Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Selasa, 02 Agustus 2011

"CINTA KEDUA" PART 17

Buat Siviyoholic, Selamat bersenang-senang yaa:) Happy reading!

***

Dia memarkirkan kendaraan roda duanya di dalam garasi. Bajunya basah akibat hujan yang turun lumayan deras. Dia tersenyum simpul. Dengan segera, dibukanya pintu rumanya. Dilihatnya seorang laki-laki lebih kecil darinya sedang mondar-mandir seperti orang kebingungan. Handphone tergenggam kuat di tangan anak itu. Sesekali dia menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin sama sekali tidak gatal.

"Ray?"

Seketika itu juga Ray mengarahkan kepalanya ke arah orang yang menegurnya. Senyum terkembang di wajahnya. Dengan cepat Ray berlari ke arah kakaknya.

"Akhirnya datang juga." Ray sudah berada di depan pintu bersama Cakka. Matanya mengeliling keluar rumah. Tapi apa yang dicarinya tak juga nampak di kedua matanya.

"Sivia?" Tanya Cakka seolah-olah bisa membaca fikiran adik semata wayangnya ini. Ray melihat ke kakaknya. Ia mengangguk pelan.

Cakka tersenyum simpul. Lalu dengan cueknya ia hanya mengangkat kedua bahunya tanda tak tau keberadaan Sivia. Ray tidak percaya begitu saja. Ia mencegat kakaknya untuk tidak pergi kemana-mana dulu sebelum dirinya tahu tentang Sivia.

"Lo bohong kak! Jelas-jelas lo pulang sama Kak Sivia kan tadi?"

"Emang."

"Terus?"

"Terus terus apa sih ah gue capek mau tidur Ray!"

"Terus Kak Sivia nya lo kemanain Kak?"

"Diculik jin kali! Ah gue gak tau dia dimana! Gausah bawel kaya Sivia deh Ray."

"Lo bohong Kak!"

"Emang!" Cakka sudah ingin beranjak pergi, namun kini lengan tangannya di genggam kuat oleh Ray. Matanya isyaratkan kemarahan. Baru pertama kali Cakka melihat mata Ray yang begitu merah padam. Ia diam.

"Lo jangan kerjain Kak Sivia terus dong Kak! Ga kasian apa lo sama dia? Dia anak yatim piatu Kak! Seharusnya lo sadar sama kelakuan-kelakuan lo yang bikin dia sakit! Udah cukup dia menderita Kak! Seharusnya lo bersyukur kita masih punya Papah. Sedangkan Kak Sivia? Apa? Dia punya apa? Gaada Kak! Gaada!"

Ray mengambil jeda sebentar. Nafasnya tak beraturan. Dia sudah tidak tahan dengan kelakuan-kelakuan Cakka yang begitu menjemukkan.

"Terus hubungannya sama gue apa?" Cakka menepis tangan Ray. Hatinya seperti terbagi dua. Di satu sisi dirinya membenarkan perkataan Ray. Tapi di sisi lain, ia menentang itu. Hatinya masih keras.

"Lo gak punya alasan buat membenci semua cewek Kak! Kak Sivia itu baik banget! Perhatiannya udah kaya Bunda! Seharusnya lo bisa ngerti itu! Gue benci sama lo Kak!!" Ray berlari meninggalkan Cakka dengan air mata yang sudah menggenangi pelupuk matanya. Ia sudah tak tahan. Dengan cepat ia berlari ke kamar Sivia. Mencari suatu benda yang bisa membuka hati Cakka. Lalu kembali keluar mendatangi Cakka yang masih terdiam di depan pintu rumahnya. Mungkin merenungkan perkataan Ray yang seperti tamparan keras dalam hidupnya.

"Dia udah ga punya orang tua lagi Kak! Dia udah ga punya siapa-siapa di dunia ini. Coba aja lo
bisa buka mata hati lo Kak! Lo liat Kak Sivia. Betapa hebatnya dia hidup tanpa bundanya. Sedangkan lo? Apa? Lo gak pernah menerima takdir!" Ray memberikan benda itu. Lalu benar-benar pergi meninggalkan Cakka seorang diri. Setelah sebelumnya setetes air mata jatuh dari salah satu matanya.

Hening. Suara hujan saja yang ia dengar. Tak ada lagi umpatan-umpatan keras dari adiknya. Mengapa ia begitu bodoh? Mengapa disini adiknya terlihat lebih dewasa dibanding dirinya? Ia menunduk. Sebagian besar hatinya mengakui kesalahannya. Tapi sebagian kecil masih ada rasa keras kepala dalam dirinya.

Ia menunduk. Setelah kepergian Ray tadi, tubuhnya terasa lemas. Baru kali ini ia mendapat kecaman dari orang. Bahkan orang itu adalah saudaranya sendiri. Tangan kirinya mengepal. Menguatkan tubuhnya yang rasa-rasanya sudah tidak sanggup untuk berdiri. Tangan kanannya memegang benda yang diberikan oleh Ray tadi.

Ia memperhatikan benda itu. Sebuah foto usang yang didalamnya ada satu laki-laki dewasa, dan istri laki-laki itu disampingnya, sedang anak perempuan kecil berkepang dua tersenyum sumringah di antara kedua orang tuanya sambil memegang boneka.

"Sorry, Siv."


***


Dia menyeka keringatnya yang bercampur dengan setitik air hujan di dahinya. Kakinya terasa sakit. Punggungnya terasa berat seperti memikul beban lebih dari berat badannya. Kepalanya sedikit pusing. Ia tak menyangka harinya bakal seburuk ini. Rentetan kejadian yang baru beberapa saat dialaminya itu membuat dia sedikit tidak bersemangat untuk hidup. Banyak sekali cobaan dan rintangan kehidupan membentang di jalur nasibnya.

Ia menutup matanya sejenak. Merasakan rasa sakit yang mendera di pergelangan kaki sebelah kanannya. Perih. Sama perihnya seperti hatinya saat ini. Hancur. Ia tak sanggup untuk ini semua. Ia tak kuat. Sempat ada rasa penyesalan merasuki fikirannya. Penyesalan bertemu dengan Pak Dermawan dan menerima tawaran itu. Tawaran yang ia fikir dulu adalah satu celah untuk menggapai kebahagiaan, malah berbanding terbalik. Ia menyesal. Tapi? Dirinya tidak bisa menolak takdir. Takdir yang membuatnya seperti ini. Ini bukan kesalahannya. Ini adalah kesalahan oleh takdir itu sendiri.

Langit semakin hitam. Awan kelabu menghalangi matahari untuk memancarkan sinar panasnya. Sivia, dia merenungi nasibnya yang begitu laknat.

"Kenapa semua ini terjadi?" Dia menatap langit yang semakin lama semakin banyak juga seuntai air yang jatuh. "Kenapa harus aku, Tuhan? Kenapa?"

Air matanya sukses meluncur. Lumayan deras. Sama seperti hujan yang pada saat itu mengucur bersamaan.

"Apa Tuhan tidak sayang lagi denganku?"

"Apa cobaan ini pertanda bahwa aku sangat dibenci oleh-Mu, Tuhan?"

"Aku tidak sanggup."

"Aku menyerah."

"Kau sangat kejam! Sedikit pun aku tidak bisa mencicipi kebahagiaan."

"Aku tidak pernah meminta berada di posisi ini, Tuhan!"

"Aku juga ingin bahagia."

"Sedikit saja.."

"Mengertilah.."

"Euh! Maaf, aku menghujat-Mu, Tuhan." Dengan cepat ia menyeka air matanya yang sempat menetes. Mencoba menghirup udara dan lalu menghembuskannya perlahan. Ia tak ingin menghujat Tuhan. Kenapa ia seperti ini?

' Ini bukan Aku! Aku gak gampang nyerah! Sadar Sivia! Sadar! '

Ia menguatkan dirinya sendiri. Mencoba tersenyum pada langit. Langit yang sempat ia tatap dengan tatapan sinisnya. "Gue Sivia! Dan gue gadis yang kuat!"

Ia mencoba berdiri, walaupun susah. Ia memaksa. Perlahan kakinya melangkah lagi. Rasa sakitnya ia tutupi dengan senyuman manis yang merekah dari bibirnya. Dalam langkahnya, ia menunduk dan terus menahan rasa sakit yang mendera. Entah di bagian luar tubuhnya. Maupun di bagian dalam. Yang jelas, senyum itu tak akan pudar sampai ia benar-benar menyerah.


***


Dia memperhatikan itu dengan seksama. Jelas terlihat. Sosok itu tersenyum memandang langit. Setitik air hujan pun tak mampu membuat senyum gadis itu luntur. Dia terus memperhatikan gadis itu sampai pada saatnya, jantungnya berdebar kuat manakala sang gadis sudah hampir berjalan mendekatinya.

Dia menelan air ludah. Ia tak yakin gadis ini adalah sosok yang telah lama ia cari. Ia menguatkan kakinya untuk melangkah. Berat. Ia tak mampu. Tapi, ia harus melawan rasa takutnya. Rasa takut jikalau sosok itu bukanlah seseorang yang ia tunggu.

"Hai."

Deg!!

Kini sosok itu berhenti tepat di depan dirinya berdiri. Sapaannya tadi sukses membuat sosok itu menghentikan langkahnya. Gadis itu dengan cepat mengangkat wajahnya yang ia tundukkan sedari tadi.

Pandangan mereka beradu. Mata itu. Berbicara seakan meminta tolong untuk menghapus kesedihannya. Mata itu. Mata yang mengisyaratkan kerinduan. Entah sejak kapan rasa rindu itu ada. Bagi Rio, mata itu adalah hatinya. Mata itu begitu berarti untuknya. Mata itu begitu memberikan makna dalam hidupnya selama ini.

Ditatapnya mata itu. Cairan bening menumpuk di sudut matanya. Mata seorang gadis yang selama ini ia cari titik keberadaannya. Dan sekarang? Terjawablah penantian itu. Penantian yang sangat lama. Gadisnya telah kembali sekarang. Kembali kehadapannya.

"Kak… Rio?"

Tanpa menunggu lagi, ia rengkuh gadis itu kedalam pelukannya. Erat. Hangat. Tenang. Ia merasa damai. Ditengah kedamaiannya, ia menangis. Ini kedua kalinya ia menangis dalam hidupnya. Ia peluk gadis itu erat. Tak peduli langit yang hitam terus menjatuhkan segerombol air hujan. Ia tak peduli. Yang jelas, ia ingin merasakan ketenangan ini. Ketenangan bersama gadisnya yang sempat hilang. Sivia..

"Kak Rio, maafin Via, dulu ninggalin Kak Rio tanpa sebab.."

Rio semakin mengeratkan pelukannya. Tak ingin gadis ini pergi lagi. Pergi meninggalkannya sendiri. Sendiri? Ah tidak! Rasanya dia tidak sendiri. Sadar! Ada Ify disana. Mencintainya dengan sepenuh jiwa.

Rio merasakan handphone yang ia taruh di kantung celananya bergetar. Ia yakin itu satu pesan singkat dari Ify. Kekasihnya. Sesaat ia memejamkan mata. Mencoba untuk tidak peduli terhadap hal itu. Mengabaikannya. Ia tahu ini salah. Tapi, dalam diam, ia memohon. Biarkanlah. Biarkanlah dirinya menjaga perasaan ini. Perasaan yang takkan pernah hilang walau ia coba beribu kali pun. Izinkanlah dia untuk mempertahankan perasaan liar dalam hatinya untuk Sivia. Egois? Memang! Ia cinta dengan Sivia. Dan siapapun tak akan bisa menghalanginya. Walaupun cara ini salah..

' Maaf, Fy.. '

Tak berbeda jauh dengan Sivia. Ia juga sangat bersyukur bisa bertemu cinta lamanya di tempat yang tidak salah. Ia bersyukur karena diizinkan oleh Tuhan untuk bertemu. Ia sudah sangat lama rindu dengan Rio. Rindu dengan perhatian dan kasih sayangnya. Rindu dengan semua yang ada di diri Rio.

'Terima kasih, Tuhan.. Eng-Kau telah memberiku sedikit kebahagiaan.. '

Sivia membalas pelukan erat Rio. Menumpahkan segala kepenatan yang ada. Ia berharap kesakitannya hilang semua terangkat menjauh dari dirinya. Ia merasa begitu nyaman. Keletihannya berkurang. Ini semua akibat Rio. Rio lah yang memberikan kekuatan ini. Kekuatan yang sudah sangat lama tak ia rasakan.

"Aku kangen, Kak." Ia tak ingin membohongi perasaannya. Cukup sudah ia membohongi orang-orang di sekitarnya. Kali ini, ia serius. Hatinya merasa berbunga-bunga. Senang. Masih dalam pelukan Rio, ia menangis dalam kebahagiaan.

"Aku lebih kangen sama kamu, Vi."

Rio. Sivia. Dua-duanya larut akan keheningan sore yang begitu nyaman. Hujan sudah tak terlalu membasahi bumi. Hanya setitik setitik saja. Suasana sangat hening. Hanya beberapa orang saja yang berlalu lalang dengan kendaraannya. Dan mereka sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar mereka.

Rio melepaskan pelukannya. Matanya menatap Sivia sendu. Ia berdua tersenyum. Malu. Seperti sepasang yang sudah tidak bertemu bertahun-tahun. Baik Rio maupun Sivia. Tak ada obrolan yang ingin diutarakan diantara keduanya. Entah bagaimana caranya meluapkan emosi kebahagiaan yang mendera antara mereka. Tak bisa dilukiskan. Hanya mereka yang tahu tentang ini.

"Sekarang kamu tinggal dimana, Vi? Sama siapa?"

Sivia tersenyum. Masih menatap Rio. "Kak Rio tenang aja ya, Via berada di rumah yang tepat kok." Sivia mencoba menyakinkan Rio tentang keadaannya.

Rio membalas senyuman Sivia. Rasanya hari ini cukup. Besok pasti dirinya bisa bertemu lagi dengan Sivia melihat seragam yang dikenakan Sivia sama dengan seragamnya.

"Aku anter kamu pulang ya, udah sore nih." Rio melihat ke arah langit. Warna hitam langit sudah berubah menjadi warna orange. Itu tandanya, matahari sudah tak ingin menampakkan sinarnya kembali.

Sivia mengangguk. Masih terkembang senyum keharuan di wajahnya yang cantik. Rasa dingin pun sudah tak ia hiraukan. Ia senang. Ia bahagia. Berteu dengan Rio adalah sebuah anugerah. Ini adalah awal semangatnya yang baru. Mungkin..


***

Shilla merenung di kamarnya. Memperhatikan layar laptop dengan walpaper bergambarkan Cakka dengan dirinya dalam kegiatan MOS di sekolahnya beberapa minggu yang lalu. Tak hanya ada dirinya dengan Cakka dalam foto tersebut, ada juga anak-anak OSIS lainnya seperti Alvin, Lintar, Dayat, Dea, dan.. Gabriel.

"Loh? Ini?"

Shilla semakin mengerutkan keningnya manakala ia menyadari keganjilan foto tersebut. Dalam foto itu, ia di apit oleh Cakka dan Gabriel. Cakka berdiri di sebelah kanannya merangkul pundaknya dengan manis. Sementara dirinya sendiri tersenyum senang mengarah ke arah kamera. Tapi laki-laki yang berdiri di samping kirinya ini yang membuatnya berbeda. Disaat semua pandangan objek foto itu ke arah kamera, kakak kelasnya itu malah memandang ke arah lain. Ke arah dirinya. Diri Shilla.

"Ah mungkin ada siapa kek yang manggil Kak Gabriel waktu di foto. Jadi aja dia ga liat ke kamera."

Shilla menyimpulkan argument yang menurutnya memang wajar. Dan di fikirannya sekarang adalah : Tidak mungkin bukan seorang laki-laki seperti Gabriel yang sudah mempunyai kekasih, menyukai orang lain?

Ia tersenyum mengingat wajah Gabriel. Saat terakhir bertemu di depan toilet wanita. Cool. Satu sifat yang ia dapatkan dari Gabriel. Dan yang paling tak bisa dilupakan oleh Shilla adalah dimana saat Gabriel linglung atau menganehkan. Wajah manisnya yang lucu pasti terlihat seperti orang yang sedang kebingungan. Ia tak tahu apa sebab kakak kelasnya berlaku seperti itu.

Seketika itu juga, handphone nya bordering. Satu sms masuk.

From : Gabriel
Selamat sore ;)

Shilla mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian ia tertawa. Baru saja ia memikirkan tingkah aneh Gabriel, orangnya langsung mengirimkannya pesan singkat yang tak di duga-duga. Dengan cepat, ia membalas sms itu.

To : Gabriel
Sore juga Kak! ;) Tumben sms?

From : Gabriel
Gpp dong. Eh? Chat ym yok shill. Batre sama pulsa gue sakaratul maut^^

Shilla semakin tertawa. Bagaimana mungkin pulsanya habis? Dan yang paling membuatnya bingung, di detik detik pulsanya habis, Gabriel malah mengirimkan sms kepadanya. Bukan kepada Agni..

Shilla langsung membuka laptopnya. Klik aplikasi Yahoo Messenger dan lalu ber-chat ria dengan Gabriel. Kakak kelasnya yang semakin lama semakin dekat dengan hidupnya. Dan ia akui, itu sedikit banyak bisa melupakan rasa sakit hatinya pada Cakka, walaupun baru beberapa persen saja..


Sementara itu dibelahan Jakarta lainnya…


Dia berdiri di pinggir jalan. Dia memakai baju kaos biasa dan celana jeans panjang sehabis latihan basket di salah satu lapangan indoor. Tangannya sibuk menekan tuts handphone yang ia punya. Hatinya gelisah. Manakala seseorang yang daritadi dihubunginya, sama sekali tidak memberikannya respon. Nomornya tidak aktif. Dari sepuluh sms yang ia kirim hanya satu yang berhasil dan sisanya tidak terkirim.

"Loh? Agni? Ngapain disini?"

Seketika dia mencari arah suara yang baru saja menegurnya. Ia mendapati seorang laki-laki berdiri sambil memegang kunci mobil dan minuman kaleng. Baju yang sama simple seperti dirinya. Kaus biasa dan celana jeans. "Alvin?"

"Iya. Lo kok sendirian? Gabriel mana?"
Agni langsung menunduk mendengar nama Gabriel. Wajar saja, setelah pulang sekolah tadi Gabriel berjanji akan menjemputnya, tapi? Palsu! Omong kosong! Sejak beberapa hari ini Gabriel selalu megingkari janjinya. Entah disengaja ataupun tidak. Agni tidak tahu. Yang jelas, ia kecewa..

"Justru itu Vin. Gabriel gak bisa dihubungin."

Alvin memicingkan matanya. Tumben setumben tumbennya nomer Gabriel tidak bisa dihubungi. Ia pun juga bingung. "Lo mau pulang, Ag? Bareng gue aja deh." Ucapnya. Hanya itu yang bisa ia lakukan.

"Ga ngerepotin, Vin? Mending gue naik taksi aja deh."

"Hah? Ya enggaklah. Udah gak usah sungkan. Lagian rumah kita kan searah juga. Jadi sekalian."

Agni tersenyum mengangguk. "Boleh deh.."

Alvin ikut tersenyum. Dengan cepat ia membuka pintu mobilnya lalu mempersilakan Agni untuk masuk. Hatinya senang. Walaupun hanya sekedar mengantarkannya pulang, ia sudah sangat bahagia. Kesempatan ini jarang terjadi. Maka dari itu, ia sengaja melambatkan mobilnya agar ia bisa lebih lama berdua dengan Agni.

Biarlah.. Biarkanlah dia juga merasakan setitik kebahagiannya.


***

Sivia duduk di bangku mobil di samping Rio. Beberapa jam yang lalu, Ify lah yang menduduki kursi itu. Entah mengapa, Rio lebih senang jika Sivia yang berada di sampingnya. Bukan Ify. Perasaan yang sempat ingin ia lupakan, kini kembali bermuara di hatinya. Liar memang. Namun ia tak peduli. Sivia lah orang yang di sayanginya. Bukan Ify.

"Rumah kamu dimana, Vi?"

Sesaat Sivia terdiam. Bukan karena malu. Bukan karena bisu. Tapi, ia takut. Tiba-tiba ia teringat akan statusnya dengan Cakka. Status hubungan berpacaran nya dengan Cakka. Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini?

"Vi?"

"Hah? Eh itu kak di Perumahan Damai Indah."

"Perumahan Damai Indah? Berarti sama kaya Cakka dong sahabat aku."

DEG!!

Dunia seperti neraka baginya. Bagi Sivia. Sivia merasa darahnya membeku. Tubuhnya diam tak bergerak. Cakka? Rio? Sahabat? Kalimat Rio tadi sukses membuat kepalanya mendengung. Sakit. Ia meminta sedikit kebahagiaan kepada Tuhan. Nyata nya memang sedikit kebahagiaan yang ia dapatkan. Siapa yang patut disalahkan disini? Takdir. Lagi-lagi takdir yang begitu laknat bagi Sivia.

"Udah di Perumahannya nih. Rumah kamu yang mana Vi?"

"Itu Kak!" Seketika itu juga Sivia menunjuk satu rumah yang bercat kuning padam di depan mobil Rio.

' Maaf kak, aku berbohong lagi.. '

Sivia hendak turun dari mobil Rio, namun, tangan kanannya di tahan oleh tangan dingin Rio. Mata mereka beradu lagi. Kerinduan itu masih melekat di diri mereka masing-masing. Rio tersenyum manis memandang wajah teduh Sivia. Rambut Sivia basah. Bajunya juga baru setengah kering. Namun Rio tak memperdulikan itu. Melihat gadisnya utuh saja ia sudah sangat senang.

"Jangan tinggalin Kakak lagi ya, Vi." Ucapnya. Nadanya seperti memohon.
Sivia menggangguk tersenyum lalu dengan cepat keluar dari mobil Rio dan menutup pintu mobil itu. "Makasih ya Kak!"

Dengan membawa kebahagiaan, Rio mengemudikan mobilnya pulang menuju rumahnya. Hari ini adalah hari terbaik yang pernah ada. Di sepanjang perjalanan, ia tersenyum. Tak menyangka bahwa ia akan di ketemukan lagi dengan Sivia. Perasaan bahagia memuncak di dadanya. Ah kalimat apa lagi yang harus aku tulis untuk menggambarkan perasaan Rio?.. (Apadeh-_-)

Sedetik kemudian ia merogoh handphone nya yang sempat ia lupakan keberadaannya. Dilihat di layarnya terdapat 2 new messages. Dengan cepat ia membuka kedua isi pesan tersebut.

From : Ify

Aku juga sayang kamu, Kak :3

From : Ify

Terima kasih banyak sudah membalas perasaanku
Aku cinta kak Rio hehe :)

Sesaat ia terhenyak. Kepalanya pusing. Ia abaikan pesan itu dan lalu kembali mengemudikan mobilnya. Perasaan bimbang kembali melanda hatinya. Dilema itu kembali menyeruak. Ah dia pusing. Ia tak ingin memikirkan hal ini. Ia memaksa bayang-bayang tentang Ify untuk pergi dari kepalanya. Namun tak bisa.. Wajah Ify selalu terbesit di otaknya.

' Biarkanlah mengalir.. Tuhan pasti menunjukkan jalan yang tepat untukku.. Yah. Aku percaya itu.. '


***

Sivia sampai di rumah itu. Bukan rumah yang ia tunjukkan kepada Rio tadi. Melainkan rumah Cakka. Ia mengetuk pintu rumah itu pelan. Tubuhnya basah kuyup akibat hujan di tengah siang tadi. Mukannya putih pucat. Jarak antara tempat ia diberhentikan oleh Rio tadi sampai ke rumah Cakka memang agak jauh. Nafasnya tersengal. Kaki kanannya terlihat semakin biru.

"Sivia?" seseorang sudah membuka pintu. Dilihatnya kondisi Sivia yang begitu memprihatinkan. Wajahnya pucat. Ia menyesal. Menyesal akan kebodohannya menurunkan Sivia di pinggir jalan tadi.

"Sorry Siv, gue gak.."

Sedetik itu juga Sivia jatuh. Bukan ke lantai. Melainkan ke pelukan Cakka. Dengan sigap Cakka menahan tubuh Sivia yang sangat dingin. Ia menyesal kali ini. Benar-benar menyesal. Ia tak akan memaafkan dirinya sendiri kalau sampai terjadi hal yang tidak diinginkan pada Sivia.

"RAY!! CEPAT KEBAWAH!! SIVIA PINGSAAAAN!!"




***

Ya Tuhan..

Ngetik di bulan puasa bikin tambah lemes beneran deh. Memeras otak aaaaa. Anyway buat pembaca apapun saya lakukan deh haha. Bener bener ga nyangka udah sampe part 17. Haha terimakasih banget ya buat semuanya yang udah nunggu. Yang udah ngelike yang udah comment ah semuanya deh. Kalian semua selalu di hati sayaa (apadeh-_-)
Makasii juga yang udah marah2 sama hacker fb saya ah thank you so much banget semuanyaaa:*
Yaudin, comment sama like CK yaa:) kalo gamau notif nya penuh, comment nya di wall saya aja *berharap*

Oke see you
Cerbung CK ini juga dapat dilihat di resaechaa.blogspot.com
Follow me - @Resaechaa

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Ka lanjutin dong bagus ceritanya aku penasarab endingnya