Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Selasa, 26 Juli 2011

"CINTA KEDUA" PART 3

***

Mungkin ada dua menit mereka berdua saling menatap sinis dengan jarak yang begitu dekat.
Tak lama, Cakka menghapus raut wajah sinisnya. Entah mengapa, Ia kemudian tersenyum.

Merasa ada yang aneh, Sivia membuka suara.

“kenapa lo?” Sivia merasa kikuk. Tak mengerti dengan apa yang ada di otak manusia gila dihadapannya saat ini. Sejurus kemudian, tangan kanan Cakka mengelus pipi lembut Sivia. Cakka tersenyum lebar melihat kepanikan Sivia.

Cakka semakin mendekatkan kepalanya ke kepala Sivia. semakin mendekat, terus mendekat dan lalu, CUP!
Bibir marah Cakka mendarat tepat di pipi kanan Sivia. Yap. Benar-benar kejadian tak terduga sebelumnya.
Sivia mengepalkan tangannya. Merasa ingin segera dapat menonjok muka orang yang saat ini masih mencium pipinya dengan sama sekali tak ada rasa berdosa. Tapi apa daya, tangan kanannya di genggam kuat oleh Cakka. Sivia pun tak bisa bergeming. Ia berharap ada seseorang malaikat yang bisa membantunya saat ini untuk melepaskannya dari Cakka. Dan, yak. Doanya terkabul.

“ngg. maaf mengganggu mas Cakka, eee, itu, ada telfon dari tuan Darmawan di luar.” Bi Inem memanggil Cakka untuk menerima telfon dari ayahnya di luar. Sebenarnya pembantunya sudah berdiri daritadi di pintu kamar Sivia. tapi, dia enggan untuk mengganggu aktifitas (?) Cakka. “kalau gitu, saya permisi mas,” ujarnya lalu meninggalkan kamar Sivia.

‘huh. Thanks god’ Sivia membatin.
Cakka melepaskan genggaman tangannya perlahan lalu menjauhkan bibirnya dari pipi Sivia. Ia menatap sadis mata Sivia.
“lo udah salah main api sama gue. Dan karena kesalahan lo itu, lo harus terima akibatnya. Lo udah jadi target gue. Jangan pernah nganggap gue gampang. Ingat itu!”


***


Singkat. Namun jelas. Terdengar sangat jelas perkataan-perkataan Cakka di telinga Sivia tadi siang. Ketika pipinya dikecup sadis oleh Cakka. Ketika tangannya di genggam paksa oleh Cakka. Sempat hadir di benak Sivia kalau anak itu adalah seorang psikopat. Bagaimana tidak? Baru saja dua jam kenal dengannya, ee udah di jahilin plus dijadiin mangsa.

“dasar cowok gilaaa! Kak Rio aja jarang-jarang nyium gue. Nah ini? Baru ketemu aja udah main nyosor! Dasar cowok gak tau sopan santun!” Sivia menggerutu di balkon kamarnya. Bibirnya komat-kamit mengumpat Cakka. “baru kali ini gue nemu cowok kurang ajar kayak Kak Cakka. Aaaah.” Sivia terus menerus mengumpat Cakka. Tak terima dengan perlakuan Cakka padanya. Sampai akhirnya,

“lo ngomongin gue?” kata salah satu suara. Sivia pun berbalik badan sekaligus celingak-celinguk untuk mencari asal suara itu. Namun belum juga ditemukan oleh sepasang matanya.

“ish. Dasar cewek! Bisanya cuman ngomong dibelakang aja.” Cakka berdiri di pintu kamar Sivia. Ia mendengar semua umpatan Sivia yang dilontarkan untukknya. Ia berjalan mendekati Sivia sambil membawa beberapa buku.

“lo memang gak sopan ya! masuk kamar orang itu ketuk pintu dulu! Gue kan cewek. Ntar kalo gue dari kamar mandi gak pake baju trus lo masuk seenaknya kan bahaya!!” umpat Sivia langsung pada orang yang sekarang berdiri di sampingnya.

“penting?”
Sivia membulatkan matanya. “dasar cowok gilaaaaaaaa! Mau ngapain sih lo?” teriak Sivia di depan Cakka.
“wooy! Santai dong. Stay cool!” ucapnya enteng. “nih! Baca!” perintahnya. Cakka melemparkan selembar kertas bertuliskan kata-kata yang baru saja ditulisnya tepat ke wajah Sivia.

Sivia mengambil kertas itu sebelum jatuh ke lantai. Kemudian, Ia membacanya dengan seksama kata demi kata yang ditorehkan di kertas itu. Matanya melotot. Sama sekali tak mengerti dengan jalan fikiran Cakka.

“maksud lo ini apa? Gue bukan pembantu disini!!!” umpat Sivia sambil berkacak pinggang.
“itu akibatnya kalau lo berani sama gue!” Cakka menjawabnya dengan senyum licik. “udah deh. Daripada lo marah-marah gak jelas gitu, mendingan lo buatin nasi goreng buat gue! Gue laper!”

Sivia ingin marah lagi, tapi ditahan oleh Cakka.

“mau apa? Gak terima? Marah? Berontak? Lo tau kan akibatnya kalau lo berani ngelawan gue?” Cakka tertawa penuh kemenangan. “sekali lo membantah, gue bakal lapor ke pimpinan panti. Lo sayang kan sama Ibu Panti itu? Ibu Ira? Nah, pasti lo gak mau kan kalau dia kecewa sama lo?”

“lo tau dari mana sih?” Sivia meredam amarahnya ketika mendengar nama Bu Ira disebut. Ia membenarkan apa kata Cakka. Dia sama sekali tak ingin mengecewakan ibu Ira. Ia sudah berjanji dengan bu Ira kalau akan bersungguh-sungguh bekerja di rumah ini. Dan akan menggunakan gajihnya untuk sedikit melengkapi kekurangan di panti.

“dari bokap gue. Tadi siang gue tanya semuanya tentang elo. Jadi, gue tau kelemahan lo.” Cakka berlalu dari kamar Sivia dengan deru tawanya. Ia meninggalkan Sivia yang sedang memikirkan Ibu Ira dan adik-adiknya di panti. Setelah membaca kertas yang diberikan Cakka tadi, mau tidak mau, Sivia harus melaksanakan semua aturan-aturan Cakka. Mulai dari beresin kamar Cakka , buatin makanan untuk Cakka, beliin barang-barang keperluan Cakka, bersihin kamar mandi Cakka, ngerjain peer-nya Cakka, nyuciin bajunya Cakka, pokoknya Sivia harus stand by mulai dari jam tujuh pagi sampai jam sembilan malam untuk melaksanakan semua perintah Cakka.

“WOOOY!! JANGAN BENGONG TERUS DOONG!! BIKININ GUE NASI GORENG!! CEPETAAAN!!” Cakka berteriak dari lantai bawah. Itu sekaligus membuat lamunan Sivia buyar. Ia segera bergegas pergi ke dapur untuk menyiapkan nasi goreng untuk Cakka.


***

Pagi datang. Sinar matahari masuk ke kamar Sivia melalui jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Sinar itu menyilaukan matanya. Membuat ia bangun dari tidur nyenyaknya. Sivia melihat ke arah jam dinding di kamarnya. Masih jam enam. Ia pun segera pergi ke kamar mandi.

Setelah memakai pakaian rumah, Sivia beranjak ke dapur untuk membantu Bibi membuat sarapan pagi.
Menu sarapan hari itu adalah roti tawar yang diolesi selai cokelat. Katanya Bi Inem sih kesukaannya Cakka sama Ray.

“pagi Kak Sivia. pagi Bi Inem.” Ray turun dari tangga lalu duduk di meja makan untuk menunggu sarapan yang akan dihidangkan.

“eh, Ray udah siap? Weeeis. Rapi banget. Cakep lagi. Hahaha.” goda Sivia. Alis di atas matanya naik turun melihat dandanan Ray pagi itu. Yap. Hari ini adalah hari ajaran baru. Hari pertama masuk sekolah setelah anak-anak menghabiskan liburan panjang. Sementara Sivia, ia baru masuk sekolah minggu depan karena ada sedikit urusan yang belum terselesaikan oleh Pak Darmawan. Beliau belum sempat membayar administrasi lain-lain yang di suguhkan oleh sekolah itu. Karena sedang berada di luar negeri. Beliau akan mentransfernya dua hari kedepan. Alhasil, Sivia akan bersekolah mulai minggu depan sebagai anak baru kelas 11 di sekolah yang sama dengan Ray dan Cakka. Ray kelas 10 dan Cakka kelas 12.

“kakak muji atau menghina sih?” gerutu Ray. Tak terima dengan perkataan Sivia barusan. “hari ini kan Ray ada MOS Kak. Jadi aja dandanannya kayak gini. Pake topi kerucut lah, tas karung lah, kaos kaki warna warni lah, pokoknya bukan Ray benget ini. Coba deh nanti kakak liat penampilan baru Ray hari Senin depan. Pasti gentengnya ngalahin Justin Timberlake.” Ray senyum-senyum. Bangga pada dirinya.

“hahahha. Kamu itu. Ya udah. Ini dimakan roti nya. Lumayan buat ganjal perut.” Sivia menyodorkan beberapa potong roti ke arah Ray.

“non, saya antar roti ini ke kamar mas Cakka dulu ya. permisi.” Bi Inem ingin beranjak dari tempatnya. Yah seperti biasanya. Cakka gak mau makan barengan sama Ray ataupun ayahnya. Ia hanya ingin makan di kamar.

“eh eh eh, gak usah Bi. Gak usah. Biar Kak Cakka turun ambil sendiri aja.” Sivia menyanggahnya.
“ng, tapi non, nanti saya dimarahi mas Cakka. Saya takut non. Mas Cakka kalau marah ngeri non. Saya gak berani non.” Bi Inem menunduk ketakutan.
“heu. Ya udah. Bibi disini aja. Biar Sivia yang antar ke kamar Kak Cakka.” Sivia mengambil piring yang berisikan roti di atasnya. Dengan langkah malas, ia mengantarkan sarapan itu ke kamar Cakka.

“manja banget sih. Masa setiap makan harus diantar ke kamar dulu? Kaya anak kecil aja.” Gerutu Sivia.
Ia menaiki anak tangga satu per satu, setelah itu ia pun sampai di depan pintu kamar Cakka.

Tok. Tok. Tok. Sivia mengetuk pintu kamar Cakka dengan malas.
“masuk!” ucap suara di dalamnya.
Cekreeek. Pintu di buka oleh Sivia.
Lalu, Wooow. Mulut Sivia menganga lebar. Betapa kagetnya Sivia melihat kamar Cakka yang super duper berantakan dan kotor. Seperti tak pernah diatur. Ia belum pernah melihat ruangan yang seperti ini sebelumnya. Takjub.

“ngapain lo bengong disitu? Siniin sarapan gue.” Ucap Cakka dengan nada sinis. Cakka duduk di tempat tidurnya sambil membereskan buku-buku yang akan dibawanya untuk persiapan nge-MOS anak-anak baru. Maklum, Cakka kan salah satu pengurus OSIS di sekolahnya.

“subhanallah.” Sivia masih berdiri di tempatnya. Tak berkutik. Ia diam mematung melihat kamar Cakka yang benar-benar jauh dari kategori bersih. Mungkin kalau ada penghargaan kamar terkotor dan paling berantakan, Cakka lah pemenangnya.

“kenapa lo? Aneh ngeliat kamar gue?”
“sumpah lo bener-bener gila.” Akhirnya Sivia sadar juga dari keterkejutannya melihat situsasi kamar Cakka yang amat sangat memprihatinkan. “lo kuat tidur dengan kondisi kamar yang kayak gini?” Sivia heran. Semua ruangan yang dilihatnya di rumah ini begitu bersih dan rapih. Tapi, kenapa kamar Cakka kayak gini? Apa Bi Inem gak pernah bersihin kamar Cakka? Segitu takutnya kah Bi Inem sama Cakka sampai-sampai masuk ke kamar Cakka aja gak berani?

“udah deh. Gak usah dibahas. Sini roti gue.” Cakka merampas piring yang ada di tangan Sivia. lalu memakannya.

“gue ke luar dulu.” Pamit Sivia. Tapi, suara Cakka menahannya.
“eh, siapa yang nyuruh lo pergi?” Cakka kembali dengan nada sinisnya. “lo diem dulu disitu.” Sivia pun menghentikan langkahnya. Kembali mematung di tempat semula ia berdiri.

Setelah selesai memakan rotinya, Cakka pun beranjak dari duduknya. Ia berdiri mengambil dasi yang di gantung di pegangan lemarinya. Kemudian ia berjalan menghampiri Sivia.
“nih.” Cakka memberikan dasinya ke Sivia. Sivia bingung. Mau apa Cakka memberinya dasi? Nanti kan dia bakalan dapat juga dari sekolah barunya. Batin Sivia.

“Pasangin. Tangan gue belepotan selai coklat nih.” Perintah Cakka.
“apa?” Sivia menganga. Kembali terkejut.
“lo budek ya? PASANGIN GUE DASI DODOL!” Cakka berteriak di hadapan Sivia.
“ya biasa aja dong. Gue kan tadi lagi bengong.” Sivia mencari alasan sambil merampas dasi dari tangan Cakka.
“bengong mulu kerjaan lo.” Cakka masih mengomel.

Sivia melingkarkan dasi yang belum jadi tadi ke leher Cakka. Dengan telaten ia membentuk dasi tadi. Sivia sedikit menjinjit karena Cakka agak tinggi dari ukuran dirinya.

Cakka diam. Ia memperhatikan wanita dihadapannya yang sangat dekat dengan wajahnya. Ia sangat serius dengan pandangannya kali ini. Tapi, nada dering hapenya membuatnya terganggu. Ia mendecakkan lidah. Kemudian merogoh kantong celananya. Mengambil handfone. Ia mendapati seseorang menelfonnya.

“halo? Kenapa sayang?” Cakka mengangkat sambungan telefon. Sementara Sivia tetap mengolah dasi Cakka dengan jarak dekat.
“iya. Aku jemput kamu sepuluh menit lagi deh. Ini aku sudah mau pergi. Tunggu ya. daah.” Cakka mematikan sambungan telfonnya. Lalu memasukkan hapenya kembali ke dalam kantong celananya. Kemudian ia kembali memperhatikan Sivia yang daritadi belum selesai juga memasangkannya dasi.

“lama banget sih? Pacar aku udah nunggu tau!” Cakka mengomel lagi.
“iya iya. Nih udah selesai.” Sivia merapikan hasil olahannya. Kemudian menjauh dari Cakka.
“ya udah. Gue pergi. Jangan lupa ntar pas gue pulang, makanan harus siap di atas meja. Ngerti kan lo?” sebelum mendapat persetujuan dari Sivia, Cakka sudah pergi meninggalkan Sivia di kamarnya. Tentu saja untuk segera menjemput pacarnya dan pergi sekolah.

Sivia mengangguk. Ia sudah menduga hari ini akan diawalinya dengan tugas-tugas pemberian Cakka. Untung saja dulu ia sempat belajar memasak dengan Bi Amah, pembantunya dulu. Kalau tidak, wew. Pasti ribet.

“huuft. Bakalan capek nih.” Sivia mengadah ke seluruh ruangan kamar Cakka. Kemudian berjalan memunguti baju-baju dan barang-barang di lantai.

Tidak ada komentar: