Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Selasa, 19 Juli 2011

"CINTA KEDUA" PART 2

Balik lagiiiiiiiii…
Mau lanjut? Lanjut?
Oke, check this out !
***

Pagi ini cuaca begitu cerah. Langit berwarna biru menyala. Seakan membangkitkan semangat untuk siapapun melakukan pekerjaan masing-masing. Burung-burung berterbangan bebas di angkasa. Mengajak siapapun untuk menikmati indahnya dunia.
Semilir angin masuk ke kamar seorang gadis yang daritadi sibuk menyiapkan barang-barangnya.

“sudah siap Sivia?” tanya Bu Panti. Ia melihat Sivia sedang memasukkan barang-barangnya kedalam koper yang dulu dibawanya dari rumahnya.
“sepertinya sudah semua Bu.” Sivia kembali mengecek barang-barang keperluannya. Siapa tahu ada yang tertinggal. Ia bolak-balik ke seluruh ruangan kamarnya.

“Siv, disana kamu hanya tiga bulan kok. Lagipula kamu tidak di angkat menjadi anaknya. Hanya membantu mengurus anaknya. Kamu bersedia kan?” Bu Panti bertanya.
Sivia sudah hampir sepuluh kali mendengar pertanyaan Bu Ira ini. Semenjak kedatangan Pak Darmawan ke Panti itu kemarin siang, Bu Ira selalu menanyakan hal yang sama.

“Bu, Sivia mau kok. Lagian kan hitung-hitung belajar bekerja. Disana Sivia di gajih kan? Dan gajih itu sangat lumayan untuk membiayai makan kita sehari-hari.” Jelasnya lagi.

“iya Ibu mengerti. Tapi jangan terlalu memaksakan diri ya Nak. Kalau kamu tidak betah, sebaiknya kamu mengundurkan diri saja dari pekerjaan itu.” Amanat Bu Ira.
Sivia tersenyum kembali mendengar kata demi kata yang dilontarkan Bu Ira kepadanya.

“Bu, Sivia mampu kok. Tiga bulan kan bukan waktu yang lama toh?”

Bu Ira mengangguk.
“Ibu percaya kamu tidak akan mengecewakan Ibu dan adik-adikmu” Ia memeluk anak gadis di hadapannya yang begitu tangguh dan berjiwa besar. Sivia membalas pelukan Bu Ira. Pelukan yang selama Ibunya pergi tak bisa lagi di dapatkannya. Ia merasa tenang dalam pelukan seorang wanita tua ini.

“Kak Sivia, jemputannya udah datang tuh.” Deva datang tiba-tiba.
“Bu Ira, Pak Dermawan menunggu di ruang tamu depan.” Riko datang di belakang Deva.
Bu Ira melepaskan pelukan Sivia.
“hm. Baiklah. Riko, Deva! Bantu Sivia bawa barang-barangnya ke depan ya nak.”


***

Sivia telah sampai di depan rumah Pak Darmawan. Entah apa yang membuatnya menyetujui permintaan Pak Darmawan ini. Tapi, menurut dirinya, Pak Darmawan adalah sosok seorang ayah yang begitu peduli dengan anak-anaknya. Makanya tanpa pikir panjang, Sivia bersedia tinggal di rumah besar ini untuk tiga bulan ke depan. Hanya untuk membantu mengurus anak-anak Pak Darmawan. Yah. Menurutnya itu suatu pekerjaan yang tak sulit. Toh dia masih bisa bertemu dengan anak-anak panti kan?

“Sivia, ayo masuk. Anak-anak om sudah menunggu di dalam dari tadi looh.” Pak Darmawan membantu Sivia menarik kopernya. Terlihat senyum tulus terpancar dari dirinya.

Cekrek.
Pintu dibuka oleh Pak Darmawan. Sivia mengekor dibelakangnya. Setelah sampai di dalam, terlihat dua anak laki-laki duduk di sofa ruang tamu dengan fikirannya masing-masing. Tak ada obrolan yang menarik mungkin bagi mereka berdua. Melihat ayahnya datang, pandangan mereka pun beralih.

“nah Ray, ini temen papah yang papah certain ke kamu kemaren.”

Ray terperangah. Tak percaya dengan semuanya. Ia kaget bukan main. Tak tahu apa yang ada di fikiran ayahnya saat ini. Sungguh ayah yang tak punya otaaak ! Ray bergumam dalam hati.

“papah sudah gila ya?” Ray berdiri menghampiri ayahnya yang sedang mengernyitkan dahi. “apa cewek ini tidak terlalu muda untuk papah nikahi?” Ray berteriak di hadapan ayahnya.
Sementara Cakka hanya duduk santai di sofa. Tak peduli dengan hal gila apa lagi yang akan dilakukan ayahnya. Yap. Cakka juga beranggapan sama seperti Ray. Mereka mengira Sivia adalah calon istri ayahnya.

Hening.
Pak Darmawan mencoba memaknai perkataan Ray tadi.
“hahahha. Ray. Ternyata kamu memang masih lugu ya.”
Ray melotot. Di saat seperti ini ayahnya masih saja bisa melawak. Gila. Gumamnya.

Pak Darmawan melihat ke arah Sivia yang kini bediri dengan tampang terkejut. Sivia membalas arah mata Pak Darmawan. Kemudian Pak Darmawan kembali memandang Ray yang kini sedang menunggu penjelasan dari ayahnya.

“dia bukan calon istri papah Ray. Dia disini bekerja mengurus kalian.” Ray menganga. Mencoba mencerna dalam-dalam sanggahan ayahnya itu. Tak perlu waktu lama untuk membuat Ray tersenyum.

“oh, maafin Ray pah. Ray kira..” belum sempat Ray melanjutkan perkataannya, yang duduk di sofa memotong,

“maksud papa ‘mengurus kalian’ APA?” Cakka berdiri. Siap untuk memaki-memaki ayahnya. “papah pikir Cakka masih bayi? Cakka sudah besar pah! Gak perlu diurus!!” Cakka menggerutu. Semetara ayahnya tersenyum simpul.

“Sivia ini anak yang baik Cak. Papah yakin kamu dan Ray akan bisa menerimanya. Cepat atau lambat.” Jelas Pak Darmawan. Singkat. Namun sangat dapat dimengerti.

“terserah!” Cakka beranjak dari tempat itu. Ia berlari naik ke anak tangga dan kemudian, BRAAK!! Cakka membanting pintu kamarnya.

Pak Darmawan hanya tersenyum. Sejurus kemudian, ia menatap Ray yang masih berdiri tegak dihadapannya. Anaknya yang satu ini menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Seakan-akan sudah capek melihat kelakuan kakaknya yang begitu kekanak-kanakkan.

“Ray, kamu bisa menerima Sivia disini untuk tiga bulan kan?” Pak Darmawan bertanya lembut. Berharap anak laki-lakinya yang satu ini merespon dengan nada positif. Dan ternyata,

“iya pah. Ray mau.” Ujarnya. Lalu berjalan mendekati Sivia.
Pak Darmawan tersenyum senang. Setidaknya ada yang mau menerima Sivia di rumah itu hanya untuk tiga bulan.
“Ray, papah pergi dulu ya. jaga diri baik-baik. Mulai hari ini, Sivia yang mengurus kalian.”
Ray tersenyum. Ia mengangguk tanda mengerti.

“Sivia, titip anak-anak om ya. kalau ada perlu, tinggal ngomong sama Ray, Bibi atau sama satpam rumah. Atau bisa langsung menelfon saya. Saya pergi dulu. Hati-hati di rumah ya.”


***


Kamar itu begitu nyaman menurutnya. Luas memang. Sama seperti rumah yang dulu ditempatinya bersama kedua orang tuanya. Tak ada lagi yang dapat menyanggahnya. Kamar itu memang sangat amat nyaman untuk ditempati.

“gimana Kak? Kakak suka kan? Ini Ray sama Bibi yang beresin kamarnya kemaren.” Ray tersenyum senang. Berharap Sivia menyukainya.

“ia. Suka banget. Thanks ya Ray.” Sivia duduk di sofa kamar yang kini menjadi miliknya untuk tiga bulan kedepan sambil memperhatikan seluruh desain interior kamar itu. Matanya tak lepas dari suasana indah di kamar itu. Walaupun ia merasa sedikit lelah setelah mendengarkan penjelasan Ray tentang kelakuan Cakka secara rinci.

“kak, Ray mau tanya.” Ray berjalan ke arah sofa kamar. Dimana ada Sivia duduk di atasnya. “Kenapa kakak mau nerima pekerjaan ini dari papah?” Ray duduk di samping Sivia. Berusaha mendekatkan diri pada Sivia. Berusaha untuk merasa nyaman dengan Sivia. Karena selama ini tak ada perempuan yang dekat dengannya selain Ibunya.

“kakak ngerasa tertantang untuk ngelakuin pekerjaan ini Ray. Setelah melihat sedikit kelakuan kakakmu tadi, ditambah dengan cerita-ceritamu barusan, kakak jadi bertekad untuk bisa merubah sikap Kak Cakka. Kakak akan berusaha menghapus semua sikap-sikap buruk kakakmu.” Ujar gadis ini mantap. Tak ada sedikitpun keraguan di dalamnya.

“thanks kak. Ray percaya sama Kak Sivia. Oiya, ngomong-ngomong, minggu depan kakak sekolah bareng aku aja ya Kak. Soalnya kak Cakka mana mau nganter-nganter yang begituan.”

Sivia tersenyum. Tapi, tunggu dulu, apa yang baru dia dengar barusan? Apa yang Ray katakan? Sekolah? Oh noo..
“APA??” Sivia kaget. “Sekolah?” Apa dirinya tak salah dengar? Kan perjanjiannya tak tertulis kalau dirinya akan bersekolah. “sekolah di mana?” Sivia masih tak percaya. Matanya melotot. Ia menampangkan ekspresi terkejut dihadapan Ray. Mimik mukanya langka. Alhasil, hal itu membuat Ray tertawa lebar.

“hahaha. Kakak kalau kaget lucu deh. Hahaha.” Ray merasa senang. Semenjak kepergian Ibunya, baru kali ini kembali tertawa begitu lepas seperti ini. “hahaha. Kakak lucuu.” Ujarnya.
Sivia manyun. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Ray agar berhenti dari deru tawanya. Namun Ray tetap saja tertawa terbahak-bahak.

Ditengah deru tawa mereka, seseorang datang. Terlihat sekali bahwa ia tak senang ada keributan.
“ribut banget sih kalian?! Gak tau apa kalau gue lagi istirahat?!” Cakka datang tiba-tiba. Ia menampakkan wajah sinis kepada Sivia. Seperti tak suka melihat kedatangan gadis yang selama beberapa bulan akan tinggal satu rumah dengannya.

“eh, maaf Kak. Hahaha. Kak Sivia, Ray ke kamar dulu ya. Hahaha.” Ray pergi keluar. Masih dengan tawanya. Ray tak menghiraukan Cakka yang sangat marah melihat kelakuannya. Sedangkan Sivia, sedari tadi menatap Cakka yang sifatnya begitu kasar.

“apa lo liat-liat? Cepetan bikinin gue makanan! Gue laper.” Perintah Cakka pada Sivia. Sivia tak bergeming. Ia tak beranjak dari sofa. Matanya tak lepas dari seorang Cakka. Ia memperhatikan Cakka dengan serius. Sampai akhirnya mulutnya terbuka,

“ternyata ada ya orang kaya elo?”
Cakka mengernyitkan dahi. Tak mengerti apa maksud gadis ini.

Sivia pun kembali bersuara, kali ini ia berdiri dari duduknya.
“Merintah orang seenak jidatnya! Gue ini tamu! Sopan dikit dong kalo ngomong. Gak pernah sekolah ya? apa mulut lo itu gak pernah di kasih belajar ya di sekolah? Lo itu gak punya adab sopan santun apa? mikir tuh pake otak! Gue tuh CEWEK. Jadi, lo harus sopan sama gue. Ngerti?” Sivia menceramahi Cakka panjang lebar. Cakka menganga. Tak percaya akan semua ucapan gadis yang baru dikenalnya selama kurang lebih dua jam. Ia mengepalkan tangannya. Baru kali ini ia menemukan gadis aneh seperti ini.

“gak salah lo? Heh! Gue tuan rumah disini! Dan elo PEMBANTU! Denger? PEMBANTU!! Jadi, semua yang gue perintahin, lo harus nurut! Ngerti?!” Cakka membalas bentakan Sivia tadi. Dia setengah berteriak. Ia sangat geram dengan Sivia.

“gue bukan pembantu disini!” Sivia membantah pernyataan Cakka yang mengatas namakan dirinya sebagai pembantu.

“sekali pembantu tetap PEMBANTU.” Teriaknya geram.

Cakka panas. Kemudian ia berjalan menghampiri Sivia. Matanya tak lepas dari cewek yang ada dihadapannya sekarang ini.
Sivia pun membalas tatapan mata itu. Cakka terus berjalan, berjalan, dan kini Cakka semakin dekat dengan tubuh Sivia. Sivia terlihat bingung dengan sikap Cakka.
‘mau apa ni Kak Cakka?’ batinnya bertanya-tanya.

Mungkin ada dua menit mereka berdua saling menatap sinis dengan jarak yang begitu dekat.
Tak lama, Cakka menghapus raut wajah sinisnya. Ia kemudian tersenyum. Merasa ada yang aneh, Sivia membuka suara.

“kenapa lo?” Sivia merasa kikuk. Tak mengerti dengan apa yang ada di otak manusia gila dihadapannya saat ini. Sejurus kemudian, tangan kanan Cakka mengelus pipi lembut Sivia. Cakka tersenyum lebar melihat kepanikan Sivia.

Cakka semakin mendekatkan kepalanya ke kepala Sivia. dan, yak, kalian mau tau apa yang akan terjadi? Tunggu di part selanjutnya yaa..
See you.

Tidak ada komentar: