Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Senin, 01 Agustus 2011

"CINTA KEDUA" PART 13

Heyhoo semuaa:) CK part 13 udah hadir dihadapan anda, selamat menikmati hidangan saya ini.. Brb kabur takut diamuk pembaca-_-

***
Dia tampak begitu cantik. Dengan seragam SMA Putra Bangsa yang dikenakannya, ia tampak begitu sangat manis. Seragam putih dengan rok kotak-kotak hijau hitam selutut begitu pantas melekat di tubuhnya. Dia memandang dirinya di cermin. Mengambil jepit rambut untuk menjepit poninya yang sudah terlalu panjang itu kebelakang. Rambutnya yang tebal sudah terlebih dulu ia ikat menjadi satu. Lalu sedikit memberikan bedak bayi pada wajahnya yang putih. Dia tersenyum sendiri melihat dirinya. Entah mengapa dia tidak terlalu asing dengan seragam yang dikenakannya sekarang. Terasa begitu familiar seragam ini untuknya. Ia berfikir keras, namun tak mendapatkan bayangan.
"Kak Sivia! Sarapan!" teriakan Ray yang membuat lamunannya buyar. Segera ia rapikan lagi baju seragamnya sekilas lalu membawa tas sekolahnya keluar dan menemui Ray di meja makan.
"Kak Sivia? Wow cantik!" gumam Ray. Yang di puji hanya tersenyum tipis. "Kak Sivia dari tadi Ray panggilin kok baru keluar?" Tanya Ray begitu Sivia sampai di hadapannya.
Sivia tersenyum manis. "Maaf Ray, kakak gugup hehe." Sivia nyengir. Memang diakuinya jantungnya berpacu sedikit cepat. Mungkin karena tak siap untuk bersekolah dan bertemu dengan teman-teman barunya nanti.
"Kak Sivia santai aja lagi. Kan ada Kak Cakka." Sivia mengerutkan keningnya. Tak mengerti dengan apa yang diucapkan Ray barusan. "Maksudnya Ray?"
"SIVIAAA CEPETAN KE KAMAR GUE BAWA SARAPAN!" terdengar teriakan yang suaranya sangat dikenal oleh Sivia beberapa minggu ini. Suara yang membuatnya harus bersikap sabar. Suara yang menurutnya mempunyai diri yang belum terlalu ia kenali sifatnya. Suara yang membuatnya tertantang dalam menjalankan hidupnya. Suara yang euh mulai memuakkan baginya.
“BURUAN WOYY!!”
Ray dan Sivia saling bertatapan. Ray menghela nafas berat. Sivia menggelengkan kepalanya. Ia lalu bergegas mengambil dua roti di salah satu piring yang sudah di olesi selai coklat oleh Bi Inem barusan.
"Kak Sivia ke kamar kakakmu dulu ya Ray." Perkataan Sivia disetujui anggukan oleh Ray. Ray mengangkat kedua bahunya lalu kembali memakan roti yang malang tadi.

***
Cekreek..
Sivia membuka pintu kamar Cakka. Terlihat disana Cakka yang semalam mengamuk tanpa alasan yang jelas, sedang duduk di ujung tempat tidurnya. Tampaknya baru selesai mandi. Terlihat hanya handuk mandi yang ia kenakan saat itu.
“Lo gak pake baju dulu baru gue masuk?” Sivia menutup matanya santai setelah melihat Cakka hanya mengenakan handuk sehabis mandi. Apa bukan hal yang bodoh menyuruh seorang gadis masuk ke kamar laki-laki, sedang laki-laki itu masih mengenakan handuk? Great!
“Bentar” ujar Cakka. Dengan gerakan malas ia membuka lemarinya untuk mengambil seragam sekolahnya. Ia memilah-milah lalu mengerutkan kening. “Baju seragam gue lo taro dimana Siv?” Tanya nya masih sambil mencari baju seragam. Biasanya dulu di gantung di belakang pintu sama Bi Inem yang tentu saja atas suruhan Cakka. Tapi semenjak Sivia membereskan kamar Cakka dulu, Sivia sudah memindahkan semua seragamnya ke dalam lemari agar lebih rapih.
“Gue taro di lemari paling atas. Gue lipat terus gue susun di paling atas. Soalnya kalo di gantung udah gamuat. Segala macam baju lo udah lo gantung semua di lemari lo, dan--“
“--STOP! Daripada lo ngebacot disitu, mending lo aja yang nyari! Gue pusing!” Sivia mendengar deru langkah kaki Cakka ke arahnya. “Siniin sarapan gue!” Cakka merampas piring yang berisikan roti diatasnya secara paksa. Sivia menghela nafas berat. Ia membuka matanya lalu berjalan santai ke arah lemari Cakka. Seingatnya, seragam sekolah itu ia taruh paling atas. Karena postur badannya tak terlalu tinggi, Sivia berusaha berjinjit untuk menjangkaunya.
“Kok gak ada ya? Perasaan kemaren gue taruh disini kok.” Sivia dumel sendiri. Ia masih meraba-raba(?) baju di lemari paling atas itu. Tapi sama sekali tak ia temukan baju seragam Cakka. Sivia tak menyerah. Matanya mengeliling mencari bangku. Ia menarik bangku belajar Cakka lalu di naiki lah bangku malang itu.
Cakka hanya tersenyum sinis melihat itu. Sambil memakan lahap roti kesukaannya, Cakka bergumam dalam hati dan, ‘Kena lo gue kerjain haha’ ia tersenyum menahan tawa. Bukan tidak mungkin, sebenarnya dialah yang menyembunyikan bajunya sendiri. Hanya sekedar untuk menjahili Sivia.

Sivia sendiri sedikit kesal. Bagaimana mungkin seragam itu hilang dengan sendirinya? Ia tak habis fikir. Apa mungkin ia lupa menaruhnya? Atau? Ah tidak! Dirinya sangat yakin kalau seragam itu di taruhnya di lemari paling atas. Tapi? Mengapa tidak ada?
“Kak Cakkaaa, Kak Siviaaa, Ray duluan yah takut telaaaat.” Teriak Ray dari bawah. Ray memang pergi lebih awal karena, OSIS di sekolahnya menyuruh untuk datang tepat waktu jam 07.00 khusus untuk siswa Mos. “Iya Raaay!” teriak Sivia juga. Terdengar sudah deru mesin mobil yang dinyalakan oleh Mang Asep, supir keluarga Cakka.
“Lama banget sih! Roti gue udah habis aja, lo belum dapet juga bajunya!” umpat Cakka sambil berdiri mendekati Sivia yang masih berdiri di atas kursi belajarnya. “Lo gak becus banget ya kerja apa-apa. Baju seragam gue aja lo lupa taro dimana. Lo niat gak sih mau bantuin gue? Lo niat gak mau ngurusin gue? Kata bokap gue, lo bakal bisa ngerubah gue jadi Cakka yang dulu, tapi apa? Bulshit tau gak loh!” Sivia hanya menunduk mendengar omelan Cakka. Oke memang untuk kali ini, batinnya sendiri mengaku bahwa ini adalah kesalahannya. Walaupun hati kecilnya masih meyakini kalau dirinya tidak salah.
“Lo mau ngerjain gue ya? Lo taro mana sih seragam gue? Gue mau sekolah nih!” umpat Cakka sambil menggoyang-goyangkan kursi yang Sivia naiki. Sivia tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya mendesah pelan. Tak berani melihat Cakka yang sepertinya sudah sangat jengkel dengannya kali ini.
“Gue gak mau tau! Lo harus nyari seragam gue sampe ketemuu!!!” Cakka menggoyang lagi bangku itu lebih keras. Dan yak dengan sangat amat sialnya, salah satu kaki bangku itu patah, sehingga manusia yang ada diatasnya—Sivia—terpaksa limbung. Karena tak seimbang, Sivia hendak melayang jatuh ke belakang. Cakka yang melihat tayangan itu, dengan sigap menarik tangan kanan Sivia agar tak terjungkal ke belakang. Sialnya lagi, otomatis Sivia jatuh menubruk Cakka yang sebenarnya juga tidak siap dengan keseimbangan tubuhnya. “BUKK!!”

***
Hening. Sepi. Kalut. Udara AC yang seharusnya dingin menyejukkan, kini terasa amat sangat panas bagi mereka. Entah Cakka, entah Sivia, keduanya diam membisu. Tak ada obrolan satu sama lain.
Cakka, yang tadinya marah-marah tidak jelas, sekarang hanya mampu mengatupkan bibirnya untuk diam. Menikmati setiap lekuk wajah manis yang ada di hadapannya sekarang. Telinganya mulai memanas. Sampai ke ubun-ubun kepalanya, panas itu masih amat sangat terasa. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya. Tak perduli gadis yang sekarang ada di atas tubuhnya merasakan itu. Yang penting, dirinya bisa tersenyum senang melihat gadis ini, Sivia.
“Siv?” suara Cakka memaksa Sivia untuk membuka matanya perlahan. Kepalanya juga mulai memanas. Ia tak yakin harus membuka matanya untuk melihat Cakka yang kini sedang menopang badannya akibat terjatuh tadi.
“Siv?” suara itu lagi. Kali ini Sivia meyakinkan diri untuk membuka matanya. Dilihatnya wajah Cakka yang segar itu. Sama sekali tak menampilkan wajah yang memuakkan. Malah, dirinya sendiri tak yakin kalau itu Cakka. Ia melihat Cakka tersenyum. Ia tak ingin tahu apa yang membuat Cakka tersenyum. Yang jelas, ia juga menikmati setiap lekuk dari wajah Cakka.
“Lo cantik” suara itu lagi! Suara itu membuatnya kembali menutup kedua matanya. Entah mengapa suara itu bisa menyejukkan hatinya yang euh lumayan panas akibat berdekatan dengan Cakka. Baru beberapa menit yang lalu ia menyimpulkan bahwa suara itu sangat memuakkan, tapi, ternyata pandangannya berubah.
Semburat merah manis terlihat di kedua pipi Sivia. Cakka tersenyum melihat itu. Ia membelai pelan pipi Sivia. Entah karena dorongan apa itu bisa terjadi. Ia terus tersenyum melihat Sivia yang mulai merasa malu akibat ulahnya.
Sivia tak bisa berkata apa-apa. Entah mengapa ia menerima saja pipinya di sentuh manis oleh Cakka. Tak ada penolakan. Sampai, ia merasa tak enak dengan situasi ini, ia sudah tak tahan malu dengan semburat merah yang ia sadari pasti sudah tampak di kedua pipinya, jantungnya yang berdegup lumayan cepat, dan aahh andai saja ada yang menolongnya saat ini.
“Den Cakka? Non Sivia?” Doa Sivia terkabul (lagi).
Mendengar ada suara, Sivia dan Cakka lalu beranjak dari lantai. Mereka lalu tersadar, ia kaget setengah hidup melihat siapa yang mengucapkan kata tadi. Entah sejak kapan ada Bi Inem di pintu kamarnya.
“Em, maaf ganggu den, non. Ehh itu Tuan ingin berbicara dengan Non Sivia di telfon rumah bawah.” Bi Inem sedikit gugup. Ia takut kalau Cakka memarahinya karena ia tak sengaja melihat lagi adegan tadi untuk yang kedua kalinya.
Sivia tahu apa yang membuat Bi Inem berlaku seperti itu. Ia yakin pembantu itu salah paham dengan dirinya dan, Cakka.
“Itu saja den, non. Saya permisi” pembantu itu dengan cepat pergi dari kamar Cakka. Disamping takut dengan Cakka, ia tak menyangka dengan apa yang dilihatnya tadi.
“Eh? Bi tunggu dulu ini semua salah pah--“ Sivia ingin mengejar Bi Inem, namun tangannya di genggam kuat oleh Cakka. “Apaan sih!! Gue mau keluar!!” erang Sivia.
“Gak bisa! Ngapain lo tadi nubruk gue? Gaada minta maaf lagi! Lo gak sadar ya kalo lo itu berat? Nyari-nyari kesempatan lagi lo deket-deket sama gue! Lo suka sama gue?”
“Idih amit-amit gue suka sama lo! Yaudah maaf! Lagian lo juga ngapain narik tangan gue sih tadi!”
“Bukannya bersyukur gue tolongin, malah ngelunjak, eh denger ya! Karena elo udah nubruk gue tadi, lo bakal dapat pembalasan dari gue!! Inget tuh!! Jangan main-main lo sama yang namanya CAKKA!!” teriak Cakka selagi masih menggenggam kuat tangan Sivia agar tidak kabur sebelum mendengar semua omelan dirinya.
“Iya-iya bawel banget sih jadi orang!! Terserah deh lo mau ngomong apa. Lepasin!! Gue mau angkat telfon dari bokap lo nih!”
Seketika itu juga Cakka melepaskan genggaman tangannya. Sivia berlalu dengan cepat dari kamar Cakka. Cakka melihat rambut kunciran Sivia bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti arah jalan pemilik rambut. Selesai. Mereka berdua seakan melupakan kejadian yang menurut segelintir orang adalah hal yang manis. Seakan tak pernah terjadi apa-apa antara mereka. Mereka sudah benar-benar melupakannya. Mungkin..
Cakka melihat jam dindingnya. Pukul 06.55. Ia lalu bergegas mengambil seragam yang ia sembunyikan di bawah bantalnya. Lalu segera bergegas berangkat sekolah.

***
“Mang Akmal sakit?” Sivia sedikit terkejut mendengar Mang Akmal, supir keluarga Cakka yang lain sedang sakit. Demam katanya. Setelah menutup telfon dari Pak Darmawan, Sivia menjelaskan apa yang terjadi dengan dirinya dan Cakka tadi kepada Bi Inem, setelah itu ia langsung pergi ke garasi untuk mendatangi Mang Akmal, namun apa daya supir itu sakit. Jalan satu-satunya saat ini hanya berangkat bersama.. Cakka.
“Belum berangkat juga lo?” Tanya Cakka seraya mengeluarkan motornya dari garasi. Sivia menggeleng lemah. “Gue pergi sama lo ya? Mang Akmal sakit. Jadi hari ini gak kerja dulu.”
“Enak aja! Naik bis aja sono! Motor gue gak level sama anak kayak lo!”
“Jahat banget sih!” Sivia menggerutu.
“Biar! Gue kasih tau jalannya ya, dari sini, lo keluar perumahan, terus lo pasti nemu Bis sekolah, yaudah lo naik bis itu terus lo bilang sama supirnya kalo tujuan lo ke SMA Putra Bangsa. Gampang banget kan? Gue pergi duluan yah, daaaaah”
“Lo tega banget sih..” Sivia hanya bisa menatap motor Cakka bersama pemiliknya pergi meninggalkannya. Sadis memang. Namun ia tetap berusaha sabar. Bukan Sivia namanya kalau gampang menyerah.
“Bi, Sivia pergi dulu yaaaa!” teriaknya dari luar.
“Loh? Gak sama den Cakka non?” pembantunya berlari-lari kecil menghampiri Sivia.
“Enggak Bi, naik Bis aja. Pergi dulu ya Bi, hati-hati di rumah, assalamualaikum”
“Waalaikumsalam nak,” pembantunya geleng-geleng kepala melihat Sivia pergi meninggalkan rumah itu untuk pergi ke sekolah.. sendirian.

***
Sivia berjalan sedikit cepat agar sampai keluar perumahan itu. Keringatnya sedikit bercucuran. Jam tangannya sudah menunjukkan 07.05. Itu tandanya 10 menit lagi sekolah barunya akan memulai pelajaran. Masa iya sudah anak baru, terus datengnya telat lagi. Apa kata anak-anak sekolah disitu?.
Sivia telah sampai di luar perumahan itu. Ia sampai ke jalan besar. Sesuai dengan anjuran Cakka, Sivia berdiri di pinggir jalan untuk menunggu Bis lewat. Waktu sudah menunjukkan pukul 07 lewat 8 menit. Sivia gusar menunggu Bis yang tak kunjung lewat. Ia pasrah jika nanti harus menahan malu di depan Kepala Sekolah, guru-guru, kakak kelasnya, teman-temannya, bahkan juga adik kelasnya nanti.
“Butuh tumpangan nona manis?”
Seorang laki-laki yang berseragam sama dengan Sivia, memakai helm fullface berhenti tepat di depan Sivia. Laki-laki itu melihat kening Sivia berkerut. “Lo siapa?” Tanya Sivia cepat. Dengan PDnya laki-laki itu hendak membuka helm fullface nya lalu, “Lo gak tau gue siapa?” Sivia menggeleng. Setelah anak itu membuka helmnya, Sivia menganga hebat(?). kaget setengah hidup dia. Ia sangat-sangat mengenal orang ini!!
“Gue……………”

***
Gue author of CK balik~ hahaha gimana lanjutannya yang ini? Gak banget ya? NGGAAKKK. Oke oke gue tau. Gue sadar kalo tulisan gue emang blangsak banget. Anyway, keep comment and like if you happy with this.. thanks yaa teman-teman dukungannya buat lanjutin cerita yang semakin hari semakin memuakkan ini-_- gue juga mau minta maaf banget disini gaada Rio ataupun Alvin bahkal Gabriel. sorry banget yaa, Oke gue Echa pamit undur diri dari hadapan anda semua yaa, kayaknya gue mau diamuk pembaca nih gara2 kurang panjang haha see you next time babayyyy:* sorry buat yang gak ketag.

Twitter= @Resaechaa

Tidak ada komentar: