Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Rabu, 18 Juli 2012

JIKA ACHA DAN OZY JATUH CINTA – PART 16

PART 16 = ADA NOVEL, ADA SURAT?


 

Acha mengecilkan suara TV, dan menoleh ke arah jendela. Sepertinya ada suara kerincing lonceng dari pintu depan. Acha menunggu lagi. Benar saja, lonceng kecil yang digantung Mama di pintu depan itu berbunyi kembali, sekali ini diiringi suara seseorang yang mengucapkan salam.


 

"Assalamualaikum…"

Acha menghela nafas, berdiri dengan malas dan melangkah ke pintu depan.

Sambil menyahut salam tersebut Acha membuka pintu,


 

"Wa alaikum sa…" Acha tidak jadi menyelesaikan ucapan salam, ternganga melihat ada Ozy yang berdiri di depan pintu. Tersenyum.


 

"…" Acha masih gagu dengan mulut yang , tidak bisa menyambung ucapannya.

Ozy mengangkat alis. Menunggu. Sampai akhirnya membuka mulut.


 

"…lam…! Nanggung Cha, masa cuma wa alaikum sa doang… Ga jadi pahala tuuuhhh…"


 

"Lo aja yang ga sabar…" kata Acha kesal. Kesal karena Ozy. Ozy yang membuatnya kehilangan kata-kata.


 

"Lagi sibuk Cha?"


 

"Nggak" Acha menjawab pendek.

Ozy menurunkan tas ransel kuning dari bahu dan merogoh ke dalamnya. Dengan wajah berseri-seri dia kemudian mengeluarkan dua buah novel tebal.


 

"Nih, aku bawain…" katanya sambil menyodorkan kedua novel itu pada Acha.

Acha menggigit bibir. Selama beberapa saat tangan Ozy tetap tersodor, tanpa disambut oleh Acha.

Akhirnya Acha menarik nafas, mengambil kedua novel itu.


 

"Makasih."


 

"Sama-sama"

Kemudian hening.

Ozy sedikit memiringkan kepalanya ke kiri. Tatapan matanya sedikit bertanya. Dengan kemeja kuning cerahnya, Ozy terlihat seperti seekor burung kenari yang sedang memandangi seekor kupu-kupu. Tapi sang kupu-kupu tetap diam. Sampai akhirnya Ozy bertanya.


 

"Boleh masuk ga Cha?"


 

"Mau ngapain?"

Ozy terdiam. Tapi lalu berusaha tersenyum.


 

"Ya udah deh kalo gitu. Selamat membaca aja deh. Aku pulang dulu ya…" Ozy memasukkan kedua tangan ke dalam saku jeansnya, dan tersenyum kembali.

Acha tidak menjawab, hanya mengangguk. Acha lalu berbalik, dan menutup pintu. Klik, terdengar bunyi kunci pintu yang diputar.

Ozy menatap pintu yang tertutup. Dalam hati mengeluh. Seingatnya dia sudah mengikuti petuah dari Gabriel. Mengenakan baju terbaiknya. Tersenyum sepanjang saat sepanjang masa. Menyapa dengan ramah. Apa yang salah? Apa keberuntungan Kak Gabriel waktu nembak Kak Ify kemaren tidak bisa diwariskan padanya? Duh, baru langkah awal pedekate aja udah dijutekin kayak gini, apalagi kalo mau nembak ya? Jangan-jangan dia sudah dijadiin daging cincang sama Acha.


 

Ozy mengangkat bahu sambil menarik nafas dalam-dalam. Kemudian berbalik sambil menghela nafas. Di atas motor, Ozy melaju menembus langit sore.


 

***


 

Acha terduduk di lantai, bersandar di pintu. Tangannya mendekapkan kedua novel itu ke dadanya. Kenapa…kenapa..KENAPA DIA HARUS SEBODOH ITU??? Acha mendesah, tapi wajah tegas Zevana terus terbayang di kedua matanya. Zevana… Gila aja rasanya kalo harus bersaing dengan Zevana.


 

"Cha? Woi! Ngalangin jalan, tau!" Rio berseru pada Acha dari tangga. Acha sontak berdiri. Rio berlari turun sambil menyelempangkan ranselnya.


 

"Kak Rio mau kemana?" tanya Acha heran, memandangi Rio yang dengan terburu-buru sedang mengikat tali sepatunya.


 

"Pergi" sahut Rio pendek. Acha tidak mengejar Rio lagi dengan pertanyaan lanjutan. Matanya membelalak melihat apa yang ada di tangan Rio.


 

"Kak Rio! Itu ngambil darimana???" teriak Acha, menunjuk ke kaleng minuman di tangan Rio.

Rio menoleh dengan heran ke arah Acha. "Ini?" Rio mengacungkan kaleng minuman di tangannya, "Di kamar elo tadi, pas balikin penggaris segitiga. Kok ga ditaruh di kulkas aja sih Cha?"

Acha meloncat ke arah Rio, dan langsung merebut kaleng minuman itu. Kaleng minuman bersejarah yang pernah membawanya terbang bersama malaikat.


 

"KAU SUDAH MERUSAKNYAAAA…" Acha nyaris histeria massa.

Rio bengong. "Cha, gua buka aja belum Cha!"


 

"Tapi kau sudah menyentuhnya Kak… Kau sudah menodainyaaa!!!"


 

"Baru gua injek-injek doang kok…" ujar Rio dongkol.

Tiba-tiba Rio terdiam. Memandangi Acha. Kemudian menyeringai dengan lebar…


 

"Cha… Elo… NAKSIR SAMA PAK DUTA YA???"

Goa Belanda jadi terlihat sempit dibandingkan bibir Acha yang menganga lebar.


 

"Kak Rio ini apa-apaan sih??? Ga ada nominasi yang lebih berderajat dan bermartabat ya???"


 

"Lah, itu elo sebegitu ngefansnya kan sama Pak Duta sampe minuman kesukaan dia elo puja puji sana sini gitu? Pak Duta kan kalo di ruang guru suka minum itu" kata Rio sambil menunjuk kaleng minuman di tangan Acha.

Acha langsung menyembunyikan kaleng itu di balik punggungnya, "NGARANG BANGET SIH??? Siapa bilang ini dari Pak Duta? Ini dari O…" Acha terdiam. Wajahnya memanas. Mentega sekilo aja kayaknya leleh kalau ditaruh di wajah Acha saat itu.


 

"O? O? O siapa?" Rio menatap Acha. Menuntut penjelasan.

Acha gelagapan, dan dengan asal memberikan jawaban pertama yang terlintas di benaknya, "O.. Oh, oh siapa diaaaa…"

Rio mendengus, "ELO tuh yang ngarang. Udah ah, gua pergi dulu. Ditungguin Patton"

Acha mendorong punggung kakaknya keluar pintu. Belum sempat Acha menutup pintu kembali, Rio berbalik.


 

"Cha, tadi gua waktu latihan basket ketemu sama Olivia. Dia bilang kertas kerja laboratorium elo kemaren dia selipkan di buku paket biologi. Bukunya gua taruh di atas meja lo tadi."

Acha tertegun. Kemudian menatap dua buah novel yang tergeletak pasrah di atas lantai. Acha tak sengaja melemparkannya waktu merebut kaleng minuman tadi.


 

"Eh, kertas tuh bisa diselipin di buku ya Kak? Jadi surat juga bisa diselipin di buku ya?"


 

"Nggak, biasanya surat diiris tipis-tipis, dijemur di bawah matahari, lalu digoreng pake minyak yang banyak biar bisa dimakan pake sambel…" Rio menyahut asal sambil naik ke sepeda motornya.

Acha tidak menanggapi. Degupan di dadanya terlalu menyita pikiran untuk bisa menyahut Kak Rio. Dia memandangi kedua novel itu, yang seakan-akan melambai memanggilnya.

Rio memasang helm, kemudian memandang Acha.


 

"Kenapa? Lo mau ngirim surat cinta ke Pak Duta? Jangan Cha. Pak Duta emang masih muda, baru 29 tahun gitu, Tapi udah punya pacar, kalo ga salah namanya Adelia… Lagian, emang ga ada gitu cowok lain yang satu generasi sama elo yang bisa dijadiin gebetan?"


 

Acha menjulurkan lidah, kemudian membanting pintu. Rio menggeleng-gelengkan kepala, lalu menstarter motor. Patton dan teman-teman lain sudah menunggu di rumah Patton untuk latihan. Rio tersenyum kecil, mengingat bahwa Sivia juga akan ada di sana.

Acha tidak menunggu suara motor Rio menghilang. Setelah mengunci pintu, Acha memungut kedua novel Percy Jackson itu, lalu berlari menuju kamarnya. Mencoba mencari tahu alasan sebenarnya Ozy datang ke rumah.

Di dalam kamarnya, Acha dengan tergesa duduk di atas tempat tidur. Menarik nafas untuk menenangkan debaran di dadanya. Tangannya mulai membolak-balik setiap lembar salah satu novel. Tidak ada apapun yang terselip di antara lembaran. Acha menarik buku kedua, melakukan hal yang sama. Sama, tak ada apapun di situ. Setengah berharap, Acha menggoyang-goyangkan kedua novel itu, berdoa agar ada selembar kertas berwarna merah muda melayang jatuh. Tapi tidak. Harapan Acha tidak terwujud. Dengan kesal, Acha mencampakkan kedua buku itu ke samping tempat tidurnya. Sebagai gantinya, dia meraih handphone bercasing ungu, memencet sejumlah tombol, dan menunggu.


 

"Ya Cha??" suara Nova terdengar agak tersamar oleh suara-suara lain. Acha mengerutkan kening. Nova dimana sih? Bukannya hari ini ga ada jadwal latihan vokal grup?


 

"Lo dimana Nov?"


 

"Di rumahnya Pat... eh, di rumah tante ding. Tapi ada sepupu-sepupu gua lagi pada ngumpul. Makanya jadi rame banget. Suara lo ga kedengeran Cha. Ntar malam aja gua telfon elo. Dah Acha…"

Tuuuuuuuuttttt….


 

Acha nyaris membanting handphonenya ke lantai kalau tidak ingat betapa dia mengirit uang jajannya selama satu semester hanya untuk handphone itu.

Sungguh, Acha merasa dia akan ada di posisi tiga besar jika ada lomba orang dengan perasaan paling terpuruk di dunia.

Dengan kesal Acha membanting dirinya di tempat tidur. Berusaha memejamkan mata. Tapi nafasnya terasa sesak. Akhirnya Acha menyerah, dia mengubah posisi, dari berbaring menjadi duduk. Kedua novel yang dicampakkannya tadi dipungutnya. Perlahan, dia mengusap sampul novel itu. Mengilat. Berkilau. Seperti senyum Ozy tadi. Senyum yang dia sia-siakan saat berada tepat di depannya. Tiba-tiba saja, Acha berharap, menangis bukan hanya hak anak balita.

Acha menyelipkan kedua buku itu di bawah bantal, dan berbaring kembali. Berharap ada keajaiban. Entah apa. Asalkan Ozy menjadi bagian dari keajaiban itu.


 

Utami Irawati
PS Kimia FMIPA Unlam
>+62-81351396681
utami_irawati@yahoo.co.uk
@utamiirawati

Tidak ada komentar: