Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Selasa, 02 Agustus 2011

SEGALANYA PASTI BERUJUNG PART 1-3

Kecelakaan itu merenggut semuanya dari hidup Sivia. Ayah, Ibu, dan kebahagiaan masa kecilnya. Harus menghadapi kenyataan itu di usia 10 tahun bukanlah hal yang mudah bagi Sivia. Apalagi dia hanya memiliki seorang nenek yang usianya juga sudah sangat tua dan hanya bekerja sebagai seorang pembuat tikar anyaman dari bambu. Sejak meninggalnya ayah dan ibu Sivia, ia tinggal bersama neneknya dan mengandalkan warisan harta orang tuanya untuk bertahan hidup dan melanjutkan pendidikan.

Cobaan itu tak lantas menjadikan Sivia sosok yang lemah tetapi dia justru menjadi kuat dan mandiri. Dia menjadi dewasa lebih cepat dari usia yang sesungguhnya. Dia terbiasa bekerja keras mencari uang tambahan dan tidak menjadi anak yang manja.

Nenek Sivia meninggal saat usia Sivia 12 tahun. Usia yang masih terlalu muda untuk hidup sebatang kara di dunia seluas ini.

Sivia melanjutkan hidupnya dengan jatuh bangun dan semua halang rintangnya untuk sekedar bertahan hidup. Dengan sisa warisan yang sudah tidak banyak lagi dan uang hasil kerja paruh waktunya di sebuah toko milik tetangganya, Sivia bercita-cita untuk menyelesaikan sekolah SMP nya dan akan terus berjuang agar bisa lanjut ke SMA.

Segala macam usaha dijalani oleh Sivia demi menyelesaikan SMP nya. Menjaga toko, loper koran, menjajakan gorengan buatannya sendiri, sebagai tukang ketik di rental komputer, guru les anak SD, guru privat menari, sampai tukang cuci pun pernah dilakoninya demi melanjutkan hidup dan menyelesaikan sekolahnya. Ejekan dan hinaan teman sekolahnya sudah tak ia gubris lagi. Dia sudah kenyang dengan segala macam cacian, makian, umpatan, sumpah serapah, hinaan, bahkan tamparan pun pernah ia terima karena statusnya yang memang sungguh mengenaskan itu. Walaupun sebenarnya masih ada Cakka yang selalu membelanya. Tapi Sivia justru menanggapi dingin bantuan Cakka.

Cakka adalah kakak kelas Sivia yang sudah memiliki rasa pada Sivia sejak Sivia masuk ke SMP yang sama dengannya. Dia selalu menjadi sosok pahlawan saat Sivia dalam kesulitan. Karena itu pula Sivia pun memiliki perasaan yang sama pada Cakka. Tapi Sivia justru membohongi perasaannya sendiri karena perbedaan status mereka yang amat drastis. Ia justru menjauhi Cakka karena merasa dia yang miskin ini tak pantas bagi Cakka yang orang tuanya adalah seorang konglomerat. Apalagi Cakka adalah cowok idaman para cewek di SMP tempat ia sekolah. Tak mungkin dia mampu bersaing dengan anak-anak orang kaya yang cantik-cantik itu. Dia tak pernah mengungkapkan perasaannya pada Cakka dan juga tak pernah memberikan kesempatan bagi Cakka untuk mengungkapkan perasaannya. Sivia tak pernah bertemu lagi dengan Cakka sejak Cakka lulus, sedangkan Sivia baru kelas 8. Cakka dan perasaannya hanya berlalu sebagai kenangan.

Kerja keras Sivia terbayarkan oleh prestasi yang dicapainya saat lulus SMP. Dia berhasil menduduki peringkat pertama paralel di sekolahnya. Karena prestasinya itulah ada sebuah keluarga kaya yang mengangkatnya sebagai anak dan menyekolahkan Sivia di sebuah SMA favorit.

Kehidupan Sivia memang berubah 180 derajat. Sekarang hidupnya serba berkecukupan tanpa takut kekurangan. Segala fasilitas telah dipenuhi oleh kedua orang tua angkatnya kecuali satu, yaitu kasih sayang. Ortu Sivia sekarang tinggal di Sidney kerena urusan pekerjaan dan hanya pulang ke Indonesia saat Hari Raya alias setahun sekali. Bukan karena hemat ongkos ataupun tak ada waktu. Tapi mungkin mereka lebih senang mengumpulkan uang disana daripada sekedar menemani anak angkatnya yang mereka anggap sudah bisa hidup tanpa mereka. Sivia tidak mau ikut dengan mereka karena dia lebih suka tinggal di Indonesia walaupun akhirnya dia merasa kesepian.
Sekarang Sivia sudah kelas XI. Sudah 2 tahun ini Sivia menempati rumahnya yang luas bagai istana hanya bersama pembantu dan supirnya ditambah lagi satu orang satpam.

>>>>>>>>>>

Entah mengapa hawa-hawa suram dari dalam rumah itu terpancar begitu kuat bahkan hanya dengan menginjakkan kaki di halamannya saja. Sebuah rumah besar bercat kuning gading dengan desain kayu yang bernuansa tradisional. Memang bagus dan tampak seperti rumah orang berpunya. Tapi semua orang juga tau bahwa yang ada di dalamnya adalah simbol dari kekejaman dunia dan ketidakadilan takdir, yang mungkin juga pernah dirasakan Sivia.

“PANTI ASUHAN KASIH BUNDA”

Dari tulisan di papan putih yang sudah usang itu pasti semua orang juga tau apa yang ada di dalamnya. Anak-anak yang terpisah dari orang tua dan keluarganya dengan berbagai macam alasan. Anak-anak yang masa kecilnya bisa dibilang suram. Dan sekarang Sivia berada di halaman rumah ini. Sivia kesini untuk mencari sosok yang kemudian ingin sekali ia angkat menjadi saudara.

Niat Sivia ini sudah mulai terpikir sejak setahun yang lalu. Kesepian benar-benar membuatnya merasa tersiksa. Berhubung dia anak tunggal dari ortu angkatnya, Sivia pernah meminta ortunya untuk mencarikannya saudara angkat agar bisa dijadikan teman. Mereka bilang iya tapi sampai sekarang tak juga ada tindakan dari ortunya. Akhirnya 2 minggu yang lalu Sivia memberanikan diri meminta ijin pada mama papanya untuk mencari sendiri saudara angkat. Dan kedua orang tuanya pun menyerahkan semuanya pada Sivia. Mereka percaya bahwa Sivia bisa melakukan semuanya sendiri. Karena memang jalan pikirannya sudah seperti orang dewasa.

>>>>>>>>>>>

Bu Ning mengantarnya menyusuri lorong-lorong seperti yang pernah dilihatnya di kastil yang ada di buku cerita. Tapi bedanya lorong-lorong ini terang benderang dan dipenuhi tempelan-tempelan dinding yang kalau boleh ditebak pasti itu hasil karya anak-anak panti ini.

Bu Ning adalah pengelola panti yang diamanahi oleh pemiliknya yang sekarang tinggal di Malaysia untuk mengurus panti ini. Seorang wanita dengan wajah keibuan yang sudah mulai tampak kerut-kerut di wajah menandakan usianya sudah tidak muda lagi. Dan yang membuat Sivia heran, di panti ini tak ada pegawai, hanya Bu Ning dan anaknya Yuli yang berusia sekitar 24 tahun yang merawat hampir 17 anak di panti asuhan ini. Sungguh wanita-wanita yang tangguh.

“Silakan……”
Bu Ning mempersilakan Sivia untuk memasuki sebuah ruangan di depan mereka. Begitu Sivia mengarahkan matanya pada apa yang ada di dalamnya, ia merinding. Ia melihat wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang mengatakan kerinduan kepada ayah dan ibu mereka. Wajah-wajah yang seolah merupakan cermin dari dirinya sendiri beberapa tahun yang lalu.

Di dalam ruangan itu Sivia melihat anak-anak sedang berkumpul dengan aktivitasnya masing-masing. Membaca buku cerita, ada yang belajar, ada yang sedang bermain dengan alat-alat musik yang sengaja disediakan oleh pemilik panti, ada yang hanya berbincang-bincang seru bersama kawannya, dan ada pula yang hanya konsentrasi menonton TV. Wajah mereka seperti tak ada beban. Sepertinya tidak sesuram yang Sivia bayangkan. Mereka tampak senang dan bahagia. Atau mereka memendam perasaan mereka? Tapi, wajah mereka yang lugu sepertinya tidak menyembunyikan sesuatu.

Sivia mendekat pada mereka. Ia ajak salah satu dari mereka yang wajahnya dirasa paling lucu untuk sedikit ngobrol. Seorang gadis kecil dengan rambut kepang dua dengan hidung kecil dan bibir yang mungil. Sivia pikir dia akan menjadi gadis yang cantik jika dewasa nanti. Namanya Ourel.

Sivia mendekati anak-anak panti itu satu persatu. Mencoba mengira-ngira seperti apa mereka dari obrolan singkat dan pertanyaan-pertanyaan sama yang ia ajukan pada mereka semua. Jawaban mereka sungguh tampak lugu. Coba bisa Sivia bawa semua anak-anak itu.

Mata Sivia mulai lirik kanan lirik kiri memilih-milih mana yang cocok untuk dijadikan adik. Sivia memandangi mereka satu persatu. Menimbang-nimbang, mengira-ngira, bertanya pada hati…..sampai kemudian….

Mata Sivia tertuju pada sosok yang sejak tadi luput dari pandangannya. Seorang anak berusia sekitar 13 tahun sedang duduk di balkon ruangan itu. Sepertinya dia tidak terlihat karena tertutup oleh gorden.

Anak itu duduk memandang langit di kejauhan. Tatapan matanya kosong. Sungguh seorang anak yang tampan. Kulitnya yang putih bersih, hidung mancung, bibirnya yang merah mungil dan perawakannya yang tegap proporsional membuat penampilannya menarik walaupun dandanannya sederhana dan terkesan berantakan. Begitu terpananya Sivia melihat anak itu sampai-sampai tak sadar Bu Ning sudah sejak tadi mengajukan pertanyaan yang sama padanya….

“Bagaimana, Mbak?”

Sivia terkesiap melihat Bu Ning sudah berdiri sambil memandang heran.
“Eh….Ibu….Mmmmm…..itu siapa ya?”
Sivia menunjuk pada sosok yang membuatnya terpana sejak tadi.

Bu Ning melihat ke arah telunjuknya kemudian menghela napas sebelum akhirnya tersenyum.
“Oh….itu Alvin…..”

“Kenapa dia tidak bermain bersama teman-temannya?”

“Dia seperti itu sejak dia datang kesini 6 bulan yang lalu. Dia belum pernah sekalipun bermain bersama anak-anak yang lain. Dan saya juga tidak pernah berhasil membujuknya bahkan untuk sekedar membuatnya tersenyum. Dia tak pernah mau bicara pada kami. Entahlah…..”

Tanpa mendengar penjelasan selanjutnya dari Bu Ning, Sivia langsung melangkah menghampiri anak itu. Alvin….. Terlihat kesedihan yang begitu dalam di matanya. Entah apa yang dia sembunyikan.

Sivia duduk di sampingnya lalu mengulurkan tangan dengan niat ingin mengajaknya bersalaman.
“Hai…..”

Tapi dia sama sekali tak merespon. Bahkan melirikpun tidak. Akhirnya Sivia memutuskan memperkenalkan dirinya sendiri
“Hai….namaku Sivia, kamu?”

Dia tetap tak melirik sedikitpun. Tapi Sivia merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Alvin. Dan sepertinya hatinya mengatakan inilah yang dia cari. Sivia bertekad akan meluluhkan hati Alvin dan membawanya pulang walaupun ia sudah merasa bahwa itu bukan hal yang mudah.

Sivia tetap mencoba mengajaknya bicara. Menanyakan apa saja yang sekiranya bisa dia tanyakan. Tapi Alvin tak menjawab satupun dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan Sivia. Beralih taktik, Sivia tidak lagi memberi pertanyaan pada Alvin tapi Sivia bercerita apa saja yang bisa dia ceritakan. Tentang langit yang indah saat itu, tentang Jakarta yang panas, tentang teman-temannya dan kesehariannya, bahkan tentang masa lalunya. Tapi sekali lagi Alvin tak memberikan respon sedikitpun hingga Sivia merasa seperti orang bodoh yang berbicara sendiri. Bahkan saat Sivia berjongkok tepat di hadapan Alvin pun ia sama sekali tak melirik padanya. Fiuh…..

Bu Ning memberikan isyarat agar Sivia meninggalkan Alvin sendiri. Sivia pun juga merasa tenggorokannya sudah kering setelah berbicara panjang lebar pada Alvin (walaupun tanpa respon sama sekali). Ia pun beranjak meninggalkan balkon dan berjalan menuju Bu Ning.

“Kenapa dia seperti itu, Bu?”
Sivia menanyakan tentang sikap Alvin yang amat sangat dingin saat berjalan menuju ruang kerja Bu Ning.

“Mungkin dia masih terbayang wajah keluarganya yang dulu, Mbak.”

“Oh iya, Bu, kehidupan Alvin dulu seperti apa? Kenapa sepertinya dia memendam perasaan yang sangat sedih. Tatapan matanya seperti……”

“Kosong.”
Belum sempat Sivia menyelesaikan Kalimatnya Bu Ning sudah melanjutkannya dan tepat seperti apa yang akan dia katakan. Sivia semakin penasaran dengan anak itu.

“Enam bulan yang lalu dia saya temukan berjalan sendirian di daerah stasiun. Dia tampak kebingungan. Sepertinya mencari-cari orang tuanya. Saya pikir dia anak hilang. Saat saya tanya, dia bilang dia mencari ayahnya yang mengatakan akan membelikan minum untuknya dan menyuruhnya menunggu di ruang tunggu. Tapi Alvin mengatakan sudah hampir dua jam ayahnya tak kembali. Sepertinya ayahnya sengaja meninggalkannya. Saya sudah mencoba mengumumkannya di speaker stasiun tapi tak ada yang menjemputnya. Akhirnya saya bawa saja dia pulang. Saat itu tangannya benar-benar dingin dan gemetar, Mbak, kasihan….”

Sivia mendengarkan dengan tak henti-hentinya merinding.
“Dia pasti sangat ketakutan.” Sivia mencoba membayangkan apa yang dialami Alvin.

“Alvin bilang ibunya sudah meninggal saat dia masih bayi. Dia tidak pernah bertemu ibunya. Dia hanya tinggal bersama ayahnya. Entah kenapa ayahnya tega meninggalkan dia sendirian.”

Sivia benar-benar merasa trenyuh dengan kisah hidup Alvin. Dia bisa merasakan apa yang dirasakan Alvin karena setidaknya dulu dia juga merasakan ditinggal orang-orang yang disayanginya. Tapi bedanya kalau dia dipisahkan oleh maut yang memang tak seorangpun bisa menolaknya. Tapi Alvin, dibuang oleh orang tuanya sendiri. Betapa sakitnya hati Alvin mengalami semua itu.

“Sepertinya saya ingin mengangkat dia jadi saudara saya, Bu.”

Bu Ning seperti tidak percaya dengan apa yang barusan dikatakan Sivia.
“Tapi Mbak Via kan sudah melihat sendiri keadaan Alvin. Bahkan dia sama sekali tidak menganggap Mbak Via kan?”

“Saya akan terus mencoba meluluhkan hatinya. Jadi, mungkin saya akan sering-sering kesini nanti.”
Sivia tersenyum meyakinkan Bu Ning.

“Oh iya tak apa-apa Mbak. Saya juga akan merasa senang jika akhirnya Mbak bisa mengajak Alvin bicara. Terus terang saya sudah mencoba berbagai macam cara tapi dia sama sekali tak bergeming.”

“Iya Bu, saya akan berusaha. Mmmmm……kalau begitu saya pamit dulu. Saya akan datang lagi lain waktu.”

“Oh iya silakan Mbak. Silakan saja kalau mau datang lagi. Kalau misalnya nanti saya sedang tidak ada di rumah, Mbak langsung masuk saja. Atau bisa minta diantar sama Yuli. Anggap saja rumah sendiri Mbak.”

“Iya Bu, trimakasih……mari Bu….”

“Iya, Mbak, silakan.”

Sivia meninggalkan panti asuhan itu dengan hati yang teguh dan penuh semangat untuk meluluhkan hati Alvin. Dia benar-benar telah ‘jatuh cinta’ pada anak itu.

>>>>>>>>>>>

Dua hari kemudian Sivia datang lagi ke panti asuhan itu. Kali ini dia membawa berbagai macam makanan yang akan dia bagikan pada anak-anak panti.

Dia membagikan coklat, permen, kue dan makanan kecil lainnya pada anak-anak. Setelah itu dia menghampiri Alvin yang entah mengapa tetap berada di balkon dan duduk di tempat yang sama seperti saat pertama kali ditemuinya dulu.

“Hai Alvin….”
Sivia mencoba bersikap semenyenangkan mungkin pada Alvin. Tapi seperti biasa Alvin tetap tidak begeming.”

“Mmmmm…..aku punya coklat buat kamu.”
Sivia menyodorkan dua batang coklat pada Alvin. Jangankan menyentuhnya, mengalihkan pandangan saja sama sekali tidak. Sivia pun berpindah posisi tepat di hadapan Alvin. Dia merayu dengan berbagai macam cara agar Alvin mau menerima pemberiannya. Segala macam rayuan, bujukan, dan kata-kata manis meluncur deras dari mulut Sivia. Ekspresi ceria penuh harap pun tak mau ketinggalan dengan coklat yang terus teracung di hadapan Alvin.

Sivia pikir Alvin akan melunak dan menerima coklat yang dia berikan, tapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Tanpa disangka Alvin bereaksi di luar dugaan. Coklat yang sejak tadi teracung di hadapannya tiba-tiba dia tepis secara kasar dengan kedua tangannya hingga terjatuh.

“PERGI!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Alvin berteriak amat sangat kencang dan tampak sangat terganggu. Tatapan matanya sekarang justru tampak sangat marah pada Sivia yang sudah mengusik hari tenangnya.

Sivia benar-benar tak menyangka Alvin akan bereaksi seperti itu. Dia terpaku menatap Alvin tak percaya saking kagetnya.

“Pergi!!!!!!!”
Alvin mengulangi bentakannya. Sivia benar-benar tak menyangka. Dia pun meninggalkan Alvin perlahan dan masih tak percaya bahwa anak yang semula diam tak begeming bagai patung tiba-tiba membentaknya dengan amarah yang meluap. Sivia pun pulang dengan perasaan yang amat sangat penasaran. Tapi semua itu tak justru membuat Sivia menyerah tapi malah menambah tekadnya untuk bisa mengangkat Alvin menjadi adik.

‘Anak itu butuh kasih sayang. Dia tak boleh terus dibiarkan seperti ini atau dia akan semakin kacau‘, pikir Sivia.

>>>>>>>>>>>>>>

Sejak saat itu Sivia justru semakin sering mengunjungi Alvin. Dia terus mengeluarkan segala apa yang dia bisa lakukan untuk menarik perhatian Alvin. Mulai dari membawakannya makanan, mainan, buku cerita, menemani Alvin seharian dan menceritakan apa saja yang dia alami seharian, mendongeng bahkan bernyanyi tak jelas pun dilakukannya setiap kali dia datang menjenguk Alvin.

Berbagai perlakuan yang tak menyenangkan dan reaksi yang tak mengenakkan dari Alvin pun seringkali dialaminya. Mulai dari bentakan, teriakan, diacuhkan seharian, ditinggalkan begitu saja, didorong dengan kasar sampai sekedar tatapan marah pun pernah dialami Sivia.

Hampir dua bulan Sivia terus berusaha mendekati Alvin tapi sepertinya hasilnya nol. Benar-benar tak ada perubahan sedikitpun. Sivia mulai merasa lelah dan putus asa. Saran Bu Ning untuk memilih anak lain sepertinya harus mulai dipertimbangkan walaupun sebenarnya hatinya masih sangat amat ingin Alvinlah yang menjadi saudara angkatnya.

>>>>>>>>>>>>>>

Hari ini ulang tahun Alvin, 20 September, Sivia kembali menyempatkan diri untuk mengunjungi Alvin walaupun dia baru bisa ke panti sekitar jam 5 sore karena seharian tadi ia padat jadwal sekolah dan les. Tapi hari ini Sivia mulai berpikiran untuk melirik anak lain yang bisa dia angkat menjadi saudara. Berat rasanya bagi Sivia melepas Alvin. Tapi mau bagaimana lagi, kalau Alvin tak juga mau merespon. Dia juga tak ingin membuang waktu untuk meraih apa yang tak bisa dia raih. Yang penting kan sudah berusaha.

Sivia datang dengan membawa kue ulang tahun yang akan dia berikan untuk Alvin. Seperti biasa dia menuju balkon ruang bermain dimana Alvin selalu menghabiskan hari-harinya tanpa bosan(itu juga yang membuat Sivia heran).

Sivia menuju balkon dengan semangat yang tinggal 1/4. Hhhhh….benar-benar sulit kalau mengingat bahwa dia harus melepaskan Alvin.

Langkah Sivia terhenti sebelum sampai di balkon. Ada yang……

Alvin tidak ada disana. Kemana dia? Tidak biasanya dia tak menduduki singasana kebesarannya itu. Sivia pun bertanya pada anak lain.

“Abner, liat Alvin ngga?”

“Ngga, Kak”, kata anak yang bernama Abner.

Sivia terus bertanya pada anak-anak yang lain tapi tak ada satupun yang tau. Sivia mulai merasa khawatir. Dia letakkan kue ulang tahun yang dibawanya di meja begitu saja dan langsung menuju ruang kerja Bu Ning. Tapi Bu Ning pun tak ada di ruang kerjanya. Sivia mulai merasa panik. Dia menyusuri tempat-tempat yang dia tau di rumah itu, berharap bisa menemukan Alvin.

Alvin tak ada dimanapun. Sivia tak bisa menemukannya. Sekarang dia benar-benar merasa takut terjadi sesuatu pada Alvin mengingat kondisi psikologisnya yang tak begitu baik.

Sivia terus mencari dan mencari. Langkah kakinya juga semakin cepat seperti hampir berlari. Rumah itu sangat luas dan Sivia hampir kelelahan berlari kesana-kemari. Tapi Alvin tetap tak ada dimanapun sampai akhirnya dia bertemu Yuli yang juga berjalan tergesa-gesa.

“Mbak Yuli…”
Yuli melihat Sivia dan wajahnya tampak semakin panik saat melihat Sivia.

“Ya Ampun Mbak Via….”

“Kenapa Mbak?”
Sivia jadi semakin parno.

“Alvin mbak….”
Deg!!!!!! Jantung Sivia terasa terhenti dan dia mulai merasakan sekujur tubuhnya merinding dan berkeringat dingin.

“Alvin kenapa mbak?”
Sivia bertanya dengan nada amat sangat panik. Pikiran buruk dan bayangan yang tidak-tidak mulai melintas di benaknya. Tanpa berkata apapun Yuli langsung menggandeng tangan Sivia dan membawanya menuju halaman belakang.

“Alvin kenapa mbak?”

Sivia bertanya dengan nada amat sangat panik. Pikiran buruk dan bayangan yang tidak-tidak mulai melintas di benaknya. Tanpa berkata apapun Yuli langsung menggandeng tangan Sivia dan membawanya menuju halaman belakang.

Disana tampak Bu Ning yang duduk berlutut sambil tangannya memegang bahu Alvin yang berguncang keras. Alvin duduk bersandar di tembok dengan wajah dibenamkan di kedua lututnya yang ditekuk. Sepertinya dia menangis amat sangat hebat. Isakannya sampai terdengar dari tempat Sivia berdiri.

Sivia dan Yuli segera menghampiri Alvin. Bu Ning tampak kaget melihat Sivia datang.

“Mbak Via….” Bu Ning berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Sivia.

“Alvin kenapa Bu?”

“Ibu juga ga tau mbak. Padahal tadi pagi dia masih ada di balkon”,ujar Bu Ning tak kalah panik.

“Padahal hari ini kan hari ulang tahun Alvin. Tadi pagi anak2 juga pada ngucapin Mbak, tapi ya seperti biasa dia ga merespon, tetep aja di balkon. Waktu makan siang juga dia masih seperti biasa kok Mbak”, Bu Ning menjelaskan dengan wajah penuh kepanikan.

“Lha terus kenapa bisa menangis sampai kejang begitu Bu?”

“Aduh…ibu juga ga tau Mbak. Tadi jam 4an waktu ibu ngeberesin ruang bermain, ibu liat Alvin ga ada di balkon. Nah kan tumben-tumbenan tu Mba, langsung ibu cari si Alvin. Ibu ubeg-ubeg seisi rumah ga ketemu. Eh ternyata dia udah nangis sesenggukan disini. Sejak tadi Ibu sudah berusaha menanyakan alasan kenapa dia nangis, tapi dia sama sekali tidak menjawab.”

Alvin benar-benar menangis amat sangat hebat hingga bahunya berguncang. Dia pasti sudah menangis lama sekali. Wajah Bu Ning juga tampak sangat panik.

“Biar saya coba bertanya, Bu.”

Sivia memberanikan diri untuk mencoba walaupun mungkin reaksi Alvin terhadapnya akan lebih buruk dari apa yang diterima Bu Ning.

Sivia berlutut di hadapan Alvin dan memberanikan untuk menyentuh bahu Alvin.

“Alvin kenapa?”

Sivia mengusap rambut Alvin dengan lembut. Tangannya sedikit gemetar karena takut Alvin akan bereaksi tak terduga seperti biasanya. Jangan-jangan tiba2 dia ditampar atau didorong sama Alvin.

“Alvin……” Sivia berusaha bicara selembut mungkin.

Tiba-tiba tanpa disangka sesuatu yang tak pernah dibayangkan Sivia terjadi. Tanpa disangka Alvin tiba-tiba bangun dan langsung memeluk Sivia erat sekali. Bu Ning, Yuli dan bahkan Sivia sendiri amat sangat kaget melihat kejadian ini. Bu Ning yang sejak tadi berjongkok di hadapan Alvin saja sama sekali tak mendapat respon darinya. Tapi ini…..

Sivia merasa terheran-heran dan masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Tapi dia sekaligus merasa amat sangat senang karena Alvin mau memeluknya. Dia benar-benar senang.

Alvin memeluk Sivia dengan sangat erat. Sivia pun membalas memeluk dan mengusap rambutnya dengan lembut. Alvin masih terus menangis. Suara isakannya terdengar sangat memilukan di telinga Sivia.

Dan tanpa basa-basi lagi….

“Alvin ikut pulang sama kakak ya?”

Alvin masih terus terisak. Tangannya masih memeluk Sivia dengan erat. Dia tak menjawab pertanyaan Sivia. Hanya isakan yang terdengar dari mulut Alvin.

‘Aduh…kenapa pertanyaan itu yang keluar dari mulutku…bodohnya dikau Siv…’ batin Sivia.

“Mmmmm…tapi kalau Alvin ga mau ga apa-apa kok,”akhirnya Sivia meralat ucapannya.

Bukannya menjawab, pelukan tangan Alvin terasa semakin kuat. Sampai akhirnya Alvin menjawab dengan suara bergetar dan masih sambil terus terisak.

“Alvin…..mau….i…kut…kakak….“,tutur Alvin terbata-bata.

Sivia melihat ke arah Bu Ning dengan tatapan mata penuh harap. Bu Ning menganggukkan kepala isyarat bahwa Sivia boleh membawa Alvin pulang.

Sivia melepaskan pelukan Alvin. Ditatapnya wajah Alvin yang memerah dan basah karena terlalu lama menangis, matanya juga sembab. Sungguh berbeda dari wajah Alvin yang biasanya dingin dan tampak angkuh. Sekarang dia tampak begitu lugu dan polos dengan tampang kekanak-kanakannya. Sivia membelai rambutnya yang berantakan dengan lembut lalu mengusap air mata Alvin. Sivia memberikan satu kecupan sayang di dahinya.

Sivia mengangkat dagu Alvin yang tertunduk dan menatap matanya yang sembab. Alvin pun menatap Sivia dengan masih takut-takut. Tapi Sivia bisa melihat tatapan manja dan rindu akan kasih sayang dalam tatapannya itu.

“Kita pulang ya?”

Alvin mengangguk pelan tanda mengiyakan. Tanpa tunggu lama lagi Sivia menggandeng tangan Alvin dan membawanya menuju mobil. Sivia berpamitan pada Bu Ning dan Yuli.

“Terimakasih, Bu, sudah membantu saya selama ini. Administrasi dan segala sesuatunya akan saya urus nanti. Saya akan datang lagi.”

“Iya Mbak Via. Ibu senang akhirnya Mbak bisa membawa Alvin pulang. Tolong dijaga ya Mbak….”

Sivia tersenyum kemudian menjabat tangan Bu Ning dan Yuli. Lalu diapun membawa Alvin pulang. Pulang ke rumah baru Alvin. Rumah baru adiknya.

>>>>>>>>>>

Sampailah Sivia di depan rumahnya. Pak Oni, satpam Sivia segera membuka pagar saat Pak Joe, supir Sivia membunyikan klakson. Alvin masih tertunduk canggung dan belum berani mengangkat wajahnya. Tangan Sivia melingkar di pundak Alvin sepanjang perjalanan. Dia bisa merasakan tubuh Alvin gemetar. Dia memang sudah berhenti menangis tapi sepertinya dia masih merasa canggung dengan ‘kakak’ barunya.

Mobil berhenti tak jauh dari pintu rumah.

“Alvin, sudah sampai, ayo turun.”

Sivia menarik pelan tangan Alvin dan membawanya turun dari mobil. Begitu sudah berada di luar, wajah Alvin yang terkena cahaya matahari menjadi terlihat jelas mata sembab dan hidungnya yang memerah karena tadi terlalu lama menangis. Secara wajah Alvin kan putih sangat. Jadi, merah sedikit aja udah keliatan banget. Sivia menatapnya iba sekaligus gemas karena wajahnya yang tampak lugu dan polos.

“Ayo masuk. Ini rumah baru kamu. Rumah kita.”

Sivia merengkuh pundak Alvin. Sementara itu Alvin tak bisa menutupi rasa takjubnya akan istana yang sekarang sedang ia pijak.

Rumah yang dulu ia tinggali bersama ayahnya sudah paling bagus di komplek, tapi menjadi tak ada apa2nya setelah melihat rumah Sivia. Dia berjalan perlahan sambil terus memperhatikan keadaan sekitar. Wajah lugunya tampak begitu mengagumi rumah barunya. Terbersit rasa senang dalam benaknya bisa punya rumah sebagus ini.

“Alvin duduk disini dulu ya. Kakak ambilin minum buat Alvin….”

Alvin hanya mengangguk pelan. Dia tampak sedikit takut. Sivia hanya tersenyum lalu beranjak menuju dapur. Dilihatnya Bi Oky sedang menjemur baju di halaman belakang. Sivia pun mendekat dan menepuk pundak Bi Oky.

“Bi!”

“Eh kolor jatoh eh kolor eh jatoh eh jatoh!!!!”

Bi Oky yang latah langsung nyerocos tak karuan dengan gayanya yang selalu bisa membuat Sivia tertawa.

“Ya ampun, Neng, kagak usah ngagetin Bibi nape sih…..jatoh kan jadinya bajunya…..”,kata Bi Oky sambil memungut jemuran yang jatuh.

Sivia hanya bisa menahan tertawa melihat tingkah pembantunya yang satu ini.

“Iya deh, Bi, maafin Via.” Via kembali tertawa melihat bibir Bi Oky yang manyun.

“Eh, Bi, ada tamu spesial nih.”

Bi Oky tampak mengerutkan kening.
“Siape, Neng?”

“Adek baru aku.”

“Heh?” Bi Oky tampak belum ngeh dengan kalimat Sivia.

“Sivia udah dapet adek baru dari panti. Sekarang dia ada di depan.”

“Oalah…..” Sivia tertawa lagi melihat mulut Bi Oky terbuka amat lebar. “Kayak gimana Neng anaknya?”

“Dia lagi di ruang depan. Nah…sekarang Bi Oky bikinin minum ya buat dia. Ajakin Pak Oni juga ya. Ntar sekalian mau saya kenalin. Oke Bi?”

“ Siap juragan!!!” ujar Bi Oky sambil mengacungkan jempol pada Sivia.

“Yaudah, Sivia ke depan dulu ya. Kasihan dia ditinggal sendirian. Kayaknya dia masih takut-takut gitu, Bi.”

“Oh, iya Neng iya. Sok atuh” kata Bi Oky dengan logat sundanya.

Sivia kembali menemui Alvin di sofa depan. Melihat kedatangan Sivia, Alvin yang sedari tadi celingukan liat kiri kanan sekarang jadi tertunduk tak berani mengangkat muka. Sivia langsung duduk di samping Alvin dan mengelus pundak Alvin.

“Alvin….mulai sekarang ini rumah kamu juga. Mmmm…..kamu bisa panggil aku kakak. Dan kakak pengen kamu ga usah canggung lagi tinggal disini. Anggap saja ini rumahmu sendiri. Pokoknya Alvin biasa aja lah disini. Alvin boleh nglakuin apa aja yang Alvin mau seperti apa yang Alvin lakuin di rumah Alvin yang dulu. Ya?”

“Alvin mengangkat wajahya dan menatap mata Sivia. Seulas senyum dan anggukan pelan membuat Sivia merasa lega. Tak lama kemudian datanglah Bi Oky dan pak Oni.

“ Adoooh adoooh adoooh…..inii to adek barunya Neng Sivia. Aduh…gantengnya…..” kata Bi Oky genit sambil mengelus pipi Alvin. Alvin yang diperlakukan seperti itu menggeser tubuhnya menjauh dari Bi Oky dan mendekat pada Sivia. Sivia menatap Bi Oky dengan alis terangkat sebelah.

“hehe…..”
Bi Oky langsung menyurutkan badannya dan berangsur2 mundur.

Sivia mengambil gelas yang tadi diletakkan Bi Oky dan menyodorkannya pada Alvin.

“Alvin minum dulu gih. Pasti haus abis nangis seharian.”

Alvin menyambut gelas yang disodorkan Sivia dengan malu2. Awalnya dia hanya menyeruput sedikit jus jeruk di dalamnya sambil menatap canggung pada orang2 disekelilingnya yang memperhatikannya, tapi lama kelamaan jus jeruk itupun tandas juga diteguk olehnya.

“Nah Alvin, kenalin ya…ini Bi Oky dan ini Pak Oni. Bi Oky ini yang suka bantu2 kakak ngurus rumah. Orangnya lucu lho. Kamu pasti seneng main sama dia. Kalau Pak Oni itu satpam yang tadi ngebukain gerbang. Kalau Pak Joe yang tadi nyetir mobil, masih inget kan? Nah…kakak cuma tinggal sama mereka bertiga. Papa sama mama lagi di luar negeri. Nanti malam paling mereka telfon. Mereka juga pengen kenalan sama Alvin. Mereka belum bisa nemuin Alvin karena pulangnya cuma setaun sekali.” jelas Sivia panjang lebar.

Mendengar penjelasan Sivia entah kenapa Alvin jadi tertunduk.

“Kalau………..mama sama papa kak Sivia….ngga suka sama Alvin gimana?” Alvin bertanya lirih sambil terus menunduk.

“Alvin…. kan kami semua adalah keluarga Alvin yang baru. Kita semua sayang kok sama Alvin.”

Sivia menjelaskan panjang lebar berusaha meyakinkan Alvin agar merasa nyaman dengan keluarga barunya. Alvin tampak mengerti dan menganggukkan kepalanya pelan. Dia sudah bisa melemparkan senyum pada Bi Oky dan pada Pak Oni.

Sivia memberi isyarat pada Bi Oky agar meninggalkan mereka. Bi Oky pun mengerti tanda dari majikannya itu.

“Bibi ke dapur dulu ya, Den”,kata Bi Oky sambil menganggukkan kepala pada Alvin. Pak Oni menyusul di belakangnya.

“Nah, Alvin, sekarang kakak tunjukin kamar kamu ya. Udah kakak pilihin tepat di samping kamar kakak. Jadi kalau Alvin butuh apa2 biar deket. Yuk….”

Sivia memang sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk saudara angkatnya nanti. Apalagi setelah melihat Alvin, dia jadi semangat menyiapkan semuanya. Sok yakin kalau Alvin bakal mau jadi adiknya. Untung keturutan.

Sivia menggandeng Alvin dan berjalan menaiki tangga ke lantai dua. Kamar Alvin memang tepat di sebelah kanan kamar Sivia. Sebuah ruangan yang sangat luas dengan balkon yang bisa memandang langsung ke lapangan bola komplek. Di depan balkon itu ada pohon yang rindang sehingga udara di balkon terasa sejuk. Sivia pikir itu tempat yang pas mengingat dulu di panti asuhan Alvin suka sekali diam di balkon.

Alvin menatap kamar barunya dengan takjub. Hampir 3 kali lebih luas dari kamarnya di rumah yang dulu.

“Mmmm…..Alvin….mandi dulu trus istirahat ya. Di almari ada beberapa baju yang bisa Alvin pilih. Maklum, kemaren kakak cuma beli 3 stel. Habisnya kemaren kan Alvin cuek banget sama kakak. Jadi takutnya Alvin ga mau ikut kakak pulang.”

Sivia membuka almari dan menunjukkan baju yang bisa Alvin pakai.

“Alvin istirahat ya. Kakak mau ke kamar dulu.”

Sivia pun meninggalkan Alvin yang masih memandangi tiap sudut kamar barunya. Saat Sivia akan menutup pintu tiba2 Alvin memanggilnya.

“Makasih……Kak…..”

Walaupun terbata2 tapi Sivia merasa sangat bahagia dengan apa yang dikatakan Alvin tadi. Dia hanya membalas dengan senyuman lalu menutup pintu.

>>>>>>>>>>

Sivia memasuki kamarnya sambil senyum-senyum karena merasa senang akhirnya keinginannya untuk membawa pulang Alvin bisa terwujud. Dia melompat-lompat kegirangan sambil berbisik-bisik sendiri.

‘aku punya ade’…aku punya ade’…yes…yes…yes….’

Lelah melompat-lompat dan berlari-lari kecil seperti peri yang sedang terbang, Sivia lalu menjatuhkan badannya ke kasur. Dia masih tetap senyum-senyum sendiri karena akhirnya bisa memanggil Alvin “ade’ “.

Sivia membayangkan dia bersama Alvin akan melewati hari-hari yang indah sebagai kakak beradik. Ngobrol bareng, jalan-jalan bareng, maen bareng. Kemanapun selalu bersama seperti putri dan pangeran di kerajaan gitu. Ahahai lebay…..

‘Wuuuaaaahhhhhh….senangnya…..aku ga kesepian lagi’ pikir Sivia sambil memejamkan mata dan senyum-senyum ga jelas.

Sivia merogoh tasnya dan mengambil ponselnya. Dia berniat sms sahabatnya Oik untuk memberitahu kabar gembira ini. Dia mau pamer ke Oik kalau sekarang dia punya ade’ angkat yang super duper guanteng. Hehehe……

Tapi saat membuka ponselnya ternyata ada satu pesan masuk.

From : 08*******601
“Makan-makan, Via”

Begitu membaca sms itu Sivia sontak bangun dan duduk sambil mengernyitkan dahi.

‘dia lagi? Siapa sih?’ batin Sivia.

Sivia tak tau siapa yang mengirimkan sms itu. Dan itu sudah ketiga kalinya sms dengan isi yang sama masuk ke ponsel Sivia. Dan yang bikin Sivia penasaran, orang itu selalu sms saat Sivia tak bisa hadir di acara OSIS.

Sekitar tiga bulan yang lalu, Sivia mengikuti diklat lapangan dalam rangka pemilihan pengurus OSIS karena memang yang memegang kepengurusan OSIS adalah siwa kelas XI. Jadi, diadakan diklat lapangan dalam rangka regenerasi pengurus OSIS. Dan setelah melewati proses yang panjang akhirnya Sivia terpilih menjadi salah satu pengurusnya. Memang bukan jabatan penting sih. Hanya sebagai sekretaris salah satu bidang aja.

Satu minggu setelah pelantikan, ada acara semacam perkenalan pengurus yang baru gitu. Acaranya emang ga resmi. Cuma sekedar ngumpul di rumah salah satu kakak kelas pengurus yang lama. Dan saat itu Sivia tidak bisa hadir karena ada acara kerohanian bareng temen-temen komplek. Nah, saat itulah pertama kali nomor tak dikenal itu sms Sivia. Isinya “makan-makan, Via” Gitu doang.

Yang kedua waktu ada acara syukuran karena mantan pengurus OSIS dua tahun di atas Sivia berhasil jadi juara KTI tingkat nasional. Namanya juga sekedar syukuran. Cuma rame-rameannya anak-anak aja. Dan saat itu Sivia juga ga bisa dateng karena dia baru pulang dari Bogor. Dia nganterin anak-anak sanggar tari yang diajarnya untuk mengikuti lomba.

Dan saat itu pula nomor misterius itu sms Sivia dengan isi yang sama “makan-makan, Via”

Dan malam ini memang ada ngumpul bareng anak OSIS lagi. Buat perpisahan sama pengurus OSIS yang lama katanya. Soalnya pengurus OSIS yang lama kan sekarang sudah kelas XII jadi mereka akan konsen ke Ujian Nasional. Jadi, mungkin pengurus yang baru harus mulai belajar mandiri nih.

Nah….Sivia lupa kalau ada acara itu karena terlalu sibuk dengan Alvin. Lagipula dia tak rela kalau harus melewatkan malam pertamanya bersama adik barunya itu tanpa ada sesuatu yang berkesan. Jadi Sivia memutuskan untuk tak datang ke acara itu.

Dan tentang si nomor misterius?

‘Siapa sih ni orang? Dari dulu ditanyain kagak pernah jawab. Apa aku tanya lagi aja ya…’

Akhirnya Sivia memutuskan untuk membalas sms itu

To : 08*******601
“Sebenarnya kamu ini siapa? Anak OSIS ya? Dari dulu kirim sms isinya kayak gitu mulu. Siapa sih?”

Sivia menunggu balasan dari nomor misterius itu.

Sivia penasaran sekali sama orang itu. Lagian dari hampir 40 orang pengurus OSIS yang baru itu, siapa coba yang bisa dicurigai.

Lama Sivia menanti balasan dari nomor misterius itu tapi tak kunjung datang. Akhirnya Sivia memutuskan untuk mandi saja.

‘Peduli amat sama tu orang. Ga mau ngaku yaudah’ pikir Sivia kesal sambil beranjak menuju kamar mandi.

>>>>>>>>>>

Sivia sudah selesai mandi. Jam menunjukkan pukul 8 malam. Dia memutuskan untuk melihat Alvin dan mengajaknya makan malam.

Tok tok tok…..
Sivia mengetuk pintu kamar Alvin

“Vin……”

Tak lama kemudian Alvin membuka pintu. Dandanannya sudah lebih rapi sekarang. Mukanya juga sudah tidak merah seperti tadi.

“Iya ,Kak?”

“Makan yuk….Alvin pasti laper”,ajak Sivia.

Perut Alvin memang sudah kerocongan dari tadi. Sejak tadi siang dia belum makan apa-apa. Apalagi dia habis nangis sekuat tenaga tadi sore. Dasar Alvin sok-sokan nangis segala sih. Laper kan lo?

Alvin hanya mengangguk malu-malu pada Sivia. Sepertinya dia masih canggung. Sivia hanya tersenyum lalu merengkuh pundak Alvin dan mengajaknya ke ruang makan.

Di ruang makan pun Alvin tak segera mengambil makanannya. Akhirnya Sivia mengambilkan nasi dan lauk untuk Alvin. Sivia memahami perasaan Alvin yang tampak belum terbiasa.

“Alvin makan yang banyak ya…..Biar tambah ganteng…..” seloroh Sivia sambil nyengir. Apa hubungannya coba…

Alvin menyuapkan nasi ke mulutnya dengan perlahan. Walaupun sebenarnya perutnya sudah sangat keroncongan ingin segera menyantap hidangan di depannya. Tapi dia tau diri lah. Belum juga ada sehari dia tinggal disini. Apalagi kalau ingat semua perlakuannya ke Sivia selama ini. Alvin jadi tak enak hati. Makan malam pun berjalan dengan hening. Alvin makan sambil terus menunduk. Sedangkan Sivia tak mau mengalihkan pandangannya dari wajah adiknya itu.

Sivia memperhatikan wajah Alvin. Mata sipitnya yang bening tapi memancarkan kesedihan (kayak lagunya zigas), hidungnya yang mancung terbentuk sempurna di atas bibir merah merekah yang kalau sedang tersenyum manisnya ampun ampunan dah. Kulitnya putih bersih. Ahhhh….(sebenernya itu kesan penulis kalau liat Alvin ;D) Sivia sungguh terpesona dengan adik barunya ini. Pengen rasanya dia bawa Alvin ke teras trus teriak “Wooooiiiiii!!!!!! Kenalin nih ade’ku yang pualing guanteng!!!!!!!”

Sivia hanya senyum2 sendiri memperhatikan wajah Alvin.

Selesai makan malam Sivia mengajak Alvin nonton TV. Upin Ipin…..Alvin menatap layar TV dengan wajah serius dan sedikit tegang. Sedangkan Sivia masih memandangi adiknya itu. Dia perhatikan segala polah tingkah Alvin. Dia garuk2 kepala, mainan jari, ngucek2 mata, semuanya Sivia perhatikan. Dia merasa sayaaaaang banget sama Alvin.

Asyik memperhatikan Alvin tiba2 Sivia terkesiap karena teringat sesuatu.

“Mmmmm…Vin….”

Alvin yang sedari tadi berwajah serius jadi sedikit kaget tiba2 Sivia bicara.

“Iya , Kak?”, jawab Alvin pelan.

“Kakak boleh nanya sesuatu ga?”

Alvin hanya mengangguk. Sungkan juga kakaknya pake minta ijin segala mau nanya doang.

“Kamu tadi kenapa nangis?”

Wajah Alvin lanhgung berubah rona. Dia langsung menunduk tak berani menatap waqjah Sivia. Sivia masih menunggu jawaban Alvin.

“Ga papa….cerita aja sama kakak…..”

Sivia menanti Alvin membuka mulutnya. Menunggu satu kalimat meluncur dari bibir Alvin bagaikan menanti hujan di musim kemarau. Ceilee……gaya lo….habisnya Alvin ngirit banget sih kalo ngomong. Kaya kalau ngomong bakal kena pajak aja.

“Mmmmmm…..Alvin….”

Alvin mulai membuka suara…..walaupun baru nada dasar….semoga ada lanjutannya…….

“Alvin takut…..”
Sivia tak mengerti maksud perkataan Alvin.

“Takut apa?” Tanya Sivia perlahan terus berusaha agar Alvin mau terbuka padanya.

“Mmmmm…….Takut kakak benci sama Alvin.”

‘?????? Lah??? Ada hubungannya sama aku?’

“Maksud Alvin gimana sih? Kok kakak belum nyambung ya….”

“Kemaren itu hari ulang tahun Alvin, tapi sampai sore kakak ngga datang. Alvin pikir kakak benci sama Alvin karena Alvin selalu kasar sama kakak. Alvin pikir kakak ga bakal datang lagi. Alvin kira kakak mau ninggalin Alvin.”

Alvin sudah berkaca2, hidungnya juga mulai memerah.

‘Wahhh…..Jadi Alvin takut aku tinggalin? Berarti dia sebenernya sayang dong sama aku?’

“Berarti….Alvin sayang dong sama kakak?”

Alvin hanya diam……air matanya sudah jongkok di garis start. Siap meluncur. Sivia jadi semakin gemes sama dia. Dia pun memeluk Alvin yang sepertinya sudah tak kuat lagi nahan pengen nangis. Wajahnya tampak begitu polos.

“Maafin kakak… kemaren kakak sibuk les jadi baru bisa datang sore. Kakak ga benci kok sama Alvin. Kakak sayaaang banget sama Alvin.” Ucap Sivia sambil terus memeluk adiknya.


“Alvin jahat sama kakak……”

Sivia tak menyahut.

“Alvin selalu bikin kakak kesel, nyuekin kakak, bentak2 kakak…..Alvin bikin kakak susah…..” Kalimat Alvin terdengar seperti bisikan. Dia mengucapkannya perlahan dan dengan nada sedih.

“Kakak ngerti kok. Alvin juga butuh waktu menyesuaikan diri dengan kehadiran kakak. Yang penting sekarang kan Alvin ade’nya kakak. Kakak sayang sama Alvin. Dan kakak pengen Alvin juga sayang sama kakak. Alvin ga boleh canggung2 lagi kalau sama kakak. Alvin boleh minta apa aja.”

Sivia melepas pelukannya lalu memandang wajah adiknya.
“Jangan nangis lagi ya…..”

Alvin mengangguk…….dia mengusap air matanya sendiri dan kembali tertunduk.

“Yaudah……sekarang udah malem. Kakak mau tidur dulu. Alvin kalau masih mau nonton gapapa. Tapi jangan kemaleman tidurnya ya.”

“Alvin tidur aja, Kak…”
“Yaudah…yuk….”

>>>>>>>>>>

Keesokan harinya saat Sivia akan berangkat sekolah Alvin belum bangun. Hari ini Sivia harus berangkat lebih awal karena Kak Gabriel udah nunggu proposal Studi Banding yang diketik oleh Sivia. Akhirnya Sivia berangkat tanpa pamit pada Alvin setelah sebelumnya dia titip pada Bi Oky untuk menemani Alvin.

Di sekolah…..

Sivia berjalan ke ruang OSIS sambil menebar senyum ke semua orang yang ditemuinya entah kenal maupun ngga. Masih terbayang2 ade’ barunya. Maklum, Sivia kan pengen punya saudara udah dari dulu.

Ternyata di ruang OSIS sudah ada Oik dan Kak Gabriel.

“Pagi!!!!!” Sapa Sivia semangat.

“Via….kamu kemana aja sih kemaren? aku sms ga dibales. Kenapa ngga ikut kumpul?” Oik bukannya menjawab sapaannya malah memberondong dengan pertanyaan.

“Tau ni Via. Kemana sih? Perasaan kalau ada kumpul ga pernah dateng.”

“Hehe…..” Sivia malah cengar-cengir.

“Coba tebak……”pancing Sivia sambil meletakkan proposal yang diminta Gabriel.

“Apaan sih?” tanya Oik penasaran. Gabriel memandang Sivia sebentar kemudian kembali menekuni proposal yang diserahkan Sivia.

Sivia semakin senyum2 ga jelas.

“Aku punya ade’ baruuuu!!!!!!” tiba2 Sivia teriak dengan muka sumringah seperti tanpa dosa.

“Hah????” Oik dan Gabriel barengan.

“Maksudnya?” Gabriel yang ga ngerti duduk permasalahan semakin mengernyit mendengar pengakuan Sivia.

“Iya, Kak…..aku udah ngangkat ade’. Namanya Alvin. Anaknya lucu deh…”

“Ooooh…..” Oik yang sudah mengetahui rencana Sivia mengangkat adik mulai paham. Sementara Gabriel masih celingak celinguk ga ngerti.

“Eh,ada yang tau ga ini nomor siapa?” Tiba2 Sivia mengalihkan pembicaraan sambil menunjukkan ponselnya yang berisi sms dari nomor misterius kemaren.

“08*******601?” Gabriel mengeja nomor yang dilihatnya.
Oik dan Gabrial kompak menggeleng.

“Emang kenapa,Vi?”

“Gapapa….penasaran aja….kayaknya anak OSIS……Eh…aku ke kelas dulu ya…..eh,Kak….ntar kalau ada yang salah kasih tau aku ya…maklum masih pemula.” Kata Sivia sambil mengedikkan mata pada Gabriel.

Gabriel memang sudah ga menjabat lagi. Tapi tuh anak doyan banget mangkal di ruang OSIS. Maklum…..Oik, pacarnya Gabriel kan sekarang jadi bendahara umum. Dan Sivia suka nanya2 ke dia tentang OSIS. Termasuk proposal Study banding ini. Sivia minta Gabriel untuk neliti kalau ada yang salah.

“Ok…” Gabriel mengacungkan jempolnya pada Sivia yang sudah sampai di depan pintu.

Sivia masih senyum2 tak jelas di sepanjang perjalanan ke kelas……Tiba2 ponselnya bergetar, ada sms.

From : 08********601
“senyum2 sendiri…..”

Sivia reflek tengok kanan tengok kiri merasa ada yang sedang mengawasi. Dia makin penasaran. Siapa sebenernya orang ini?

>>>>>>>>>>

Sudah hampir 3 minggu Alvin tinggal bersama Sivia. Mama dan papa Sivia sepertinya juga menyukai Alvin walaupun baru melihat dari foto yang dikirim Sivia lewat email dan baru ngobrol dengan Alvin sekali lewat telfon. Mereka percaya Sivia memilih dengan pertimbangan yang tepat. Sivia memang selalu bisa diandalkan.

Alvin sudah mulai banyak tersenyum. Kemarin Sivia terkaget2 karena sepulang sekolah dia melihat Alvin tertawa terbahak-bahak bersama Bi Oky. Dia merasa sangat senang Alvin sudah bisa menyesuaikan diri.

Alvin juga mulai suka jalan2 di sekitar komplek dengan sepeda baru yang dibelikan oleh Sivia. Kadang ia ditemani oleh Pak Joe main basket atau futsal di lapangan komplek. Dia juga mulai mau bercerita pada Sivia tentang teman2 barunya di komplek. Tentang si Ozy yang kerjaannya kemana2 ngemutin batang rumput, tentang Nyopon yang ketawa kalau ngga ditepuk pundaknya ngga bisa berenti, tentang Lintar yang suka surat-suratan sama Nova, dan semua yang ia alami sepanjang hari pasti diceritain pada Sivia.

Tak jarang Alvin ketiduran di kamar Sivia karena menemani kakaknya mengerjakan PR. Walaupun di kamar Alvin ada TV lengkap dengan DVD dan PS, tapi Alvin lebih suka melihat kakaknya komat-kamit menghapal rumus atau menggaruk2 kepalanya saat sedang kesulitan mengerjakan tugas.

Tapi tak jarang juga dia diajak menginap di rumah Ozy yang juga merasa kesepian karena anak tunggal.

Smentar itu Sivia menikmati hari2 barunya sebagai seorang kakak. Terkadang sepulang sekolah dia membawakan coklat untuk Alvin. Minggu lalu Sivia, Alvin, Oik dan Gabriel jalan bareng ke dufan. Alvin tampak sangat menikmati dunia barunya.

Dan si nomor misterius itu benar2 membuat Sivia penasaran setengah mati. Dia bisa melihat apa yang dilakukan Sivia di sekolah. Tapi Sivia sama sekali ga tau itu siapa.

Saat Sivia sedang kesal dan lesu sampai2 jalan sambil nunduk terus, tu nomor misterius juga sms

“Awas nabrak. Muka kok ditekuk begitu.”

Sivia sudah berulang kali menanyakan identitas si pengirim tapi tak ada balasan sama sekali. Tapi Sivia masih tetap yakin dia pasti anak OSIS.

>>>>>>>>>>

Hari ini sekolah Sivia libur karena guru2 ada rapat komite. Sekitar jam setengah 7 pagi Sivia melihat Alvin sudah duduk di teras rumah sambil menatap jalanan komplek yang ramai anak2 akan berangkat sekolah. Alvin menatap mereka dengan tatapan yang seperti……apa ya…..iri mungkin….

Sivia yang melihat Alvin seperti itupun langsung menepuk jidatnya sendiri seakan teringat seseuatu. Dia diam sejenak seperti berpikir, lalu kemudian berjalan mendekati Alvin.

“Vin…..”, kata Sivia sambil duduk di samping adiknya.

“Alvin tampak kaget “Eh, kak Via……”

“Mmmmmm….kakak pengen ngomong sesuatu nih sama Alvin….”

“Apa kak?”

“Kalau minggu depan kakak daftarin Alvin ke SMP gmn?”

Alvin kaget mendengar pertanyaan kakaknya. Dia merasa seperti mendapat durian runtuh. Kakaknya benar2 tau apa yang dia inginkan.

“Mau Kak mau……” Alvin menjawab dengan penuh antusias.

“Kalau begitu senin depan kakak daftarin Alvin ke SMP ya.”
“SMP yang sama kayak Ozy ama Ray aja Kak……Biar ntar Alvin bisa sama2 mereka terus. Lagian ntar disana aku………”

Alvin tidak melanjutkan kata2nya tetapi justru terdiam dan menundukkan wajahnya. Dia merasa terlalu banyak menuntut pada kakaknya. Terus terang masih ada sedikit rasa canggung jika meminta yang tidak2.

“Lagian????” Sivia menanti lanjutan kalimat Alvin.
“Mmmmm….ngga Kak. Soal SMP nya terserah kakak aja.”

Sivia memahami perasaan Alvin yang mungkin tak ingin merepotkan dia.

“Kakak bakal daftarin kamu di sekolah yang sama kayak mereka.”

Alvin sontak mengangkat wajahnya dan tersenyum sangat lebar.
“Yang bener kak?” Alvin seolah tak percaya.

“Iya…..”
Sivia menjawab sambil tersenyum.

Alvin pun tak henti2nya mengucap terima kasih. Sivia senang jika adiknya bahagia.

>>>>>>>>>>

Alvin turun dari mobil dengan perasaan berdebar. Sudah cukup lama dia tidak menghirup udara sekolah. Enam bulan berada di panti asuhan, dia sama sekali tak ada semangat untuk sekolah dan akhirnya dia hanya menghabiskan waktunya di balkon kesayangannya itu. Dan sekarang dia masuk kembali ke SMP.

“Alvin mau kakak anter sampai kelas?”

“Eh, ngga usah Kak…Alvin masuk sendiri aja. Paling ntar juga ketemu sama Ozy sama Ray.” Alvin mencoba meyakinkan Sivia.
“Yaudah kalau begitu kakak tinggal ya. Nanti kalau udah pulang kamu sms pak Joe. Hp Alvin dibawa kan?”
“Iya kak. Alvin masuk dulu ya. Dah Kakak….”

Alvin berjalan semangat menyusuri koridor. Celingukan liat sana liat sini mencari kelasnya.

“Ray bilang….masuk koridor, ada logo SMP terus belok kanan. Kelas pertama di sebelah kanan.” Alvin menggumam sambil terus berjalan. Alvin sekelas dengan Ray,sedangkan Ozy beda kelas.

Di kejauhan tampak Ray melambaikan tangan memanggil Alvin.
“Vin!!!”

“Nah itu dia.” Alvin mempercepat langkahnya menghampiri Ray. Ozy ada di sebelah Ray.

“Wah….akhirnya kita sekolah bareng juga Vin. Bakal seru nih.”
Alvin mengangguk semangat.

“Ntar aku kenalin ke cewekku Vin, namanya Acha.” Ozy ikut senang mnyambut kedatangan Alvin.

Wuuuu….dasar…cewek mulu yang dipikirin.” Ray menjitak kepala Ozy. Ozy cuma nyengir dan Alvin senyum liat tingkah mereka. Dan karena itu pula sepertinya ada yang pingsan di seberang sana. Jiahhh lebay…….maksudnya….ada yang memperhatikan Alvin di kejauhan. Melihat Alvin tersenyum dia juga ikut senyum2 sendiri.

Bel masuk pun berbunyi
“Eh….aku ke kelas dulu ya.” Ozy melambaikan tangan pada dua temannya.

“Eh,Vin,kita tunggu Bu Ira masuk aja ya. Biar ntar kamu sekalian dikenalin.”
“Ok….” Alvin nurut saja.

Tak lama kemudian Bu Ira pun datang dan langsung mengenali Alvin. Kebetulan Bu Ira adalah wali kelas Alvin. Kemaren Sivia sudah bicara langsung pada Bu Ira. Mereka pun masuk ke kelas.

Baru selangkah Alvin memasuki ruang kelas, sudah banyak korban berjatuhan. Hehehe……..lebay.

Lebih tepatnya, para kaum hawa langsung tertusuk panah asmara waktu liat temen barunya ternyata gila2an cakepnya.
Bisik sana bisik sini. Kelas jadi riuh rendah karena bisikan2 para cewek.

“Huaaa…..cakepnya…”
“Buset….manis banget….”
“Wew…..Justin Bieber simpen dulu ah…..yang ini lebih kinclong”
“Gila bling bling cling banget anak baru ntu”

Ada yang cuma melongo sambil matanya ngekor terus kemanapun Alvin pergi. Memandangi sambil senyum2 sendiri dan membayangkan yang tidak2.

Hari pertama Alvin sekolah terasa seperti jumpa fans. Sampai pegal tangan Alvin salaman terus dari tadi. Dan 99,99 persen (kayak iklan) yang ngajak salaman adalah cewek. Dari anak2 satu kelas, dari kelas sebelah, ampe kelas seberang pun kagak mau ketinggalan. Kakak kelas aja ada yang kepincut juga sama senyum menawannya Alvin.

“Muke gile, Bro. Tau gini kamu ga aku suruh sekolah disini. Bisa turun nih pamorku kebalap sama kamu.” Ozy nepuk pundak Alvin keras banget.

“Wuuuuuu dasar Ozy….kayak kamu punya pamor aja. Harga diri aja tinggal dikit apalagi pamor, ngutang dimana, Zy?” ucap Ray sambil ngejitak kepala Ozy.
Bukannya tersinggung si Ozy malah ngakak.

“Tau aja kamu Ray…”

Alvin,Ozy dan Ray pun ketawa bareng. Dan sepasang mata yang sedari tadi memperhatikan Alvin juga ikut tersenyum melihat Alvin senyum dan ketawa bareng temennya.

>>>>>>>>>>

Sore itu Sivia berniat merevisi proposal yang kemaren dia mintakan pendapat ke Gabriel. Ada kurangnya sedikit. Saat sedang sibuk menekan keyboard komputer tiba2 terdengar teriakan Alvin dari kamarnya disertai suara benda pecah. Sivia langsung bergegas menuju sumber suara. Di kamar Alvin dilihatnya Alvin sedang duduk ngangkang di lantai. Di sampingnya tergeletak kursi dan pecahan2 kaca bertebaran di sekitarnya. Tangan Alvin berdarah karena terkena serpihan kaca.

“Alvin!!!! Kamu kenapa?” Sivia bergegas membantu Alvin bangun dan menuntunnya ke kasur.

“Bi!!!!!”
Bi Oky berjalan tergopoh2 ke kamar Alvin.

“Iya Neng…”
“Tolong ambilin P3K ya Bi…sama ini pecahan kaca tolong diberesin ya. Alvin luka nih.”

“Ya Ampun Den. Iye Den, Iye. sabar ya Den…..Jangan nangis dulu”

‘Yeee siapa juga yang mau nangis’ pikir Alvin.

“Kamu kenapa sih Vin? Kok bisa jatoh sampe ada gelas pecah segala?”
Sivia meniup2 luka di telapak tangan Alvin.

“Tadi Alvin mau naruh buku ini di rak atas, tapi karena ga nyampe yaudah Alvin pake kursi. Pas udah naik, kaki Alvin tiba2 keseleo trus jatuh. Tangan Alvin nyenggol gelas yang ada di meja jadi jatoh juga.” Alvin menjelaskan sambil meringis merasakan luka berdarah di telapak tangannya.

Bi Oky datang membawa kotak P3K, sapu dan pengki. Setelah menyerahkan P3K pada Sivia, Bi Oky langsung membereskan pecahan2 gelas yang berserakan. Sivia mengobati luka Alvin dengan hati2. Setelah selesai, Sivia meninggalkan kamar Alvin dan kembali ke kamarnya sendiri.

Sivia kembali menekuni proposal yang akan dia edit. Terdengar Bunyi Hp. Ada sms masuk.

From: K’ Iel
“Vi,nomor misterius yang kamu tanyain kemaren udah tau punya siapa?”

To : K’ Iel
“Blm. Sapa?”

From : K’ Iel
“Itu nomornya…………

Tidak ada komentar: