Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Minggu, 22 Juli 2012

GUE DIANTARA MEREKA – PART 1

Matahari siang itu begitu sombong memamerkan panas terik yang dimilikinya. Berpuluh-puluh manusia berseragam putih abu-abu memenuhi satu pojok dari sebuah SMA. Setiap kata keluar berlomba-lomba dari setiap bibir mereka, berebut ingin segera dilayani. Sebuah kantin SMA yang selalu menjadi idola para siswa siswinya, meskipun hanya dalam durasi dua kali lima belas menit setiap harinya. Dalam dua kali lima belas menit itu semua menaruh perhatian terhadap pojok kantin itu. Terkecuali satu orang siswa yang selama hampir tiga tahun bersekolah di SMA tersebut belum pernah sekalipun dia tertarik untuk menginjakan kakinya di kantin itu. Satu orang siswa yang dianggap autis oleh teman-teman di sekitarnya. Bagaimana tidak, dari awal dia bersekolah di SMA tersebut, tak pernah terlihat sekalipun dia bersoasialisasi dengan siswa lainnya. Tak pernah menegur sebelum di tegur terlebih dahulu. Tak pernah berbicara selain hal yang penting untuk dibicarakan. Tatapan dan tingkah lakunya selalu terkesan dingin, cuek dan tak mau peduli dengan keadaan sekitarnya. Ia lebih memilih diam di kelas dengan Ipod nya atau malah dia lebih memilih ke bagian belakang sekolah yang tak ada satu orang pun tertarik untuk mendatangi tempat itu.

Seperti halnya siang hari ini, di halaman belakang sekolah itu dimana tak ada satu hal pun yang menarik untuk dilihat. Hanya ada sepetak kebun tak terurus, daun-daun kering yang berserakan menutupi permukaan kebun tersebut. Satu orang siswa tadi terduduk lesu dengan pandangan kosong lurus tertuju tepat kearah sepatunya sendiri. Posisi duduk yang sedikit membungkuk dengan siku menopang di kedua pangkal pahanya. Kedua belah tangannya membentuk satu jalinan antara jemarinya. Wajahnya terlihat kusut dengan rambut yang acak-acakan, titik-titik keringat terlihat di wajahnya dan terlihat sedikit darah segar menghiasi sudut bibirnya. Seorang siswa bernama Gabriel yang baru saja terlibat dalam suatu perkelahian dengan siswa satu tingkatannya namun berbeda kelas dengannya. Pikirannya melayang mengingat peristiwa perkelahian tadi. Perkelahian yang diawali oleh masalah yang sangat sepele. Dianggap sepele mungkin oleh orang lain, namun bagi Gabriel yang sangat tak suka bila dibanding-bandingkan dengan orang lain, itu adalah hal yang sangat menyinggung perasaannya.

Awal peristiwa itu,

"Eh lu anak berandal, masih punya muka lu sekolah disini.,???" Sindir anak yang bernama Cakka itu.

Awalnya Gabriel tak ambil pusing dengan perkataan Cakka itu, namun sejurus kemudian emosinya tersulut ketika Cakka berkata,

"Malu donk lu sama kaka lu tuh, dia bisa jadi guru teladan si SMA ini, sedangkan lu ade nya cuma bisa jadi berandalan di SMA ini." Kata Cakka dengan nada yang sinis.

Tak pikir panjang Gabriel dengan emosi yang memuncak di ujung kepalanya langsung saja memberikan bogem mentah ke wajah Cakka, dan Cakka yang tak bisa menerima hal itu membalas dengan tonjokan yang lebih keras, mengakibatkan ujung bibir Gabriel pecah dan mengeluarkan sedikit darah. Perkelahian itu terhenti karena dilerai oleh seorang guru bernama Rio yang tak lain adalah kakak dari Gabriel.

Gabriel yang masih sibuk dengan lamunannya, tak menyadari seorang gadis manis yang memang salah satu siswi SMA itu juga sedang berdiri tepat disampingnya. Lamunannya buyar ketika gadis manis itu mengeluarkan suara lembutnya.

"Lu ga bisa gini terus Yel.," terang gadis yang bernama Sivia itu.

Gabriel hanya menoleh sekilas gadis itu, dan kembali memalingkan tatapannya kearah lain.

"Gw emang belum terlalu lama sekolah disini, gw juga belom terlalu tau elu, tapi kenapa sih selalu aja gw liat elu terlibat cekcok sama orang.," Kata Sivia.

Sivia seorang gadis manis dengan lesung pipit menghiasi pipinya, berkulit putih dengan rambut lebatnya memang sudah memiliki perhatian lebih terhadap Gabriel dari pertama kali dia masuk SMA tersebut. Sivia yang baru bersekolah selama kurang lebih tiga bulan di SMA itu dari awal sudah diperingati oleh teman-temannya tentang perilaku Gabriel yang dianggap aneh itu. namun Sivia tak peduli, dia yakin kalau sebetulnya ada sisi baik Gabriel dibalik tingkahnya yang aneh itu. Dan tak bosan-bosan Sivia memberikan perhatian itu kepada Gabriel, meskipun selalu ditanggapi dingin oleh Gabriel.

"Kenapa sih lu selalu begini Yel.," tanya Via lagi

"Apa peduli lo.,???" jawab Gabriel dengan nada sinisnya.

"Gw peduli karena gw temen lu Yel.,"

"Gw ga butuh temen, gw ga butuh orang-orang ada disamping gw.," Gabriel bangkit dari duduknya berniat meninggalkan Sivia, namun tepat pada saat itu juga Sivia mengulurkan sebuah sapu tangan putih kepada Gabriel. Gabriel hanya menatap heran perilaku Sivia itu.

"Hapus darah lu, lu ga mungkin kan masuk ke kelas dengan darah di wajah lu kaya gitu." Ujar Sivia.

Gabriel yang mendengar omongan Sivia tadi, bukannya menerima sapu tangan yang di ulurkan Sivia, tapi ia malah mengusapkan ibu jarinya sendiri keatas luka itu seraya pergi meninggalkan Sivia.

"Yel.," Panggil Sivia.

Gabriel menghentikan langkahnya dengan posisi yang membelakangi Sivia.

"Ga ada seorang pun yang bisa hidup sendiri Yel, setiap orang pasti butuh seseorang di sampingnya, ga terkecuali lu Yel." Terang Sivia dengan suara yang begitu tegas.

Gabriel sama sekali tak menghirukan omongan Sivia itu, dia hanya tersenyum kecut, kemudian kembali melangkahkan kakinya untuk kembali ke kelasnya.

Di kelas yang tidak terlalu luas itu, Gabriel duduk di barisan paling belakang. Tak ada siswa lain yang duduk di sebelahnya. Seperti yang sudah dibilang tadi, Gabriel memang tidak terlalu suka bersosialisasi. Dia lebih nyaman dengan kesendiriannya. Dia berpikir dengan kesendiriannya itu tidak akan ada yang bisa membandingkan dia dengan siapa pun, karena memang hanya ada dirinya.

Di sudut lain kelas itu, tepatnya di bagian terdepan dari deretan lain bangku siswa siswi di kelas Gabriel, terlihat Sivia yang menatap Gabriel dengan pandangan yang begitu simpatik.

"Gw yakin sebetulnya lu orang yang baik Yel.," Gumam Sivia dalam hatinya.

***

Bunyi bel itu terdengar memekakan telinga seluruh murid-murid SMA tersebut tak terkecuali guru-gurunya. Namun hal ini tak membuat mereka kesal sama sekali, malah sebaliknya hal ini adalah hal yang paling mereka nanti-nantikan karena dengan bunyi memekakan telinga tadi pertanda bahwa jam sekolah telah usai.

Ratusan murid berlomba-lomba menuju gerbang keluar dari SMA tersebut.

Garbiel pun melakukan hal yang sama namun bedanya dia melakukannya dengan langkah yang tak menunjukan semangatnya untuk pulang. Langkahnya malah lebih terkesan malas-malasan.

Sesampai di luar gerbang sekolahnya, Gabriel berjalan kurang lebih berjarak 100 meter menuju sebuah halte. Kurang lebih sepuluh menit ia menunggu, metromini berwarna orange dengan arah rumahnya itu muncul. Tak membuang kesempatan Gabriel langsung menaiki metromini tersebut, dan menduduki salah satu kursinya.

Di tengah perjalanan naik seorang ibu separuh baya dengan menggendong anaknya, Ibu itu hanya bisa berdiri tepat di samping kursi yang di duduki Gabriel, karena memang semua kursi metromini itu sudah dipenuhi penumpang.

Gabriel hanya menoleh kearah ibu-ibu itu tanpa ada sedikit niat pun untuk memberikan tempat duduknya kepada ibu tersebut. Sampai akhirnya ada seorang gadis cantik yang rela memberikan tempat duduknya kepada ibu separuh baya itu.

"Duduk bu.," Ujar gadis manis itu,

"Ma kasih ya neng." Jawab ibu itu.

Gabriel yang mengenali gadis itu hanya melirik sinis. Sedangkan gadis manis itu yang tak lain adalah Sivia hanya tersenyum kearah Gabriel.

Setelah beberapa halte dilewati akhirnya Sivia turun dari metromini itu. Tak berselang jauh Gabriel pun turun juga. Gabriel berjalan di jalan yang tak terlalu besar namun tidak terlalu kecil juga, cukup untuk berpapasan dua buah mobil. Gabriel tiba di depan sebuah rumah yang cukup sederhana, meskipun berlantai dua namun sama sekali tak memperlihatkan kemewahan. Gabriel memasuki rumah itu, baru saja ia akan menaiki tangga untuk ke lantai dua bagian rumahnya dimana kamarnya berada, satu suara terdengar memanggil namanya.

"Abang Iyel.," Gabriel menoleh kearah suara tadi, terlihat seorang gadis duduk manis dengan TV di hadapannya dan seorang bocah kecil berumur dua tahun di sampingnya.

"Abang udah pulang.," tanya gadis itu lagi

"Iya.," Jawab Gabriel singkat, namun ada sedikit berbeda dengan wajah Gabriel pada saat menjawab pertanyaan gadis itu, di wajahnya tergurat sedikit senyum yang jarang sekali terbentuk di bibirnya.

Gadis itu bernama Shilla, dia salah satu adik dari Gabriel dan satu satunya orang yang bisa membuat Gabriel tersenyum. Shilla yang kini masih duduk di kelas dua SMP memang sangat dekat dengan Gabriel. Gabriel beranggapan hanya Shilla yang bisa mengerti dia selain ibunya. Shilla yang selalu menganggapnya ada, selalu menganggapnya sebagai kakak yang paling baik bukan Rio. Mungkin karena itu Gabriel begitu sayang terhadap Shilla. Berbeda dengan perasaan Gabriel terhadap adik satunya lagi yang masih berumur dua tahun itu, seorang bocah kecil bernama Bastian yang sering dipanggil Iyan. Gabriel begitu cuek terhadap adiknya yang satu ini, bahkan terkadang Gabriel seolah-olah menganggap Iyan itu tidak ada.

"Abang masuk kamar dulu ya.," kata Gabriel kepada Shilla.

"Abang ga makan dulu.,???" Tanya Shilla

"Engga deh entar aja.," Jawab Gabriel yang kemudian meninggalkan Shilla untuk menuju ke kamarnya.

Di kamarnya yang terletak di lantai dua itu, Gabriel membuka kemeja seragamnya, menggatungkan dengan sembarang di sederan kursi meja belajarnya. Gabriel kini hanya memakai kaos oblong putih yang dia pakai di balik seragamnya tadi dengan celana abu-abu sekolahnya yang belum dia ganti. Dia membuka jendela kamarnya, memutar VCD nya, dan sedetik kemudian terdegar musik beraliran keras memenuhi setiap sudut kamar itu. Kamar yang hanya berukuran 2 x 3 meter persegi itu terlihat begitu berantakan, dengan beberapa baju kotor tergeletak di meja belajarnya, beberapa celana jeans kumal tergantung di balik pintu kamarnya. tempat tidur yang terlihat berantakan, dan Gabriel kini sedang duduk di atasnya.

Gabriel membuka laci meja belajarnya, mengeluarkan sebungkus rokok yang ada di dalam laci tersebut, mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.

Terlihat Gabriel begitu menikmati aktivitas merokoknya itu, ia hembuskan asap rokok itu keudara dengan membentuk bulatan-bulatan kecil persis seperti huruf O.

Adegan itu tak berlangsung lama, pintu kamarnya terbuka tiba-tiba, dan terlihat seseorang dengan mimik muka yang begitu kesal berdiri disana.

"Ga bisa ya kalo masuk ketok dulu.," Ujar Gabriel kesal.

Tak ada tanggapan apapun dari Rio, orang yang kini berdiri diambang pintu kamar Gabriel itu. Rio hanya melemparkan sepucuk surat kehadapan Gabriel.

Dengan wajah yang menyiratkan ketidaksukaan terhadap tidakan kakaknya tersebut, Gabriel membuka surat itu.


 

Facebook: Ek Rkwt

Twitter: @rekscasillas

Tidak ada komentar: