Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Kamis, 14 Juli 2011

"CINTA KEDUA" PART 1

Seperti yang gue janjiin tadi, gue posting FF. Oke gak? Cekidot yaaa :]

Di suatu rumah yang besar, megah dan mewah, terlihat seorang gadis sedang menangis sejadi-jadinya di kamar tidurnya. Gadis itu memandangi foto orang tuanya yang sudah selama lima bulan belakangan pergi meninggalkannya ke alam surga. Sedih, sakit, sepi, ia rasakan semua. Kini gadis itu hanya bisa menyendiri di kamar setelah beberapa saat yang lalu dimarahi oleh tantenya yang sekarang ikut tinggal atau bisa dibilang menumpang di rumah orang tua gadis tersebut. Ia dituduh mencuri kalung emas milik Bu Jessica. Padahal dia sama sekali tidak melakukan perbuatan berdosa itu. Entah siapa yang menfitnahnya. Yang jelas, sekarang dirinya terancam di usir dari rumahnya sendiri.

“bunda, papa, Via kangen sama kalian. Disini Via sendirian pa, bun.” Gadis itu seakan berbicara langsung pada orang tuanya. Dia tak bisa lagi menahan ketersiksaannya di rumah itu. Tantenya sepertinya sangat membenci gadis ini. Entah apa sebabnya, yang jelas, tantenya sangat amat benci terhadap Sivia.
Yap. Anak gadis itu bernama Sivia. Sivia Azizah lengkapnya. Gadis yang berumur 15 tahun ini merupakan anak dari Pak Ryan dan Bu Mira yang kini telah meninggal karena kecelakaan lima bulan lalu. Sejak saat itu, hak asuh Sivia dipegang oleh Pak Ardian dan Bu Jessica. Mereka adalah om dan tante Sivia. Bukan hanya hak asuh Sivia, tapi perusahaan, rumah, villa, serta harta dipegang penuh oleh om dan tantenya itu. Pak Ardian dan Bu Jessica sendiri mempunyai dua anak. Satu putri berumur 15 tahun bernama Ify, dan satu lagi putra berumur 14 tahun bernama Ozy.
Sivia sendiri sudah memiliki laki-laki yang sangat menyayanginya, Rio. Lebih tepatnya Mario Stevano. Entah ada angin apa, dua hari yang lalu, Ify, saudara sepupunya itu curhat mengenai laki-laki yang akhir-akhir ini ia sukai. Memang saat ini Ify dan Ozy berbeda sekolah dengan Sivia. Sementara Rio sendiri, ia adalah anak pengusaha kaya yang satu sekolah dengan Ify dan Ozy.

“Vi, kayaknya gue naksir sama kakak kelas di sekolah gue deh. Dia manis banget. Namanya Mario. Mario Stevano. Ituloh anaknya Om Aditya. Temen almarhum bokap lo. Lo tau kan? Hmm.. gue pengen deh suatu saat bisa ada hubungan special gitu sama dia Vi.”
Ya begitulah sekilas curhatan Ify yang sangat menusuk hati Sivia. Memang sampai saat ini, Ify maupun keluarganya tak ada yang mengetahui kalau Sivia sedang menjalin hubungan bersama Rio, kecuali tante Jessica. Ia pernah membuntuti Sivia waktu jalan-jalan bersama Rio di mall. Karena Bu Jessica mengetahui kalau Ify sangat menyukai sosok Rio, alhasil Bu Jessica menyuruh Sivia untuk segera mengakhiri hubungannya dengan Rio. Tapi sampai saat ini, Sivia belum mampu untuk mengatakan kata ‘putus’ pada Rio. Ia sangat menyayangkan sikap Rio yang begitu perhatian terhadapnya. Kalau ia memutuskan hubungannya dengan Rio, siapa lagi yang akan menyayanginya?
Tapi, setelah memikirkan matang-matang perintah Tante Jessica, Sivia pun dengan berat hati bersedia untuk mengakhiri hubungannya dengan Rio. Demi Ify. Sepupunya yang setiap hari membela Sivia jika dibentak oleh Tante Jessica hanya karena satu hal sepele.

“apa? Vi? Kamu bercanda kan sayang?” Rio begitu serius menatap wajah Sivia.
“Vi, kamu dengerin aku. aku gak mau putus sama kamu. Aku cinta sama kamu Vi. Aku gak mau kehilangan kamu. Aku rela mati demi kamu Vi. Aku bener-bener sayang sama kamu Vi.” Rio

mendekati Sivia. Melingkarkan kedua tangannya di pinggang Sivia. Memeluk Sivia dengan hangat. Sivia merasa begitu damai dalam dekapan Rio. Tapi, sejurus kemudian, wajah Tante Jessica dan Ify melayang-layang di otak Sivia.

“Kak Rio, Via juga cinta sama kakak. Via sayang banget sama kakak.” Sivia melepaskan pelukan Rio. Dan mundur untuk beberapa langkah menjauhi Rio.
“tapi ini semua harus Via lakukan kak. Ini yang terbaik buat kita. Suatu saat pasti ada wanita yang mencintai kakak lebih dari Via.” Air matanya tak mampu dibendung lagi. Ia menangis tersedu di hadapan laki-laki yang begitu setia bersamanya satu tahun terakhir.

“ya tapi kenapa Vi? Apa sebabnya? Apa aku kurang perhatian sama kamu? Apa aku ngelakuin kesalahan? Apa aku nyakitin hati kamu? Apa aku..” Sivia mendekatkan dirinya ke Rio. Ia menaruh jari telunjuknya di bibir Rio.

“ssstt. Kak Rio gak salah apa-apa kok. Mungkin ini memang jalan terbaik buat kita. Via gak bisa menjelaskan sebabnya sekarang, suatu saat pasti Via bakal kasih tau ke kakak. Please relain Via Kak. Via gak mau ngeliat kakak sedih.” Pinta Sivia.

“kalo Via gak mau liat kakak sedih, Via jangan bilang putus dong sayang. Kak Rio belum siap kalau harus ninggalin kamu dengan kondisi kayak gini. Kak Rio bakal setia nemenin Via seumur hidup.” Pinta Rio penuh keyakinan.
Ditatapnya wajah manis Sivia dengan wajah penuh harap. Rio menjapai tangan Sivia. Memegangnya dengan erat. Hangat akan ketulusan. Tergambar di wajah Rio bahwa kini ia sedang serius dan penuh pengharapan.

“kak Rio sayang sama Via kan?” Sivia menatap mata Rio dalam. Rio mengangguk pasti.
“lebih dari apapun Vi.” Ucap Rio disela anggukannya.
“kalau kakak sayang sama Via, Via punya permintaan. Sederhana. Via pengen kita udahan. Ini udah keputusan Via. Gak bisa diganggu. Via mohon kak. Via mohon.”

Rio menguatkan genggaman tangannya di pergelangan tangan Sivia. Tak mampu untuk memandang pemilik mata bening yang sangat ia cintai satu tahun terakhir. Cinta pertama yang mengajarkan berbagai macam hal dibalik keterpurukkannya. Cinta pertama yang mengajarkan bagaimana cara menyayangi seseorang dengan sepenuh hati. Cinta pertama yang sangat ia cintai dengan setulus jiwanya. Cinta pertama yang begitu sangat menyayangi apa adanya.

Tanpa Rio sadari, air mata mengalir di pipinya. Air mata yang pertama kali ia keluarkan semenjak menjalin hubungan dengan gadis cantik di hadapannya ini.

“please Kak. Relain Via.” Ucapnya sedih. Masih ada sedikit keraguan dalam kata-kata Sivia tadi.
Rio tak mejawab permintaan Sivia.
Tubuhnya malah mendekat memeluk Sivia. Erat. Sangat erat sekali. Seakan-akan ia ingin bersama gadis ini sampai akhir hidupnya. Tak ingin melepasnya. Tapi, apa boleh buat. Ini adalah permintaan gadisnya. Putus.



Rio melonggarkan pelukannya. Dalam tangisnya, Rio berusaha kuat. Ia memandangi wajah manis dihadapannya ini. Tangan kanannya mengelus pipi Sivia dengan lembut. Ia mendekatkan kepalanya ke kepala Sivia. Hanya berjarak lima centi.

“demi permintaan kamu itu, kakak akan berusaha rela untuk melepasmu Vi. Gadisku yang selama ini udah setia nemenin aku waktu susah dan senang. Thanks Vi. Selama ini kamu udah ajarin kakak tentang makna cinta. Thanks karena kamu udah memberikan arti hidup ke kakak selama ini. Kakak cinta mati sama kamu Vi. Kamu cinta pertama kakak. Dan untuk saat ini, kakak gak mau cari cinta kedua.”
Sivia dan Rio saling menatap dalam. Dan sedetik kemudian, bibir manisnya mendarat hangat di kening Sivia.

Yap. Kini, Sivia sama sekali tak mempunyai orang-orang yang tulus menyayanginya. Hanya Bi Amah (pinjem nama ibu kantin di sekolahku nih. Hehe.), pembantu Sivia yang sudah bekerja semenjak dibangunnya rumah megah itu. Perempuan yang sudah tua itu begitu menyayangi anak majikannya. Tapi karena suatu hal, Bi Amah diusir dari rumah itu oleh Bu Jessica.

Mulai hari itu, Sivia berubah menjadi anak yang pemurung dan lebih banyak diam. Seperti sekarang ini, ia sedang memandangi wajah kedua orang tuanya dengan air mata yang membanjiri wajahnya.


***


Cekreeeek.
Pintu kamar dibuka. Terlihat seseorang sedang memasukkan kepalanya dari selah pintu yang sedikit dibuka itu. Mukanya terlihat merah padam.

“Sivia, segera bereskan barang-barangmu. Om tidak menyangka dengan semuanya. Om sangat kecewa dengan perbuatanmu ini Sivia.”
Ya. Ternyata Om Adrian mengatakan hal yang membuat Sivia seperti lenyap dari bumi untuk sekarang ini. Kurang apalagi penderitaan yang ia alami selama ini? Kehilangan orang tua. Kehilangan Rio, dan sekarang, apa iya harus meninggalkan rumah yang begitu banyak memberikan kenangan-kenangan indah bersama orang tuanya?

“apa om? Via.. ” perkataannya terpotong sebelum Om Adrian mengatakan lagi hal yang membuat Sivia seperti layak untuk segera menyusul bunda dan papanya.

“kamu om antar ke panti asuhan. Cepat masukkan barang-barang kamu ke koper. Om tunggu 30 menit di ruang depan.” Sejurus kemudian, pintu kembali tertutup rapat.

Keheningan malam membuat semuanya terjadi begitu nyata saat ini. Tak ada yang diragukan. Ini nyata. Dan semua kenyataan ini sangat menyesakkan baginya. Bagi Sivia.

“ya tuhaan. Seberapa bencinya Kau dengan hambamu ini hingga Kau setega itu memberikan hamba cobaan?” Sivia mengusap lembut foto orang tuanya yang tersenyum memandang wajahnya yang kini sudah basah oleh air mata.

Terdengar dari luar kamar Sivia, suara Ify dan Ozy yang merengek kepada kedua orang tuanya kalau mereka berdua tidak ingin Sivia meninggalkan rumah itu. Terlalu berarti bagi mereka.

Walaupun hanya saudara sepupu. Tapi, mungkin tangisan-tangisan mereka sekarang sangat tidak mempan melawan perasaan benci Tante Jessica terhadap Sivia.

Tak lama kemudian, Sivia keluar dari kamar membawa dua koper besar. Ia sangat pasrah dengan musibah yang menimpanya sampai saat ini. Ify dan Ozy menatapnya dengan penuh rasa iba. Dan tante Jessica pun tertawa senang.



***


Rumah itu terlihat sederhana. Yah. Cukuplah untuk menampung anak-anak yang sudah tidak memliki siapa-siapa lagi di dunia ini. Terlihat berbagai macam permainan khas anak-anak di halaman rumah itu. Ditambah lagi pohon-pohon yang rindang sepertinya membuat permainan akan semakin nyaman.
Sejak kedatangan Sivia lima bulan lalu, panti itu terlihat lebih ramai. Yap. Sepertinya Sivia sudah bisa menerima kenyataan kalau dia memang tidak memiliki keluarga lagi. Tapi, di sini, di panti ini, Sivia merasakan hangatnya keluarga yang sudah berbulan-bulan ini tidak ia rasakan.

“Sivia, apa kamu tidak berniat untuk melanjutkan sekolah kamu, Nak?” tanya Bu Panti penuh perhatian. “kamu kan sudah naik kelas 11. Nah, ini waktu yang pas untuk masuk sekolah SMA itu. Bukankah kau ingin sekali masuk sekolah itu Siv?.” Ia sangat sayang dengan anak gadis yang ada di depannya. Saat ini, mereka berdua sedang berada di kantor Bu Panti.

“tidak Bu. Saya lebih senang kalau berada di sini saja dengan mereka.” Sivia mengarahkan wajahnya ke luar jendela. Terlihat banyak anak-anak yang bermain di halaman panti itu. Dengan penuh canda tawa. Mereka terlihat kompak layaknya keluarga besar.

“hm. apa kamu tidak ingin menyusul Gabriel untuk sekolah?” tanya Bu Ira lagi. Berharap anak gadis di depannya ini berubah pikiran.

Sivia tersenyum manis.
“Bu Ira, Iyel kan sudah diangkat sebagai anak angkat oleh keluarga Bu Sinta. Jadi wajarlah kalau Iyel berhak masuk sekolah lagi.” Sivia bergeming.
“jadi, apa kamu juga ingin menjadi anak angkat oleh suatu keluarga?”
“tidak.” Sivia menjawab pasti.

“kenapa?”
“saya tidak ingin kejadian itu terulang untuk yang kedua kalinya Bu.” Sivia menjawabnya dengan tatapan kosong menghadap ke Bu Ira.
“baiklah. Saya mengerti keadaanmu sekarang Nak. Tapi, kalau saya yang akan membiayai sekolah kamu, gimana? Mau?” tanyanya lagi. Masih sedikit berharap akan kepastian anak gadis itu.
Sivia menggeleng.
“saya sudah cukup merepotkan Ibu. Saya sudah sangat bersyukur dapat tinggal di tempat ini. Kalaupun ada orang yang ingin mengangkat saya sebagai anak angkat, saya tidak akan mau. Dan tidak pernah akan terjadi untuk kedua kalinya.” Sivia menjawab tanpa ada rasa keraguan dalam kalimat yang dia lontarkan. Sebenarnya ia menolak karena tak ingin membuat repot Ibu Ira. Ia sadar dengan garis ekonomi yang ada di Panti ini. Syarat akan kekurangan.

Bu Ira kini merasa cukup dengan jawaban panjang Sivia. Ia sadar. Ia tidak akan bisa memaksa lagi tentang hal ini.
“ya sudahlah Sivia. Saya tidak akan memaksa kamu lagi.” Dia menyerah.

Hening sesaat.
“Kalau begitu, kalian jadi mengamen kan sekarang?” Bu Ira tersenyum pasti.
Sivia juga. Ia akhirnya lega karena wanita paruh baya ini mengerti juga dengan keadaannya.
“iya Bu. Kalau begitu saya permisi dulu Bu.”

***

Siang itu, udara terasa panas. Matahari seakan-akan ingin membakar bumi. Karena sudah banyak
sekali manusianya yang tidak peduli sedikit pun terhadap lingkungan.
Lampu merah kini sedang menetap. Sivia dan anak-anak lainnya segera menghampiri mobil dan motor satu persatu hanya untuk mencari sedikit uang. Pengendara mobil dan motor tidak terganggu dengan adanya pengamen jalanan seperti mereka. Setidaknya mereka masih mempunyai rasa iba terhadap anak-anak. Tidak seperti Pak Ardian dan Bu Jessica.

Selang beberapa waktu, Seseorang laki-laki berumur kira-kira 40 tahun yang berada di mobil tampak begitu serius melihat gadis di ujung jalan yang sedang mengobati luka seorang anak laki-laki yang lebih kecil darinya.

“tahan ya Dev. Kakak tinggal nempelin plesternya kok. Udah jangan nangis lagi ya.” Sivia membuka bungkus plester itu lalu menempelkannya ke kaki Deva, adiknya di panti yang tadi terjatuh akibat tersandung.
“nah selesai deh. Ni permennya buat Deva.” Sivia begitu ceria melihat Deva yang kini tersenyum ke arahnya.
“makasih ya kak. Deva sayang deh sama kakak. Hehe.” Deva membuka permen lollipop yang diberikan Sivia tadi.
“iya. Sekarang kakak antar kamu pulang yah. Biar kak Riko dan yang lainnya menyusul. Ayok!” Sivia membantu Deva berdiri. Deva berjalan tertatih. Sehingga ia harus dibopong Sivia untuk berjalan. Untung saja panti tidak jauh dari lokasi mereka mengamen.

Bapak itu terkagum melihat ketulusan anak gadis yang baru dilihatnya itu. Ia terlihat berfikir. Kemudian tersenyum.

“ikuti anak gadis itu Pak.” Perintahnya kepada supir yang mengendarai mobilnya.


***

Di sebuah rumah, tak terlalu jauh dari Panti dimana Sivia menetap, terlihat seorang bapak-bapak tadi masuk ke dalamnya. Ia melihat satu anak laki-lakinya sedang terdiam murung. Anak itu terlihat lelah. Hal itu tentu saja menarik perhatian bapak-bapak tadi.

“Ray, kenapa lagi dengan kakakmu nak?” tanya bapak itu seraya duduk disamping anak laki-laki yang dihampirinya.
Anak laki-laki itu menghela nafas panjang. Ia terlihat sedih. Tergambar dari mimik mukanya yang kini terlihat lesu.

“Kak Cakka pah. Tadi Bibi nangis gara-gara Kak Cakka kerjain.” Anak itu menunduk agar raut kesedihannya tak tertampak. “tadi kak Cakka masukin cabe ke makanannya Ray. Ray kira, si Bibi yang sengaja masukin, jadi Ray marah-marahin Bibi pah.” Ia menghela nafas lagi. “Bibi dibentak-bentak sama Kak Cakka pah. Padahal yang masukin cabenya kan Kak Cakka. Ray tau dari Bibi. Ray gak tau lagi sama sifat Kak Cakka pah. Kak Cakka sudah keterlaluan.”

Ray, anak laki-laki berumur 14 tahun yang baru-baru saja mengalami hal yang begitu menyesakkan. Ibunya meninggal karena penyakit hepatitis. Ray tinggal bersama ayahnya, dan kakaknya. Cakka. Semenjak kepergian Ibunya, Ray dan Cakka sangat terpukul. Tapi, Ray sadar kalau itu sudah kehendak Tuhan. Tak demikian dengan kakaknya. Cakka, semenjak ditinggal pergi oleh Ibunya, ia merasa tak ada lagi sesosok wanita yang menyayaginya. Sehingga sampai saat ini, ia menjadi cowok yang sangat senang untuk menjahili wanita. Sekedar untuk memacarinya lah, mengusilinya lah. Dan berbagai macam lagi hal yang dilakukannya untuk mempermainkan wanita. Ia selalu berperilaku kasar pada wanita. Ia tak mau lagi untuk mencoba menyayangi seorang wanita, seperti menyayangi Ibunya. Dalam hatinya kini hanya ada satu wanita yang special. Ya Ibunya. Tak ada wanita lain.

Ray melihat kearah ayahnya. Setelah menjelaskan apa yang terjadi dengan Cakka . Ia bingung. Nampak sekali bahwa tidak ada raut kekhawatiran di wajah ayahnya itu. Malah di saat-saat begini, ayahnya tersenyum simpul. Terlihat sekali ayahnya menyimpan harapan kebahagiaan.

“pah? Kok papah malah senyum-senyum? Biasanya papah langsung marah kalau dengar masalah Kak Cakka.” Ray sangat bingung. Bingung sekali. Apa yang telah terjadi dengan ayahnya ini sehingga beliau bisa melebarkan bibirnya untuk tersenyum?

“Ray, mulai besok papah pergi ke Australia. Ada urusan bisnis. Mungkin sekitar tiga bulan papah disana. Kamu sama temen papah awasin kakakmu yah. Mau kan?” wajah ayahnya kini menghadap ke arah Ray yang sangat bingung dengan perkataan ayahnya barusan.

Ray mengerutkan kening. Ia sama sekali tak mengerti dengan yang dimaksud ayahnya. Merasa anaknya masih membutuhkan kejelasan, Pak Darmawan membuka mulut lagi.

“kamu pasti senang deh ketemu sama teman papah itu. Seorang wanita. Papah punya feeling kalau temen papah itu bisa sedikit merubah kelakuan kakak kamu itu Ray.” Ayahnya menyunggingkan senyum terbaiknya. Sepercik harapan, wanita itu dapat merubah sikap Cakka. Tak tahu mengapa, ia mempercayai wanita itu untuk membantunya mengurus anak-anaknya selama ia pergi keluar negeri untuk beberapa saat. Ia berdiri. Meninggalkan anaknya yang masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Sudah beberapa langkah ia pergi meninggalkan anaknya, ia kembali berbalik karena,

“papah mau nikah lagi ya?” Ray melontarkan kalimat yang sama sekali tak terduga oleh Pak Darmawan. Kini, giliran ayahnya yang mengerutkan kening. Tak tau darimana anaknya bisa beranggapan seperti itu.

“hahaha. Liat aja besok deh. Mudah-mudahan kamu cocok ya sama temen papah itu.” Sejurus kemudian, ayahnya sudah tak tampak lagi di hadapan Ray. Mungkin istirahat di kamar karena lelah.

Ayo ayo siapa yang dimaksud ayahnya Ray?
Tunggu kedatangannya di part selanjutnya.
See you.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

mana lanjutannyaaaaaaaaaaaaaaaaa?

Anonim mengatakan...

aku nungguin part 23-nya lho