Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Senin, 05 September 2011

"JIKA ACHA DAN OZY JATUH CINTA" PART 7


PART 7 : EPISODE SEBUAH KALENG MINUMAN DINGIN

Selasa siang yang panas. Sungguh tidak sesuai dengan suasana bulan Februari yang seharusnya masih bernuansa musim hujan. Halaman sekolah sudah tak berpenghuni, selain helaian-helaian daun jatuh yang menguning. Acha mengeluh, dan menyandarkan kepalanya ke tiang di sebelah bangku panjang yang dia duduki. Handphone di tangannya tak kunjung berdering, padahal sudah setengah jam Acha duduk di depan kelasnya. Rio sepertinya tadi terburu-buru waktu bilang bahwa dia perlu mengurus sesuatu sebentar bersama Patton. Acha menghembuskan nafas keras-keras.

“Duh Gusti… Paringono sabar…” bisik Acha, menirukan neneknya kalau merasa kelakuan cucu-cucunya sudah di luar batas kewajaran.

***

Ozy menghapus keringat yang mengumpul di keningnya. Selesai sudah. Dia baru saja memperbaiki printer di ruang guru yang tadinya ngadat. Sebenarnya kerusakan printer itu tidak serius. Hanya ada beberapa setting yang harus diubah.

“Bisa Zy?” tanya Pak Duta, tubuh Pak Duta yang jangkung tiba-tiba saja sudah
muncul di belakangnya.

“Bisa kok Pak”, Ozy menunjukkan hasil pekerjaannya. Pak Duta mengangguk puas.

“Bagus deh. Makasih ya Zy… Sorri lho, kamu sampai telat banget gini pulangnya” kata Pak Duta sambil menoleh memandangi jam dinding.

“Nggak apa-apa Pak. Saya senang kok bisa bantu”, jawab Ozy. Dan dia tidak bohong. Apalagi dia menyukai Pak Duta. Matematika memang seringkali bertengger dalam tiga mata pelajaran yang paling tidak disukai siswa, tapi Ozy menyukai pelajaran itu. Selain itu, meskipun Pak Duta sering kali terdengar melontarkan komentar dan kritikan yang tajam terhadap seorang siswa, Ozy merasa semua kritik itu sebenarnya bertujuan sama, agar sang murid bisa lebih memperbaiki diri.

“Saya pulang dulu Pak”, kata Ozy sambil mencangklong ranselnya.

“Ya, silakan… Ati-ati ya Zy…” sahut Pak Duta. “Oh iya Zy, ini buat kamu. Kamu udah keringetan banget gitu” kata Pak Duta sambil menyerahkan sekaleng minuman dingin rasa jeruk yang baru dia keluarkan dari kulkas di ruang guru.
Ozy tersenyum senang, menerima kaleng tersebut dan memasukkannya ke dalam tas.

“Wah, makasih banyak Pak…”.
Pak Duta mengangguk sambil tersenyum.
Ozy melangkah keluar ruang guru dan menyusuri koridor dengan langkah santai. Setelah beberapa puluh langkah, jantungnya berdegup kencang. Dia yakin, meskipun tak terlihat, pasti ada pelangi di sekitar sini. Kalau tidak, bagaimana caranya si bidadari cantik yang tengah menunduk itu turun dari surga, dan duduk hanya dua meter dari tempatnya berdiri sekarang? Ozy mengucap doa dalam hati, sekedar untuk menutupi detakan jantung yang seakan-akan sedang menjadi peserta MotoGP, dan membuka mulut.

“Belum pulang Cha?”
Acha mengangkat wajah. Dan tiba-tiba merasa matahari berkurang kegarangannya. Acha sempat berpikir, mungkin di surga sedang terjadi keributan, karena salah satu malaikatnya hilang dari surga, dan tengah berdiri di depannya. Malaikat itu sekarang sedang tersenyum, menatapnya.
Acha menggeleng lemah. Siapa yang sanggup berkata-kata kalau disenyumin semacam itu sama Ozy?

“Belum. Kak Rio masih ada urusan katanya.” Acha berhasil menenangkan dirinya untuk menjawab

“Terus? Kamu pulang sendiri ya?” Ozy diam-diam berharap bisa menawarkan diri mengantar Acha pulang. Ribuan doa terucap di batin Ozy…

“Enggak. Aku disuruh Kak Rio nunggu. Kata Kak Rio kalau dia sudah sampai gerbang sekolah, dia bakal miskol aku”.

“Oh.” Ozy menelan kecewa. Doanya tidak dikabulkan rupanya.
Acha tersenyum tipis. Membuat Ozy merasa sanggup melintasi 7 samudra dalam dua lompatan .
Selama beberapa detik, tak ada yang berucap apa-apa. Hanya ada suara angin di sela-sela pohon yang tumbuh menaungi halaman sekolah.

“Jadi…” Ozy berusaha mengawali percakapan.

“Terus…” Acha mencoba memberanikan diri untuk bersuara.
Mereka berdua terdiam, bertatapan, dan sama-sama mengalihkan pandangan.
Ozy menarik nafas panjang, kemudian mencoba lagi.

“Kamu kayaknya ga ikut ekskul apapun ya? Kok kayaknya aku jarang liat kamu ikut-ikut latihan apapun di sekolah.”
Acha tersenyum lagi. “Aku ikut ngurusin mading. Tapi lebih banyak di bagian lay-out nya gitu.”

“Oh ya? Kirain yang suka nulis-nulis cerpen sama artikelnya”.

“Enggak. Aku ga bisa nulis.”

“Kalau baca? Suka?”
Acha mengangguk, “Tapi aku lebih suka baca novel sih…”
Ozy menanggapi dengan bersemangat, “Oh ya? Sama dong! Lagi baca novel apa? Eh, udah nonton Percy Jackson belum? Udah baca novelnya?”
Acha memiringkan kepalanya dengan ekspresi agak heran.

“Lho? Kamu suka baca novel juga? Kirain cowok kayak lo cuma bisa baca manga aja.”
Ozy tertawa. Melihatnya, Acha tiba-tiba merasa tubuhnya membeku. Meskipun saat itu matahari tengah gagah bersinar.

“Gua udah baca sampe buku terakhir, yang The Last Olympians” sahut Ozy

“SERIUS LO? Emangnya udah terbit?”

“Di Indonesia? Ga tau ya. Aku sih dikirimin sama tanteku, Tante Irna. Dia kan mengikuti suaminya yang kerja di luar negri. Sekarang Tante Irna lagi ada di Sydney. Aku nitip minta tolong beliin sama dia. Jadi aku punya dari jilid satu sampe jilid lima. Tapi karena nitip sama Tante, ya jadinya yang aku punya itu yang versi aslinya, dalam Bahasa Inggris” jelas Ozy.

“Terus? Kamu udah baca? Yang versi aslinya? Pake bahasa Inggris?” seru Acha dengan mata membelalak.
Ozy mengangguk. Tak sedikit pun melepas senyum dari bibirnya.
Ya Tuhan… batin Acha. Ozy semakin menuju titik sempurna bagi Acha.

“Mau pinjem?”

“MAU. MAU BANGET!” seru Acha. Ozy tertawa. Acha merasa pipinya kembali memanas. Sambil menunduk, dia merogoh tas ungunya, mencari entah apa. Yang penting dia bisa menyembunyikan wajahnya yang terasa semakin memanas. Di salah satu saku tasnya, Acha menemukan selembar tisu yang langsung dia tarik.
Sambil menghembuskan nafas, Acha mengelap keningnya dengan tisu itu.

“Kenapa Cha? Panas?”

“Iya nih… Aku merasa seperti mentega yang sedang dicairkan…” ujar Acha sambil melemparkan pandangan ke arah lapangan basket di hadapannya.
Ozy menurunkan ransel dan merogoh ke dalamnya. Detik berikutnya, dia sudah menempelkan kaleng minuman dingin dari Pak Duta yang masih terasa dingin tersebut di kening Acha.
Acha tercekat. Kaget. Senang. Gugup.
Ozy memindahkan kaleng minuman dingin itu dari kening ke pipi kiri Acha selama dua detik, kemudian memindahkannya ke pipi kanan Acha.

“Enakan?” kata Ozy, memandang tepat ke arah mata Acha.
Acha mengangguk. Otaknya beku. Mulutnya beku. Kaki tangannya pun lumpuh karena beku.
Ozy tersenyum, melepaskan kaleng itu dari pipi Acha dan menyodorkannya pada Acha. Senyuman Ozy membuat Acha meleleh.

“Buat kamu. Biar gak dehidrasi”.
Acha menyambut kaleng itu. Dan selama tiga detik, keduanya merasa dunia seakan berhenti berputar. Hanya selama tiga detik. Karena begitu handphone Acha berbunyi nyaring, mereka terpaksa membiarkan dunia berputar kembali.

“Emm… Itu pasti Kak Rio” kata Acha, bangkit sambil meraih handphonenya. Tangan kanannya masih menggenggam kaleng minuman itu.
Ozy mengangguk.

“Euh… Aku duluan ya…” kata Acha, lalu berjalan menuju gerbang sekolah. Ozy tidak menyahut. Hanya memandangi punggung Acha yang semakin menjauh. Setelah beberapa langkah, tiba-tiba Acha berbalik.

“Zy…”
Ozy mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum, “Ya?”

“Thanks for the drink…” Acha tersenyum manis sambil melambaikan kaleng minuman di tangannya.

“It’s been a pleasure. Hope you like it…” sahut Ozy sambil sedikit membungkuk sambil meletakkan tangan kanannya di dada.
Acha berbalik kembali dan berlari menuju gerbang. Di luar, Rio sudah menunggunya.

“Cha! Sorry ya… elo jadi rada lama ya nunggunya?”
Acha menggeleng sambil tersenyum. “Nggak kok…”
Sambil naik ke atas motor, Acha membatin “Malah seharusnya Kakak nanti aja dulu datengnya… Biar bisa lamaan dikit”

***

Begitu sosok Acha menghilang, Ozy meloncat tinggi sambil berputar. Tangannya mengacung tinggi ke udara.

“YYYYYEEEESSSS!!!!” Teriak Ozy memecah kesunyian sekolah.
Tak puas hanya itu, Ozy melemparkan tasnya tinggi-tinggi ke udara.
Sebelum Ozy sempat menangkapnya, sudah ada sepasang tangan lain yang menangkap tas itu.

“Zy? Kamu… Baik-baik saja?” kening Obiet berkerut sambil menyorongkan tas itu ke arah Ozy.

“Lho, Biet? Kamu belum pulang?” Ozy gelagapan. Berharap setengah mati Obiet tidak melihat apapun yang telah terjadi sebelumnya.

“Udah sih, cuma di tengah jalan gua baru inget kalo LKS Biologi gua ketinggalan. Jadi aja gua balik lagi. Eh, tadi gua papasan sama Kak Rio dan Acha. Kok kalian sama-sama belum pulang sih?”

“O ya? Ga tau ya. Gua sih dari tadi ga ada liat Kak Rio” kata Ozy, toh dia tidak betul-betul berbohong.
Obiet mengangkat bahu.

“Zy, tadi gua lupa cerita sama lo. Akhirnya gua memutuskan bakal memulai usaha PDKT. Doain gua sukses ya Zy!” Obiet tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.
Buku-buku yang ada di ransel Ozy tiba-tiba sepertinya berubah menjadi batu bata.

“O ya?”

“Yup!”, Obiet menyahut mantap. Dengan sinar wajah yang sudah sangat dikenal Ozy. Sinar wajah yang dimiliki Obiet kalau dia betul-betul serius dengan sesuatu hal.

“Gua nyadar Zy, kalo gua terus-terusan memendam rasa ini, gua ga bakal maju-maju. Lagian, gua khawatir kalo dia keburu disamber . Fansnya dia banyak Zy”.
Ozy berusaha tersenyum. Pahit.

“Siplah. Gua doain deh. Kalo udah jadian, traktiran udah pasti dong…” Ozy menepuk bahu Obiet.
Obiet menyeringai senang, “Gua tahu lo pasti dukung gua Zy. Lo emang sobat gua!”
Ozy mengangguk. “Gua duluan Biet..” kata Ozy, sekali lagi menepuk bahu Obiet. Obiet mengangguk.
Sepanjang jalan, Ozy merasa sepatunya terbuat dari batu kali. Terasa berat untuk dibawa melangkah. Ozy memandang lurus ke depan, membiarkan keringat di keningnya mengalir kembali. Matahari terasa lebih panas daripada biasanya. Jauh lebih panas.

***

Utami Irawati
PS Kimia FMIPA Unlam
>+62-81351396681
utami_irawati@yahoo.co.uk
@utamiirawati


Tidak ada komentar: