Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Senin, 01 Agustus 2011

"CINTA KEDUA" PART 15

Maafkan segala kebodohan saya di part sebelumnya. Itu benar-benar part CK yang begitu menjemukkan dan memuakkan. Semoga part ini bisa lebih baik. Amin. Happy reading!

***

Ozy terduduk diam. Pandangannya tak lepas dari seorang gadis yang baru saja di tubruknya tadi. Mulutnya setengah menganga. Tangannya berkeringat. Jantungnya satu dua. Satu hal yang dirasakan oleh Ozy, kaget.

"Kak…? Kak Si…via?" Ozy berusaha berdiri. Masih memandang wajah cantik di hadapannya. Wajah yang setiap harinya selalu menemani dulu. Wajah yang bisa menjadi sosok seorang kakak yang berani. Dibanding Ify, Sivia lebih lembut menurutnya. Ia sudah sejak lama kehilangan sosok di hadapannya ini. Masih sedikit tak percaya jika takdir kini menemukannya kembali.

"Ozy?" Sivia juga tak kalah kaget. Bagaimana mungkin? Sudah sejak lama juga ia merindukan ini. Bertemu dengan orang orang yang dulu pernah dekat dengannya. Orang yang bisa menghiburnya dalam keadaan terpuruk sekalipun. Dia rindu. Rindu dengan semuanya.

"Kak Sivia!!" Ozy berhambur ke pelukan Sivia. Dengan cepat Sivia membalas pelukan Ozy. Sejenak mereka berdua tenggelam dalam memori masa lalu. Angin di tengah hujan bertiup sedikit kencang. Membawa fikiran mereka kembali melayang ke satu tahun lalu dimana mereka masih bercengkrama ria. Senang? Sangat! Bahagia? Tentu! Sivia bisa benar-benar bahagia saat itu. Dimana orang tuanya mengajak Ozy dan Ify untuk ikut tinggal bersama mereka. Sampai saat dimana kematian merenggut nyawa kedua orang tuanya. Dan jadilah ia di depak dari rumahnya sendiri atas suruhan Tante Jessica – Mama Ozy dan Ify. Sama sekali tak tau diri! Tapi, biarlah itu sudah masa lalu. Sivia sudah memaafkannya. Semuanya. Tak sedikit pun rasa dendam menyelimuti relung jiwanya. Dia ikhlas.. ikhlas atas semua nasibnya yang begitu.. buruk.

"Kak Via kemana aja? Ozy.. Ozy kangen banget kak!" Ozy memeluk Sivia semakin erat. Wajar saja, hampir setahun sudah mereka tak pernah bertemu.

Sivia memejamkan matanya. Cairan bening dari matanya menetes begitu saja, memaksa dirinya untuk menumpahkan segala rasa yang ada. "Kak Via juga kangen, Zy."

Sekian menit pun berlalu. Hening. Desah angin pun tak ingin mengganggu mereka.

Sivia melepas pelukannya. Menghapus air matanya. Lalu tersenyum manis kepada Ozy.

"Kak Sivia tinggal dimana sekarang?" Ozy takut-takut menanyakan hal ini. Rasa tidak enak menaungi hatinya kepada –pemilik rumah yang sekarang dengan bebas ia tempati rumahnya-. Walau itu bukan kemauannya. Melainkan ego kedua orang tuanya. Yang sampai saat ini masih belum bisa Ozy maafkan.

"…" Sivia diam. Apa yang harus dikatakannya pada Ozy?

"Ada deh hehe. Pokoknya ga usah khawatir ya Zy!" Sivia tersenyum yakin. Keyakinannya ia transfer ke hati Ozy sehingga Ozy rasa, ia tak perlu terlalu mengkhawatirkan Sivia. Dia pasti tau apa yang terbaik.

"Oiya, kamu sekolah disini, Zy? Kenapa gak di sekolahnya Ify aja? Kan enak bisa satu sekolah di SMA Bangsa?" Sivia mencoba untuk tidak membahas itu. Ia mencari topik obrolan lain.

Ozy tersenyum manis. Sivia masih seperti yang dulu. Selalu ingin tahu tentang kehidupannya. Dia tak merasa risih. Justru sangat senang ada seseorang yang memperhatiannya sampai hal sekecil apapun.

"Ini sekolah Kak Ify, Kak." Tutur Ozy.

Sivia mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin? Ozy dulu sekolah di SMP Bangsa. Otomatis setelah lulus SMP, ia pasti akan masuk ke SMA Bangsa. Itu adalah peraturannya. Tapi ini? Mengapa ia malah bersekolah disini? SMA Putra Bangsa? Aah Sivia merasa sangat bingung.

"Sekolah ini udah berganti nama jadi SMA Putra Bangsa, Kak. Kakak sih ga mau sekolah disini dulu. Jadi gak tau kalau ada pergantian nama, hehe." Ozy sedikit terkekeh. Ia sangat ingat waktu itu, Sivia urung untuk dipindahkan ke sekolah yang sama dengan dirinya dan Ify. Entah apa sebabnya. Yang jelas, Sivia sangat tidak mau bersekolah di SMA Bangsa.

"APA?"

Sivia kemudian terdiam. Ia menggelengkan kepalanya tanda tak percaya. Ini adalah SMA Bangsa –dulu- ? Ini adalah sekolah Ozy dan Ify? Bodohnya ia dari dulu sama sekali tak mengetahui letak SMA Bangsa. Walapun Rio yang dulu berstatus sebagai pacarnya juga bersekolah di SMA ini.

WAIT! Berarti? Ini juga adalah sekolah.. Rio! Rio! Rio! Ah sudah lama ia merindukan sosok itu. Sering ia bertemu sosok itu. Tapi hanya sebatas bertemu di dalam mimpi. Dan sekarang? Apa? Takdir akan menemukannya dengan Rio? Cinta pertamanya? Apa ini bercanda? Apa ini mimpi? Rasanya tidak. Ini begitu nyata.

Rasa sesak langsung memasuki ruang tubuhnya. Bukan asma. Tapi, kekosongan hatinya membuatnya semakin tak berdaya. Tak lama lagi ia akan bertemu dengan Rio. Ini tak mungkin! Apa dirinya sanggup?

"Kak Sivia? Ozy?"

Bayangan Rio buyar seketika saat mendengar satu suara. Suara yang sangat dikenal Sivia. Dia datang sambil memicingkan matanya. Masih dengan tas ransel melekat di punggungnya. Ray! Dia lah Ray. Oh tidak. Disaat seperti ini, sangat tidak mungkin untuk menjelaskan statusnya kepada Ozy dan Ray. Ini waktu yang salah. Apa yang harus dikatakannya nanti kepada Ray maupun Ozy?

"Loh? Ray? Kok balik? Bukannya tadi udah nyampe kelas?" Ozy tersenyum riang. Rasa kesalnya dengan Ray tadi sedikit hilang oleh pertemuannya dengan Sivia barusan.

"Kak Sivia kenal Ozy dimana?" tanpa basa basi Ray mengutarakan pertanyaan yang daritadi tak bisa ia jawab sendiri. Ia tak menghiraukan pertanyaan Ozy. Pagi ini sudah cukup banyak yang membuat kepalanya berikir keras. Mulai dari Rio-Ify, Rio-Sivia dan sekarang Sivia-Ozy. Ada apa ini?

"Loh? Lo kenal sama Kak Via, Ray?"
"Kak Via?" Ray berfikir keras –lagi-. Apa itu nama panggilan akrab Sivia? Selama ini ia memanggil Sivia dengan nama Sivia. Bukan hanya –Via-. "Ada hubungan apa lo sama Kak Sivia, Zy?"

"He? Justru gue dong yang seharusnya nanya ke elo Ray. Lo kenal sama Kak Via dimana?" Tanya Ozy balik. Mereka berdua memikirkan hal yang sama. Sesuatu hal yang sama-sama perlu mereka ketahui.

Ray mengerutkan keningnya. Bukannya dia yang lebih dahulu bertanya kepada Ozy? Mengapa pertanyaan itu dilemparkan kembali padanya?

"Kan gue duluan yang nanya Zy? Jadi lo yang jawab duluan."

"Loh? Kok lo nadanya kesel gitu Ray?"

"Cepet jawab! Lo kenal Kak Sivia dimana?

"Gak bisa Ray! Gue lebih deket sama Kak Via. Jadi, gue harus lebih dulu tau hubungan lo sama Kak Via apa!"

"Deket? Maksud lo apa, Zy?"

Sivia merasa, perbincangan dua anak manusia ini semakin ke arah perdebatan. Dalam hati ia menghujat pertemuan ini. Dia senang bertemu kembali dengan wajah-wajah masa lalunya. Tapi ini sungguh diluar dugaan. Keadaan dan kondisinya sangat tidak tepat. Membuatnya bingung harus berbuat apa.

"Ray? aduh, emm gini biar Kak Sivia yang jelasin ya. Jadi.." Sivia mengambil jeda, matanya mengarah ke Ozy yang kini sedang menatapnya. Sivia menggigit bibir bawahnya. Hatinya tak karuan. Tak sanggup ia untuk mengucapkan kalimat ini. "…Ozy ini temen kakak."

JEDERR!

Hati Ozy mencelos. Bagai di sambar petir, perkataan Sivia sungguh sangat menyakitkan hatinya. Teman? Dirinya dan Sivia teman? Jelas-jelas saudara sepupu adalah hubungan mereka. Saudara! Bukan teman! Apa maksud semua ini? Ingin rasanya Ozy meronta, namun dapat ditahannya, entahlah.

Sivia mengarahkan matanya ke mata Ozy. Sendu. Ia tak mengerti mengapa bisa sampai sesulit ini? Ini awal. Baru awal. Masih banyak orang-orang dengan masalah yang harus dihadapinya setelah ini.

Mata itu isyaratkan kesedihan. Ozy bisa merasakan itu. Ia terdiam. Masih mencari sesuatu yang ia sendiri tak tahu apa yang harus dicarinya. Mata Sivia kembali ke arah Ray. itu berarti, Ozy harus siap mendengar cerita palsu yang keluar dari mulut Sivia. Ini pasti ada sebabnya. Dan ia akan menunggu apa sebab dari semua ini. Ia sabar..

"Keluarga Ozy ini pernah ngasih bantuan ke Panti Ray. makanya Kak Sivia kenal sama Ozy."

Ozy menggigit bibir bawahnya pelan. Merasakan hatinya hancur manakala saudara yang sangat disayanginya mengatakan sesuatu hal yang sangat bodoh.

"Iya kan Zy?" Sivia meminta persetujuan dari Ozy.

Ozy mengangguk perlahan. Ia harus tau apa maksud dari semua ini. Ia harus berbicarra dengan Sivia setelah ini. Ia tau, ada sesuatu yang disembunyikan oleh Sivia.

"Ahelaah kirain kenapa. Yaudah deh kan udah kenal, jadi gue juga gak perlu kenalin Kak Sivia ke elo kan Zy?"

Lagi-lagi Ozy mengangguk. Ia mencoba tersenyum. Namun bukan senyum senang yang terlihat. Tapi senyum menyedihkan. Memilukan. Ah, ia tak sanggup harus tersenyum disini.

"Ray? Dikelas gaada guru kan? Ke kantin yok." Ajak Ozy.
"Gaada. Katanya sih ada rapat. Yaudah yok." Ray mengiyakan ajakan Ozy.

Sivia tersenyum lega. Hatinya sedikit tenang. Ia janji setelah ini akan menjelaskan semuanya kepada Ozy. Agar ia tak salah paham dengan dirinya.

"Kak Sivia? Mau ikut kantin?" ajak Ray.
"Eh? Enggak Ray, Zy, kakak mau ke kelas aja. Itu kelas kakak di ujung koridor." Sivia menunjuk kelas baru nya.
"Yaudah deh Kak, Ray sama Ozy kantin dulu yaa."

***

Sivia membuka kenop pintu kelas itu. Hembusan angin dari AC di kelas itu sedikit menyejukkan kepalanya yang baru saja melewati hal tersulit. Ia memandang ke seluruh ruangan kelas. Anak-anak di kelas itu memandangnya heran. Sivia tersenyum.
"Anak baru ya?" salah satu anak kelas bertanya kepadanya.
"Iya."
"Oh, Sivia ya?"
"Iya."
"Bu Romi udah bilang ke gue tadi. Em, lo duduk di…" anak itu memperhatikan ruang kelasnya dengan jeli, sampai kedua bola matanya berhenti pada satu kursi kosong di pojok depan dekat jendela kelasnya. "…di sana aja ya."
Sivia mengangguk pelan. "Makasih ya." gumamnya. Ia berjalan ke kursi kosong yang di tunjuk oleh anak tadi. Lalu duduk disitu. Ia menaruh tas nya di atas meja. Mengeluarkan handphone nya untuk sekedar bermain game atau apa lah yang bisa ia mainkan. Ia urung untuk berkenalan lebih dulu dengan teman barunya. Malu. Itu alasannya.

"Eh? Hai? Sivia kan?"

Suatu suara memaksa Sivia untuk berpaling dari handphone nya sejenak. Ia menoleh ke arah samping kirinya. Ia tersentak kaget. Kiranya ia duduk sendiri disitu, namun tanpa ia ketahui ada seseorang yang sudah menaruh tas nya lebih dulu tadi. Dan bodohnya, ia tak melihat itu.

"Lo kan..?" Sivia mencoba mengingat satu nama, dan ia berhasil. "…Shilla?"

Gadis itu tersenyum. Ia mengangguk senang. "Kita sekelas ternyata! Asyik deh punya temen baru." Ujarnya. Sivia membalas nya dengan anggukan.

"Lo duduk bareng gue aja ya? Eh, siapa nama panggilan lo? Siv? Via? Atau Sivia?"
"Sivia aja, Shill."
"Oh oke oke. Eh? Siv? Mulai sekarang kita temenan ya? Temen deket!"

Sivia mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin? Belum ada dua jam berkenalan, gadis ini sudah menjadikannya teman dekat.

"Gimana Siv? Lo mau kan? Tenang deh gue gak nakal kok anaknya."

Walaupun merasa bingung, toh akhirnya Sivia tersenyum juga mengiyakan. Selama Shilla tidak terlalu mengganggu, ia bersedia saja. Toh dia fikir, Shilla adalah gadis yang baik. Yah walaupun mungkin sedikit cerewet menurutnya.

"Iya deh gue mau, Shill."
"Yess!! Oke kita temenan kan sekarang?" Shilla menampakkan jari kelingkingnya. Berharap Sivia mengaitkan juga jari kelingkingnya.

"Iya Shilla." Sivia membalasnya. Tangan mereka berdua terkait. Tandanya, ikatan pertemanan sudah melekat dalam diri masing-masing. Shilla memang dijauhi oleh semua teman cewenya karena Cakka. Mungkin Sivia adalah seseorang yang dikirimkan oleh Tuhan untuk Shilla.

Mereka berdua tersenyum. Ini adalah awal pertemanan yang manis. Apakah manis sesuai keinginan mereka? Tak ada yang tahu. Hanya waktu yang dapat menjawabnya. Sekarang yaa, ikutin alurnya saja.

Mereka berdua bercengkrama ria. Shilla mengenalkan teman-teman nya kepada Sivia. Shilla menceritakan semua keadaan di sekolah itu. Mulai dari guru-guru, makanan di kantin, sampai pengurus taman juga ia ceritakan pada Sivia. Sungguh hal yang tak terlalu penting..

***

Bel tanda istirahat menggema di setiap sudut sekolah itu. Empat jam pelajaran tadi kosong. Semua guru rapat untuk membincangkan masalah sekolah dan kualitas murid-muridnya. Mungkin setelah ini, anak-anak tetap bebas karena rapat akan dilakukan sampai pulangan. Sungguh membuat anak-anak itu merdeka akan pelajaran yang membuat mereka lelah.

Sivia dan Shilla memutuskan ke kantin. Tapi sebelum itu, mereka sama-sama mampir ke toilet. Sivia buang air kecil. Dan Shilla mencuci tangan di wastafel kamar mandi itu.

"Sivia, gue tunggu di luar ya."

Shilla keluar begitu saja tanpa mendengar jawaban Sivia. Ia mengusap-usap tangannya dengan tisu yang ia punya, sampai tak melihat seseorang sedang melintas di hadapannya dan hampir saja menubruknya.

"Weeits kalo jalan hati-hati, Shill!"

Shilla melihat ke orang yang –hampir saja- di tubruknya. Seorang laki-laki ternyata. Dan itu kakak kelasnya. "Eh? Sorry kak Rio, hehe."
"Iya gapapa. Lain kali hati-hati Shill."
"Hehe, iya kak."
"Oke. Gue cabut!"

Rio berlalu dari hadapannya. Shilla mengangkat kedua bahunya. Lalu kembali membersihkan tangannya. Ia menganggapnya seperti angin lalu. Rio adalah sahabatnya Cakka. Dan dia sangat sangat berterima kasih kepada Tuhan karena bukan Cakka yang hampir ia tabrak tadi.

"Sorry Shill lama hehe." Sosok Sivia datang dan mengagetkan Shilla. Lamunannya tentang Cakka buyar seketika.

"Oh iya gapapa Siv. Kantin yok. Laper nih gue." Shilla memegangi perutnya dan merintih seolah-olah tak di beri makan oleh orang tuanya.

"Haha muka lo gitu banget Shill! Yaudah yuk!" Sivia menggandeng tangan Shilla. Seolah sudah bersahabat sejak lama. Keduanya terlihat begitu akrab hanya dalam kurun waktu empat jam.

"Oiya, tadi lo ngobrol sama siapa Shill?" Tanya Sivia di tengah mereka berjalan menuju ke kantin.

"Oh itu. Sama kakak kelas. Tadi gue gak sengaja mau nabrak dia. Untung ga kejadian. Hehe."

"Oh gitu. Tapi lo ga kenapa-kenapa kan?"

"Engga lah.."

Mereka tersenyum kembali. Sampai saatnya mereka tiba di kantin sekolah itu dan lalu duduk disalah satu tempat yang kosong. Menunggu pelayan kantin menghampiri mereka. Tak lama kemudian, pelayan kantin itu datang. Sivia dan Shilla memesan makanan mereka. Beberapa menit kemudian, datanglah makanan mereka.

Jujur. Sebenarnya Sivia sedikit takut jika keluar dari kelasnya. Bayang-bayang bertemu Ify dan Rio menyelimuti otaknya. Hatinya sungguh tak siap bertemu dengan dua orang yang begitu.. disayanginya. Namun, ajakan Shilla yang -begitu terlihat sedikit memaksa- membuat hatinya luluh. Toh dia berfikir, suatu saat pasti mereka bertiga akan bertemu. Tak lama lagi..

"Sivia?"

Satu suara mengagetkannya. Suara gadis. Shilla kah itu? Bukan! Lalu siapa?

"Vi? Sivia?"

Suara itu lagi. Sivia memejamkan matanya. Tak ingin dilihatnya sosok pemilik suara yang sedari tadi memanggilnya. Keringat dingin sedikit mulai mengucur dari dahinya. Suara gadis ini sangat ia kenal satu tahun yang lalu. Apa dia… Ify?

'Tuhan, jangan sekarang. Aku mohon Tuhan. Jangan sekarang..'

"Siviaaaa!"

Sivia merasakan tenggorokannya tercekat. Desau angin berhembus kencang. Seakan menerbangkan fikiran-fikiran laknat yang bersarang di kepalanya. Ia benci ini. Ia merutuki nasibnya yang sedikit pun tak pernah menyentuh ketenangan. Ia benci situasi ini. Benci!

"Vi! Lo kenapa?"

Sivia membuka matanya. Bayangan Ify duduk di hadapannya semakin jelas terlihat. Kepalanya pusing. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Apakah secepat ini ia harus bertemu dengannya? Dengan Ify. Ify. Ify.

"Vi? Sadar Vi."

Sivia merasakan tubuhnya diguncangkan pelan oleh seseorang(?). Dia tak ingin tahu siapa orang itu. Dengan cepat ia berlari menjauh dari tempat duduk kantin itu. Memang belum sanggup ia bertemu dengan saudara sekaligus pengagum cinta pertamanya.. yah.. belum saatnya..

"Viaaaa! Lo kenapaaa?" Shilla keheranan melihat Sivia yang sedari tadi gelisah. Awalnya melamun. Lalu beberapa saat kemudian, ia memperhatikan Sivia yang terlihat sangat aneh. Mukanya merah. Keringatnya sedikit bercucuran. Matanya terpejam. Shilla terus memanggil Sivia yang sama sekali tak menghiraukannya. Sudah lebih dari sekali Shilla memanggil Sivia, tapi tak ada respon darinya.

"Mungkin lagi kebelet ke kamar mandi kali ya." Sivia bergumam sendiri sambil mengangkat kedua bahunya tanda tak mengerti. Ia kembali melanjutkan memakan makanan yang ia pesan tadi.

"Sivia lucu banget deh kalo lagi kebelet. Mukanya merah gitu hihi." Shilla terkekeh sendiri sambil mengingat kelakuan aneh Sivia tadi.

***

Sivia berlari kemanapun kakinya hendak melangkah. Ia tak tahu apakah tadi benar wajah Ify yang ia lihat, atau hanya perasaan takut nya saja yang terlalu menyembul di hatinya. Ia tak tahu. Yang jelas, suara tadi sangat mengganggunya.

"aawww.." dengan sangat tiba-tiba Sivia ditarik oleh seseorang ke dalam gudang. Mulutnya ditutup oleh tangan orang itu yang sepertinya seorang laki-laki.
"mmmmphh." Sivia meronta. Sampai saatnya ia berhenti saat melihat siapa yang menculiknya dengan tiba-tiba.

"Elo? Ngapain lo pake nutup nutup mulut gue ah!" Sivia menghempaskan tangan itu. Tangan seorang laki-laki yang mulai membuatnya muak lagi. Cakka. Dia Cakka..

"Kalo gak ditutup, lo bakal teriak!" Cakka menatap sinis ke arah Sivia.
"Yaudah deh lo mau ngomong apa?" Sivia seolah-olah tau apa maksud Cakka mencoba menyuliknya secara dadakan.

"Gue lupa bilang satu hal ke elo tadi pagi." Cakka bersender ke dinding gudang sekolah tersebut. Sambil melipat kedua tangannya, Cakka ber-argumen melanjutkan hal yang ingin ia sampaikan. "Waktu Alvin ke rumah, lo bilang apa tentang status lo?"

Sivia mengerutkan kening. Bayang-bayang Ify tadi sejenak hilang berubah menjadi wajah Cakka yang euh sungguh menyebalkan baginya.

"Keluarga. Keluarga jauh." Ucap Sivia santai.

Cakka tersentak kaget. "Keluarga? Emang kita keluarga ya?" Cakka berdiri tegap sekarang. Tubuhnya sudah tak ia sandarkan lagi ke tembok gudang tersebut. Ia menunggu jawaban dari Sivia.

"Terus gue harus bilang apa?" Sivia mencoba menahan emosinya.
"Pembantu lah.."
"Gue bukan pembantu."
"Lo juga bukan keluarga gue."

Sivia membalas tatapan sinis Cakka. Harus bagaimana lagi ia melawan orang batu di hadapannya ini? Dengan cara lembut kah? Yah.. sampai saat ini dia masih mencoba bersabar.

"Yaudah jadi lo maunya apa?"

Cakka berfikir keras. Ia memandang Sivia tajam. Mencoba mencari akal untuk membuat suatu masalah. Masalah yang membuatnya puas. Ia masih harus melawan sosok tegar Sivia, sampai dia takluk dan menjauh dari hidupnya.

"Sebenarnya gue gak terima. Tapi yaudahlah gue maafin."

"…" Sivia tak menanggapi perkataan Cakka.

"Tapi gak gitu aja gue maafin lo. Ada syaratnya!" Cakka menahan senyum kemenangannya.
"Apa?" Sivia sudah agak malas meladeni Cakka. Kini kedua tangannya yang ia lipatkan menyilang di depan dadanya.

"Lo harus jadi cewek bohongan gue."





***

Oke. Mungkin gue emang penulis yang sedikit kejam. Haha masih juga belum mempertemukan
Sivia dengan Rio ataupun Ify. Hahaha *ketawasetan*. Anyway, ini sudah agak panjang belom? Kalo segini pas, part selanjutnya bakal gue bikin segini juga. Ini aja udah klenger ngetiknya. Haha gue pengen cepet-cepet ngepost. Cepet posting, cepet selesai. Haha

Seperti biasa, thanks banget buat semua like dan comment2 nya. Maaf banget kalo di part ini masih kurang gereget. Adegan Caksiv dikit banget. Apalagi Siviyo juga gaada. Tenang. Itu semua masih gue simpen kok. Anyway, comment dan like kalian masih saya butuhkan untuk penambah semangat saya^^. Sekali lagi makasih yaa semuanya:*

Twitter @Resaechaa
Blog resaechaa.blogspot.com

Tidak ada komentar: