakan semua aturan-aturan Cakka. Mulai dari beresin kamar Cakka , buatin makanan untuk Cakka, beliin barang-barang keperluan Cakka, bersihin kamar mandi Cakka, ngerjain peer-nya Cakka, nyuciin bajunya Cakka, pokoknya Sivia harus stand by mulai dari jam tujuh pagi sampai jam sembilan malam untuk melaksanakan semua perintah Cakka.

“WOOOY!! JANGAN BENGONG TERUS DOONG!! BIKININ GUE NASI GORENG!! CEPETAAAN!!” Cakka berteriak dari lantai bawah. Itu sekaligus membuat lamunan Sivia buyar. Ia segera bergegas pergi ke dapur untuk menyiapkan nasi goreng untuk Cakka.


***

Pagi datang. Sinar matahari masuk ke kamar Sivia melalui jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Sinar itu menyilaukan matanya. Membuat ia bangun dari tidur nyenyaknya. Sivia melihat ke arah jam dinding di kamarnya. Masih jam enam. Ia pun segera pergi ke kamar mandi.

Setelah memakai pakaian rumah, Sivia beranjak ke dapur untuk membantu Bibi membuat sarapan pagi.
Menu sarapan hari itu adalah roti tawar yang diolesi selai cokelat. Katanya Bi Inem sih kesukaannya Cakka sama Ray.

“pagi Kak Sivia. pagi Bi Inem.” Ray turun dari tangga lalu duduk di meja makan untuk menunggu sarapan yang akan dihidangkan.

“eh, Ray udah siap? Weeeis. Rapi banget. Cakep lagi. Hahaha.” goda Sivia. Alis di atas matanya naik turun melihat dandanan Ray pagi itu. Yap. Hari ini adalah hari ajaran baru. Hari pertama masuk sekolah setelah anak-anak menghabiskan liburan panjang. Sementara Sivia, ia baru masuk sekolah minggu depan karena ada sedikit urusan yang belum terselesaikan oleh Pak Darmawan. Beliau belum sempat membayar administrasi lain-lain yang di suguhkan oleh sekolah itu. Karena sedang berada di luar negeri. Beliau akan mentransfernya dua hari kedepan. Alhasil, Sivia akan bersekolah mulai minggu depan sebagai anak baru kelas 11 di sekolah yang sama dengan Ray dan Cakka. Ray kelas 10 dan Cakka kelas 12.

“kakak muji atau menghina sih?” gerutu Ray. Tak terima dengan perkataan Sivia barusan. “hari ini kan Ray ada MOS Kak. Jadi aja dandanannya kayak gini. Pake topi kerucut lah, tas karung lah, kaos kaki warna warni lah, pokoknya bukan Ray benget ini. Coba deh nanti kakak liat penampilan baru Ray hari Senin depan. Pasti gentengnya ngalahin Justin Timberlake.” Ray senyum-senyum. Bangga pada dirinya.

“hahahha. Kamu itu. Ya udah. Ini dimakan roti nya. Lumayan buat ganjal perut.” Sivia menyodorkan beberapa potong roti ke arah Ray.

“non, saya antar roti ini ke kamar mas Cakka dulu ya. permisi.” Bi Inem ingin beranjak dari tempatnya. Yah seperti biasanya. Cakka gak mau makan barengan sama Ray ataupun ayahnya. Ia hanya ingin makan di kamar.

“eh eh eh, gak usah Bi. Gak usah. Biar Kak Cakka turun ambil sendiri aja.” Sivia menyanggahnya.
“ng, tapi non, nanti saya dimarahi mas Cakka. Saya takut non. Mas Cakka kalau marah ngeri non. Saya gak berani non.” Bi Inem menunduk ketakutan.
“heu. Ya udah. Bibi disini aja. Biar Sivia yang antar ke kamar Kak Cakka.” Sivia mengambil piring yang berisikan roti di atasnya. Dengan langkah malas, ia mengantarkan sarapan itu ke kamar Cakka.

“manja banget sih. Masa setiap makan harus diantar ke kamar dulu? Kaya anak kecil aja.” Gerutu Sivia.
Ia menaiki anak tangga satu per satu, setelah itu ia pun sampai di depan pintu kamar Cakka.

Tok. Tok. Tok. Sivia mengetuk pintu kamar Cakka dengan malas.
“masuk!” ucap suara di dalamnya.
Cekreeek. Pintu di buka oleh Sivia.
Lalu, Wooow. Mulut Sivia menganga lebar. Betapa kagetnya Sivia melihat kamar Cakka yang super duper berantakan dan kotor. Seperti tak pernah diatur. Ia belum pernah melihat ruangan yang seperti ini sebelumnya. Takjub.

“ngapain lo bengong disitu? Siniin sarapan gue.” Ucap Cakka dengan nada sinis. Cakka duduk di tempat tidurnya sambil membereskan buku-buku yang akan dibawanya untuk persiapan nge-MOS anak-anak baru. Maklum, Cakka kan salah satu pengurus OSIS di sekolahnya.

“subhanallah.” Sivia masih berdiri di tempatnya. Tak berkutik. Ia diam mematung melihat kamar Cakka yang benar-benar jauh dari kategori bersih. Mungkin kalau ada penghargaan kamar terkotor dan paling berantakan, Cakka lah pemenangnya.

“kenapa lo? Aneh ngeliat kamar gue?”
“sumpah lo bener-bener gila.” Akhirnya Sivia sadar juga dari keterkejutannya melihat situsasi kamar Cakka yang amat sangat memprihatinkan. “lo kuat tidur dengan kondisi kamar yang kayak gini?” Sivia heran. Semua ruangan yang dilihatnya di rumah ini begitu bersih dan rapih. Tapi, kenapa kamar Cakka kayak gini? Apa Bi Inem gak pernah bersihin kamar Cakka? Segitu takutnya kah Bi Inem sama Cakka sampai-sampai masuk ke kamar Cakka aja gak berani?

“udah deh. Gak usah dibahas. Sini roti gue.” Cakka merampas piring yang ada di tangan Sivia. lalu memakannya.

“gue ke luar dulu.” Pamit Sivia. Tapi, suara Cakka menahannya.
“eh, siapa yang nyuruh lo pergi?” Cakka kembali dengan nada sinisnya. “lo diem dulu disitu.” Sivia pun menghentikan langkahnya. Kembali mematung di tempat semula ia berdiri.

Setelah selesai memakan rotinya, Cakka pun beranjak dari duduknya. Ia berdiri mengambil dasi yang di gantung di pegangan lemarinya. Kemudian ia berjalan menghampiri Sivia.
“nih.” Cakka memberikan dasinya ke Sivia. Sivia bingung. Mau apa Cakka memberinya dasi? Nanti kan dia bakalan dapat juga dari sekolah barunya. Batin Sivia.

“Pasangin. Tangan gue belepotan selai coklat nih.” Perintah Cakka.
“apa?” Sivia menganga. Kembali terkejut.
“lo budek ya? PASANGIN GUE DASI DODOL!” Cakka berteriak di hadapan Sivia.
“ya biasa aja dong. Gue kan tadi lagi bengong.” Sivia mencari alasan sambil merampas dasi dari tangan Cakka.
“bengong mulu kerjaan lo.” Cakka masih mengomel.

Sivia melingkarkan dasi yang belum jadi tadi ke leher Cakka. Dengan telaten ia membentuk dasi tadi. Sivia sedikit menjinjit karena Cakka agak tinggi dari ukuran dirinya.

Cakka diam. Ia memperhatikan wanita dihadapannya yang sangat dekat dengan wajahnya. Ia sangat serius dengan pandangannya kali ini. Tapi, nada dering hapenya membuatnya terganggu. Ia mendecakkan lidah. Kemudian merogoh kantong celananya. Mengambil handfone. Ia mendapati seseorang menelfonnya.

“halo? Kenapa sayang?” Cakka mengangkat sambungan telefon. Sementara Sivia tetap mengolah dasi Cakka dengan jarak dekat.
“iya. Aku jemput kamu sepuluh menit lagi deh. Ini aku sudah mau pergi. Tunggu ya. daah.” Cakka mematikan sambungan telfonnya. Lalu memasukkan hapenya kembali ke dalam kantong celananya. Kemudian ia kembali memperhatikan Sivia yang daritadi belum selesai juga memasangkannya dasi.

“lama banget sih? Pacar aku udah nunggu tau!” Cakka mengomel lagi.
“iya iya. Nih udah selesai.” Sivia merapikan hasil olahannya. Kemudian menjauh dari Cakka.
“ya udah. Gue pergi. Jangan lupa ntar pas gue pulang, makanan harus siap di atas meja. Ngerti kan lo?” sebelum mendapat persetujuan dari Sivia, Cakka sudah pergi meninggalkan Sivia di kamarnya. Tentu saja untuk segera menjemput pacarnya dan pergi sekolah.

Sivia mengangguk. Ia sudah menduga hari ini akan diawalinya dengan tugas-tugas pemberian Cakka. Untung saja dulu ia sempat belajar memasak dengan Bi Amah, pembantunya dulu. Kalau tidak, wew. Pasti ribet.

“huuft. Bakalan capek nih.” Sivia mengadah ke seluruh ruangan kamar Cakka. Kemudian berjalan memunguti baju-baju dan barang-barang di lantai.

Selasa, 19 Juli 2011

PROFIL IDOLAKU "SIVIA AZIZAH"

Descriptive about SIVIA ==

Sivia Azizah, atau yang biasa dipanggil dengan nama Sivia atau Via, adalah salah satu dari sederetan finalis di Idola Cilik yang disponsori oleh RCTI.
Cantik dan sering muncul dalam iklan-iklan televisi, walaupun begitu ia tetap berkeinginan untuk lebih berkecimpung dalam dunia tarik suara. Sivia Azizah adalah gadis cilik berusia 13 tahun yang mempunyai banyak pengalaman dalam bernyanyi. Gadis cilik ini pernah bernyanyi sebagai choir children untuk tampil bersama Sadao Watanabe pada acara Java Jazz dan berduet dengan Donni Ada Band. Via ingin mencoba menyanyi di atas panggung karena ingin mendapat banyak pengalaman dan ilmu dari guru-guru di Idola Cilik.
Sivia ingin memperdalam hobinya di dalam dunia tarik suara. “Aku ingin menambah ilmu pengetahuan dan pengalamanku di Idola Cilik"

MY OPINION ABOUT SIVIA ==

Gue suka Via ett bukan suka, tapi fanatics banget sama Sivia mulai dari kelas 1 SMP. Awalnya gue biasa biasa aja sih ngeliat profilnya di Idola Cilik, terus lama lama gue denger suaranya, eebuseett unik banget, jazz nya keluar banget dan gue mantepin hati mulai waktu itu, GUE NGE FANS BERAT SAMA SIVIA AZIZAH.

Gue sering banget sms dukung dia di IC, tapi apa daya mungkin karena manipulasi SMS, Sivia harus out dan itu bikin gue nyesek banget nget nget:( Gue gamau nonton idola cilik lagi! walaupun masih ada Angel -jagoan gue yg lain- tapi tetep aja gue gak ikhglas kalo gaada Sivia.

Lama-lama, album ic1 keluar, gue langsung beli. Dan dari beberapa lagu yang gue denger, Sivia ngisi lagu paling banyak. Entah backsound atau suara aslinye dia. Berbulan bulan setelah itu, anak anak IC gaada kabarnya. Palingan cuman ngisi acara di RCTI, Ami awards atau Ulang Tahun RCTI. Gue maunya yang lebih. Dan pastinya bukan gue aja. SiviaHolic juga gitu.

Ga lama, gue denger dari temen2 SH kalo Sivia main sinetron anak anak gitu judulnya MOMON dan apa ya gue lupa. Disitu dia main sama Dayat -temen satu ic juga-

Gue seneng. Dan akhir2 ini gue sering banget denger suara Sivia dimanamana. Di backsound 3SAHABAT, GOGOGIRLS, aahh banyak deh pokoknya. Gue bangga sama Sivia. Dan lo tau Vi? Gue pengen banget ketemu sama lo.. Entah kapan.. Yang jelas sampai kapanpun gue bakalan SELALU NGEFANS SAMA LO SIVIA :D

Oke segitu dulu bacotan gue hari ini. Besok2 gue mau nyeritain tentang cakka aah see you next time kawankawan:*

ini Foto Sivia waktu masih kecil =


















Ini yang udah gede =


Untuk lebih dekat dengan Sivia
Follow her on twitter @AZIZAHSIVIA
--------------------------------------------------

"CINTA KEDUA" PART 2

Balik lagiiiiiiiii…
Mau lanjut? Lanjut?
Oke, check this out !
***

Pagi ini cuaca begitu cerah. Langit berwarna biru menyala. Seakan membangkitkan semangat untuk siapapun melakukan pekerjaan masing-masing. Burung-burung berterbangan bebas di angkasa. Mengajak siapapun untuk menikmati indahnya dunia.
Semilir angin masuk ke kamar seorang gadis yang daritadi sibuk menyiapkan barang-barangnya.

“sudah siap Sivia?” tanya Bu Panti. Ia melihat Sivia sedang memasukkan barang-barangnya kedalam koper yang dulu dibawanya dari rumahnya.
“sepertinya sudah semua Bu.” Sivia kembali mengecek barang-barang keperluannya. Siapa tahu ada yang tertinggal. Ia bolak-balik ke seluruh ruangan kamarnya.

“Siv, disana kamu hanya tiga bulan kok. Lagipula kamu tidak di angkat menjadi anaknya. Hanya membantu mengurus anaknya. Kamu bersedia kan?” Bu Panti bertanya.
Sivia sudah hampir sepuluh kali mendengar pertanyaan Bu Ira ini. Semenjak kedatangan Pak Darmawan ke Panti itu kemarin siang, Bu Ira selalu menanyakan hal yang sama.

“Bu, Sivia mau kok. Lagian kan hitung-hitung belajar bekerja. Disana Sivia di gajih kan? Dan gajih itu sangat lumayan untuk membiayai makan kita sehari-hari.” Jelasnya lagi.

“iya Ibu mengerti. Tapi jangan terlalu memaksakan diri ya Nak. Kalau kamu tidak betah, sebaiknya kamu mengundurkan diri saja dari pekerjaan itu.” Amanat Bu Ira.
Sivia tersenyum kembali mendengar kata demi kata yang dilontarkan Bu Ira kepadanya.

“Bu, Sivia mampu kok. Tiga bulan kan bukan waktu yang lama toh?”

Bu Ira mengangguk.
“Ibu percaya kamu tidak akan mengecewakan Ibu dan adik-adikmu” Ia memeluk anak gadis di hadapannya yang begitu tangguh dan berjiwa besar. Sivia membalas pelukan Bu Ira. Pelukan yang selama Ibunya pergi tak bisa lagi di dapatkannya. Ia merasa tenang dalam pelukan seorang wanita tua ini.

“Kak Sivia, jemputannya udah datang tuh.” Deva datang tiba-tiba.
“Bu Ira, Pak Dermawan menunggu di ruang tamu depan.” Riko datang di belakang Deva.
Bu Ira melepaskan pelukan Sivia.
“hm. Baiklah. Riko, Deva! Bantu Sivia bawa barang-barangnya ke depan ya nak.”


***

Sivia telah sampai di depan rumah Pak Darmawan. Entah apa yang membuatnya menyetujui permintaan Pak Darmawan ini. Tapi, menurut dirinya, Pak Darmawan adalah sosok seorang ayah yang begitu peduli dengan anak-anaknya. Makanya tanpa pikir panjang, Sivia bersedia tinggal di rumah besar ini untuk tiga bulan ke depan. Hanya untuk membantu mengurus anak-anak Pak Darmawan. Yah. Menurutnya itu suatu pekerjaan yang tak sulit. Toh dia masih bisa bertemu dengan anak-anak panti kan?

“Sivia, ayo masuk. Anak-anak om sudah menunggu di dalam dari tadi looh.” Pak Darmawan membantu Sivia menarik kopernya. Terlihat senyum tulus terpancar dari dirinya.

Cekrek.
Pintu dibuka oleh Pak Darmawan. Sivia mengekor dibelakangnya. Setelah sampai di dalam, terlihat dua anak laki-laki duduk di sofa ruang tamu dengan fikirannya masing-masing. Tak ada obrolan yang menarik mungkin bagi mereka berdua. Melihat ayahnya datang, pandangan mereka pun beralih.

“nah Ray, ini temen papah yang papah certain ke kamu kemaren.”

Ray terperangah. Tak percaya dengan semuanya. Ia kaget bukan main. Tak tahu apa yang ada di fikiran ayahnya saat ini. Sungguh ayah yang tak punya otaaak ! Ray bergumam dalam hati.

“papah sudah gila ya?” Ray berdiri menghampiri ayahnya yang sedang mengernyitkan dahi. “apa cewek ini tidak terlalu muda untuk papah nikahi?” Ray berteriak di hadapan ayahnya.
Sementara Cakka hanya duduk santai di sofa. Tak peduli dengan hal gila apa lagi yang akan dilakukan ayahnya. Yap. Cakka juga beranggapan sama seperti Ray. Mereka mengira Sivia adalah calon istri ayahnya.

Hening.
Pak Darmawan mencoba memaknai perkataan Ray tadi.
“hahahha. Ray. Ternyata kamu memang masih lugu ya.”
Ray melotot. Di saat seperti ini ayahnya masih saja bisa melawak. Gila. Gumamnya.

Pak Darmawan melihat ke arah Sivia yang kini bediri dengan tampang terkejut. Sivia membalas arah mata Pak Darmawan. Kemudian Pak Darmawan kembali memandang Ray yang kini sedang menunggu penjelasan dari ayahnya.

“dia bukan calon istri papah Ray. Dia disini bekerja mengurus kalian.” Ray menganga. Mencoba mencerna dalam-dalam sanggahan ayahnya itu. Tak perlu waktu lama untuk membuat Ray tersenyum.

“oh, maafin Ray pah. Ray kira..” belum sempat Ray melanjutkan perkataannya, yang duduk di sofa memotong,

“maksud papa ‘mengurus kalian’ APA?” Cakka berdiri. Siap untuk memaki-memaki ayahnya. “papah pikir Cakka masih bayi? Cakka sudah besar pah! Gak perlu diurus!!” Cakka menggerutu. Semetara ayahnya tersenyum simpul.

“Sivia ini anak yang baik Cak. Papah yakin kamu dan Ray akan bisa menerimanya. Cepat atau lambat.” Jelas Pak Darmawan. Singkat. Namun sangat dapat dimengerti.

“terserah!” Cakka beranjak dari tempat itu. Ia berlari naik ke anak tangga dan kemudian, BRAAK!! Cakka membanting pintu kamarnya.

Pak Darmawan hanya tersenyum. Sejurus kemudian, ia menatap Ray yang masih berdiri tegak dihadapannya. Anaknya yang satu ini menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Seakan-akan sudah capek melihat kelakuan kakaknya yang begitu kekanak-kanakkan.

“Ray, kamu bisa menerima Sivia disini untuk tiga bulan kan?” Pak Darmawan bertanya lembut. Berharap anak laki-lakinya yang satu ini merespon dengan nada positif. Dan ternyata,

“iya pah. Ray mau.” Ujarnya. Lalu berjalan mendekati Sivia.
Pak Darmawan tersenyum senang. Setidaknya ada yang mau menerima Sivia di rumah itu hanya untuk tiga bulan.
“Ray, papah pergi dulu ya. jaga diri baik-baik. Mulai hari ini, Sivia yang mengurus kalian.”
Ray tersenyum. Ia mengangguk tanda mengerti.

“Sivia, titip anak-anak om ya. kalau ada perlu, tinggal ngomong sama Ray, Bibi atau sama satpam rumah. Atau bisa langsung menelfon saya. Saya pergi dulu. Hati-hati di rumah ya.”


***


Kamar itu begitu nyaman menurutnya. Luas memang. Sama seperti rumah yang dulu ditempatinya bersama kedua orang tuanya. Tak ada lagi yang dapat menyanggahnya. Kamar itu memang sangat amat nyaman untuk ditempati.

“gimana Kak? Kakak suka kan? Ini Ray sama Bibi yang beresin kamarnya kemaren.” Ray tersenyum senang. Berharap Sivia menyukainya.

“ia. Suka banget. Thanks ya Ray.” Sivia duduk di sofa kamar yang kini menjadi miliknya untuk tiga bulan kedepan sambil memperhatikan seluruh desain interior kamar itu. Matanya tak lepas dari suasana indah di kamar itu. Walaupun ia merasa sedikit lelah setelah mendengarkan penjelasan Ray tentang kelakuan Cakka secara rinci.

“kak, Ray mau tanya.” Ray berjalan ke arah sofa kamar. Dimana ada Sivia duduk di atasnya. “Kenapa kakak mau nerima pekerjaan ini dari papah?” Ray duduk di samping Sivia. Berusaha mendekatkan diri pada Sivia. Berusaha untuk merasa nyaman dengan Sivia. Karena selama ini tak ada perempuan yang dekat dengannya selain Ibunya.

“kakak ngerasa tertantang untuk ngelakuin pekerjaan ini Ray. Setelah melihat sedikit kelakuan kakakmu tadi, ditambah dengan cerita-ceritamu barusan, kakak jadi bertekad untuk bisa merubah sikap Kak Cakka. Kakak akan berusaha menghapus semua sikap-sikap buruk kakakmu.” Ujar gadis ini mantap. Tak ada sedikitpun keraguan di dalamnya.

“thanks kak. Ray percaya sama Kak Sivia. Oiya, ngomong-ngomong, minggu depan kakak sekolah bareng aku aja ya Kak. Soalnya kak Cakka mana mau nganter-nganter yang begituan.”

Sivia tersenyum. Tapi, tunggu dulu, apa yang baru dia dengar barusan? Apa yang Ray katakan? Sekolah? Oh noo..
“APA??” Sivia kaget. “Sekolah?” Apa dirinya tak salah dengar? Kan perjanjiannya tak tertulis kalau dirinya akan bersekolah. “sekolah di mana?” Sivia masih tak percaya. Matanya melotot. Ia menampangkan ekspresi terkejut dihadapan Ray. Mimik mukanya langka. Alhasil, hal itu membuat Ray tertawa lebar.

“hahaha. Kakak kalau kaget lucu deh. Hahaha.” Ray merasa senang. Semenjak kepergian Ibunya, baru kali ini kembali tertawa begitu lepas seperti ini. “hahaha. Kakak lucuu.” Ujarnya.
Sivia manyun. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Ray agar berhenti dari deru tawanya. Namun Ray tetap saja tertawa terbahak-bahak.

Ditengah deru tawa mereka, seseorang datang. Terlihat sekali bahwa ia tak senang ada keributan.
“ribut banget sih kalian?! Gak tau apa kalau gue lagi istirahat?!” Cakka datang tiba-tiba. Ia menampakkan wajah sinis kepada Sivia. Seperti tak suka melihat kedatangan gadis yang selama beberapa bulan akan tinggal satu rumah dengannya.

“eh, maaf Kak. Hahaha. Kak Sivia, Ray ke kamar dulu ya. Hahaha.” Ray pergi keluar. Masih dengan tawanya. Ray tak menghiraukan Cakka yang sangat marah melihat kelakuannya. Sedangkan Sivia, sedari tadi menatap Cakka yang sifatnya begitu kasar.

“apa lo liat-liat? Cepetan bikinin gue makanan! Gue laper.” Perintah Cakka pada Sivia. Sivia tak bergeming. Ia tak beranjak dari sofa. Matanya tak lepas dari seorang Cakka. Ia memperhatikan Cakka dengan serius. Sampai akhirnya mulutnya terbuka,

“ternyata ada ya orang kaya elo?”
Cakka mengernyitkan dahi. Tak mengerti apa maksud gadis ini.

Sivia pun kembali bersuara, kali ini ia berdiri dari duduknya.
“Merintah orang seenak jidatnya! Gue ini tamu! Sopan dikit dong kalo ngomong. Gak pernah sekolah ya? apa mulut lo itu gak pernah di kasih belajar ya di sekolah? Lo itu gak punya adab sopan santun apa? mikir tuh pake otak! Gue tuh CEWEK. Jadi, lo harus sopan sama gue. Ngerti?” Sivia menceramahi Cakka panjang lebar. Cakka menganga. Tak percaya akan semua ucapan gadis yang baru dikenalnya selama kurang lebih dua jam. Ia mengepalkan tangannya. Baru kali ini ia menemukan gadis aneh seperti ini.

“gak salah lo? Heh! Gue tuan rumah disini! Dan elo PEMBANTU! Denger? PEMBANTU!! Jadi, semua yang gue perintahin, lo harus nurut! Ngerti?!” Cakka membalas bentakan Sivia tadi. Dia setengah berteriak. Ia sangat geram dengan Sivia.

“gue bukan pembantu disini!” Sivia membantah pernyataan Cakka yang mengatas namakan dirinya sebagai pembantu.

“sekali pembantu tetap PEMBANTU.” Teriaknya geram.

Cakka panas. Kemudian ia berjalan menghampiri Sivia. Matanya tak lepas dari cewek yang ada dihadapannya sekarang ini.
Sivia pun membalas tatapan mata itu. Cakka terus berjalan, berjalan, dan kini Cakka semakin dekat dengan tubuh Sivia. Sivia terlihat bingung dengan sikap Cakka.
‘mau apa ni Kak Cakka?’ batinnya bertanya-tanya.

Mungkin ada dua menit mereka berdua saling menatap sinis dengan jarak yang begitu dekat.
Tak lama, Cakka menghapus raut wajah sinisnya. Ia kemudian tersenyum. Merasa ada yang aneh, Sivia membuka suara.

“kenapa lo?” Sivia merasa kikuk. Tak mengerti dengan apa yang ada di otak manusia gila dihadapannya saat ini. Sejurus kemudian, tangan kanan Cakka mengelus pipi lembut Sivia. Cakka tersenyum lebar melihat kepanikan Sivia.

Cakka semakin mendekatkan kepalanya ke kepala Sivia. dan, yak, kalian mau tau apa yang akan terjadi? Tunggu di part selanjutnya yaa..
See you.

Kamis, 14 Juli 2011

"CINTA KEDUA" PART 1

Seperti yang gue janjiin tadi, gue posting FF. Oke gak? Cekidot yaaa :]

Di suatu rumah yang besar, megah dan mewah, terlihat seorang gadis sedang menangis sejadi-jadinya di kamar tidurnya. Gadis itu memandangi foto orang tuanya yang sudah selama lima bulan belakangan pergi meninggalkannya ke alam surga. Sedih, sakit, sepi, ia rasakan semua. Kini gadis itu hanya bisa menyendiri di kamar setelah beberapa saat yang lalu dimarahi oleh tantenya yang sekarang ikut tinggal atau bisa dibilang menumpang di rumah orang tua gadis tersebut. Ia dituduh mencuri kalung emas milik Bu Jessica. Padahal dia sama sekali tidak melakukan perbuatan berdosa itu. Entah siapa yang menfitnahnya. Yang jelas, sekarang dirinya terancam di usir dari rumahnya sendiri.

“bunda, papa, Via kangen sama kalian. Disini Via sendirian pa, bun.” Gadis itu seakan berbicara langsung pada orang tuanya. Dia tak bisa lagi menahan ketersiksaannya di rumah itu. Tantenya sepertinya sangat membenci gadis ini. Entah apa sebabnya, yang jelas, tantenya sangat amat benci terhadap Sivia.
Yap. Anak gadis itu bernama Sivia. Sivia Azizah lengkapnya. Gadis yang berumur 15 tahun ini merupakan anak dari Pak Ryan dan Bu Mira yang kini telah meninggal karena kecelakaan lima bulan lalu. Sejak saat itu, hak asuh Sivia dipegang oleh Pak Ardian dan Bu Jessica. Mereka adalah om dan tante Sivia. Bukan hanya hak asuh Sivia, tapi perusahaan, rumah, villa, serta harta dipegang penuh oleh om dan tantenya itu. Pak Ardian dan Bu Jessica sendiri mempunyai dua anak. Satu putri berumur 15 tahun bernama Ify, dan satu lagi putra berumur 14 tahun bernama Ozy.
Sivia sendiri sudah memiliki laki-laki yang sangat menyayanginya, Rio. Lebih tepatnya Mario Stevano. Entah ada angin apa, dua hari yang lalu, Ify, saudara sepupunya itu curhat mengenai laki-laki yang akhir-akhir ini ia sukai. Memang saat ini Ify dan Ozy berbeda sekolah dengan Sivia. Sementara Rio sendiri, ia adalah anak pengusaha kaya yang satu sekolah dengan Ify dan Ozy.

“Vi, kayaknya gue naksir sama kakak kelas di sekolah gue deh. Dia manis banget. Namanya Mario. Mario Stevano. Ituloh anaknya Om Aditya. Temen almarhum bokap lo. Lo tau kan? Hmm.. gue pengen deh suatu saat bisa ada hubungan special gitu sama dia Vi.”
Ya begitulah sekilas curhatan Ify yang sangat menusuk hati Sivia. Memang sampai saat ini, Ify maupun keluarganya tak ada yang mengetahui kalau Sivia sedang menjalin hubungan bersama Rio, kecuali tante Jessica. Ia pernah membuntuti Sivia waktu jalan-jalan bersama Rio di mall. Karena Bu Jessica mengetahui kalau Ify sangat menyukai sosok Rio, alhasil Bu Jessica menyuruh Sivia untuk segera mengakhiri hubungannya dengan Rio. Tapi sampai saat ini, Sivia belum mampu untuk mengatakan kata ‘putus’ pada Rio. Ia sangat menyayangkan sikap Rio yang begitu perhatian terhadapnya. Kalau ia memutuskan hubungannya dengan Rio, siapa lagi yang akan menyayanginya?
Tapi, setelah memikirkan matang-matang perintah Tante Jessica, Sivia pun dengan berat hati bersedia untuk mengakhiri hubungannya dengan Rio. Demi Ify. Sepupunya yang setiap hari membela Sivia jika dibentak oleh Tante Jessica hanya karena satu hal sepele.

“apa? Vi? Kamu bercanda kan sayang?” Rio begitu serius menatap wajah Sivia.
“Vi, kamu dengerin aku. aku gak mau putus sama kamu. Aku cinta sama kamu Vi. Aku gak mau kehilangan kamu. Aku rela mati demi kamu Vi. Aku bener-bener sayang sama kamu Vi.” Rio

mendekati Sivia. Melingkarkan kedua tangannya di pinggang Sivia. Memeluk Sivia dengan hangat. Sivia merasa begitu damai dalam dekapan Rio. Tapi, sejurus kemudian, wajah Tante Jessica dan Ify melayang-layang di otak Sivia.

“Kak Rio, Via juga cinta sama kakak. Via sayang banget sama kakak.” Sivia melepaskan pelukan Rio. Dan mundur untuk beberapa langkah menjauhi Rio.
“tapi ini semua harus Via lakukan kak. Ini yang terbaik buat kita. Suatu saat pasti ada wanita yang mencintai kakak lebih dari Via.” Air matanya tak mampu dibendung lagi. Ia menangis tersedu di hadapan laki-laki yang begitu setia bersamanya satu tahun terakhir.

“ya tapi kenapa Vi? Apa sebabnya? Apa aku kurang perhatian sama kamu? Apa aku ngelakuin kesalahan? Apa aku nyakitin hati kamu? Apa aku..” Sivia mendekatkan dirinya ke Rio. Ia menaruh jari telunjuknya di bibir Rio.

“ssstt. Kak Rio gak salah apa-apa kok. Mungkin ini memang jalan terbaik buat kita. Via gak bisa menjelaskan sebabnya sekarang, suatu saat pasti Via bakal kasih tau ke kakak. Please relain Via Kak. Via gak mau ngeliat kakak sedih.” Pinta Sivia.

“kalo Via gak mau liat kakak sedih, Via jangan bilang putus dong sayang. Kak Rio belum siap kalau harus ninggalin kamu dengan kondisi kayak gini. Kak Rio bakal setia nemenin Via seumur hidup.” Pinta Rio penuh keyakinan.
Ditatapnya wajah manis Sivia dengan wajah penuh harap. Rio menjapai tangan Sivia. Memegangnya dengan erat. Hangat akan ketulusan. Tergambar di wajah Rio bahwa kini ia sedang serius dan penuh pengharapan.

“kak Rio sayang sama Via kan?” Sivia menatap mata Rio dalam. Rio mengangguk pasti.
“lebih dari apapun Vi.” Ucap Rio disela anggukannya.
“kalau kakak sayang sama Via, Via punya permintaan. Sederhana. Via pengen kita udahan. Ini udah keputusan Via. Gak bisa diganggu. Via mohon kak. Via mohon.”

Rio menguatkan genggaman tangannya di pergelangan tangan Sivia. Tak mampu untuk memandang pemilik mata bening yang sangat ia cintai satu tahun terakhir. Cinta pertama yang mengajarkan berbagai macam hal dibalik keterpurukkannya. Cinta pertama yang mengajarkan bagaimana cara menyayangi seseorang dengan sepenuh hati. Cinta pertama yang sangat ia cintai dengan setulus jiwanya. Cinta pertama yang begitu sangat menyayangi apa adanya.

Tanpa Rio sadari, air mata mengalir di pipinya. Air mata yang pertama kali ia keluarkan semenjak menjalin hubungan dengan gadis cantik di hadapannya ini.

“please Kak. Relain Via.” Ucapnya sedih. Masih ada sedikit keraguan dalam kata-kata Sivia tadi.
Rio tak mejawab permintaan Sivia.
Tubuhnya malah mendekat memeluk Sivia. Erat. Sangat erat sekali. Seakan-akan ia ingin bersama gadis ini sampai akhir hidupnya. Tak ingin melepasnya. Tapi, apa boleh buat. Ini adalah permintaan gadisnya. Putus.



Rio melonggarkan pelukannya. Dalam tangisnya, Rio berusaha kuat. Ia memandangi wajah manis dihadapannya ini. Tangan kanannya mengelus pipi Sivia dengan lembut. Ia mendekatkan kepalanya ke kepala Sivia. Hanya berjarak lima centi.

“demi permintaan kamu itu, kakak akan berusaha rela untuk melepasmu Vi. Gadisku yang selama ini udah setia nemenin aku waktu susah dan senang. Thanks Vi. Selama ini kamu udah ajarin kakak tentang makna cinta. Thanks karena kamu udah memberikan arti hidup ke kakak selama ini. Kakak cinta mati sama kamu Vi. Kamu cinta pertama kakak. Dan untuk saat ini, kakak gak mau cari cinta kedua.”
Sivia dan Rio saling menatap dalam. Dan sedetik kemudian, bibir manisnya mendarat hangat di kening Sivia.

Yap. Kini, Sivia sama sekali tak mempunyai orang-orang yang tulus menyayanginya. Hanya Bi Amah (pinjem nama ibu kantin di sekolahku nih. Hehe.), pembantu Sivia yang sudah bekerja semenjak dibangunnya rumah megah itu. Perempuan yang sudah tua itu begitu menyayangi anak majikannya. Tapi karena suatu hal, Bi Amah diusir dari rumah itu oleh Bu Jessica.

Mulai hari itu, Sivia berubah menjadi anak yang pemurung dan lebih banyak diam. Seperti sekarang ini, ia sedang memandangi wajah kedua orang tuanya dengan air mata yang membanjiri wajahnya.


***


Cekreeeek.
Pintu kamar dibuka. Terlihat seseorang sedang memasukkan kepalanya dari selah pintu yang sedikit dibuka itu. Mukanya terlihat merah padam.

“Sivia, segera bereskan barang-barangmu. Om tidak menyangka dengan semuanya. Om sangat kecewa dengan perbuatanmu ini Sivia.”
Ya. Ternyata Om Adrian mengatakan hal yang membuat Sivia seperti lenyap dari bumi untuk sekarang ini. Kurang apalagi penderitaan yang ia alami selama ini? Kehilangan orang tua. Kehilangan Rio, dan sekarang, apa iya harus meninggalkan rumah yang begitu banyak memberikan kenangan-kenangan indah bersama orang tuanya?

“apa om? Via.. ” perkataannya terpotong sebelum Om Adrian mengatakan lagi hal yang membuat Sivia seperti layak untuk segera menyusul bunda dan papanya.

“kamu om antar ke panti asuhan. Cepat masukkan barang-barang kamu ke koper. Om tunggu 30 menit di ruang depan.” Sejurus kemudian, pintu kembali tertutup rapat.

Keheningan malam membuat semuanya terjadi begitu nyata saat ini. Tak ada yang diragukan. Ini nyata. Dan semua kenyataan ini sangat menyesakkan baginya. Bagi Sivia.

“ya tuhaan. Seberapa bencinya Kau dengan hambamu ini hingga Kau setega itu memberikan hamba cobaan?” Sivia mengusap lembut foto orang tuanya yang tersenyum memandang wajahnya yang kini sudah basah oleh air mata.

Terdengar dari luar kamar Sivia, suara Ify dan Ozy yang merengek kepada kedua orang tuanya kalau mereka berdua tidak ingin Sivia meninggalkan rumah itu. Terlalu berarti bagi mereka.

Walaupun hanya saudara sepupu. Tapi, mungkin tangisan-tangisan mereka sekarang sangat tidak mempan melawan perasaan benci Tante Jessica terhadap Sivia.

Tak lama kemudian, Sivia keluar dari kamar membawa dua koper besar. Ia sangat pasrah dengan musibah yang menimpanya sampai saat ini. Ify dan Ozy menatapnya dengan penuh rasa iba. Dan tante Jessica pun tertawa senang.



***


Rumah itu terlihat sederhana. Yah. Cukuplah untuk menampung anak-anak yang sudah tidak memliki siapa-siapa lagi di dunia ini. Terlihat berbagai macam permainan khas anak-anak di halaman rumah itu. Ditambah lagi pohon-pohon yang rindang sepertinya membuat permainan akan semakin nyaman.
Sejak kedatangan Sivia lima bulan lalu, panti itu terlihat lebih ramai. Yap. Sepertinya Sivia sudah bisa menerima kenyataan kalau dia memang tidak memiliki keluarga lagi. Tapi, di sini, di panti ini, Sivia merasakan hangatnya keluarga yang sudah berbulan-bulan ini tidak ia rasakan.

“Sivia, apa kamu tidak berniat untuk melanjutkan sekolah kamu, Nak?” tanya Bu Panti penuh perhatian. “kamu kan sudah naik kelas 11. Nah, ini waktu yang pas untuk masuk sekolah SMA itu. Bukankah kau ingin sekali masuk sekolah itu Siv?.” Ia sangat sayang dengan anak gadis yang ada di depannya. Saat ini, mereka berdua sedang berada di kantor Bu Panti.

“tidak Bu. Saya lebih senang kalau berada di sini saja dengan mereka.” Sivia mengarahkan wajahnya ke luar jendela. Terlihat banyak anak-anak yang bermain di halaman panti itu. Dengan penuh canda tawa. Mereka terlihat kompak layaknya keluarga besar.

“hm. apa kamu tidak ingin menyusul Gabriel untuk sekolah?” tanya Bu Ira lagi. Berharap anak gadis di depannya ini berubah pikiran.

Sivia tersenyum manis.
“Bu Ira, Iyel kan sudah diangkat sebagai anak angkat oleh keluarga Bu Sinta. Jadi wajarlah kalau Iyel berhak masuk sekolah lagi.” Sivia bergeming.
“jadi, apa kamu juga ingin menjadi anak angkat oleh suatu keluarga?”
“tidak.” Sivia menjawab pasti.

“kenapa?”
“saya tidak ingin kejadian itu terulang untuk yang kedua kalinya Bu.” Sivia menjawabnya dengan tatapan kosong menghadap ke Bu Ira.
“baiklah. Saya mengerti keadaanmu sekarang Nak. Tapi, kalau saya yang akan membiayai sekolah kamu, gimana? Mau?” tanyanya lagi. Masih sedikit berharap akan kepastian anak gadis itu.
Sivia menggeleng.
“saya sudah cukup merepotkan Ibu. Saya sudah sangat bersyukur dapat tinggal di tempat ini. Kalaupun ada orang yang ingin mengangkat saya sebagai anak angkat, saya tidak akan mau. Dan tidak pernah akan terjadi untuk kedua kalinya.” Sivia menjawab tanpa ada rasa keraguan dalam kalimat yang dia lontarkan. Sebenarnya ia menolak karena tak ingin membuat repot Ibu Ira. Ia sadar dengan garis ekonomi yang ada di Panti ini. Syarat akan kekurangan.

Bu Ira kini merasa cukup dengan jawaban panjang Sivia. Ia sadar. Ia tidak akan bisa memaksa lagi tentang hal ini.
“ya sudahlah Sivia. Saya tidak akan memaksa kamu lagi.” Dia menyerah.

Hening sesaat.
“Kalau begitu, kalian jadi mengamen kan sekarang?” Bu Ira tersenyum pasti.
Sivia juga. Ia akhirnya lega karena wanita paruh baya ini mengerti juga dengan keadaannya.
“iya Bu. Kalau begitu saya permisi dulu Bu.”

***

Siang itu, udara terasa panas. Matahari seakan-akan ingin membakar bumi. Karena sudah banyak
sekali manusianya yang tidak peduli sedikit pun terhadap lingkungan.
Lampu merah kini sedang menetap. Sivia dan anak-anak lainnya segera menghampiri mobil dan motor satu persatu hanya untuk mencari sedikit uang. Pengendara mobil dan motor tidak terganggu dengan adanya pengamen jalanan seperti mereka. Setidaknya mereka masih mempunyai rasa iba terhadap anak-anak. Tidak seperti Pak Ardian dan Bu Jessica.

Selang beberapa waktu, Seseorang laki-laki berumur kira-kira 40 tahun yang berada di mobil tampak begitu serius melihat gadis di ujung jalan yang sedang mengobati luka seorang anak laki-laki yang lebih kecil darinya.

“tahan ya Dev. Kakak tinggal nempelin plesternya kok. Udah jangan nangis lagi ya.” Sivia membuka bungkus plester itu lalu menempelkannya ke kaki Deva, adiknya di panti yang tadi terjatuh akibat tersandung.
“nah selesai deh. Ni permennya buat Deva.” Sivia begitu ceria melihat Deva yang kini tersenyum ke arahnya.
“makasih ya kak. Deva sayang deh sama kakak. Hehe.” Deva membuka permen lollipop yang diberikan Sivia tadi.
“iya. Sekarang kakak antar kamu pulang yah. Biar kak Riko dan yang lainnya menyusul. Ayok!” Sivia membantu Deva berdiri. Deva berjalan tertatih. Sehingga ia harus dibopong Sivia untuk berjalan. Untung saja panti tidak jauh dari lokasi mereka mengamen.

Bapak itu terkagum melihat ketulusan anak gadis yang baru dilihatnya itu. Ia terlihat berfikir. Kemudian tersenyum.

“ikuti anak gadis itu Pak.” Perintahnya kepada supir yang mengendarai mobilnya.


***

Di sebuah rumah, tak terlalu jauh dari Panti dimana Sivia menetap, terlihat seorang bapak-bapak tadi masuk ke dalamnya. Ia melihat satu anak laki-lakinya sedang terdiam murung. Anak itu terlihat lelah. Hal itu tentu saja menarik perhatian bapak-bapak tadi.

“Ray, kenapa lagi dengan kakakmu nak?” tanya bapak itu seraya duduk disamping anak laki-laki yang dihampirinya.
Anak laki-laki itu menghela nafas panjang. Ia terlihat sedih. Tergambar dari mimik mukanya yang kini terlihat lesu.

“Kak Cakka pah. Tadi Bibi nangis gara-gara Kak Cakka kerjain.” Anak itu menunduk agar raut kesedihannya tak tertampak. “tadi kak Cakka masukin cabe ke makanannya Ray. Ray kira, si Bibi yang sengaja masukin, jadi Ray marah-marahin Bibi pah.” Ia menghela nafas lagi. “Bibi dibentak-bentak sama Kak Cakka pah. Padahal yang masukin cabenya kan Kak Cakka. Ray tau dari Bibi. Ray gak tau lagi sama sifat Kak Cakka pah. Kak Cakka sudah keterlaluan.”

Ray, anak laki-laki berumur 14 tahun yang baru-baru saja mengalami hal yang begitu menyesakkan. Ibunya meninggal karena penyakit hepatitis. Ray tinggal bersama ayahnya, dan kakaknya. Cakka. Semenjak kepergian Ibunya, Ray dan Cakka sangat terpukul. Tapi, Ray sadar kalau itu sudah kehendak Tuhan. Tak demikian dengan kakaknya. Cakka, semenjak ditinggal pergi oleh Ibunya, ia merasa tak ada lagi sesosok wanita yang menyayaginya. Sehingga sampai saat ini, ia menjadi cowok yang sangat senang untuk menjahili wanita. Sekedar untuk memacarinya lah, mengusilinya lah. Dan berbagai macam lagi hal yang dilakukannya untuk mempermainkan wanita. Ia selalu berperilaku kasar pada wanita. Ia tak mau lagi untuk mencoba menyayangi seorang wanita, seperti menyayangi Ibunya. Dalam hatinya kini hanya ada satu wanita yang special. Ya Ibunya. Tak ada wanita lain.

Ray melihat kearah ayahnya. Setelah menjelaskan apa yang terjadi dengan Cakka . Ia bingung. Nampak sekali bahwa tidak ada raut kekhawatiran di wajah ayahnya itu. Malah di saat-saat begini, ayahnya tersenyum simpul. Terlihat sekali ayahnya menyimpan harapan kebahagiaan.

“pah? Kok papah malah senyum-senyum? Biasanya papah langsung marah kalau dengar masalah Kak Cakka.” Ray sangat bingung. Bingung sekali. Apa yang telah terjadi dengan ayahnya ini sehingga beliau bisa melebarkan bibirnya untuk tersenyum?

“Ray, mulai besok papah pergi ke Australia. Ada urusan bisnis. Mungkin sekitar tiga bulan papah disana. Kamu sama temen papah awasin kakakmu yah. Mau kan?” wajah ayahnya kini menghadap ke arah Ray yang sangat bingung dengan perkataan ayahnya barusan.

Ray mengerutkan kening. Ia sama sekali tak mengerti dengan yang dimaksud ayahnya. Merasa anaknya masih membutuhkan kejelasan, Pak Darmawan membuka mulut lagi.

“kamu pasti senang deh ketemu sama teman papah itu. Seorang wanita. Papah punya feeling kalau temen papah itu bisa sedikit merubah kelakuan kakak kamu itu Ray.” Ayahnya menyunggingkan senyum terbaiknya. Sepercik harapan, wanita itu dapat merubah sikap Cakka. Tak tahu mengapa, ia mempercayai wanita itu untuk membantunya mengurus anak-anaknya selama ia pergi keluar negeri untuk beberapa saat. Ia berdiri. Meninggalkan anaknya yang masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Sudah beberapa langkah ia pergi meninggalkan anaknya, ia kembali berbalik karena,

“papah mau nikah lagi ya?” Ray melontarkan kalimat yang sama sekali tak terduga oleh Pak Darmawan. Kini, giliran ayahnya yang mengerutkan kening. Tak tau darimana anaknya bisa beranggapan seperti itu.

“hahaha. Liat aja besok deh. Mudah-mudahan kamu cocok ya sama temen papah itu.” Sejurus kemudian, ayahnya sudah tak tampak lagi di hadapan Ray. Mungkin istirahat di kamar karena lelah.

Ayo ayo siapa yang dimaksud ayahnya Ray?
Tunggu kedatangannya di part selanjutnya.
See you.