Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Senin, 08 Agustus 2011

SECARIK KERTAS BIRU MUDA (CERPEN)


"So? Apa kamu bersedia?" Tanya Alvin pada Ify seusai ujian.



Tanpa menghiraukan pertanyaan cowok itu, Ify berjalan melintasinya menuju ke luar kelas sambil menggendong tas nya yang berwarna pink. Dirogohnya ponsel yang terletak di saku bajunya. Tak ada pesan. Alvin mengekor sambil memperhatikan setiap gerak-gerik Ify dengan tak sabar.



"Fy?" Alvin kembali bersuara menyadarkan Ify akan keberadaannya.



Ify berhenti dan menoleh. "Tapi, sampai kapan?"



"Sampai aku yakin bahwa kekhawatiranku gak cukup beralasan." Dipandangnya Ify dengan penuh harap. "Ya? Please."



Tak tega menolak sosok tampan disampingnya, Ify mengangguk terpaksa. "Yaudah deh."



"Yes!! Thanks ya Fy!" Sorak Alvin kegirangan. "Ke kantin yuk! Aku yang traktir."





***





Di kantin, Sivia dan Shilla duduk bersebelahan dekat rombong bakso, menunggu pesanan. Seperti biasa, setiap istirahat tiba, tempat itu selalu penuh dan riuh. Mata Sivia memandangi setiap cowok yang masuk, berharap seseorang di antara mereka adalah sosok yang dinantikannya. Tapi… dia belum muncul juga.



Tak lama kemudian, Pak Mul dengan dua mangkuk panas di tangan menghampiri meja mereka. Memaksa Sivia mengakhiri pencarian dan mulai menyantap baksonya.



"Siv." Shilla menyikut lengan Sivia. "Lihat deh siapa yang datang."



Sivia mengangkat kepalanya. Dengan jari telunjuk, dia memperbaiki posisi kaca mata minusnya yang agak melorot dari pangkal hidung. Potongan bakwan yang baru masuk ke mulutnya seketika berhenti di kerongkongan. Membuatnya terbatuk, saat dia melihat Ify, cewek tercantik di kelas Alvin, bergelayut pada lengan cowok itu dengan mesra. Segera diraihnya segelas es the untuk melancarkan, kemudian disekanya bibir dengan punggung tangan. Dia mendadak merasa tak enak. Berita buruk apa yang akan di dengarnya siang ini? Batinnya.



"Kamu gak papa, Siv?" Tanya Shilla khawatir.



"Nggak papa kok. Cuma bakwannya nyangkut di kerongkonganku." Sivia berusaha tersenyum menutupi gejolak hatinya.



"Alvin jadian sama Ify ya? Kok kamu ga cerita ke aku Siv?" protes Shilla.



Sivia mengedikkan bahu. "Aku juga nggak tahu."



"Lho? Kamu kan sahabatnya Alvin."



"Gatau tuh dia."



Seketika itu juga Alvin mendekati meja mereka dan menyapa riang. "Hai! Lama nunggunya?"



Tanpa basa-basi, Shilla segera mencari tahu. "Kalian jadian? Sejak kapan?"



Alvin dan Ify saling berpandangan dengan senyum penuh arti, kemudian mengangguk bersamaan. "Sorry belum beritahu. Aku mau ngasih kejutan aja buat kalian berdua." Ujar Alvin nyengir seraya menatap Sivia menunggu reaksinya.



Sivia diam saja tanpa ekspresi. Meskipun berbagai pertanyaan mulai muncul di benaknya. Aneh! Mengapa Alvin tidak pernah bercerita tentang perasaannya pada Ify? Sejak kapan mereka mulai akrab? Kapan mereka jadian? Tangannya sibuk mengaduk kuah bakso dengan sendoknya. Mengusir keresahan yang mendadak menyergapnya.



"Kamu ga mau mengucapkan selamat ke aku, Siv?" tegur cowok itu membuyarkan lamunannya.



"Oya, selamat buat kalian berdua." Ucapnya dengan senyum yang dipaksakan.



"Thanks! Kita pesen makanan dulu ya. Laper nih." Alvin mengusap perut.



Ketika Alvin dan Ify berlalu, dipandanginya punggung mereka bergantian. Sivia bisa merasakan kecemburuan tiba-tiba menggelegak dalam dirinya. Ada apa dengan dirinya? Mengapa dia ingin sekali merenggut tangan Ify dari lengan cowok itu? Tapi apa haknya? Alvin hanyalah sahabatnya. Tidak boleh lebih! Begitulah kesepakatan yang telah mereka buat bersama. Mereka berjanji untuk tidak merusak persahabatan mereka dengan cinta.





***





Ujian Nasional hari kedua telah lewat. Masih ada beberapa mata pelajaran lagi. Salah satunya Bahasa Inggris. Sepulang dari sekolah, Alvin akan belajar bersama Sivia karena dia paling jago dalam mata pelajaran ini. Dia melangkahkan kakinya menuju kelas Sivia. Namun, sesampainya disana, kelas sudah kosong melompong. Kemana Sivia? Fikirnya seraya melanjutkan langkah. Dari kejauhan tampak Shilla lari tergopoh-gopoh ke arahnya.



"Liat Sivia gak, Shill?" Tanya Alvin ketika mereka berpapasan.



"Sivia lagi di perpus sama Cakka. Aku balik ke kelas dulu ya. Kartu perpusku tertinggal!" sahutnya setengah berteriak sambil terus berlari.



Cakka? Mendengar nama itu saja Alvin merasa sebel. Apalagi membayangkan cowok itu berduaan dengan Sivia di perpustakaan. Diam-diam Alvin menganggapnya sebagai rival. Cakka sudah lama menaruh hati pada sahabatnya yang manis dan baik hati itu. Dan setiap ada kesempatan selagi dirinya tidak disamping Sivia, Cakka mendekatinya. Dengan gesit Alvin bergegas menuju ke perpustakaan. Ia tak ingin memberi kesempatan lebih lama lagi pada Cakka untuk merayu Sivia.





***





Siang itu di perpustakaan tak terlalu banyak pengunjung. Hanya segelintir anak yang datang mengembalikan buku. Sesekali Sivia melayangkan pandangan ke arah pintu dan melirik arloji. Tiga puluh menit sudah dia menunggu keberadaan Alvin. Ugh! Mengapa dia belum datang juga? Gerutunya dalam hati.



"Dia pasti pulang duluan, Siv." Cakka berusaha meracuni otak Sivia.



"Nggak mungkin ah Kka. Kita udah janjian mau belajar bareng siang ini." Sanggahnya.



Menyadari kesempatan untuk bisa mengantar Sivia pulang sangatlah tipis, Cakka memutuskan untuk pergi. Dia bangkit dan memasukkan bukunya ke dalam tas. Kemudian dirogohnya saku celana dan dikeluarkannya kunci motor.



"Aku pulang duluan ya Siv. Kamu nggak papa nunggu sendirian di sini?"



Sivia menggeleng. "Thanks udah mau nemenin aku sebentar tadi. Hati-hati di jalan ya."



Cakka mengangguk. Baru beberapa langkah pergi menjauh, Cakka berbalik. "Oiya, apa Alvin beneran pacaran sama Ify, Siv? Akhir-akhir ini mereka kelihatan lengket?"



Meski terusik, Sivia mengangguk sekilas. Cakka tersenyum lega.



Setelah Cakka menghilang dibalik pintu, raut muka Sivia spontan berubah. Keramah-tamahan yang di tahannya sejak tiga puluh menit yang lalu seketika lenyap. Berubah menjadi sendu. Ia menangis. Sejak mendengar berita dari Alvin, Sivia sering tampak murung. Semangatnya ke sekolah juga mulai mengendur. Tak tahan dirinya melihat kemesraan Alvin dan Ify. Dan sejak saat itulah dia baru menyadari ada sesuatu yang telah tumbuh di dalam dirinya. Sesuatu yang tak kuasa ia tolak dan diakui sering mengganggu tidurnya. Sesuatu yang membuatnya ingin memiliki Alvin lebih dari sekedar seorang sahabat. Inikah jatuh cinta?



Sepasang matanya tertumbuk pada selembar kertas biru muda yang menyembul di antara halaman buku di hadapannya. Ditariknya kertas itu. Ia coretkan goresan hasil tangannya. Ditatapnya beberapa larik kalimat yang tersusun rapi tanpa berkedip. Dia mendesah kecewa.



"Sivia!" sebuah suara menyergahnya dari seberang sana.



Alvin! Seru Sivia dalam hati. Segera dilipatnya kertas hasil coretan tangannya dan kembali diselipkan ke dalam buku itu. Milik Alvin.



"Apa itu?" Tanya Alvin penasaran. Matanya tambah menyipit.



"Hanya selembar kertas berisi ungkapan hati." Sivia berdiri dan membereskan buku-bukunya. Kemudian dia melangkah ke tempat penitipan untuk menjemput tas. Alvin mengikuti dan mencercanya.



"Pasti dari Cakka. Aku melihatnya ke luar tempat ini. Apa kamu menerimanya?"



"Entahlah. Mungkin."



"Kamu menyukainya?"



"Dia baik. Dan yang terpenting dia bukan sahabatku."



Sivia tertegun seolah baru menyadari setiap respon yang meluncur dari bibirnya. Ups! Apa yang kukatakan? Rutuknya. Tetapi dalam sekejap mata, dia berubah fikiran. Mungkin akan lebih baik begini sehingga rahasia hatinya dapat tersimpan dengan rapi. Biarlah perasaannya saja yang ia korbankan. Asal bukan persahabatan yang telah mereka bangun selama tiga tahun.



Dia menoleh dan mendapati Alvin mengernyitkan kening tanda tak senang. Cemburukah dia? Ah! Tak mungkin. Hati Alvin hanya untuk Ify.



"Udah siang. Lebih baik kita pulang sekarang." Ajak Sivia.





***



Sepanjang perjalanan Alvin mendadak gagu. Mencoba menerka ungkapan hati Cakka di atas kertas warna biru muda yang diselipkan di antara halaman buku miliknya yang dipinjam oleh Sivia. Namun yang paling mengusiknya adalah kenyataan bahwa mereka bersahabat dan mungkin karena batasan yang mereka telah tetapkan, Sivia tidak punya perasaan lebih untuknya. Tak akan pernah! Jelas sudah. Fikirnya. Dipacunya motor itu lebih cepat. Sivia tersentak kaget dan spontan mengencangkan pegangan.



"Aku langsung pulang aja ya, Siv." Pamit Alvin sesampainya di depan pagar rumah Sivia.



"Lho? Nggak jadi belajar bareng?"



"Aku baru ingat punya janji ngantar mamaku." Dustanya. Sejujurnya pernyataan Sivia telah mengerutkan semangatnya.



"Oke deh. Kalau ada yang gak ngerti untuk ujian besok, telepon aku aja ya, Vin!"



Alvin mengangguk. Tanpa menoleh lagi, dia melarikan motonya meninggalkan Sivia yang bertanya-tanya pada diri sendiri. Ada apa dengannya?





***



Setelah dua minggu melepaskan ketegangan selama ujian, Sivia kembali menapakkan kaki ke sekolah untuk mengetahui hasi kerja kerasnya. Waktu baru menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit ketika dia tiba di sekolah. Dilihatnya sudah banyak anak berdesakkan di depan sebuah papan besar dimana terpampang deretan nomor peserta ujian nasional. Sesekali terdengar sorak girang dari mereka yang lulus. Ada juga yang menyelinap pergi dengan wajah ditekuk. Dengan bersusah payah, dia dan Shilla menyeruak ke dalam kerumunan. Mereka menyusuri setiap angka dengan perasaan khawatir.



"Nomorku ada disini Siv! Aku lulus!" seru Shilla.



"Punyaku juga!" sahutnya lega.



"Alvin juga lulus!"



Mereka berpelukan. "Selamat ya."



"Aku cari Alvin dulu mau kasih tau dia." Sivia melepaskan pelukannya.



"Oke aku tunggu disini, Siv!"



Sembari berlari kecil, Sivia segera menuju ke kelas Alvin. Sudah dua minggu tak terdengar kabar darinya. Ada kerinduan bersemayam dalam kalbu. Melalui jendela kelas, dilihatnya Alvin duduk berhadapan dengan Ify. Diurungkan niatnya. Dengan perasaan kecewa dan kerinduan yang meronta, Sivia berbalik. Tetapi, naasnya Alvin terlanjur menangkap bayangannya dan segera menyusul.



"Siviaa!" teriaknya.



Sivia berhenti tanpa berpaling. Ia tak mau kalau tiba-tiba air matanya menetes tanpa alasan di depan Alvin.



Alvin menyentuh bahunya. Memaksanya berputar menghadap ke arahnya. Pandangan mereka bertemu dan untuk pertama kali sejak mereka bersahabat, Alvin memandangnya dengan tatapan yang beda. Sebuah tatapan yang berpusat dari dalam hati dan sulit diterjemahkan oleh Sivia. Namun cukup untuk membuat jantungnya berdebar.



"Kamu mencariku?" Tanya Alvin yang disusul dengan anggukan oleh Sivia. "Untuk apa? Tumben."



"Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kelulusanmu, dan…" Sivia diam sejenak berusaha menyingkirkan ganjalan yang menghimpit di dada. Alvin menunggunya dengan sepenggal harapan yang masih tersisa. Kemudian dia melanjutkan, "…sekalian aku mau pamitan."



DEG!



Jantung Alvin berhenti berdetak. Kaget. "Pamitan? Maksudnya?"



"Papaku di pindahtugaskan ke Balikpapan. Kami berangkat dalam beberapa hari kedepan."



"Mendadak sekali?"



"Kepastiannya juga baru diterima beberapa hari yang lalu."



Hening. Alvin tak tahu harus berbuat apa. Sivia berbalik dan segera pergi melarikan mendung yang perlahan merembes keluar melalui setiap pori di wajah sebelum cowok itu mengetahuinya.



Ify menghampiri Alvin yang masih bergeming. "Sebaiknya kamu berterus terang selagi masih ada kesempatan."



"Tidak Fy. Kesempatan itu tak akan pernah ada untukku. Dia sudah memilih cowok lain. Cakka." Gumamnya sambil berlalu meninggalkan Ify yang menggelengkan kepalanya.





***



Setelah mencuci motor dan mengeringkannya dengan kain bersih hingga mengkilap, Alvin menuntun motornya ke garasi. Sudah dua hari ini Alvin menyibukkan diri untuk melampiaskan kesedihannya karena Sivia akan pergi. Sekaligus mencoba membunuh angan yang terpendam dan rasa yang tak tersampaikan.



Tiba-tiba terdengar suara teriakan Angel, kakaknya, dari balik pintu.



"Vin, ada yang nyari tuh!"



Alvin bangkit dan menyeret kakinya keluar. Di teras, dilihatnya Shilla bersandar pada pilar. Sempat terlintas di otaknya Sivia lah yang bertamu ke rumahnya. Ternyata bukan. Hanya sahabatnya.



"Eh? Vin?" Shilla menarik tubuhnya dan berdiri di depan Alvin. "Ada titipan dari Sivia. " Shilla menyerahkan sesuatu yang tampaknya sebuah buku. Terbungkus rapi dengan kertas koran.



"Sivia di rumah kan? Kok gak dia sendiri aja yang ngasih bukunya ke aku? Apa karena dilarang Cakka?"



"Hah? Ngaco ah! Sivia udah berangkat dari tadi pagi Vin. Jadwalnya dimajukan."



"Oh." Sahutnya kecewa. Sangat.



Setelah Shilla pergi, Alvin masuk ke kamar. Diliputi rasa ingin tahu, buru-buru di robeknya pembungkus itu. Ternyata hanya sebuah buku miliknya yang dipinjam oleh Sivia. Berfikir tak lagi memerlukannya, di lemparnya asal buku itu. Ia sedih karena tak bisa bertemu dengan Sivia di detik-detik terakhirnya.





***



Dia menidurkan tubuhnya di taman belakang rumahnya. Hatinya kosong. Fikirannya kembali terbang di mana Sivia memilih Cakka di perpustakaan itu. Sejak saat itu hidupnya tak keruan. Walaupun tak secara langsung Sivia mengatakan kalau dirinya dengan Cakka resmi berpacaran, kertas biru muda itu merupakan bukti kuat dalam benak Alvin.



"Kertas itu? Astaga!"



Dengan cepat ia berlari ke arah kamarnya. Menghambur semua barang-barangnya untuk mendapatkan buku yang ia buang asal beberapa hari lalu.



"Nah ini dia! Untung masih ada." buku itu ia temuka tergeletak di bawah ranjang tempatnya tidur.



Dengan tak sabar, Alvin membuka cepat halaman per halaman yang ada pada buku itu. Ditemukannya selembar kertas berwarna biru muda. Kertas yang sama. Tangannya bergetar dan jantungnya berdetak keras ketika membuka lipatan kertas itu. Mendadak nafasnya tertahan.



"Lho? Ini kan tulisannya Sivia? Iya! Ini tulisan Sivia! Bukan tulisan Cakka!" serunya kegirangan sendiri. Apa isi kertas itu?



Hari-hari yang ku lewati bersamamu

Telah menumbuhkan sesuatu yang menggebu

Membuat jantungku berpacu

Kala mata bertemu



Namun kesadaran menggugah kalbu

Aku tak mungkin memilikimu

Hatimu bukan untukku

Dan sahabat… itulah peranku



Mengapa harus dia?

Mengapa harus Ify?

Mengapa bukan aku?

Yang menjadi kekasihmu…



Alvin loncat kegirangan. Ia tersenyum bahagia. Puisi Sivia bagaikan tetesan embun yang menyejukkan taman hatinya yang kering. Kuncup bunga cintanya yang terkulai layu perlahan-lahan mulai mekar. Menggugah kerinduan. Membangkitkan asa. Membunuh seluruh kekhawatiran. Cintanya terjawab sudah. Ia tenang. Tinggal menunggu kapan waktu mempertemukannya dengan Sivia. Hanya itu… Hanya dia.. Hanya Sivia.. Secarik kertas biru muda itu menjadi saksi bisu cinta mereka. Cinta Alvin dan Sivia..





***




Gantung ya? wkwk sengaja mah saya-_- Cerpen kedua nih. Jujur ga terlalu bakat buat cerpen saya. Jadi kalau ngerasa ga sreg mohon dimaafkan yaa:D



Anyway, CK nya saya undur dulu ya jadi gantinya ini. Buat selingan deh. Saya ngerasa feel CK agak menghilang ditiup debu(?)



Like dan comment nya saya tunggu yaaa:) Spesial buat anak ALVIANH nih .. yaudah deh saya capcus! Jangan jadi pembaca gelap yaa bubay:)



Cerpen ini juga bisa dilihat di resaechaa.blogspot.com

Follow me -@Resaechaa






Tidak ada komentar: