Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Minggu, 31 Juli 2011

"CINTA KEDUA" PART 4

***


Murid-murid baru masih berkumpul di lapangan sekolah. Setelah melaksanakan upacara bendera tadi, anak-anak merasa lelah. Maklum, sambutan dari Kepala Sekolah panjang amat. Belum lagi tadi benderanya kebalik. Malu-maluin banget sih. Masa nampil di depan adek kelas, benderanya kebalik. Bagaimana Indonesia mau maju?

Saat ini, murid baru SMA Putra Bangsa masih berdiri untuk mendengarkan berbagai macam pengumuman MOS dari Kakak-kakak OSIS mereka.

“…jadi kalian harus mengikuti perintah dari Kakak OSIS. Mengerti kalian semua?” tanya anak laki-laki yang umurnya tak jauh beda dengan Cakka. Kulitnya putih. Posturnya tinggi.
“mengerti Kak.” Teriak anak-anak baru.
“kalau ada yang mau ditanyakan, silakan langsung saja mendatangi Cakka, Gabriel, atau saya di ruang OSIS. Mengerti?” teriak anak itu lagi.
“mengerti Kak.” Murid-murid baru itu berteriak lemas.
“bagus. Ada yang mau ditanyakan sebelum kalian masuk ke kelas masing-masing?”

Seorang murid laki-laki mengangkat tangan. “saya Kak.”
“ya. ada apa?” tanya kakak OSIS tadi dingin.
“Kak Alvin, ketua OSIS nya kok gak ada ya Kak?” tanya anak laki-laki itu.

Alvin melirik ke arah temannya.
“jelasin Yel !” perintahnya. Temannya mengangguk mengiyakan.
“oke, jadi begini, Ketua OSIS sekolah kita masih berada di Manado bersama keluarganya. Mungkin dua minggu lagi baru pulang ke Jakarta. Jadi, selama dia pergi, saya, Alvin, Cakka dan pengurus-pengurus OSIS yang akan mengatur jalannya MOS.” Jelas kakak OSIS yang juga berportur tinggi. Tapi lebih kurus dari kakak OSIS yang pertama.
“ada pertanyaan lain?” anak-anak menggeleng. “baik. Kalau tak ada pertanyaan lagi, silakan masuk ke kelas kalian masing-masing. Kakak-kakak pendamping akan mendampingi kalian. Bubar!” perintah Alvin. Kemudian, murid-murid baru itu berjalan beriringan menuju kelas masing-masing.


***


Di kelas Ray yang baru, ia tak terlalu banyak bicara. Maklum, tak ada seorang pun teman sekelasnya dulu yang sekelas dengannya. Saat ini ia duduk sendirian di bangkunya. Belum ada seorang pun yang mengajaknya duduk sebangku. Ia melirik ke seluruh kelas. Semua murid-murid baru sudah mendapat teman sebangku masing-masing. Tapi, Ray tak terlalu memusingkan hal itu. Ia lebih memilih memperhatikan gadis yang duduk tepat di depannya. Ia memperhatikan gadis itu berbicara dengan teman sebangkunya. Gadis itu tertawa renyah. Ray tersenyum melihat kelakuan gadis itu yang begitu lucu. Sampai-sampai orang yang menghampirinya pun diacuhkan.

”cewek, gue boleh duduk di samping lo gak?” tanya anak laki-laki yang datang menghampiri Ray.
Ray yang masih terkagum-kagum melihat pesona gadis di depannya pun tak menghiraukan anak laki-laki itu.
“eh, kok diem sih? Hellow?” anak laki-laki tadi menggerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan di depan wajah Ray. Alhasil, hal itu membuat Ray menoleh.
“ish. lo ngapain sih? Ganggu aja.” Ray berdecak kesal. Tak tahu apa kalau dia lagi serius menatap anak gadis itu?
“sorry. Gue mau duduk di samping lo. Boleh kan? Soalnya udah gak ada tempat kosong lagi selain di sini.” Anak itu menunjuk ke arah bangku kosong yang ada di samping kanan Ray.

Ray melihat anak itu. Kemudian ia mengangguk setuju. Anak itu tersenyum senang. Ia pun langsung duduk di bangku samping Ray yang masih kosong. Kemudian ia memperkenalkan diri pada Ray.
“hai. Gue Ozy. Salam kenal ya. Lo siapa? Cantik juga.” Ucap anak laki-laki tadi yang ternyata adalah Ozy.

“cantik? Maksud lo apa?” Ray mengernyitkan dahi. Tak mengerti dengan ucapan teman barunya itu.
“ya lo cantik. Rambutnya gak terlalu panjang. Cocok lah sama selera gue.” Ozy tersenyum tanpa dosa. Apa yang bisa membuatnya berfikir kalau Ray adalah laki-laki? Apa karma rambut Ray yang gondrong?

“wwoy! Gue cowok! Nama gue Ray. Raynald. Jadi lo jangan beranggapan kalau gue ini cewek. Sembarangan aja lo!” Ray naik darah. Tak terima dengan ucapan Ozy tadi yang menganggapnya sebagai perempuan.

“aah? Lo cowok? Astaga. Gue kira cewek.” Ozy kaget setengah mampus. Serius. Kali ini gayanya lebay banget.

Anak-anak memandang Ray dan Ozy dengan tatapan aneh. Sejurus kemudian, mereka kembali dengan aktifitas mereka. Tak terlalu sibuk mengurusi masalah Ray dan Ozy.

“sorry man. gue gak tau.” Ozy meminta maaf pada Ray. Tulus.
“iya gue maafin.” Ucap Ray singkat.

Kemudian Ray kembali memperhatikan gadis dihadapannya. Betapa kagetnya dia melihat gadis itu tertawa lembut melihat kelakuan dirinya dengan Ozy.
“kalian berdua lucu. Hahaha.” Anak gadis itu terus tertawa. Ray sangat senang melihatnya. Rasa berbunga-bunga menghampirinya.

“namaku Acha. Kalau kamu?” tanya Acha yang menjulurkan tangannya pada Ozy. Ozy pun menyambut uluran tangan itu dengan manis.
“Ozy. Salam kenal ya Cha.” Ucapnya. Acha mengangguk. Kemudian ia kembali menjulurkan tangannya pada Ray.
“kalo kamu?” Ray tersenyum manis melihat gadis itu. Sesegera mungkin ia menyambut uluran tangan gadis itu.
“Muhammad Raynald Prasetya. Panggil aja Ray.” Ray terlihat senang. Jujur ini adalah cinta pertamanya. Love at first sight.


***




Cakka sedang berada di ruang OSIS bersama kedua temannya. Mereka sedang sibuk mengurusi data murid-murid baru di sekolahnya.

“Muhammad Raynald Prasetya, kelas 10A, weis, ni adek lo kan Cak?” tanya Gabriel pada Cakka. Cakka hanya mengangguk. Ia sibuk dengan handfon-nya.
“10A? berarti sekelas dong sama adek gue.” Alvin menanggapi kata-kata Gabriel.
Yap. Cakka, Alvin dan Gabriel sudah bersahabat sejak SMP. Sebenarnya ada satu lagi sahabat mereka. Tapi masih berlibur di Manado. Jadi belum bisa ngumpul. Mereka ber-empat menjadi idola di SMA Putra Bangsa. Tentunya dengan kelebihan masing-masing. Mereka ber-empat bisa dibilang ‘kebanggaan sekolah’. Ya walaupun Cakka masih setia dengan kata-kata ‘playboy’ yang melekat didirinya. Dia tetap bisa memberikan prestasi terbaiknya dalam bidang basket. Sementara Alvin dan Ray berkecimpung di dunia bola.

“jadi Acha sekolah di sini juga?” Cakka akhirnya memasukkan handfonnya ke saku bajunya. Ia merasa cukup untuk membalas sms dari pacarnya.
“iya. Dia pengen masuk sekolah ini dari dulu.” Ujar Alvin sambil memakan keripik kentang yang dibelinya tadi di warung sekolah.
“ooo” Cakka dan Gabriel membulatkan bibirnya.
“hm. Btw, Rio bawa oleh-oleh apa nih buat kita?” tanya Alvin kepada kedua sahabatnya yang sedang asyik membaca nama-nama daftar siswa baru.
“gak tau Vin. Tuh anak susah banget dihubungin. Bikin kesel aja.” Ujar Gabriel disetujui anggukan oleh Cakka.
“oh. Awas aja kalo gak bawa oleh-oleh buat kita. Gak selamet dia. Hahaha.” Mereka bertiga tertawa puas di ruang OSIS. Sampai seseorang wanita datang dengan membawa dua buah es krim di tangannya.

“hai sayang. Sorry lama. Nih aku ada es krim buat kamu.” Wanita itu memberikan sebuah es krim dengan senyum manisnya.

“thanks ya Shil.” Cakka menerima sebuah es krim yang diberikan Shilla, pacarnya. Shilla adalah siswa kelas 11. Ia baru dua minggu pacaran dengan Cakka. Gayanya centil. Cantik memang. Tapi, banyak yang tak suka padanya karena gayanya itu yang terlalu berlebihan di depan anak-anak cowok.

“kayaknya kita ganggu. Cabut yuk Vin.” Kata Gabriel. “gue duluan Cak. Selamat bersenang-senang.” Alvin mengikuti Gabriel pergi meninggalkan Cakka dan Shilla yang asyik pacaran. Sementara Cakka sendiri, cuek bebek melihat salah satu sahabatnya itu terbakar cemburuuu.


***

Tak terlalu banyak siswa saat ini di kantin. Mereka lebih asyik menonton para murid-murid baru yang lagi MOS di kelas. Menurut mereka itu adalah hal yang seru. Ya sekedar hiburan ajalah. Lumayan tontonan gratis.



“lo masih ada rasa sama Shilla, Yel? Woy. Ingat ! lo udah punya cewek man !” Alvin memperingati sahabatnya. Ia tak mau kalau pada akhirnya persahabatan mereka akan hancur hanya karena masalah cewek.

“gak. Gue cuman butuh proses aja buat lupain Shilla. Jujur gue masih sayang ‘sedikit’ sama dia. Dan gue belum rela kalau Shilla ntar disakitin sama Cakka. Walaupun pada akhirnya pasti Cakka bakal ninggalin Shilla.” Gabriel mengadah.

“yeee. ‘Sayang’ kok sedikit. Adaaa aja lo Yel !” Alvin nyengir gak jelas. Meskipun ia sangat tahu bagaimana perasaan Gabriel pada saat itu. Sedih.

“oiya, ngomong-ngomong, kapan ya kira-kira si Cakka berubah dari sifatnya itu?” Alvin bergeming. Ia juga sebenarnya tak nyaman melihat kelakuan salah satu sahabatnya itu.

“huuuft. Suatu saat pasti dia berubah kok. Cuman waktu aja yang bisa ngejawab semuanya.” Gabriel berkata bijak.
Mereka berdua kemudian kembali mengecek kelas satu per satu.
Setelah kira-kira jam 12, MOS selesai dilanjutkan besok. Murid-murid baru itu pun terasa bebas dari orientasi itu. Mereka kembali ke rumah masing-masing.

***

“SIVIAAAAA. MAKANAN GUE MANAAA ????” teriak Cakka dari dapur. Seisi rumah dapat mendengar teriakan itu. Kecuali Sivia. Bi Inem yang mendengar teriakan Cakka langsung masuk ke kamarnya. Ia takut kalau-kalau anak majikannya itu akan membentak-bentaknya tanpa sebab.
Sementara Ray? Dia lagi sibuk mikirin Acha di kamarnya. Tak peduli dengan kelakuan kakaknya saat itu.

“mana sih ni pembokat gue? Udah jam segini belum nyiapin makanan!” Cakka mengomel sambil menaiki anak tangga rumahnya. Tak lama, sampailah dia di sebuah pintu.

Kemudian, Dibukanya pintu itu dan, Waaow.

Betapa terkejutnya Cakka melihat kamar tidurnya saat ini. Matanya jelalatan menyusuri setiap barang-barang yang ada di kamarnya. Ia melihat lantai kamarnya kini sangat bersih. Baju-baju yang tadinya berserakan kini sudah ada di keranjang. Lemari pakaian yang tadinya tak bisa tertutup rapat karena penuh dengan jejalan baju, kini sudah kembali seperti semula. Pernak-pernik basket dan bola kini sudah tersusun dengan sangat rapi di meja khususnya. Kaset CD yang tadinya ada dimana-mana, kini sudah berada di tempatnya. Seprei, bantal, dan gulingnya pun tersusun rapi di atas tempat tidurnya.

Cakka yang daritadi masih di luar akhirnya memasuki ‘kamar barunya’ itu. Masih sedikit shock melihat situasi kamarnya yang begitu berbeda dengan beberapa jam terakhir sebelum dia pergi ke sekolah.

Cakka terkagum-kagum melihat kamarnya, tiba-tiba seseorang masuk ke kamarnya. Tapi tak melihat jalan. Ia asyik dengan handfonnya.

“kak, lo liat Kak Sivia gak? Daritadi gue cariin kok gak nongol-nongol ya?” Ray menyapa Cakka sambil terus asyik memainkan game di handfonnya. Tanpa memperhatikan Cakka yang lagi bengong.

Merasa ada yang datang, Cakka berbalik.
“eh, Ray?” Cakka kaget. Lagi asyik perhatiin kamar baru, eee sang pengganggu datang.
“iya ini gue Ray kak. Lo kira siapa? Eh, gue tadi nanya elo kak.” Ray akhirnya berhenti memainkan gamenya. Kemudian memasukkan handfonnya ke saku celananya. Lalu ia memandang ke depan. “lo liat Kak Siv…” perkataan Ray terhenti seketika. Ia melakukan hal yang sama dengan Cakka tadi. Shock melihat kamar itu.

“kak? Gue salah masuk kamar ya?” tanya Ray.
“gak.” Jawab Cakka singkat.
“yang bener?”
“iya.”
“lo becanda kak?”
“gak.”
“serius?”
“iya.”

Hening sejenak, tiba-tiba,
“YA TUHAAAN. INI MIMPII KAAAAN ? APA GUE GAK SALAH LI.. aphtffzzjrhbpph ” Ray refleks berteriak. Namun, karena tak suka keributan, Cakka mendekap kuat mulut Ray. Hingga Ray tak bisa berkata apa-apa lagi. Cakka membawa Ray keluar kamarnya.

“lo bisa santai gak sih?” Cakka geram dengan adiknya saat ini.
“sorry kak. Gue hilaf. Habisnya gue kaget liat kamar lo yang berubah 180 derajat dari biasanya.” Ray berkata jujur. Cakka tersinggung. Tapi, sebenarnya apa yang dikatakan Ray tadi ada benarnya juga.
“akhirnya lo sadar juga kak kalau kamar lo tuh berantakan.”
“bukan gue yang beresin.”
“hah? Jadi?”
“mana gue tau.” Cakka mengangkat kedua bahunya. “udah ah gue capek. Mau istirahat. Mending lo suruh Bi Inem masak sana gih. Gue laper. (perasaan Cakka laper mulu ya.) Cepetan!” Perintah Cakka lalu masuk kembali ke kamarnya, dan menutup pintunya dengan pelan.

‘loh? Biasanya pintunya di banting. Kok sekarang enggak ya? ah bodo amat deh. Mending gue nyari Kak Sivia.’ Ray membatin lalu segera pergi ke dapur menemui Bi Inem untuk meminta membuatkan makanan dan sekalian menanyakan Sivia.

***

Tidak ada komentar: