Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Rabu, 15 Agustus 2012

CINTA KEDUA PART 27

Kejadian semalam membuatnya bimbang. Kalau tau begini, kenapa tidak sejak dulu saja dia jujur kepada Cakka? Ah tapi... Sial! Sivia lupa kalau dahulu –pertama bertemu- anak itu kan gila. Sama sekali tidak terpikirkan untuk berbicara hal ini kepadanya. Namun dia merasa, sekarang anak itu sudah sedikit lebih peduli kepadanya. Eh ralat! Kepada sekitar. Yah dia jadi lebih peduli terhadap sekitarnya. Bukan kepadanya seorang. Kenapa juga Sivia bisa berpikiran kalau Cakka peduli hanya terhadapnya? Buru-buru dia hapus rasa ke-pede-annya itu.


 

Sivia memperhatikan tubuhnya di cermin. Dia baru sadar, badannya agak sedikit kurus. Pipinya juga sudah tidak terlalu tembem seperti dulu lagi. Dia menghela nafas panjang. Setelah menyisir rambutnya, dia lalu keluar dari kamar tidurnya. Kakinya melangkah besar ke arah dapur.


 

"Eh Ray? Udah bangun? Pagi banget? Baru aja Kakak mau buatin sarapan. Keduluan deh sama Bibi."


 

"Nggak pa-pa kok. Ini sarapan dulu Non." Sahut pembantunya sambil tersenyum lalu menaruh beberapa piring dan sendok di atas meja. Sivia mengangguk tersenyum.


 

Ray melirik Sivia sambil tetap mengunyah nasi goreng buatan pembantunya. "Iya Kak. Semalem nggak bisa tidur."


 

Sivia menarik bangku di dekat Ray. Dia mengambil piring dan menyendokkan nasi goreng dari mangkuk besar ke dalam piringnya. "Nggak bisa tidur kenapa?"


 

Ray berhenti mengunyah makanannya. Kemudian meneguk air susu yang ada di dalam gelasnya. Setelah itu dia melirik Sivia. "Nggak tau Kak. Banyak pikiran kayaknya." Sahutnya sambil menggaruk kepalanya yang memang gatal.


 

Sivia mengernyit lalu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.


 

"Kak Sivia kemarin kok nggak ada nelfon Ray? Padahal kan Ray di rumah Ozy sampai jam sembilan malam. Biasanya Kak Sivia langsung nyariin Ray. Tapi semalem malah Bibi yang nelfon Ray."


 

Sivia langsung terdiam. Dia saja tidak tahu kalau kemarin Ray pergi ke rumah Ozy. Sivia merasa tersudut. Seharian kemarin dia habiskan untuk memikirkan masalah-masalahnya. Yang sebenarnya dia tahu, jika dipikirkan saja tidak dapat membuat masalah itu selesai.


 

"Maafin Kak Sivia, Ray. Kemarin Kakak..." kalimatnya terhenti. Ray memanggil namanya. Wajahnya serius.


 

"Kak Sivia kenapa nggak jujur kalau sepupuan sama Ozy sih?" Ray merasa gemes.


 

Ruangan itu menjadi hening. Pembantunya yang sedang mencuci piring pun terdiam. Padahal dia tidak mengerti apa-apa tentang apa yang dibicarakan Ray.


 

"Aku udah tau semuanya semalem Kak. Waktu di rumah Ozy, dia keceplosan bilang kalau Kakak sama Ozy sepupuan. Sebenarnya, aku udah curiga dari awal pertemuan Kakak sama Ozy. Ditambah lagi, pas aku pulang ke rumah, aku ke kamar Kak Sivia. Dan sayangnya, aku dengar semua apa yang Kak Sivia ributkan sama Kak Cakka."


 

Sivia menelan ludahnya. Mengapa satu per satu rahasia yang dia coba tutup rapat-rapat mulai terbongkar? Sivia menatap Ray tanpa ekspresi.


 

"Kenapa Kakak sembunyikan itu dari semua orang Kak? Apa gunanya? Setiap bau kebohongan yang disimpan, lama-lama pasti keciuman juga Kak. Apa salahnya Kakak jujur sama aku? Siapa tahu aku bisa bantu Kakak walaupun nggak banyak. Apa Kak Sivia nggak percaya sama aku? Atau Kak Sivia malah anggap aku orang lain? Padahal aku sendiri sudah menganggap Kak Sivia sebagai Kakakku sendiri." Ray terus mengeluarkan uneg-uneg nya yang dia simpan dari semalam. Sejujurnya inilah hal yang membuatnya tidak bisa tidur.


 

"Maafin Kak Sivia, Ray. Kakak cuman nggak mau keluarga ini ikut terlibat di kehidupan Kakak." Jelas Sivia lirih.


 

Ray berdehem. Matanya menatap Sivia lebih dalam. "Bener apa kata Kak Cakka semalam. Secara tidak langsung, aku sama Kak Cakka sudah masuk lebih jauh ke kehidupan Kak Sivia. Jadi, nggak ada alasan untuk menjauh Kak."


 

Ray meraih tangan Sivia. Lalu menggenggamnya dengan hangat. Seolah memberi kekuatan. "Kak Sivia bisa cerita sama aku kapanpun Kak. Aku sudah terlanjur tau semua masa lalu Kak Sivia. Jadi, tolong anggap aku 'ada' ya Kak. Aku bakal bantu Kak Sivia sebisa mungkin. Percaya sama Ray ya Kak." Diakhir kalimatnya, Ray tersenyum. Lalu memeluk Sivia dengan penuh rasa kasih sayang.


 

Mau tidak mau, Sivia menganggukkan kepalanya lalu tersenyum juga. Setetes air mata jatuh melewati pipinya. Dia menangis. Bukan karena sedih. Melainkan karena kasih sayang yang ditunjukkan Ray padanya. Dia terharu. Ternyata, tak selamanya pikiran buruk yang kita pikirkan akan buruk juga di kenyataannya.


 

"Makasih ya Ray. Maafin Kakak selama ini..."


 

"Sudahlah Kak." Ray memotong kalimat Sivia lagi. "Ray udah nggak mikirin lagi kok. Yang penting Ray sudah tau semuanya dan Kak Sivia mau jujur sama Ray."


 

Setelah itu, Ray melepas pelukannya lalu kembali duduk di kursi makannya. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Matanya masih menatap Sivia yang juga tersenyum sambil menghusap pipinya yang sempat dialiri air mata.


 

"Kalian kenapa masih pake baju rumah? Ini kan sudah jam tujuh?"


 

Sivia dan Ray menoleh ke arah ocehan itu. Mata mereka menyipit meihat Cakka berdiri di tangga dengan mengenakan seragam sekolah yang rapih dan tak lupa bola basket di tangannya.


 

Setelah itu, Ray dan Sivia kembali berpandangan lalu mulutnya bersusah payah untuk menahan tawa yang ingin meledak.


 

Cakka bingung. Dengan cepat dia menghampiri dua manusia itu. Sekilas dia melirik pembantunya yang bahunya naik turun akibat tertawa tanpa suara.


 

"Ada apa sih nih?"


 

Ray dan Sivia berpandangan lagi. Namun sama sekali tidak ingin menjawab pertanyaan Cakka tadi. Wajah mereka sudah memerah karena tawa yang ditahan.


 

Cakka geram. Apa sih yang mereka lakukan? Bukannya malah siap-siap sekolah. Ini kan bukan hari Minggu. Mengingat hari Minggu, Cakka menoleh ke kalender sobek yang di gantung di dinding samping lemari dapurnya. Dia melangkah besar. Hanya empat langkah dia sampai di depan kalender itu.


 

"Kok tanggal merah ya?" Cakka melirik sinis pada Ray dan Sivia yang dia rasa memperhatikan gerak-geriknya. Namun pada saat Cakka melirik, mereka kembali membuang muka seolah-olah tidak tahu apa-apa. Cakka kembali melihat kalender itu. Dia menjelajah keterangan yang ada di sana. Betapa kagetnya dia membaca keterangan yang tertera disana.


 

"Hah? Libur Tahun Baru Cina? Imlek?"


 

Ray dan Sivia langsung tertawa terbahak-bahak di meja makan. Cakka merutuki kebodohannya. Bagaimana dia bisa tidak tahu kalau hari ini libur sekolah?


 


 

***


 


 

Sivia memercikkan air kolam renang itu melawan angin. Dia bersandar pada patung-patungan yang sengaja dibuat oleh Ayah Cakka dan Ray sebagai pemanis halaman belakangnya. Keningnya mengerut pertanda otaknya bekerja lebih keras. Sekilas masih jelas teringat di kepalanya bagaimana kejadian semalam. Dia. Dan Cakka. Orang yang selalu membuat onar di hidupnya. Yang sekaligus juga mau tidak mau membuat dirinya bertekuk di pelukan laki-laki itu. Tidak disangka dia mau membantu Sivia memperbaiki sedikit demi sedikit keluar dari masalah yang ada. Tapi.. apa mungkin ini salah satu taktik Cakka lagi? Ah kayaknya nggak mungkin. Tapi, curiga nggak salah kan?


 

"Kak Siviaa!"


 

Sivia menoleh mendengar namanya diseru. Dia melihat Ray menghampirinya. Pakaiannya rapi sekali. Baju kaos bertuliskan 'Canada' yang berwarna putih polos. Dibalut dengan baju ham bergaris. Celana jeans hitam dan sepatu kets. Tak lupa topi bertuliskan namanya bertengger terbalik di kepalanya. Tumben Ray serapi ini..


 

"Kak Sivia kok belum siap-siap?"


 

Sivia berdiri. Alisnya menyatu. "Siap-siap kemana emang?"


 

Ray menepuk jidatnya. Lalu menarik Sivia secara paksa. "Kak Sivia lupa? Tadi kan habis Ray berenang, Ray bilang minta ditemenin keluar. Buat tugas Bahasa Indonesia. Masa Kak Sivia lupa sih?"


 

Kali ini Sivia yang menepuk jidatnya sendiri. Sambil ikut berjalan di belakang Ray. "Ya ampun Kakak lupa Ray. Yaudah kamu tunggu di luar. Kakak siap-siap sekarang ya." Tanpa ba-bi-bu Sivia lari ke kamarnya mendahului Ray.


 

Ray hanya menggelengkan kepalanya lalu bergegas menghampiri Cakka yang sudah daritadi menunggu di mobil.


 


 

***


 


 

"Waah! Monasnya tambah tinggi ya! Aku udah lama banget nggak kesini!"


 

Cakka mendelik. Lalu menyentil kuping Sivia. "Dodol banget sih! Monas mah segitu-gitu aja. Lo nya aja yang kuper."


 

Sivia memeletkan lidahnya. Lalu dia melajukan langkahnya hingga sejajar dengan Ray. Malas mendengar ocehan Cakka.


 

"Tugasnya apa sih Ray? Kayaknya serius banget?"


 

Ray menoleh sebentar. Lalu kembali berkutat pada kamera canon milik Cakka yang dia pinjam sebelum turun dari mobil tadi. Jepret! Dia berhasil mengambil gambar Monas dari bawah hingga puncaknya.


 

"Menjelaskan sesuatu yang bersejarah Kak. Ray pilih Monas. Nggak banyak sih. Cuman satu halaman folio. Tapi kan nggak asyik kalau copy paste lewat internet. Ray mau buat sendiri. Kalau kurang ya baru ambil dari internet seperlunya. Lagian kalau ambil di internet, takutnya malah sama lagi sama anak lain. Bisa nggak dapat nilai ntar."


 

Sivia manggut-manggut. Ray ternyata berbeda dari anak-anak laki lainnya. Jarang ditemukan spesies seperti Ray ini. Biasanya anak laki-laki nggak mau repot. Tapi Ray, dia mau terjun langsung ke lokasi demi sebuah nilai. Di zaman yang serba praktis gini, langka banget orang yang masih berpikiran kayak Ray. Sivia senyum-senyum sendiri.


 

"Yah hitung-hitung jalan-jalan juga sih. Iya nggak Kak?"


 

Sivia mengangguk cepat. "Iyasih. Kamu pinter juga ya." Dalam hati Sivia berterimakasih kepada Ray dan Cakka. Karena sudah mau repot-repot membawanya ikut serta. Sudah lama Sivia tidak menikmati liburan. Yah walaupun hanya beberapa jam disini, Sivia ingin menikmatinya. Boleh kan kalau dia melupakan beberapa jam saja masalah-masalah itu? Dan lalu menikmati liburannya sejenak.


 

"Ah Kak Sivia bisa aja. Aku foto ya Kak."


 

Jepret! Tanpa menunggu persetujuan Sivia, Ray mengambil gambar gadis itu. "Cantik loh!" Sivia hanya tersenyum menanggapi Ray.


 

Ray celingak-celinguk mencari seseorang. Setelah dapat, dia langsung menyerukan namanya. "Kak Cakkaa! Kak! Woy!"


 

Cakka berjalan malas mengampiri Ray. "Apaan sih?"


 

"Nih. Fotoin aku sama Kak Sivia ya. Latarnya Monas. Awas kalau jelek!" sahut Ray. Dia memberikan kamera itu pada Cakka. Lalu mengambil posisi di sebelah Sivia. Keduanya tersenyum manis. Ray merangkul Sivia manis.


 

Cakka menggerutu. Dengan gerakan malas, dia mengambil gambar Sivia dan Ray. Setelah selesai, Ray menghampiri Cakka dan tersenyum puas melihat hasilnya.


 

"Eitss. Gue mau pake kameranya. Lo mending buruan kerjain tugas lo. Gue ngikut di belakang." Cakka menjauhkan kameranya saat tahu Ray akan mengambil alih kembali.


 

"Dasar pelit!" Ray melengos pergi sambil menarik tangan Sivia. Sivia sih rela-rela saja diperlakukan seperti itu. Sudut matanya sempat melihat Cakka di belakangnya yang mengarahkan kameranya pada siluet Ray. Mungkin juga dirinya. Hah? Ah! Kenapa rasa ke-pede-annya itu datang lagi sih? Sivia merutuki dirinya. Dia meralat kalimat yang tanpa perintah mencetus begitu saja dari otaknya.


 

Sivia kembali memperhatikan tugu Monas di hadapannya. Mereka semakin dekat dengan tugu yang berdiri dengan gagahnya itu.


 

"Waah kalau diliat dari dekat, tinggi banget ya!" seru Sivia takjub.


 

"Iya Kak! Keren! Nggak salah ya aku pilih Monas."


 

Sivia mengangguk semangat. Matanya berbinar.


 

Cakka yang berdiri di belakang mereka mau tidak mau ikut tersenyum simpul. Namun saat Sivia berbalik melihatnya, dia menghapus senyumnya. Wajahnya yang cuek kembali tertata rapi disana. Cakka melangkah besar. Kini tubuhnya sudah berdiri di sebelah kanan Sivia.


 

"Kalian mau masuk?" tanya Cakka. Mencoba bersahabat.


 

Sivia menoleh heran. "Memangnya boleh?" dia malah balik bertanya sambil menatap Cakka. Matanya masih berbinar.


 

"Ya boleh lah Kak." Malah Ray yang menjawab. Mata Sivia kini beralih menatap Ray. Cakka menggaruk belakang telinganya. Mengapa dia tadi terpaku saat Sivia menatapnya? Arrgh!


 

"Ray?" seseorang menepuk pundak Ray pelan. Ray berbalik. Begitu juga Sivia dan Cakka.


 

"Acha? Kamu? Ngapain disini?" Ray agak kaget melihat Acha.


 

Acha menyebar senyum manisnya. Baju kaos dan celana pendek selutut membuat tubuh mungilnya jelas terlihat. Poni depannya dia satukan lalu dijepit ke samping. Sangat manis!


 

"Halo Ray, Kak Sivia, dan Kak Cakka. Aku lagi ngerjain tugas Bahasa Indonesia nih." sapa Acha pada ketiga manusia di hadapannya.


 

"Wah! Kok sama ya? Kebetulan banget!" seru Ray semangat.


 

"Kamu pilih Monas juga?" Mata Acha membulat.


 

"Iya! Aku pilih Monas soalnya bisa dikunjungin."


 

"Wah gimana kalau kita ngerjain bareng? Cari informasinya bareng. Pasti di dalam kan ada pengurus Monas ini. Lagian kalau sendiri, aku jadi canggung juga nanyanya."


 

Ray mengangguk cepat. "Boleh! Sangat boleh!" sahutnya.


 

Acha kembali tersenyum melihat Ray yang begitu semangat. Lalu, matanya beralih kepada Cakka dan Sivia. Ray mengikuti arah pandang Acha.


 

"Astaga! Aku lupa kalau ada Kak Sivia sama Kak Cakka."


 

Sivia dan Cakka yang daritadi seperti orang asing memang merasa terasingkan. Sivia melongo mendengar ucapan Ray barusan. Sementara Cakka berusaha acuh sambil melihat-lihat kameranya.


 

"Kita masuk ber-empat aja gimana?" tanya Ray kepada siapapun yang mau menjawab.


 

Sivia ingin menyahut mengiyakan namun terlambat. Cakka sudah lebih dahulu menolak. "Lo biar sama Acha aja Ray. Gue sama Sivia."


 

"Hah?" Sivia kaget. Dia melongo lagi.


 

"Biasa aja kali Siv. Lo kayak mau jalan bareng orang gila aja."


 

"Emang lo gila."


 

"Yee lo juga mau aja dipeluk sama orang gila." Balas Cakka. Sok cool.


 

Mulai lagi. Ray dan Acha berpandangan. Acha tersenyum aneh. Dengan cepat Ray menyahut. "Oke aku pergi sama Acha dulu ya Kak. Kita ketemu disini satu jam dari sekarang. Bye!" Ray langsung menarik Acha menjauh. Dia tak ingin berlama-lama melihat perkelahian yang tidak penting itu. Ray sendiri bingung terhadap Sivia. Masa pacaran tapi nggak mau ditinggal berdua? Benar-benar tidak masuk akal. Namun dia tidak ingin memikirkannya lebih lanjut. Ada Acha di sebelahnya. Dia ingin menikmati kebersamaannya dengan gadis itu dulu. Dia tersenyum sambil menatap lurus jalan didepannya.


 


 

***


 


 

Sivia berjalan di belakang Cakka. Mereka sudah sampai di pintu masuk Monas. Lalu Cakka membeli tiket masuk.


 

"Wah, terowongannya panjang!" gumam Sivia kagum. Dia melirik Cakka sekilas. Laki-laki itu berjalan tanpa ekspresi. Aneh. Baru saja tadi anak itu mengajaknya paksa. Lalu kenapa sekarang malah diam begini?


 

"Wah, yang berkunjung kesini banyak juga ya!" Sivia mencoba menarik perhatian Cakka. Daritadi dia sibuk berkagum ria dan melebaykan kalimat-kalimatnya demi sahutan dari Cakka. Namun laki-laki itu sok tidak peduli dengan Sivia. Andai saja Sivia tahu, kalau saat ini Cakka diam karena dia tidak bisa menahan jantungnya yang daritadi degup-degup nggak jelas. Otaknya blank! Baru kali ini dia jalan berdua hanya dengan Sivia. Sebenarnya biasa saja sih. Tapi entah mengapa, sekarang berbeda. Entah apanya yang berbeda. Dia sendiri tidak tahu. Sehingga dia mencoba tidak peduli kepada Sivia seperti biasanya. Jadilah dia menyibukkan diri dengan mengambil gambar objek-objek yang dilaluinya.


 

Sivia merasa jengkel. Dia seperti berjalan sendiri. Daritadi habis dia lalui dengan ocehan yang sama sekali tidak ada anggapan dari Cakka. Sivia menghentikan langkahnnya. Dia kesal. Dia menyesal. Kalau tahu, dia ikut saja dengan Ray dan Acha.


 

Cakka yang menyadari langkah manusia dibelakangnya terhenti pun ikut berhenti disana. Dia menatap Sivia. Dia menghela nafas. Mencoba menetralkan jantung dan hatinya yang dia sendiri tak mengerti mengapa bisa seperti itu.


 

"Kenapa berhenti?"


 

Sivia melotot. "Lo tuh. Jualan kacang ya?"


 

Cakka yang tidak mengerti, jelaslah menggeleng. "Maksudnya apa?"


 

"Daritadi lo nggak dengerin apa yang gue omongin kan? Yaudah gue ambil kesimpulan lo lagi jualan kacang. Garing."


 

Sebenarnya dicuekin oleh Cakka sudah biasa dialami oleh Sivia. Namun mengapa sekarang dia marah begini ya? Otaknya berpikir keras. Apa dia salah makan ya tadi? Seharusnya dia bisa menyibukkan diri dengan kekagumannya pada bangunan ini. Seperti biasanya bukan? Lalu kenapa dia malah menuntut Cakka untuk menanggapinya?


 

"Duh, gue ngomong apasih barusan? Lupain deh. Anggap aja gue lagi ngigau. Ayok jalan lagi." Sivia mengibaskan tangannya lalu kembali melangkahkan kakinya. Namun dia berhenti lagi mendengar seruan Cakka. Dia berbalik.


 

"Sivia tunggu! Sorry deh." Cakka menghampiri Sivia. Namun tak ada respon dari Sivia.


 

"Lo mau coba naik ke atas?" tanya Cakka. Setelah beberapa menit mencoba mencari hal yang bisa membuat manusia itu kembali tersenyum.


 

Sivia menatap Cakka.


 

"Ke atas? Ke atas mana?" Yes! Ternyata usahanya berhasil. Tidak susah membuat gadis itu tersenyum lagi.


 

"Ke puncak." Jawab Cakka singkat.


 

"Puncak? Puncak Monas?"


 

Cakka mengangguk.


 

"Mau... Mau...!" Sivia nampak tidak sabar. Sorot matanya menjelaskan bahwa dia begitu semangat. Mereka kembali melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Kali ini Cakka menyejajarkan tubuhnya di samping Sivia. Sehingga mereka berjalan bersampingan.


 

"Cak?"


 

"Hmm."


 

"Lo tau nggak berapa tingginya Monas?" tanya Sivia iseng. Sebenarnya bukan iseng sih. Dia memang ingin tahu. Walaupun sebenarnya dia yakin kalau dia bertanya pada orang yang salah.


 

"Seratus tiga puluh dua meter." Jawabnya cepat.


 

Buru-buru Sivia menoleh kepada Cakka yang tubuhnya agak tinggi ketimbang dirinya. Sehingga dia harus mendongak. "Kok lo bisa tau? Gue kira tadi nggak tau." Sahutnya polos.


 

"Hahaha makanya jangan ngeremehin gue."


 

Sivia manggut-manggut. "Tinggi banget ya." Sahut Sivia sambil tersenyum kagum.


 

"Iya. Monas ini kan salah satu proyek mercusuar Presiden Soekarno dulu. Monas ini udah jadi simbolnya kota Jakarta." Jelas Cakka lebih dari satu kalimat. Kini dia merasa sudah lebih santai dari sebelumnya. Kameranya sudah tidak disentuhnya lagi. Dia biarkan menggantung di lehernya. Kini dia siap melayani celotehan gadis di sebelahnya. Walaupun terkadang jantungnya masih degup-degup layaknya musik clubbing.


 

"Wah, kereeeeeen." Komentar Sivia sambil terus berjalan memasuki lift yang akan mengantarkan mereka ke puncak Monas. "Oh iya, memangnya emas yang di atas Monas itu asli ya?" tanya Sivia lagi. Percakapannya terdengar sangat menarik.


 

"Dalamnya sih dibuat dari perunggu. Tapi setelah itu dilapisin emas seberat 35 kilogram." Jelas Cakka lagi.


 

"Tiga puluh lima kilo? Wah emas sebanyak itu bisa buat ngebiayain hidup gue sampai tua tuh. Bahkan mungkin sampai cucu cicit gue." Sivia sangat takjub mendengarnya. Dia tertawa geli mendengar ucapannya sendiri. "Ngomong-ngomong, lo tau banyak ya tentang Monas. Kenapa Ray nggak jadiin lo narasumber aja ya?" Sivia tertawa kecil.


 

Cakka tidak menanggapi. Dia hanya tersenyum mendengar ocehan-ocehan dari Sivia.


 

Lift pun berhenti dan mereka keluar dari lift. Suasana di tempat itu tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa orang yang berdiri di balik terali besi sambil terkagum-kagum menikmati pemandangan di depan mereka.


 

"Gilaaa...!" pekik Sivia kagum setelah mereka menemukan tempat kosong. "Tinggi banget! Semua jadi kelihatan superkecil. Kayak titik-titik hitam. Keren!"


 

Cakka tersenyum melihat tingkah Sivia. Ia ikut menikmati pemandangan dari ketinggian ini.


 

"Katanya dulu lo pernah kesini? Kok kagetnya sampe segitunya sih?"


 

"Iya gue dulu pernah kesini kok."


 

"Sama Rio ya?" tebak Cakka. Ups!


 

Sivia menoleh. Cakka kaget atas apa yang dia ucapkan. Dia sendiri tidak memikirkan lebih dahulu pertanyaannya tadi. Lagi-lagi Cakka merutuki dirinya. Mengapa dia tidak bisa menahan pertanyaannya itu. Dia bisa melihat raut wajah Sivia yang langsung berubah. Pasti deh Sivia keinget lagi sama Rio. Ah lo bego banget Cakkaaaaaa! Cakka memarahi dirinya sendiri.


 

"Bukan." Sivia mencoba tersenyum. "Dulu pernah kesini sama Almarhum Ayah dan Ibuku." Jawabnya lirih.


 

Cakka menatap Sivia. Ternyata bukan Rio yang membuat air mukanya berubah. Ada sedikit kelegaan di dada Cakka. Namun, Ia jadi merasa sangat bersalah saat tanpa sengaja dia mengingatkan Sivia kepada Almarhum orang tuanya. Cakka jadi nggak tega melihatnya. Rasanya, tangannya ingin terulur. Menarik tubuh Sivia ke dalam pelukannya dan membelai rambutnya lagi untuk mengusir kesedihan itu dari wajah Sivia. Tapi, buru-buru Cakka menepis hasrat itu dari dalam hatinya. Dia masih sadar kalau ini tempat umum. Bisa-bisa Sivia marah besar atau malah menamparnya di depan banyak orang.


 

"Dulu waktu kecil, gue pernah ke Monas sama Ayah dan Ibu. Tapi itu udah lama banget. Gue udah lupa bagaimana rasanya waktu itu. Bahkan seingat gue, ada banyak hal yang sudah berubah dari Monas sekarang. Lapangan dan tamannya jadi lebih bersih dan terawat dibandingkan dulu."


 

Cakka hanya tersenyum mendengar penjelasan dari Sivia. Dia memang pintar menyembunyikan perasaan sedihnya. Lagi-lagi Cakka merasa desiran aneh itu menyergapnya saat Sivia menegur dirinya pelan.


 

"Kalau dliat-liat, sekarang lo udah sering senyum ya Kak?"


 

Cakka mengernyit lalu membuang muka. "Apaan sih lo."


 

"Cieeee malu-malu. Ngaku aja lagi. Gue udah sering ngeliat lo senyum sekarang." Sivia tertawa geli.


 

Gue sering senyum? Apa iya? Masa sih? Kalaupun bener, kayaknya lebih dari 99% itu karena elo deh Siv.


 

Cakka diam. Dia kembali menatap Sivia yang tertawa lepas. Tak masalah siapa yang ditertawakan oleh Sivia. Yang penting, melihat Sivia tertawa seperti itu sudah membuat Cakka merasa nyaman.


 

"Cak," panggil Sivia lagi. Dia menatap Cakka.


 

Cakka yang sejak tadi diam-diam memandangi Sivia langsung pura-pura melihat pemandangan di bawah.


 

"Balik yuk. Ini udah hampir satu jam. Kasian kalau Ray nunggu duluan."


 

Cakka menoleh ke arah Sivia. Entah kenapa saat matanya bertemu pandang dengan mata gadis itu, jantungnya berdegup lagi. Cakka setengah mati berusaha meredakan debar jantungnya agar normal, tapi saat Sivia tersenyum, jantungnya malah berdebar lebih hebat. Kaki Cakka pun tiba-tiba terasa lemas.


 

"Kak?" tegur Sivia pelan. "Lo kenapa?"


 

"Gue? Baik kok. Gue baik-baik aja. Kenapa emang?" Cakka buru-buru menggeleng dan mengalihkan pandangannya dari Sivia. "Lupain pertanyaan gue. Kita balik sekarang."


 

Cakka buru-buru berbalik dan berjalan menuju lift. Sivia mengikutinya walau sedikit bingung. Cakka menarik napas berulang kali untuk mengisi paru-parunya dengan udara segar. Detak jantungnya pun semakin cepat saat Sivia berdiri di sampingnya. Hanya ada mereka berdua di dalam lift itu.


 

Ya ampun. Ada apa sama gue? Apa gue punya kelainan jantung? Kenapa tiba-tiba jantung gue debar-debar nggak jelas gini sih? Kenapa gue jadi sering salah tingkah? Batin Cakka terus bertanya-tanya. Namun, entah mengapa semakin dipikirkan, jantungnya malah semakin berdebar keras.


 


 

***


 


 

Ray dan Acha sudah berdiri di depan pintu Monas. Tak lama kemudian, Sivia dan Cakka datang ke arah mereka.


 

"Sudah lama nunggu Ray?" tegur Sivia.


 

"Baru nyampe juga kok Kak." Sahut Ray. Acha tersenyum melihat Sivia.


 

"Kalau gitu, aku pulang duluan ya." Kata Acha.


 

Ray menoleh. "Kamu pulang sama siapa Cha? Naik apa?"


 

Acha berbalik badan. Lalu menunjuk sebuah mobil yang kaca kemudinya terbuka. "Dijemput sama Kak Alvin. Tuh dia udah datang. Sampai ketemu besok di sekolah ya Ray! Duluan semua!"


 

ALVIN? Oh ya! A-L-V-I-N. Ray merasa kalah telak. Bisa-bisanya dia lupa kalau Acha sudah mempunyai pacar. Sialan! Kakinya melemas ketika matanya menangkap siluet Alvin yang keluar dari mobil menyambut Acha. Sempat dilihatnya Alvin melambai tangan kearah mereka bertiga. Ray muak. Matanya beralih ke halaman Monas. Dia tidak ingin melihat Acha bersama orang itu.


 

"Ray? Ada apa?" tegur Sivia.


 

Ray menggeleng lemah. "Ayo kita pulang. Ray capek." Sahut Ray lalu berjalan lemas menuju tempat Cakka memarkirkan mobilnya.


 

Sivia menoleh ke arah Cakka yang sok tidak peduli. Dia sadar ada sesuatu perubahan yang terjadi pada Ray. Namun dia belum bisa menebak-nebak.


 

Cakka yang merasa diperhatikan, menoleh ke arah Sivia. "Apa?"


 

Sivia menunjuk siluet Ray yang meninggalkan mereka. "Ray kenapa ya?"


 

Cakka mengangkat kedua bahunya. "Lo pikir gue tahu?"


 

Sivia melotot. Mengapa Cakka sebentar-bentar baik, lalu sedetik kemudian dia berubah menjadi beruang kutub? Dingin dan ketus. Sivia menyerah. Dia mengikuti langkah Ray dan Cakka yang berjalan sendiri-sendiri. Sivia berjalan paling belakang berteman dengan diam. Dia berjanji akan menagih cerita kepada Ray nanti.


 


 

***


 


 

Part full CakVia! Puas? Yang nggak puas saya bogem(?) Hahaha-_- Bercanda man! Terimakasih yang masih ingat cerita ini. Terimakasih juga like-nya. Comment-nya. Dan waktunya buat baca ini.


 

Sebentar lagi lebaran, minal aidzin ya semuanya! Terutama ICL! Aku sayang kaliaaan. Nggak sabaran nunggu IC4. Rasanya November lamaaaaaa banget ya-_-


 

Cerbung ini juga bisa dibaca di http://www.resaechaa.blogspot.com

Follow me on twitter @Resaechaa


 

Tidak ada komentar: