Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Rabu, 01 Agustus 2012

CINTA KEDUA PART 26


 

Pantulan bola basket memecahkan kesunyian yang terjadi. Sore itu, langit sudah mulai berubah warna menjadi orange. Matahari sudah mulai tenggelam ke dalam peraduannya. Hanya angin dan hentakan bola basket yang menemani Cakka dan Gabriel sore itu.


 

"Jadi? Sivia cerita apa aja Yel?"


 

Gabriel menerawang. Pikirannya kembali ke tiga jam lalu. Dimana dengan sengaja Gabriel meminta Sivia untuk bercerita sedikit perihal hubungannya dengan Rio di cafe yang tidak jauh dari sekolahnya. Dan tentu saja, dalang semua ini adalah Cakka.


 

"Waktu di Rumah Sakit kemarin, ternyata Rio memang sudah memperjelas hubungan mereka." Kata Gabriel.


 

"Maksud lo? Mereka HTS-an gitu?" Cakka terus memantulkan asal bola basketnya. Tanpa sedikit pun memperhatikan Gabriel.


 

"Bukan. Bukan itu. Ternyata, Rio sudah menegaskan kalau hubungan diantara mereka sekarang hanya sebatas teman. Mantan dan teman lebih tepatnya."


 

Cakka tersenyum miring. "Terus?"


 

Gabriel mengangkat bahunya. "Cuman itu yang Sivia ceritain ke gue. Selebihnya dia lebih banyak nanyain gue. Kayaknya dia lagi nggak enak hati deh nyeritain Rio."


 

Cakka menghentikan permainan asalnya. Dia menatap Gabriel yang duduk di bangku penonton lapangan basket itu. "Sivia sedih nggak?"


 

Gabriel menyatukan alisnya. "Hah? Sedih? Hahahaha."


 

Cakka bengong melihat Gabriel tertawa. Apanya yang lucu ya?


 

Gabriel menghentikan tawanya. "Lo aneh banget deh Cak. Lo pikir ada gitu orang yang cinta setengah mati sama seseorang, terus pas putus dan jadi teman, dia malah senang?"


 

Cakka membuang muka. Dia berjalan mengambil bola basket yang tadi dibuangnya. Lalu kembali menghentak-hentakkan bola itu lebih keras dari sebelumnya. "Jadi? Sivia masih sayang banget sama Rio? Gitu maksud lo?"


 

Gabriel berdiri. Kemudian menghampiri Cakka. "Mungkin. Setelah semua kejadian ini, gue yakin dia sedih banget. Merelakan sesuatu yang kita sayang itu rasanya sakit Cak."


 

Kayak gue. Ngerelain Shilla jatuh ke tangan lo. Dulu.. Gabriel membatin.


 

Cakka menghembuskan nafas berat. Dia kembali membuang bola basketnya. "Ah! Gue nggak ngerti sama jalan pikirannya Rio, Yel. Lo liat kan waktu di kantin? Maksudnya apa coba manas-manasin Sivia? Bukannya dia sendiri yang bilang 'teman'? Terus kenapa dia malah gitu? Gue yakin dia pasti ngerti apa definisi dari kata 'teman'. Terus buat apa dia mesra-mesraan sama Ify di depan Sivia?" Cakka merasa darahnya berlomba-lomba untuk sampai ke kepalanya. Emosinya sudah tidak bisa terbendung. "Seharusnya dia nggak berlaku seperti tadi. Itu sama aja nyakitin hati Sivia."


 

Cakka merasa pusing. Lama dia berpikir. "Tapi Yel... Apa mungkin..." Cakka menggantungkan kalimatnya.


 

"Rio cemburu sama lo? Dan Rio juga masih ada rasa sama Sivia?" sahut Gabriel.


 

Cakka mengangguk pelan. Dia melihat angin sore yang bercampur dengan debu sedang berputar-putar di udara. Sama seperti kepalanya yang agak pusing memikirkan kejadian di hidupnya akhir-akhir ini.


 

"Awalnya gue mau ngebuat Sivia nyaman di depan Rio dan Ify. Gue sengaja ngajak dia ke kantin. Dan gue juga sengaja nyari tempat di dekat mereka."


 

Gabriel mendengar dengan seksama.


 

"Gue sengaja godain Sivia biar dia bisa lebih kuat di depan Rio. Gue sengaja megang tangannya supaya dia yakin kalau gue juga bisa ngelakuin kebaikan. Gue sengaja ngelakuin itu semua karena gue..." Cakka menghentikan kalimatnya.


 

"Karena apa?" Gabriel penasaran.


 

Cakka menelan ludah. Dia sendiri sejujurnya tidak mengerti dengan semuanya. Dan kalimat yang ingin dilontarkannya tadi, hilang begitu saja dari pikirannya. Lidahnya kelu. Mulutnya terkunci rapat.


 

"Cak?" Gabriel menyentuh bahu Cakka. Cakka menoleh tanpa ekspresi.


 

"Gue nggak tahu Yel. Semuanya ngalir begitu aja."


 

Gabriel tersenyum melihat sahabatnya. Baru kali ini Cakka ragu terhadap perasaannya sendiri. Ini bukan Cakka yang dikenalnya dahulu. Cakka tidak pernah menimbang-nimbang perasaannya. Selalu saja berpikir pendek. Apapun yang dia mau, pasti bisa dimilikinya. Tanpa berpikir bahwa rasa suka itu hanya sementara. Jika bosan, tanpa basa-basi dia akan membuangnya. Dan tanpa sedikitpun memikirkan perasaan seseorang.


 

Berbeda dengan detik ini. Gabriel lebih suka Cakka yang seperti ini. Baru kali ini Cakka tidak bisa mengerti dengan perasaannya sendiri. Walaupun setengah persen, Gabriel berpendapat kalau Cakka mulai meyukai Sivia. Hanya saja sebagian hati Cakka masih menepis hal itu.


 

"Suatu saat lo pasti ngerti. Apa arti cinta sebenarnya. Dan gue yakin, tentang perasaan lo itu cuman lo yang tahu Cak. Gue cuman nyaranin, kalau punya gengsi, jangan gede-gede ya. Hahaha."


 

Cakka mengernyit. Dia menoyor kepala Gabriel. "Kalau ngomong yang jelas!"


 

Gabriel malah tertawa diperlakukan seperti itu. Dia tidak memperdulikan Cakka yang sok-sok bingung dengan kata-katanya tadi. Dia mengambil tas sekolahnya di pinggir lapangan. Tak lupa dia sekalian membawa tas Cakka.


 

"Nih. Pulang yuk. Udah sore nih. Lo nggak kangen apa sama Via?"


 

Cakka melotot. "Aneh lo Yel!" sahutnya.


 

Gabriel mengelengkan kepalanya. Dia tidak menghiraukan umpatan-umpatan yang keluar dari mulut Cakka. Dia berjalan lebih dahulu ke luar lapangan. Cakka mengekor dibelakang. Mereka berjalan bersisian di koridor sekolahnya. Sampai pada akhirnya, suara samar-samar perempuan berteriak meminta tolong terdengar di telinga Gabriel. Dia menghentikan langkahnya. Cakka yang tidak siap, menubruk Gabriel dari belakang.


 

"Kenapa berhenti sih Yel?"


 

"Sssst! Lo denger nggak?"


 

Cakka celingukan. "Denger apa?"


 

Gabriel membalikkan badannya. Kemudian berlari menuju asal suara yang meminta tolong tadi. Entah kenapa perasaan buruk dengan cepat menyergap pikirannya.


 

"Tunggu Yel!" Tanpa banyak tanya, Cakka ikut berlari mengejar Gabriel. Karena suara yang Gabriel tanyakan tadi juga sampai menyapa telinganya.


 

Mereka berdua sibuk berlari dan menajamkan telinga untuk sampai ke asal suara itu. Tak lama, mereka sudah sampai di depan toilet sekolah yang sudah lama tidak terpakai. Tepatnya di samping gudang sekolah. Suara teriakan itu semakin jelas terdengar. Dengan cepat Gabriel menendang pintu itu beberapa kali dan setelah berhasil membunuh pintu itu, betapa terkejutnya mereka.


 

"SHILLA?" teriak Cakka.


 

"Gue panggilin Pak Satpam bentar ya. Siapa tahu masih ada di depan." Sahut Cakka langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari Gabriel.


 

Gabriel berjalan selangkah demi selangkah. Dia begitu tersenyuh melihat keadaan Shilla di ujung toilet itu.. Dia tidak bisa berkata apa-apa selain menolong Shilla. Bagaimana tidak? Mata Shilla tertutup kain hitam. Tangan dan kakinya diikat dengan kencang. Rok sekolahnya compang-camping tidak beraturan. Sedang wajahnya habis berawarna merah dan cokelat akibat goresan lipstick. Shilla menangis terisak. Nampaknya sudah tidak ada tenaga untuk berteriak meminta tolong. Untung saja dia bisa mendengar bahwa ada yang menemukannya disini.


 

Dengan gesit dan tanpa suara, Gabriel jongkok membuka semua ikatan-ikatan itu. Mulai dari tangan dan kaki. Setelah selesai, dia sudah akan membuka ikatan mata Shilla kalau saja Shilla tidak berhambur memeluknya dan...


 

"Kak Cakka... Aku.. Aku takut Kak..." Shilla masih terisak di dalam pelukan Gabriel.


 

Gabriel terpaku. Dia tidak membalas rengkuhan itu. Dia biarkan Shilla membanjiri seragam putih nya. Apakah sebegitu besarnya perasaan Shilla pada Cakka sampai-sampai dia tidak mengenali Gabriel?


 

Gabriel membuka mulutnya. Ingin berkomentar. Ingin mempejelas kalau orang yang sedang dipeluk Shilla adalah Gabriel. Gabriel! Bukan Cakka! Namun keinginannya gagal manakala dia merasa rengkuhan gadis itu melemah. Shilla pingsan.


 


 

***


 


 

"Bagaimana keadaannya, Dok?"


 

Dokter muda itu membenarkan sedikit posisi kacamatanya dan tersenyum. "Dia baik-baik saja. Hanya kelelahan. Dia sudah sadar. Kemungkinan besar, nanti malam sudah bisa dibawa pulang. Permisi."


 

Gabriel mengucap syukur. Dia tersenyum lemah melihat Cakka yang juga berdiri di sampingnya.


 

Cakka membalas senyuman Gabriel dengan sebuah anggukan. "Biar gue aja yang jelasin ke dia. Gue mau tanggung jawab sama keputusan gue buat mutusin dia beberapa minggu lalu. Sekaligus tentang hal tadi. Lo hero-nya dia Yel. Bukan gue."


 

Gabriel menahan Cakka. Nampak keraguan terlihat di wajahnya yang sedikit terlihat tegang.


 

"Udah lo tenang aja Yel. Biar gue yang antar dia pulang nanti. Lo mendingan pulang aja. Muka lo pucat gitu. Lo serahin aja semuanya ke gue. Hitung-hitung, gue balas budi lah atas informasi tentang Sivia tadi siang."


 

Gabriel masih ragu. Namun, dia menganggukkan kepalanya. "Thanks Cak. Gue percaya sama lo kok."


 

Cakka menepuk-nepuk pundak Gabriel. Lalu masuk ke ruangan tempat Shilla di rawat. Gabriel menghembuskan nafas berat. Semoga semuanya akan baik-baik saja nanti. Dia tersenyum memandang pintu rumah sakit itu. Kemudian berbalik melangkahkan kakinya pergi. Setelah sampai di parkiran motor, dia merasakan getar ponsel dalam saku bajunya. Dia meraih ponsel itu dan lalu membuka pesan singkat yang masuk.


 

From: Via


 

Aku udah mau sampai di rumah sakitnya Yel. Ruangannya nomer berapa?


 

Dengan gesit Gabriel menekan satu per satu tombol di ponselnya.


 

Aku udah pulang Via. Kamu langsung aja ke lantai dua nomer 94.


 

Setelah membalas pesan Sivia, dia kembali memasukkan ponselnya ke saku bajunya. Tanpa memikirkan apa yang akan terjadi setelah itu...


 


 

***


 


 

"Aku sayang sama Kak Cakka..."


 

"Aku belum bisa lupain Kak Cakka..."


 

"Aku sakit hati waktu dengar berita Kak Cakka pacaran sama... sama... Sivia..."


 

Kata-kata itu terngiang jelas di kepala Sivia. Sudut matanya sudah daritadi basah karena aliran air mata yang mengalir sangat deras. Dia tidak menyangka kalau Shilla... Ternyata dia adalah salah satu yang pernah menjadi pacar Cakka. Bodohnya dia tidak menyadari ini. Jelas sudah perubahan perilaku Shilla padanya pasti karena hal ini. Tiba-tiba dia teringat sesuatu.


 

"Biar Ray perjelas. Jadi, yang nelfon Kak Cakka tadi pasti Kak Shilla. Setahu Ray, kak Cakka lagi pacaran sama Kak Shilla minggu-minggu ini. Dan kalau Kak Cakka udah mutusin hubungan dengan Kak Shilla, itu berarti Kak Cakka udah nemuin cewek lain yang lebih dari kak Shilla."


 

Dia mengingat obrolannya dengan Ray saat sebelum mereka pergi untuk acara perkemahan sekolahnya. Yang juga gagal di ikuti oleh Sivia, Ray dan Cakka. Sivia merasa sangat bodoh. Mengapa dia tidak mengingatnya? Mengapa baru teringat sekarang? Disaat semuanya sudah terlambat? Sivia pusing. Belum selesai satu masalah, masalah lain sudah datang. Dia menyerah. Sivia kembali pulang ke rumah Cakka dan mengunci diri di kamarnya. Rio. Ify. Shilla. Cakka. Nama-nama itu membuatnya bosan hidup di dunia ini.


 


 

***


 


 


 

Ray tidak begitu menangkap apa yang Ozy jelaskan mengenai rumus-rumus kimia yang membuat mual itu. Pikirannya terpusat pada sebuah bingkai foto yang terpajang di dinding kamar Ozy. Hanya satu foto yang berada di dinding kamar itu. Mulutnya sudah gatal ingin bertanya pada Ozy daritadi.


 

"Lo kenapa sih Ray?"


 

Tepat! Akhirnya dia tidak perlu bingung. Itu memang pertanyaan yang ingin didengar Ray daritadi. "Itu." tanpa basa-basi Ray menunjuk foto yang mengusiknya.


 

Ozy melirik arah tunjukkan tangan Ray. Sedetik kemudian, dia balik menghadap Ray lagi. "Kenapa emang?"


 

"Lo deket banget ya sama Kak Sivia? Sampai-sampai foto lo berdua sama Kak Sivia lo pajang disitu?"


 

Ozy menganggukkan kepalanya sambil kembali berkutat pada buku Kimia nya. "Deketlah. Dia kan sepupu gue."


 

APA??


 

Ray terbelalak. Begitu pun Ozy. Dia tidak sadar mengucapkan kalimat itu. Mereka saling berpandang. Ozy menelan ludahnya. Mengapa dia menjadi takut? Bukankah Sivia memang saudara sepupunya?


 

"Sepupu? Tapi? Bukannya itu Kak Sivia bilang kalau kalian kenal gara-gara keluarga lo sering nyumbang buat panti kan?" Ray benar-benar bingung.


 

Ozy menghela nafas. Sudah ketahuan juga. Daripada kepalang tanggung, sekalian saja dia ceritakan yang sebenarnya. Walaupun sampai sekarang Sivia belum juga menjelaskan kepada dirinya mengapa harus berbohong di depan Ray dan semua orang.


 

"Iya. Kak Sivia itu sepupu gue Ray." Ozy berdiri mengambil sebuah album foto. "Nih. Kalau lo nggak percaya. Lo bisa liat semuanya disitu."


 

Ray masih bingung. Dia membalikkan satu per satu lembar album itu. Banyak foto Ozy kecil bersama Sivia dan juga Ify. Latarnya diambil di rumah ini dan halaman depan. "Berarti, Kak Sivia dulunya tinggal disini? Terus? Kenapa bisa ke panti?"


 

Ozy memperhatikan mimik muka Ray yang sebentar-sebentar tercengang melihat foto album itu. "Kalau soal itu, lo mending tanya lebih lanjut aja ke Kak Via, Ray. Biar dia yang jelasin semua. Gue juga nggak tau kenapa Kak Via rahasiain ini dari semua orang."


 

Hening. Sampai pada saat Ray menutup lembaran terakhir dari album itu. Dia menghela nafas lalu memandang Ozy. "Thanks ya Zy. Lo udah mau cerita sama gue. Sebenarnya gue udah curiga dari awal kalau kak Sivia itu nyembunyiin sesuatu tentang keluarganya termasuk elo. Jadi gue nggak terlalu kaget dengernya."


 

Ozy hanya mengangguk tanpa ekspresi. "Kalau lo udah ketemu kak Via, lo ceritain ke gue juga ya kenapa dia nyembunyiin ini semua."


 

Giliran Ray yang mengangguk. Dia bangkit. "Tenang aja. Ntar dirumah gue tanyain deh. Semoga aja Kak Sivia mau cerita ya."


 

Ozy bangkit juga. Dia menatap Ray heran. "Kak Via tinggal serumah sama lo Ray?"


 

"Loh? Gue belum ada cerita ya tadi?"


 

Ozy hanya menggeleng.


 

"Sorry deh. Gue kebanyakan bingung tadi. Iya Kak Sivia tinggal di rumah gue udah hampir sebulan. Bokap gue yang nyuruh dia buat jagain gue sama Kak Cakka dirumah. Soal kenapa-kenapanya, besok aja gue ceritain di sekolah ya. Udah malem banget nih. Gue pulang dulu ya Zy."


 

Ozy mengangguk lagi lalu mengantar Ray sampai di depan rumah. Walaupun masih banyak pertanyaan yang ingin ditanyakannya pada Ray. Dia mencoba sabar menunggu esok tiba.


 

Sesudah menghilangnya Ozy, orang tua Ozy datang. Melihat mobil itu memasuki peataran rumahnya, Ozy langsung berlari masuk ke kamarnya. Dia malas jika harus melihat orang tuanya yang akhir-akhir ini selalu adu mulut. Andai saja dia bisa jadi Ify yang selalu cuek tentang perihal orang tuanya. Hmm sepertinya ini karma atas penderitaan Sivia.


 

Mengingat Sivia, dia meraih album foto yang di perlihatkannya pada Ray tadi. Dia mengenang memori masa lalunya bersama Sivia, Ify dan juga orang tua Sivia. Tak lupa dia berdo'a untuk kehidupan Sivia dan kehidupan keluarganya kelak.


 


 

***


 


 

Cakka melihat jam tangannya. Sudah hampir jam sembilan malam. Langit sudah mendung sejak dirinya dan Gabriel mengantar Shilla ke Rumah Sakit tadi. Sekarang, dia sudah sedikit lega. Masalahnya dengan Shilla selesai sudah. Shilla sudah diantar pulang. Dia tersenyum sambil memarkir mobilnya di garasi rumah. Cakka mengecek ponselnya. Dia baru sadar. Bukankah biasanya Sivia menelfonnya berkali-kali jika sampai lewat jam enam dia tidak berada di rumah? Lalu mengapa ponselnya flat? Sebegitu marahnya kah Sivia pada dirinya sampai-sampai Sivia menjadi cuek? Cakka berpikir sejenak lalu memasuki rumahnya.


 

"Eh den Cakka? Kok baru pulang den?" sapa pembantu rumahnya.


 

Cakka tidak menjawab. Dia malah celingukan dirumahnya sendiri. "Sivia sama Ray mana Bi? Kok sepi?"


 

"Ray lagi ke rumah Ozy den. Katanya lagi ada tugas kelompok. Kalau non Sivia, ada di kamarnya. Dari sore tidak keluar kamar den." Sahut pembantunya sambil beralih menatap pintu kamar Sivia.


 

Cakka mengernyit heran. Apa iya Sivia semarah itu sampai tidak mau keluar kamar? Dan tidak memperdulikan Ray yang sudah hampir jam sembilan malam belum juga pulang? Dan tentu saja tidak memperdulikannya juga?


 

Cakka melangkahkan kakinya ke kamar Sivia. Diketuknya pintu itu. Namun tidak ada jawaban. Dia berbalik melihat pembantunya yang masih berdiri di sana. "Bi, telfon Ray sekarang juga ya. Suruh pulang."


 

"Baik den."


 

Cakka kembali menghadap pintu itu. Mengetuknya lagi. Namun lagi-lagi tidak ada jawaban. Cakka memberanikan diri membuka pintu itu pelan. Namun dia tidak menemukan Sivia disana. Kemudian matanya beralih ke balkon kamar itu. Sosok yang dicarinya pun nampak. Dia menghela nafas lega.


 

Cakka berjalan mendekati Sivia tanpa suara. Dia mengendap seperti maling di rumah sendiri. Sivia duduk di sebuah kursi yang menghadap ke kolam renang rumah Cakka. Di belakang tubuh Sivia, Cakka sudah bersender di sisi jendela balkon tersebut.


 

Cakka melihat Sivia memegang beberapa lembar foto yang tidak terlalu usang. Seperti biasa, Cakka melipat kedua tangannya di depan dada. Berusaha santai dan menenangkan hatinya yang tidak karuan melihat Sivia.


 

Tidak terasa, Sudah lebih dari lima belas menit Cakka berdiri di sana. Dia hampir menahan nafas melihat foto-foto yang Sivia lihat. Kalau dihitung, fotonya hanya ada empat lembar. Namun, Sivia seperti tidak bosan-bosannya menatapi lembar itu tanpa suara. Hanya sesekali terdengar isakan tangis Sivia dan helaan nafas panjang yang membuat Cakka semakin tidak bisa mengerti perasaan yang menderanya.


 

Tiba-tiba saja Sivia berdiri. Cakka kaget. Dia merubah juga posisinya. Kini Cakka berdiri tegap. Hampir tak bernafas dia melihat Sivia merobek satu foto diantara empat foto itu.


 

Sivia membuang robekan-robekan kertas itu di lantai. Sementara tiga foto lainnya masih ada di tangannya. Cakka melihat dari belakang, pundak Sivia bergetar naik turun. Cakka khawatir. Setelah mengumpulkan keberanian yang dia punya, tangannya sukses menyentuh salah satu pundak Sivia.


 

"Siv..." tegurnya.


 

Cakka menelan ludah. Sivia langsung berbalik. Matanya merah dan berkantung. Sivia menghusap air mata yang daritadi setia mengalir di pipinya.


 

"Sejak kapan lo berdiri disitu?"


 

Cakka mencoba tenang. Tangannya yang tadi menyentuh pundak Sivia, kini sudah masuk ke kantung celananya. Dia menghela nafas sejenak. Mencoba santai. Padahal pikirannya sangat kacau. "Lima belas menit yang lalu." Sahutnya.


 

Sivia menatap Cakka. Lalu beralih pada robekan foto yang berserakan di lantai. Cakka mengikuti objek pandang Sivia. Dia menghela nafas lagi. "Dan gue liat semuanya. Foto itu. Foto orang tua lo. Foto Ify sama Ozy. Foto lo sama Shilla. Dan terakhir, foto yang lo robek itu. Gue liat semuanya."


 

Sivia menutup wajahnya. Apa yang selama ini dia sembunyikan, perlahan mulai terungkap.


 

"Buat apa lo robek fotonya Rio?"


 

Sivia menatap Cakka tajam.


 

"Toh itu sama sekali bukan cara yang tepat buat lupain dia. Justru lo malah bakalan kebayang dia terus Siv." Lanjut Cakka tanpa basa-basi. Sudah kepalang tanggung. Dia juga bosan terus-menerus sok-sok tidak tahu kehidupan masa lalu Sivia.


 

"Tahu apa lo soal gue?" Sivia mengelak. Suaranya bergetar.


 

Cakka tersenyum miring. Dia berjalan ke samping Sivia. "Gue udah tau semuanya dari Gabriel. Dari dulu malah. Semenjak lo tiba-tiba nyium gue di lapangan."


 

Sivia meneguk air liurnya. Dia membuang muka. "Nggak usah sok ikut campur masalah gue deh."


 

Cakka menatap Sivia. "Telat Siv. Sayangnya gue udah masuk ke dalam masalah lo. Iya kan?"


 

Sivia membalas tatapan Cakka. Dia berusaha menahan laju air matanya. "Lo nggak usah sok peduli sama gue Cak. Lo nggak tau kan semua kelakuan lo itu bikin nambah masalah gue. Semenjak ada lo di kehidupan gue, semua itu tambah runyam tau nggak! Semua kelakuan lo bikin gue tambah menderita. Dan lo nggak pernah tau itu kan? Iya kan?!" Sivia mengeluarkan semua emosinya. Dia sendiri tidak mengenal dirinya sekarang. Dia tahu ini bukan dirinya. Namun, apa daya, emosi yang sudah dia tahan selama ini, akhirnya keluar juga. Perlahan, bulir air mata kembali mengaliri pipinya.


 

"Justru itu gue mau menebus kesalahan itu Siv. Gue mau bantu elo ngelupain Rio. Dan gue juga mau ngebantuin lo nyelesain semua masalah lo." Jelas Cakka. Sehalus mungkin.


 

Sivia mengerutkan keningnya. "Jangan sok tahu sama masalah gue! Lo nggak tahu apa-apa tentang hidup gue!"


 

Sivia beranjak pergi. Namun Cakka menahan tangannya keras. "Lo salah Siv! Salah besar!"


 

Cakka meninggikan suaranya. "Gue tau kalau Rio cinta pertama lo. Gue tau kalau Ify dan Ozy saudara sepupu sama lo. Gue tau kalau lo nyembunyiin hubungan masa lalu lo sama Rio di depan Ify dan semua orang. Gue tau kalau lo nggak mau nyakitin perasaan sepupu lo. Gue tau kalau Shilla nggak negur elo hari ini. Gue juga tahu maksud lo nyium gue kemarin itu apa. Dan yang jelas, gue juga tahu kalau lo belum bisa lupain Rio. Apa itu semua kurang jelas? Ada yang kurang? Dimana letak ketidak-tahuan gue tentang masalah lo? Dimana Siv?"


 

Jantung Cakka berdetak kencang. Nafasnya sampai terhengal mengungkapkan semua yang dia utarakan tadi. Keheningan lama terjadi malam itu. Sampai akhirnya Cakka mengeluarkan suara lagi.


 

"Gue cuman ingin memperbaiki keadaan. Izinin gue bantu lo Siv." Kini suaranya pelan. Tak sesinis tadi. Cakka berhasil membuat detak jantungnya kembali normal.


 

Tangannya masih menggenggam tangan Sivia yang mulai melemah. Setelah dia sadar pundak Sivia bergetar lagi, dia memberanikan diri untuk menarik Sivia. Ke mana? Yang dia tahu saat ini Sivia sangat rapuh dan juga butuh ketenangan. Maka dari itu, Cakka mencoba menenangkan Sivia dengan rengkuhannya. Ini pelukan kedua yang diberikannya pada gadis itu.


 

"Gue benci sama lo Cak! Gue nggak ngerti sama semua sikap lo! Lo jahat Cak. Lo jahat..."


 

Sivia memukul dada Cakka dengan sisa kemampuannya. Namun, Cakka malah memeluk Sivia lebih erat lagi. Dia membelai rambut panjang Sivia yang sedikit acak-acakan. Tangannya terulur begitu saja. Tanpa ada suruhan dari otaknya. Cakka membiarkan seragam sekolahnya basah akibat tangisan Sivia. Dia juga membiarkan dadanya dingin akibat angin malam yang menerpanya. Dan dia juga membiarkan gendang telinganya yang terusik akibat suara tangisan Sivia.


 

Dia membiarkan Sivia meluapkan semua emosinya malam itu. Mungkin dengan begitu, Sivia bisa lebih tenang. Dan Cakka juga bisa merasa tenang karena dia bisa menebus beberapa tingkah konyolnya yang dia tujukan pada Sivia selama ini.


 


 

***


 


 

Yeay! Part 26! Kayaknya bentar lagi tamat. Hahaha satu per satu udah ketahuan ye. Habisnya udah dua tahun kagak tamat-tamat bosen hahaha! Thanks buat semuanya yang masih mau ngikutin dan buang-buang tenaga buat nagih ke aku. Cerita ini pengen cepet-cepet saya tamatin biar bebas dari tanggung jawab huahaha---____---


 

Akhir kata wassalammualaikum~


 

Cerbung CK ini juga bisa dibaca di http:www//resaechaa.blogspot.com

Follow me on twitter @Resaechaa

Skype Resaechaaa

Line Resaechaa

2 komentar:

Unknown mengatakan...

buruan dilanjut ya kak..
pengennya di akhir couplenya siviyo.. happy ending gitu deh.. kiwkiw

Unknown mengatakan...

Part 25-nya kemana??

Penasaran sma ap yg kjadian wktu d kantin nih