Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Senin, 22 Agustus 2011

"CINTA KEDUA" PART 2O

Halo teman-teman saya balik lagi sebelum sebulan vakum:p hihi sorry deh, anyway, kalo CK nya semakin memuakkan dan menjenuhkan, maafkanlah saya:O Semoga senang yaa happy reading!


***


Seperti dua merpati yang terbang berbeda arah, merangkai hidup dengan jalur yang berbeda pula. Mereka. Sivia dan Gabriel. Saling menceritakan isi hatinya. Di pertemuan kedua ini. Sivia tidak lagi mengaku sebagai sosok yang bertemu di mall atau apalah alasan lainnya. Ia mengaku sebagai dirinya sendiri. Via. Sivia Azizah.

"Jadi Mario yang kamu ceritain dulu itu, Rio sahabat aku, Vi?" Gabriel menggelengkan kepalanya tak percaya. Tangannya dilipat di depan dada menunggu Sivia mengeluarkan suara.

"Iya Mario Stevano." Sivia menarik jeda sebentar. "Aku juga kaget Yel kenapa bisa disekolahkan disini sama Ayahnya Cakka. Sampai ketemu lagi sama kalian semua. Ozy, kamu dan yang pasti setelah ini aku akan bertemu dengan Ify." Sivia duduk di sebuah bangku sekolah yang sudah tidak terpakai. Perihal keluarga Cakka sudah dijelaskan lebih dulu oleh Sivia kepada Gabriel. Mereka berbicara di belakang sekolah yang sepi dari murid-murid.

"Hm. Sudah tiga bulan ini Rio sama Ify pacaran Vi." Gabriel menarik kursi yang lain lalu menaruhnya di dekat Sivia. Ia ingin bercerita sedikit tentang Rio. "Awalnya memang Rio nggak mau membalas perasaan Ify. Tapi, aku liat akhir-akhir ini, kayaknya Rio sudah membuka hatinya untuk Ify. Dan menutup masa lalunya bersama kamu." Gabriel menebak-nebak apa yang terjadi dengan orang terdekatnya itu. "Tapi itu menurut aku sih."

"Yah. Aku juga berpikir kayak gitu, Yel. Oiya, Aku sudah ketemu sama Rio kemarin."

"Hah? Ketemu Rio? Serius kamu Vi? Terus ngapain aja?"

"Ceritanya panjang Yel. Intinya, pas ketemu itu, dia minta aku buat jangan pergi lagi. Aku senang. Aku seperti menemukan semangat hidupku lagi. Tapi tanpa aku sadari, ternyata Ify sudah berhasil mendapatkan Rio. Aku gak tau sekarang harus berbuat apa, Yel." Sivia menundukkan kepalanya. Hatinya kembali sesak mengingat perlakuan manis yang diberikan Rio kepada Ify tadi. Apakah dia cemburu? Iyalah..

"Hm cuman kamu yang tau apa yang terbaik buat kamu, Vi. Aku disini cuman bisa support kamu dan bantu kamu keluar dari masalah-masalah itu. Kalau kamu ada perlu, datengin aku aja ya. Aku pasti ada buat kamu. Karena kita--"

"--karena kita sahabat!" belum sempat Gabriel meneruskan kalimatnya, Sivia lebih dulu melanjutkan. Mereka berdua tersenyum. Sivia sudah mengangkat kepalanya lagi. Sebagian hatinya sudah mulai terisi dengan ketenangan.

"Hahaha..! Bisa aja kamu Vi. Senyum dong jangan sedih terus ya!" Sivia mengangguk pelan. "Oiya, terus? Cakka? Aku ga nyangka deh dia minta kamu jadi pacar pura-puraannya dia. Ck." Gabriel mendecak bingung. Mencoba menerka apa sebenarnya maksud, niat, dan tujuan Cakka berlaku seperti itu.

"Aku juga gak tau, Yel. Palingan akal-akalannya aja buat ngerjain aku." Sivia memperhatikan kuku-kukunya. "Cakka itu gila ya?"

Gabriel mengerutkan keningnya. Dalam hati dia amat sangat meng-iyakan pendapat Sivia. Namun, sangat tidak mungkin dirinya menjelekkan sahabatnya sendiri di depan sahabatnya yang lain. "Cakka baik kok, Vi. Kamunya aja mungkin yang berlebihan."

Sivia menganga sesaat. Lalu mimik mukanya menampakkan kekesalan yang amat besar. "Cakka? Baik? Yaallah Yel. Kamu di bayar berapa sama Cakka sampai-sampai mau menilai dia baik? Tobat aku." Sivia mengetukkan kepalanya pelan satu kali lalu ke tembok satu kali dan begitu seterusnya sampai tiga kali. "Amit-amit, Yel amit amit!"

"Hahaha..! Luluhin dong hatinya biar dia berubah." Gabriel berkata asal. "Buat dia bisa jatuh cinta dong. Aku liat, semua mantan-mantannya gaada yang dipacarin lebih dari dua minggu Vi."

Sivia menggelengkan kepalanya. Berita itu sudah dia dengar dari Ray sebelumnya. "Ogah. Peduli amat. Hatiku masih untuk Rio." Ucapnya acuh. Gabriel tertawa renyah mendengar pendapat dari Sivia.

"Oya Vi, kenapa kamu gak bilang ke ayahnya Cakka kalau kamu itu korban dari kekerasan orangtua Ify?" Gabriel terlihat serius kembali. Pertanyaan ini sebenarnya sudah menari-nari di kepalanya dari tadi.

Hening. Sivia terlihat menerawang. Ingatannya kembali ke satu tahun silam. Dimana dirinya di depak dengan paksa oleh orang tua Ify tanpa peduli sedikit pun. Kejam memang. "Aku gak mau membuat hidup Ify dan Ozy menderita Yel. Aku sudah tau bagaimana hidup tanpa kasih sayang kedua orang tua. Dan aku gak mau kejadian itu terjadi sama mereka. Aku sayang mereka. Untuk itu, apapun pasti kulakukan demi mereka." Jelas Sivia.

"Sampai mengorbankan hak milikmu dan perasaanmu, begitu?"

"Kalau itu yang terbaik, kenapa engga?"

"Tapi kan itu terbaik cuman buat mereka. Buat kamu apa, Vi?"

Sivia tersenyum kecut. "Kalau mereka senang, aku pun ikut senang."

"Howalaaah." Gabriel menyerah. Tak ada gunanya ia berlama-lama beradu argument dengan Sivia. Sivia memang berhati keras. Hatinya terbuat dari apa ya sampai ia sanggup berbuat seperti itu?

"Oh iya, Yel. Kamu udah dapat kecengan belom disini? Hihi.." Sivia mencoba membahas topik lain.

"He? Aku? Eh nggak ada." Dustanya.

"Ah masaaa?"

"Gaada Vi!"

"Ih boong ah. Kalo ada cerita aja ya gausah ditutup-tutupi, oke?"

"Haha…! Sip tuan putri."

Mereka terus berbincang tanpa peduli waktu yang terus berjalan. Dalam beberapa kedepan ini murid-murid memang belum diberi pelajaran secara aktif. Guru-guru masih ingin merapatkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan sekolah mereka. So? Sama sekali gak ada waktu batasan kan?


***


Sudah pukul 14.01 menit. Waktunya SMA Putra Bangsa membebaskan anak muridnya untuk kembali ke rumah. Sivia berjalan menyusuri koridor yang lumayan ramai. Setelah agak lama mengobrol dengan teman lamanya di panti, Gabriel, dia merasa sedikit tenang. Yah walaupun begitu, masih banyak yang harus dihadapinya setelah ini. Tinggal menunggu waktu.

Sivia melihat tanda yang berada di atas pintu ruangan itu. "11 Ips 1. Ini dia nih. Huh kamu pasti bisa Vi! Yah! Kamu pasti bisa!" Sivia seolah menguatkan dirinya sendiri. Ia sempat menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Dengan langkah berat, ia memaksakan kakinya melangkah memasuki ruangan kelas itu. Baru dua kali melangkahkan kaki, ia menyembulkan kepalanya sedikit. Kelas itu sudah sepi. Ia menyapukan pandang dan..Tepat. Matanya menemukan sosok yang memang ia cari. Sendiri. Berdiri di depan kaca jendela kelas menikmati langit yang sepertinya mulai menghitam. "Itu dia. Bismillah.." ucapnya pelan.

Ia mantap melangkahkan kakinya pelan ke arah dimana sosok yang dicarinya sedang berdiri membelakangi dirinya. Sempat beberapa kali Sivia berhenti dan lalu melanjutkan kembali langkahnya. Dengan perasaan tak menentu, di sapanya orang itu. "If.. Ify?"

Ify terdiam. Kakinya yang sempat ia ketuk-ketukkan di lantai mendadak terhenti. Bibirnya yang tadi sempat terlukis senyum sambil memandang indahnya langit, kini hilang. Dengan hati gusar ia berbalik. Mencari tahu siapa yang menegurnya tadi. Sekilas ia tahu suara itu. Ia kenal. Dan benar saja, saat ia sudah benar-benar melihat empunya suara itu, ia tidak bergeming. Mimik mukanya sulit untuk diartikan. Sedih, bingung, bahagia, kaget, semuanya bercampur menjadi satu. "Ya Tuhan? Via?"

Sivia tersenyum ketir memandang Ify dengan matanya yang sudah cukup banyak tergenang oleh air. Ia tahu, Ify sangat senang bertemu dengannya. Ozy pasti sudah memberitahukan tentang dirinya kepada Ify. Dan intinya, jika saudara sepupunya ini senang, Sivia pasti akan ikut merasa senang. Walaupun perasaannya harus dikorbankan untuk sekian kalinya. Ia sabar.

"Iya, aku Via, Fy! Via!"

Dengan langkah besar, Ify langsung berhambur ke pelukan Sivia. Dipeluknya erat anak itu. Mencoba merasakan sedikit kesedihan yang melanda. Merasakan pahitnya hidup menjadi sebatang kara. Mencoba ikut bertahan di tengah runtuhnya dunia. Via. Sivia. Ify tahu betul bagaimana peliknya hidup tanpa kedua orangtua. Ia ingin mencoba merasakan kesakitan pada diri Via. Sedikit saja. Sedikit. Ia ingin merasakan itu.

"Maafin aku, Vi. Seharusnya aku bisa meyakinkan orang tuaku bahwa perbuatan itu salah! Seharusnya aku dan keluargaku sama sekali gak berhak berada di rumah itu Vi. Itu milikmu. Aku gak pantes berada di sana Vi." Ify menangis sejadinya. "Maafin aku. Seharusnya kamu..--"

"--Sssst!" Sivia membelai rambut Ify pelan agar Ify berhenti berbicara dan mendengarkan apa yang ingin Sivia sampaikan. "Udahlah. Itu sudah masa lalu, Fy. Aku sudah mengikhlaskannya. Dari dulu malah. Kamu tenang aja ya. Sekarang aku tinggal di tempat yang layak kok. Kamu sama Ozy ga perlu khawatir. Aku baik-baik aja." Sivia mencoba meyakinkan Ify. Dengan senyum terukir jelas diwajahnya. Tapi, senyum itu bukan senyum kebahagiaan. Melainkan.. Senyum kepahitan.

Ify melepas pelukannya. Di tatapnya saudara sepupunya ini. Benar-benar hebat! Gadis muda yang berjiwa besar dan berhati emas. Ify tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk membalas semua keikhlasan yang diberikan oleh Sivia. Ia takjub. Di dunia ini ternyata ada saja manusia seperti Sivia. "Kalau perlu aku sujud di depan kamu ya Vi."

"Eeeh apaan sih Fy ah! Gak!"

Ify menggenggam tangan Sivia erat. "Maafin orang tuaku Vi. Aku kalah sama mereka. Aku gak bisa melawan mereka. Aku gak berani. Aku takut, kalau melawan, hidupmu tambah dibuat menderita. Aku gak mau itu terjadi Vi."

"Aku ngerti Fy. Aku tahu kamu sama Ozy berbeda dengan mereka. Tapi yasudahlah. Ini sudah garis hidupku. Tuhan pasti punya rencana yang lebih baik buat aku. Iya gak?"

Sivia tersenyum pilu. Betapa bodohnya ia berkata seperti itu. Palsu! Ia tak sekuat itu. Aslinya dirinya sangat rapuh. Ia sendiri tak tahu mengapa bisa berkata demikian. Biarlah. Biarlah ia mencoba meyakinkan Ify tentang kekuatan hatinya. Itu memang tujuannya.

"Tuhan pasti sayang banget sama kamu ya, Via."

Hah? Apa benar? Apa benar perkataan Ify itu? Sepertinya tidak. Sampai saat ini baru secuil tanda kasih sayang Tuhan yang diberikan untuk Sivia. Hah.. ia tak yakin.

"Mungkin." Sivia mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum. "Ohiya, aku boleh minta satu permintaan kan Fy? Sekali ini ajaa."

Ify mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian, ia tersenyum dan mengangguk. "Apa aja boleh!"

"Tapi, aku mohon kamu jangan marah."

"Emm, iya deh. Janji!"

Sivia menggigit bibir bawahnya. Apa benar yang ia lakukan ini? Apa dirinya tak salah? Ah cukup Sivia! Hilangkan rasa keraguanmu! Apa yang kamu lakukan ini benar. Cepat katakan padanya Sivia! Cepat!

"Aku pengen kamu…"

"Apaan Vi? Ngomong aja. Pasti aku lakuin."

"Aku pengen kamu sama Ozy, euh! Kita seolah-olah baru saling mengenal dan tutupi semua kalau kita adalah saudara sepupu!"


***


Cakka memarkirkan mobilnya tepat di depan rumahnya. Ray sudah lebih dahulu turun. Alasannya kebelet pipis dan ingin segera bersiap karena Acha dan Nova akan datang kerumahnya untuk pergi bersama-sama ke rumah Ozy. Sementara Sivia? Entah ada angin apa, Sivia meminta kepada Cakka untuk pulang saja lebih dahulu. Dia masih ada urusan yang akan diselesaikan. Begitulah isi pesan yang di terima oleh Cakka melalui ponselnya.

"Aneh. Urusan? Urusan apa ya? Sama siapa?" Cakka bergumam sendiri di belakang stir mobilnya. Mesin mobilnya sudah ia matikan semenjak sampai tadi. "Aneh banget tuh anak." Cakka mengetukkan jari-jari kanannya ke stir. Ia mencari bayangan tentang Sivia. "Ah! Bodo amat gua pikirin dia." Cakka membuka pintu mobilnya. Ia keluarkan tubuhnya dari mobil itu. Lalu menutup pintu mobilnya pelan. Namun, bukannya bergegas berjalan menuju rumah, ia malah tetap saja berdiri mematung disana. Sambil mengambung-ambungkan kunci mobil miliknya. Ia menimbang-nimbang bayangan tentang Sivia. Lebih tepatnya 'urusan' yang Sivia katakan.

"Sial! Tuh cewek kenapa ada di otak gue mulu sih! Brengsek!"

Tepat pada kata terakhir yang ia lontarkan, petir bergemuruh hebat di langit sana. Jantungnya saja sudah ketar-ketir mendengar dentuman yang secara tiba-tiba itu. "Argh! Sialan!"

Dengan cepat Cakka kembali membuka pintu mobilnya lalu kembali memasukkan tubuhnya ke dalam kendaraan itu. Kunci mobilnya sudah ia putar ke kanan. Dan hasilnya mesin kembali berkerja. "Daripada gue penasaran, gue susul aja deh."

Mobil itu kembali melesat meninggalkan pelataran rumahnya tanpa permisi. Di tengah langit hitam, Cakka berniat kembali ke sekolah mencari Sivia dan lebih tepatnya mencari 'urusan' yang dimaksud oleh Sivia. Janjinya akan Gabriel yang sebentar lagi bermain ke rumahnya pun ia lupakan. Entah karena apa, ia mengikuti saja alur hatinya menuju kemana. Ia tak peduli. Hati pasti lebih tau apa yang harus dilakukannya. Dan ia tidak bisa menentang apa mau hatinya.


***


Sivia berjalan ke depan gerbang sekolah bersama Ify. Sivia senang Ify bisa menerima permintaannya walaupun dengan berat hati. Memang Ify meminta alasan, namun, Sivia enggan memberikan alasan itu. Tunggu waktu yang tepat, hanya itu jawaban yang diterima Ify dari mulut mungil Sivia. Yah, mau bagaimana lagi. Karena merasa banyak berdosa terhadap Sivia, Ify menuruti saja permintaan itu. Toh Sivia bilang, dia berada di tempat yang tepat dan aman untuk bertempat tinggal dan berkehidupan.

"Udah jam tiga nih. Kamu di jemput, Fy?" Tanya Sivia setelah mereka sampai di depan gerbang sekolah.

"Iya, bentar lagi palingan dateng. Kamu Vi?"

"Eh? Aku? Aku.. Iya aku dijemput juga! Hehe."

Ify menangkap keanehan dari sikap Sivia. Pasti ada yang di sembunyikannya lagi. Ah, tapi yasudahlah, Sivia pasti tahu apa yang terbaik buat dirinya.

"Nah itu Kak Rio sudah dateng. Tunggu disini dulu ya Vi, biar aku kenalin!" Sivia mengikuti saja perintah Ify. Ia berdiri disana menunggu Ify membawa seseorang untuk dikenalkan padanya. Tapi tunggu! Siapa yang tadi Ify bilang? Rio? Kak Rio? Ya Tuhan! Jadi yang jemput Ify, Kak Rio? Cobaan apa lagi yang harus aku hadapi Tuhan? Subhanallah..

Sivia sekilas melihat senyum bahagia terkembang di bibir Ify. Begitu semangatnya dia menyambut kedatangan Rio. Apa iya Sivia harus menghancurkan senyum itu? Apa dia rela? Kejadian di tengah hujan kemarin membuat dirinya merasa sangat bersalah. Perasaan liar itu seharusnya sudah ia tutup rapat-rapat. Ify lebih pantas berada di samping Rio. Dan tak seharusnya Sivia merebut itu semua. Ia merasa bersalah. Tapi, entah mengapa, di tengah rasa bersalahnya, ia panas melihat Rio dan Ify. Rasa itu menjalar dari kupingnya sampai ke ubun-ubun kepalanya. Apa ini yang dinamakan cemburu buta? Ia tak tahu. Yang jelas rasa itu membuatnya sakit dan tersiksa. Ia tak mampu melihat Rio dan Ify. Ia tak sanggup. Ia ingin menangis. Tapi tidak disini. Tidak di depan Rio dan Ify. Aah mengapa ini semua harus terjadi sih?

Rio keluar dari mobil sedan nya. Ia sudah berjanji akan mengajak Ify jalan-jalan setelah pulang sekolah nanti. Namun, Ify harus menyelesaikan tugas di kelas terlebih dahulu. Jadi, Rio pulang duluan untuk meminta izin ke kakaknya karena handphone nya mati.

"Hai Fy! Lama ya nunggunya? Sorry deh."

"Engga kok Kak. Gak papa. Lagian aku nunggunya gak sendirian kok."

Rio mengernyitkan dahinya. "Sama siapa emang?"

"Sama temen. Yuk sini aku kenalin."
Rio rela saja tangannya ditarik manja oleh Ify. Ia sedikit tersenyum melihat kelakuan Ify yang seperti anak kecil. "Ayo cepetan kak!" ucapnya.

Sivia tak tahu harus berbuat apa jika mereka bertiga dipertemukan sebentar lagi. Tinggal dalam hitungan detik saja. Siapa saja tolong bantu aku! Ujarnya dalam hati.

"Itu temen aku, Kak!"

Sivia menundukkan kepalanya. Menggigit bibir bawahnya. Kakinya ia ketuk-ketukkan gelisah. Apa yang harus ia perbuat? Suara Ify sudah tidak jauh lagi darinya. Kamu harus kuat Via! Ini cobaan.. Sekarang kamu harus berani menghadapi dunia. Ayo cepat. Jangan sampai Ify tahu dan curiga terhadap sikapmu.

"Via! Kenalin dong ini pacar aku, Kak Rio namanya. Kak Rio, ini Sivia, temen aku."

Sivia mencoba mengangkat kepalanya. Pelan, mukanya memanas. Rio memandangnya dengan tatapan aneh. Wajah itu tak sanggup ia lihat. Sakit hatinya melihat tangan Ify bergelayut manja di lengan Rio. Ingin rasanya Sivia menghempaskan tangan Ify dan membawa Rio pergi jauh. Tapi itu hanya sebatas khayalan. Mana mungkin ia berbuat seperti itu?

"Hai! Sivia." Sivia menunduk sambil mendorong tangannya. Ia memperkenalkan dirinya kepada Rio yang sebenarnya sudah jauh lebih dahulu ia kenal sebelum Ify yang mengenalnya.

Rio merasa ada yang tidak beres. Rio tak menyangka bahwa 'teman' yang dimaksud Ify adalah Sivia. Apa yang terjadi? Ify dan Sivia adalah sepasang sepupu bukan? Mengapa Ify mengaku bahwa Sivia adalah teman? Belum lagi pertanyaan itu terjawab. Pertanyaan lain muncul di benak Rio. Ada apa lagi ini? Mengapa Sivia mendorong tangannya untuk berkenalan? Bukannya mereka adalah sepasang mantan yang pasti sudah saling mengenal. Lalu? Apa yang ada di benak Sivia? Sepertinya ia ingin menutupi semuanya dari Ify. Menutupi masalah cintanya dengan Rio. Yah, sepertinya Rio mulai mengerti maksud dibalik semua ini.

"Rio. Mario Stevano. Senang berkenalan denganmu." Rio agak kikuk. Ia seperti merasa bertemu dengan selingkuhannya. Nyatanya? Bahkan ia dengan Sivia tak ada hubungan apa-apa. Tapi mengapa begini?

Sivia merasa tangan hangat itu menyentuh tangannya. Ia tak menyangka bahwa Rio mengerti maksudnya. Bisa saja Rio langsung membeberkan kepada Ify kalau mereka dulu pernah merajut kasih sayang. Namun sepertinya Rio tidak seperti itu. Matanya menatap mata Rio. Mencoba mencari sesuatu yang bisa membantunya untuk keluar dari segala masalah. Tapi sepertinya nihil. Apa lagi yang ia cari dari Rio? Toh Rio sudah menggenggam tangan gadis lain sekarang. Bukan dirinya. Tapi Ify.

"Sivia…!!"

Tangannya ia tarik kembali dari tangan lembut Rio ketika ia mendengar sebuah suara meneriakkan namanya. Ia mencari empunya suara dan yah dapat! "Hah?" Sivia melongo melihat siapa yang datang teriak-teriak seperti dunia milik sendiri.

"Ngapain lo masih disini? Bukannya pulang!"

Dengan gaya coolnya, Cakka berdiri di samping Sivia sambil mengambung-ambungkan kunci mobilnya. Dipandanginya Sivia, Ify dan Rio secara bergantian.

"Loh? Yo? Belom pulang?"

Rio berdiri dengan sejuta pertanyaan menyembul di pikirannya. Ada apa lagi ini? Ada hubungan apa Cakka dengan Sivia? Belum lagi musnah pikirannya tentang Sivia dan Ify, muncul masalah baru.

"Belom Kka! Lo sendiri ngapain disini?" Rio tahu, nadanya tadi terkesan sinis. Ia sempat merutuki dirinya mengapa ia berkata begitu frontal di depan Ify.

"Gue? Jemput pacar!"

Sivia menutup matanya sesaat. Tamatlah riwayatnya sekarang.

"Hah? Lo punya pacar baru?" Rio berharap bukan nama Sivia yang disebut oleh Cakka. Demi Tuhan ia tak akan rela gadisnya bersanding dengan lelaki lain. Apalagi dengan Cakka. Tak tahu bagaimana hidupnya jika ia mengetahui Sivia berpacaran dengan lelaki lain.

"Iyalah. Hehe. Gue pulang duluan deh Yo. Takut kesorean. Ayok Siv!" dengan angkuh Cakka menarik tangan Sivia kuat. Sivia sempat meronta namun tangan Cakka begitu kuat sehingga ia menurut saja diperlakukan seperti itu. Dari kejauhan, Sivia sempat berbalik menatap Rio dan Ify. Tampak gurat kebingungan terpancar dari kedua sosok disana.

Rio tak berkedip memandang itu. Apa yang ia pandang? Tak lain dan tak bukan adalah rengkuhan tangan Cakka yang menggenggam kuat tangan Sivia. Sempat ia lihat mata Sivia menatap matanya sekilas. Namun tak dihiraukannya. Rio malah membuang pandangannya. Ia jemuh memandang itu. Hatinya remuk seperti dihimpit kedua benda yang begitu kuat. Ia hancur. Ia tak menyangka ternyata Sivia sebegitu rendahnya. Sudah berapa laki-laki yang memegang tangannya selain aku? Rio pusing. Ah pikirannya kacau.

"Kak Cakka pacaran sama Via yah Kak?" Ify mencoba memecah keheningan yang ada.

"Mungkin." Ujar Rio singkat. "Merpati itu sudah terbang pergi menjauh sekarang."

Ify mengernyitkan dahinya. Sekilas telinganya mendengar apa yang dikatakan oleh Rio. Tapi hanya samar-samar. Mengapa Rio seperti ini? Bukannya ia senang jika sahabatnya memiliki kekasih baru? Tapi? Mengapa ia begitu terlihat sedih?

"Kak Rio bilang apa tadi?"

"Hah? Bilang apa emang? Ngaco kamu! Ayok kita jalan sekarang."

Ify menyadari perubahan mimik muka Rio. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh Rio.

"Kakak ada masalah ya? Mending kita ga usah jalan aja. Nanti malah ngebebanin Kak Rio loh akunya."

"Hah? Engga! Aku kan udah janji. Ayo sebelum aku berubah pikiran."

Ify mengangguk cepat. Lalu mengikuti Rio yang sudah berjalan lebih dahulu di depannya. Mereka masuk ke mobil Rio dan lalu dengan cepat pergi bergegas meninggalkan cerita yang ada. Rio. Dia bungkam seribu bahasa. Apa yang dilihatnya tadi cukup sukses untuk membuatnya jemuh. Gemuruh bergejolak di dadanya. Kecemburuan itu jelas menyeruak ke permukaan. Sejujurnya kalau boleh, ia ingin berbalik arah. Mengejar mobil Cakka dan menarik paksa Sivia keluar dari mobil itu dan lalu pergi bersamanya. Tapi apa ia pantas berbuat seperti itu? Diliriknya sepintas gadis yang sedang duduk di bangku sebelahnya. Ify. Memang rohnya kini bersama Ify. Tapi tidak dengan pikirannya. Sesungguhnya yang memenuhi pikirannya hanya Sivia. Sivia dan Sivia. Tapi mungkin sekarang bertambah lagi satu orang. Siapa dia? Cakka..


***


"Ngapain sih lo tadi balik ke sekolah lagi? Gue kan udah bilang, lo pulang duluan aja!" Sivia merengut. Menurutnya, Cakka hanya bisa merusak situasi yang sebenarnya sudah porak-poranda. Diliriknya Cakka yang hanya diam tanpa ekspresi. Itu membuat Sivia semakin kesal. "Yang ada di pikiran lo apa sih! Tangan gue sakit tau ditarik-tarik mulu!" Sivia mengelus tangannya yang memerah. Sedikit sakit tampaknya.

"Bawel banget sih! Gue turunin disini nih kalo elo gak mau diam!"

"Lo emang gak punya perasaan ya! gak punya hati!" Sivia melihat ke arah laki-laki yang duduk di sebelahnya. "Dasar jahat!"

Cakka tak menghiraukan umpatan-umpatan yang keluar dari mulut Sivia. Ia terlalu sibuk berkonsentrasi dengan mobilnya.

"Tangan gue sakit tau!" Sivia sudah hampir menangis. Tangannya memang merah akibat ditarik Cakka tadi. Namun sejujurnya, tangisannya kali ini adalah bersumber dari hatinya. Yah hatinya yang tercabik melihat Rio dan Ify tadi. "Sakit.. Gue.. Sakit.." rintihnya.

Cakka menepikan mobilnya. Padahal mereka sudah sampai di area perumahan Cakka. Ia segera menyadari tingkah Sivia yang terlihat seperi gadis yang sedang menangis. Ia tak ingin ada yang mengganggu konsentrasinya saat melakukan sesuatu. Namun entah mengapa, ia ingin mendiamkan gadis ini terlebih dahulu. "Gitu doang mewek lo! Cengeng banget sih!" Cakka mengerutkan keningnya. Sedikit kesal memang dia jika melihat seseorang menangis.

Sivia menutup matanya dengan kedua tangannya. Bahunya sedikit bergetar. Dan itu membuat Cakka bingung harus berbuat apa. Ia merasa bersalah menarik Sivia dengan kasar. Dilihatnya tangan Sivia yang ternyata memerah akibat perbuatannya tadi.

"Eh? Lo beneran nangis Siv?"

"…" Tak ada jawaban yang keluar dari bibir merah Sivia. Batinnya masih terlalu sakit untuk bicara. Malah, tangisannya semakin menjadi. Ia merasa tak peduli. Dengan menangis, jiwanya pasti sedikit tenang. Hanya itu yang ada di pikirannya.

"Siv?" Diam-diam Cakka mencuri pandang lewat lirikan matanya. Memperhatikan lebih saksama setiap lekukan wajah Sivia yang terlihat pure dan manis. Rambut Sivia yang sedikit tertiup angin AC yang berhembus pelan tapi sejuk. Jujur, Cakka merasa aneh. Desiran aneh itu tiba-tiba datang lagi menyergap untuk kesekian kalinya. Membuat Cakka tidak henti-hentinya memikirkan hal ini.

Di batin Sivia, terus menerus terlintas bayangan Ify yang terlihat begitu bahagia bersama Rio tadi di sekolah. Sebenarnya Sivia ingin sekali menumpahkan air mata saat itu juga. Namun itu adalah hal yang sangat tidak mungkin.

"Siv? Lo kenapa sih?" sadar atau tidak, tangan kiri Cakka menyentuh pelan bahu Sivia.

Sivia masih tidak menjawab. Bahunya malah semakin kuat bergetar. Menandakan hatinya sedang berguncang hebat. Membiarkan aliran di pipinya semakin deras. Dan dengan sangat tiba-tiba dan sama sekali tak diduga-duga, dia merasakan rengkuhan Cakka di pundaknya yang membimbingnya untuk membenamkan wajahnya di dalam pelukan cowok itu. Ia mampu merasakan jemari Cakka yang dengan lembut menyusuri rambutnya. Terasa kelembutan yang sebenarnya sudah sejak lama ia idamkan.

"Sorry Siv, gue gak ada maksud apa-apa kok buat narik tangan lo." Ucap Cakka lembut.

Sivia kaget dengan perlakuan Cakka yang sangat diluar dugaan. Cakka adalah laki-laki kedua yang merengkuhnya seperti ini. Namun, debaran jantungnya sedikit sama saat ia berada dalam rengkuhan Rio. Ia merasa sedikit tenang. Hangat. Itulah yang Sivia rasakan. Tiba-tiba ia mendengar suara ‘dag-dig-dug’. Sivia meraba dadanya. Memang, jantung Sivia saat itu berdebar-debar lumayan kencang. Tapi telinganya mendapati sumber suara itu berasal dari dada Cakka. Oh Tuhan? Apa ini?

Cakka masih membelai rambut ikal Sivia. Merasakan detak jantung yang semakin beradu dan aliran darah yang terasa semakin cepat. Serasa berlomba menuju jantung. Berlomba untuk mendetakkan jantung sampai Cakka merasa ingin mati. Tapi rengkuhan dan seragam sekolah Cakka yang terasa semakin basah membuat Cakka perlahan-lahan bisa menenangkan jantungnya. Cakka ingin sekali menenangkan Sivia. Entah karena alasan apa. Ia sendiri tak tahu. Ia tak pernah berlaku seperti ini sebelumnya. Apa artinya ini?

Dalam beberapa saat, keheningan tercipta dengan tenang. Sangat tenang menyelimuti Sivia dan Cakka. Mereka berdua sama-sama merasakan debaran jantung mereka masing-masing. Merasakan kehangatan yang terpancarkan lewat rengkuhan yang saling mereka berikan. Berharap semua beban yang mereka rasakan terbawa oleh waktu yang terus berjalan seiring berputarnya dunia. Terutama Sivia.

Setelah beberapa lama, tangisan Sivia mereda. Perlahan ia mengangkat wajahnya yang sempat ia benamkan ke dalam rengkuhan hangat Cakka. Seragam itu basah. Sivia bisa melihat itu.

Setelah Sivia benar-benar lega akan tangisan yang baru saja ia tumpahkan, perlahan ia menyeka air matanya dengan sapu tangan pink kemerahan yang ia bawa. Cakka masih bisa menatap gadis itu dengan tatapan sayu. Benar-benar ingin melakukan sesuatu agar gadis itu bisa diam. AC mobil itu membawa semilir angin yang menerbangkan beberapa helai rambut Sivia. Semakin membuat Cakka dikuasai oleh perasaan anehnya.

"Eh, jangan dorong-dorong dong!" bisik seorang laki-laki dengan nada yang meninggi.

"Astajim! Jangan injak kaki gue dong Kak!" ucap seorang laki-laki lainnya.

"Aduh pada diem dong ntar ketahuan." seru seseorang lainnya yang lebih muda.

"Sssst!"

"Hey! Kalian ngapain disitu? Mau maling ya?"

GEDUBRAK!!!
Pintu pagar pemilik rumah pun terdorong ke depan dan mengakibatkan Gabriel, Ray, Acha dan Nova jatuh mencium aspal.

Cakka dan Sivia dengan sigap keluar dari mobil untuk melihat apa yang terjadi.
"Kalian? Ngapain disitu?" tegur Sivia.

Gabriel, Ray, Acha serta Nova sudah berdiri sambil mengibaskan pakaian mereka yang kotor.

"Kalian ngintip ya?" Tanya Cakka to the point.

Gabriel serta yang lainnya hanya senyum-senyum mesem dan membuat Cakka malu. Sivia pun begitu. Dalam hati Cakka merutuki kejadian itu. "Sialan! Ganggu aja deh ni. Ngerusak suasana aja huh~"


***


Aaahh konfliknya berat ya? maaf deh yaa masih amatiran soalnya:) mohon dimaklumi yaa. Em itu sivia sama rio kasian ya:( saya sebenarnya ga tega buat begitu, tapi apa boleh buat? Idenya adanya ya kesitu huhu pis I'm so sorry:( couple yang lain munculnya besok besok ya. oke sekian dan terimakasih saya ucapkan sebesar-besarnya kepada siapa saja yang ikut baca CK :D Satu lagi, mohon maap lahir batin ya semua, saya banyak salah sama kalian hiwhiw;)

Kritik, saran, dan jempolnya masih saya tunggu! Jangan jadi pembaca gelap yaaa *tingting*

Cerbung ini juga bisa dilihat di resaechaa.blogspot.com
Follow me on twitter and heello - @Resaechaa
Thank you:*

Tidak ada komentar: