Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Senin, 01 Agustus 2011

"CINTA KEDUA" PART 14

Selamat ya yang buat jawabannya bener. Hadiah akan dikirim ke kota masing-masing. Ditunggu aja. (Sampe nenek-nenek juga ga datang tuh hadiah hahaha) Oke, happy reading! Check it out-----

***

“Butuh tumpangan nona manis?”
Seorang laki-laki yang berseragam sama dengan Sivia, memakai helm fullface berhenti tepat di depan Sivia. Laki-laki itu melihat kening Sivia berkerut.

“Lo siapa?” Tanya Sivia cepat. Dengan PDnya laki-laki itu hendak membuka helm fullface nya lalu, “Lo gak tau gue siapa?” Sivia menggeleng.
“Gue……………”

Sivia semakin mengerutkan keningnya. Dan dia adalah..

“Cakka. Gue Cakka, ya ampun! Masa lo gatau motor gue? Lo gatau postur badan gue? Lo juga ga ngenalin suara gue? Emangnya dalam waktu seminggu kemaren, lo masih belum bisa ngenalin gue ya Siv? Dasar cewek aneh!” sembur Cakka pada Sivia yang berdiri tepat di samping motornya. Betapa bodohnya Sivia tak mengenali Cakka, Cakka yang seminggu terakhir selalu bersamanya.

“Ya jelaslah gue ga ngenalin lo. Gue liat lo pake seragam kan baru tadi pagi.” Sivia membela dirinya. Tak terima di cap sebagai ‘cewe aneh’ oleh Cakka. “Lagian? Lo ngapain disini? Bukannya daritadi udah pergi sekolah ya?” Sivia melipat kedua tangannya di depan dada. Menunggu Cakka menjawab pertanyaannya tadi. Hal yang sangat bodoh jika Cakka berkeliling Jakarta sementara sekolah sudah hampir memasuki jam masuk -07.15-

“Terserah gue dong. Gausah bawel gitu deh. Gue gak suka!”
“Halah bilang aja lo khawatir sama gue. Makanya lo balik lagi buat jemput gue.”
“Idih ogah banget deh. Gak sudi gue. Buang-buang waktu tau ga.”
“Elaah ngeles lagi lo. Eh..?” Sivia memperhatikan Cakka lekat-lekat. Satu hal yang ia lupakan tentang masalahnya dengan Cakka tadi pagi. Bisa-bisanya ia lupa akan hal ini - SERAGAM.

“Eh? Seragam lo? Bukannya hilang ya?” Cakka terlonjak kaget mendegar pertanyaan Sivia. Ia juga baru sadar tentang hal usil yang ia lakukan pada Sivia tadi pagi.

“Hahaha mau tau aje lo!” Cakka hanya tertawa lalu dengan cepat memakai helm fullface nya. Kacanya tak ia tutup. Sehingga Sivia masih bisa melihat wajah Cakka yang euh mulai memuakkan lagi menurutnya.

Sivia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu berdecak. Dalam seminggu ini sudah lebih dari satu kali Cakka mengerjai dirinya. Ia masih tak habis fikir dengan jalan fikiran Cakka yang menurutnya agak susah untuk ditebak. Baru satu minggu ia bertugas mengurusi Cakka, serasa seperti sudah sebulan. Banyak sekali hal-hal atau masalah yang didasari oleh sifat Cakka yang labil. Tunggu dulu. Labil? Apa kejadian seminggu terakhir adalah karena akibat kelabilan Cakka? Rasanya tidak mungkin, fikirnya.

“Ngapain masih berdiri disitu? Lo gak pengen sekolah?” pertanyaan Cakka sukses membuyarkan fikiran-fikiran yang bergelayut di kepala Sivia. Matanya kembali beralih ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

“Ya ampun! Udah jam tujuh lewat dua belas menit.” Sivia menepuk jidatnya sendiri. Tak sadar waktu begitu cepat. Per-cekcok-annya dengan Cakka tadi membuatnya lupa akan tujuannya --> SEKOLAH.

“Buru naik! Elo sih bawel banget jadi cewe!” suruh Cakka. Dengan terburu-buru Sivia segera naik ke motor Cakka. Berharap dalam waktu tiga menit, motor itu bisa membawa dirinya dan Cakka sampai ke sekolah (baru) nya.

***

Dia memasuki halaman sekolah. Tersenyum kepada siapapun yang memberinya ucapan selamat pagi ataupun say ‘hello’. Pakaiaannya begitu rapi. Celana kotak-kotak hijau hitam dan seragam putih itu sudah melekat di tubuhnya selama hampir tiga tahun ini. Rambutnya spike namun ada beberapa rambutnya yang menjulur ke depan. Semacam poni. Namun tak terlalu banyak.

Manis. Menurut gadis gadis di sekolahnya, Ify sangat beruntung mendapatkan laki-laki ini. Orang yang menurut warga sekolahnya, sama sekali tak pernah membuka hatinya kepada siapapun itu. Mereka fikir, Ify adalah gadis pertama yang ia pacari, namun pernyataan itu salah. Salah besar. Mereka tak tahu disana –entah dimana- ada seorang gadis yang lebih dulu merebut hatinya. Bahkan sampai sekarang. Rasa itu tak pernah hilang. Malah semakin kuat perasaan itu bergelayut dalam hatinya. Akankah Ify bisa menjadi cinta kedua dalam hidupnya? Ia tak yakin..

“Rio!!!” Dia, laki-laki itu menoleh ke belakang. Ke arah empunya suara. “Rio! Aah aku kangen banget sama kamu sayang” Rio tersenyum lebar mendengar itu. Senang? Tidak! Ia hanya sekedar senyum, senyum palsu di depan Ify, pacarnya.

“Hai Fy.”

Just it? Hanya itu? Hanya kata ‘hai’ yang dapat ia ucapkan? Setelah hampir sebulan ia berpacaran dengan Ify, belum juga ia mampu untuk memanggil gadis yang berdiri di hadapannya itu dengan kata ‘sayang’. Berbeda. Sangat berbeda dengan Sivia dulu.

‘Dulu? Rio itu dulu! Masa lalu! Sekarang ada Ify! Ify yang sudah sangat nyata mencintaimu dengan hati yang tulus! Arrggh Sivia!’

“Kamu gak kangen ya sama aku?” suara lembut Ify memaksa Rio untuk kembali tersenyum. Senyum yang masih tetap palsu. Kali ini ia menjawabnya dengan sedikit tertawa kecil “Kangen kok hehe.” Ify tertawa renyah mendengarnya. Bukan tidak mungkin ia sangat senang mendengar itu. Rio. Rio yang sedari dulu ia sukai dan kagumi, kini sudah menjadi miliknya yang utuh. Ia memiliki semua yang Rio punya. Tapi? Tidak dengan hatinya. Rio masih sangat menyayangi gadis yang berada disana, yang kini entah dimana. Tapi, Ify tidak mengetahui itu. Yang ia tahu, Rio kini sudah berada di sampingnya. Dan menjadi miliknya.

“Aku ke kelas dulu ya sayang, udah bunyi bel kan? Kayaknya ga upacara ya? Udah mau mulai hujan nih soalnya.”
“Iya ga upacara kok, aku ke kelas juga deh, bye!” Rio lebih dahulu berlalu meninggalkan Ify dengan senyum manis yang masih ia berikan. Ify membalas senyum itu. Memandang Rio dari belakang sampai sosok itu menghilang di tikungan salah satu gedung sekolahnya.

Ify masih tersenyum. Lalu menghirup bau tanah yang basah akibat segerombol air hujan yang mulai turun ke bumi. Ia menutup matanya sejenak. Senang. Bahagia. Dua rasa itu kini masuk menyelubungi relung hatinya yang telah lama kosong.

“Kak Ify hujan nih ah malah senyum senyum disini!” Ozy, adik kandung Ify datang dari belakang dan langsung menarik Ify ke arah gedung sekolah. Ozy baru masuk ke area sekolah –bersama Ray tentunya- setelah sebelumnya janjian dengan Ray untuk saling tunggu menunggu di depan gerbang sekolah.

“Iya-iya! Eh gue ke kelas dulu yah! Dadah Ozy sayaang” Ify berlalu, sekilas masih terukir senyum bahagia di wajahnya yang manis. Tampaknya, kehadiran Rio sangat sukses membuat dirinya lebih semangat dalam menjalani hidup.

Ray hanya tersenyum melihat Ozy dengan kakaknya. Ia sedikit iri dengan Ozy. Menurutnya, Ozy dan kakaknya bisa menjadi saudara yang akur. Tapi dirinya? Cakka? Ah sangat tidak mungkin..

“Sorry ya Ray. Hahaha kakak gue emang rada stress gitu kalo ketemu pacarnya.” Ozy berjalan beriringan dengan Ray menuju kelasnya yang baru.
“Haha no problem lah Zy, emang siapa pacar kakak lo?” Ray hanya sekedar berbasa-basi. Tak penting juga baginya siapa yang berpacaran dengan siapa. Hanya sekedar membuka obrolan dengan Ozy.

“Kak Rio. Ketua OSIS kita, itu pacar kakak gue. Hebat kan? Haha”

Seketika itu juga Ray berhenti berjalan. Berbagai hal berputar-putar di kepalanya. Sivia. Rio. Ify. Tiga wajah itu kini langsung menempati sebagian otak Ray. Ia tak mampu memikirkan bagaimana jika Sivia bertemu dengan Rio? Senang? Itu pasti. Tapi? Ify? Rio dengan Ify? Aaah.. Dia tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika mereka bertemu. Rumit. Sungguh rumit. Ia sendiri bingung dengan kenyataan ini. Kenyataan yang begitu pahit bagi Sivia.

‘Ya Tuhan.. Kak Sivia..’

***

Cakka dan Sivia sampai di sekolah pukul 07.20 menit. Itu artinya mereka telat lima menit. Namun satpam sekolah mengizinkan mereka masuk karena keadaan saat itu mulai hujan deras. Sivia turun dari motor Cakka. Entah karena apa, dirinya sedikit kenal dengan sekolah ini. SMA Putra Bangsa, nama sekolah yang terpajang di atas gapura gerbang sekolah itu, membuat Sivia kembali berfikir keras.

“Siv!” Cakka menepuk kuat punggung Sivia. “Gue ke kelas! Lo nemuin Kepsek sono!” Cakka berlari menuju kelasnya, meninggalkan Sivia yang merasa sakit mendera punggungnya.

“Eh woy! Sakit bego!” teriaknya sambil mengelus-elus punggungnya. “Sialan tuh orang!”

“Siapa yang sialan?” kata salah satu suara.

Sivia berbalik ke arah seseorang yang tiba-tiba menyauti umpatannya tadi. Ia mendapati sosok perempuan berparas cantik sedang berdiri di depannya sekarang. Rambutnya tergerai rapi. Bandana pink terlihat manis melekat di kepalanya. Sosok itu tersenyum memandangnya. Nampaknya, ia menunggu jawaban Sivia.

“Eh?”
“Hai! Lo anak baru ya?” Sivia tersenyum mengangguk. “Kenalin, gue Shilla, anak kelas 11-Ipa3, lo siapa?” Shilla mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Sivia.
“Gue Sivia” Sivia membalas uluran tangan Shilla. Mereka berjabat tangan.

“Kelas 11 juga ya?”
“Iya”
“Oh, mau gue anter ke ruang Kepsek?” tawar Shilla. Sivia menyetujui. Lalu mereka berjalan bersama ke arah ruang Kepsek yang jaraknya tak terlalu jauh dari tempat mereka berkenalan tadi.

Setelah sampai di depan ruangan Kepsek, Shilla pamit kepada Sivia untuk terlebih dahulu pergi ke kelasnya. Karena sudah sejak beberapa menit yang lalu, jam pelajaran pertama sudah dimulai dan Shilla tentu ada alasan untuk sengaja terlambat yaitu, mengantar anak baru ke ruang Kepsek.

***


“Ray? Ray? Hello Ray?” Ozy mengibaskan satu tangannya di depan Ray. Sudah hampir dua menit Ray melamun di koridor sekolahnya. “Ray? Lo kenapa sih?”
Ray tersadar. Rohnya kembali ke tubuhnya sekarang. Setelah sebelumnya mendapat goncangan yang keras dari Ozy.

“Eh? Sorry Zy! Ke kelas sekarang yuk!” ajak Ray yang tak ingin Ozy menanyakan tentang hal apa yang ia lamunkan beberapa saat lalu.
Fikiran-fikiran tentang tiga anak manusia yang sedari tadi berputar-putar di kepalanya, kini lenyap. Hilang. Hembusan angin yang sejuk membawa fikiran-fikiran itu untuk sedikit terangkat dari otak Ray. Ia tak sanggup lagi memikirkan itu semua. Tak mampu. Hanya waktu yang bisa menjawab itu. Sivia-Rio-Ify.

Ozy mengangkat kedua bahunya tanda tak mengerti. Namun dengan cepat, ia mengejar Ray yang sudah agak jauh meninggalkannya. “Raay! Tungguin gue ah!”

Ozy berjalan sedikit cepat. Ray berlalu meninggalkannya tanpa ada sedikit rasa dosa. Ozy mendecakkan lidah. Sosok Ray sudah menghilang menaiki tangga yang memang menuju ke kelas barunya.

“Sialan nih si Ray” Ozy kini berlari. Tak ada gunanya lagi untuk memanggil Ray. Mulutnya sudah berbusa meneriaki Ray yang tidak sedikitpun tidak menyaut ataupun menoleh. Putus asa dia. Karena terlalu terburu-buru, ia tak melihat sesosok di tikungan sebelum tangga, sudah terlebih dahulu menyembulkan tubuhnya berbelok ke arah Ozy berlari.

“aaaaaa!”
BRUKK!!
“aduh!!”

***




Aduh gue ngerasa disini stuck banget. Gue kehabisan ide nih. Omaigat! Gatau kenapa gue agak ngerasa kehilangan feelnya:( sorry banget nih buat yang pada kecewa. Gue bener-bener stuck di part ini. Part yang paling mengenaskan nih. Iya. Maksa banget kayaknya. btw, kenapa ini gabisa ke tag? besok aja ya di tag. maaf lagi.

Anyway, silakan mencaci maki saya, saya terima(?) Hahaha
Klik ‘comment’ untuk kesediaan anda menkomentari CK ini, dan klik ‘like’ jika anda menyukainya. Salam hangat dari saya, akhir kata saya pamit mengundurkan diri, wassalam.

Twitter-@Resaechaa

Tidak ada komentar: