Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Jumat, 17 Agustus 2012

GUE DIANTARA MEREKA – PART 12


 

Sivia melangkah menuju ke pintu rumahnya, betapa kagetnya Sivia setelah mengetahui siapa yang datang kerumahnya malam hari itu.

"Iyel.,???"

Sivia membisikan sesuatu di telinga Ayahnya.

"Dia Iyel Yah, yang sering Via certain ke Ayah"

Mendengar bisikan dari anak semata wayangnya Ayah Sivia hanya mengangguk-anggukan kepalanya.

"Ya sudah untuk malam ini kamu saya kasih ijin buat menginap disini"

"Ma kasih banyak Om" Jawab Gabriel kepada Ayahnya Sivia.

"Kamu siapin kamar untuk temen kamu ini ya Via" Perintah Ayahnya Via.

"Iya Ayah, biar Iyel tidur dikamar Via aja, kamar tamu kan belom dibenahin" Ujar Sivia.

"Ga usah Vi, gw bisa tidur di sofa aja" Jawab Gabriel kaku.

"Udah deh lu ada dirumah gw sekarang, jadi lu harus ikutin apa kata gw" Terang Sivia dengan sedikit masih menyimpan perasaan kesal kepada Gabriel karena tidak datangnya Gabriel ke halaman belakang sekolahnya dua hari yang lalu.

"Ya udah kalo gitu Ayah istirahat dulu ya Via"

"Yel kamu istirahat juga ya"

"Iya Om.,sekali lagi ma kasih banyak"

Tanpa menunggu waktu lagi Ayahnya Sivia meninggalkan Sivia dan Gabriel berdua. Sejenak tercipta keheningan antara mereka berdua. Keduanya sibuk dengan pertanyaan masing-masing dalam hatinya. Gabriel kembali akrab dengan tatapan tajam dan sorotan mata yang begitu dingin. Sedangkan Sivia kini sedang jauh dari ekspresi manis yang biasa tergambar diwajahnya.

"Kenapa tampang Iyel berantakan banget gitu sih,???" Dalam hati Sivia.

"Tampangnya jutek banget sih.,apa dia masih kesel gara-gara kejadian kemaren itu ya???" Tanya Gabriel dalam hatinya.,

"Sini lu.," Akhirnya kalimat pendek Sivia memecah keheningan antara mereka berdua, seraya menarik tangan kanan Gabriel.

"Auw.," Gabriel sedikit mengerang kesakitan. Terang saja Gabriel mengaduh, karena tangan yang di tarik Sivia adalah tangan yang terluka akibat memecahkan cermin di rumahnya siang hari tadi.

Sivia menoleh kearah Gabriel dan kemudian mengalihkan pandangannya ke tangan kanan Gabriel. Terlihat darah kering yang masih melekat ditangannya Gabriel.

"Tangan lu kenapa???" Tanya Sivia

"Ga kenapa-kenapa" Jawab Gabriel dingin seraya menarik tangannya dari genggaman Sivia.

"Gw kan dah bilang, sekarang lu ada dirumah gw, jadi lu harus nurutin apa mau gw, dan sekarang gw mau lu jawab pertanyaan gw, tangan lu kenapa???" Tanya Sivia kembali dengan nada yang terkesan begitu jutek.

Gabriel sama sekali tidak menggubris pertanyaan Sivia, dia malah menatap tajam Sivia tanpa satu kalimat pun keluar dari bibirnya.

Melihat ekspresi Gabriel yang begitu dingin Sivia tahu tidak ada gunannya dia terus memaksa Gabriel untuk menjawab pertanyaannya itu. Akhirnya Sivia kembali menarik tangan Gabriel namun kali ini di bagian pergelangan tangannya dan menariknya menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.

"Tunggu disini, gw ambil obat dulu buat tangan lu" Ujar Sivia dan meninggalkan Gabriel di kamar tidurnya.

Kamar tidur yang cukup luas itu sama sekali tidak menggambarkan kamar seorang gadis. Setiap sudut dari ruangan itu bercat biru muda dengan sebagian dinding dari bagian pertengahan sampai ke dasar dihiasi wallpaper bergambar bola. Tempat tidur yang begitu empuk dan sangat nyaman ditutupi oleh bed cover bergambar logo "Real Madrid" dan di bagian tengah dari lantai kamarnya terbentang karpet berukuran kurang lebih 1 x 1 cm bergambar "Samurai X".

Gabriel melihat kearah jendela kamar Sivia yang masih terbuka. Gabriel menghampiri jendela tersebut dan dia melihat ada sedikit tepian dari bagian luar jendela itu. Dengan hati-hati Gabriel keluar melalui jendela tersebut dan kemudian duduk di tepian luar jendela kamar Sivia itu. Pandangannya dia arahkan lurus kearah langit yang malam itu dipenuhi cahaya bulan purnama, persis seperti yang dia lihat dari pantulan kaca di pelataran toko tadi. Tak lama kemudian Sivia datang dengan kotak P3K ditangan kanannya dan baskom kecil berisi air hangat di tangan kirinya. Sivia kini duduk persis di samping Gabriel. kemudian dia meraih tangan Gabriel yang terluka tadi, dan dengan telaten dia membersihkan darah kering dengan handuk dan air hangat yang dia bawa tadi. Perlahan Sivia mecabuti satu persatu serpihan-serpihan kecil kaca yang masih tertinggal di antara sela-sela jari-jari Gabriel. Dan setelah itu dia memborehkan betadine di semua permukaan luka di tangan Gabriel dan membalutnya dengan kain kasa yang begitu halus dan bersih. Tak sedikit pun terjalin perbincangan diantara mereka. Gabriel membiarkan Sivia mengobati tangan kanannya.

"Lu abis mecahin kaca ya???kok banyak serpihan kaca gini di luka lu???"

Gabriel masih tetap saja setia dengan diamnya, tak sedikit pun ada niat untuk menjawab pertanyaan Sivia itu. Sivia menghela nafas kemudian berdiri meninggalkan Gabriel untuk menyimpan kembali baskom yang isinya kini sudah berubah agak memerah akibat darah Gabriel.

Gabriel kini kembali dalam kesendiriannya. Masih terngiang dengan jelas di indera pendengarannya tentang apa yang dibicarakan Rio dengan Ify tadi siang.

"Ternyata pertanyaan gw yang banyak itu hanya terjawab sama satu jawaban sederhana.,gw bukan anak mereka" Pikir Gabriel.

Gabriel membenamkan wajahnya di kedua tangannya, kemudian mengacak-ngacak sendiri rambutnya yang dari semula sudah berantakan.

Gabriel merasakan kepalanya berdenyut dengan hebat. Kenyataan hidup yang baru saja dia tahu betul-betul membuat dirinya shock. Dia memejamkan matanya berharap semua yang terjadi hari itu adalah mimpi. Gabriel membuka kembali matanya, dan semua yang terjadi adalah benar-benar nyata, bukan mimpi seperti yang dia harapkan.

Gabriel mengeluarkan sebuah bungkus rokok yang sudah tak berbentuk dari dalam kantong celananya, dia membuka isinya dan terlihat masih ada sebatang rokok yang tersisa didalamnya. Dia mengeluarkan isinya, kemudian melemparkan bungkus rokok yang kini kosong dengan lemparan yang sangat bertenaga, seakan-akan dia membuang jauh-jauh beban berat yang melanda hati dan pikirannya saat itu. Gabriel memilin-milin sebentar batang rokoknya kemudian menaruh diujung bibirnya dan menyulutnya. Baru beberapa kali Gabriel mengisap rokoknya,dia mendengar suara yang begitu dihapal di keluar kepalanya dari arah belakang punggungnya.

"Lu pernah denger ga kalo setiap satu isapan rokok berarti umur lu berkurang satu detik" Terang Sivia yang sudah kembali berada di kamarnya sendiri.

Gabriel menoleh kearah Sivia, memamerkan senyum sinisnya, dan untuk pertama kalinya dia menanggapi omongannya Sivia.

"Kalo bener begitu, berarti gw harus banyak-banyakin ngisep rokok biar gw cepet MATI" Satu kata terakhir dikatakan Gabriel dengan begitu tegas.

Sivia begitu terkejut mendengar jawaban Gabriel itu.

"Maksud lu apa Yel, lu ga berhak ngomong mati, hidup lu aja ga pernah lu hargain"

"Karena itu gw lebih baik mati, toh dari dulu juga ga ada yang ngarepin gw hidup" Sekali lagi jawaban Gabriel betul-betul mengejutkan Sivia.

Sivia kini kembali memposisikan dirinya duduk disamping Gabriel. kekesalannya terhadap Gabriel hilang begitu saja pada saat dia menyadari kalau pada saat itu Gabriel sedang mempunyai masalah yang begitu berat.

Gabriel dan Sivia kini duduk bersampingan, keduanya sama-sama mengayun-ayunkan kedua kaki mereka yang menggantung di tepian luar jendela kamar Sivia. Sejurus kemudian Sivia mengeluarkan sesuatu dari saku celana pendeknya. Terlihat sebuah permen dengan batang putih dan bulatan kecil dibagian ujung atasnya.

"Itu apaan???" Tanya Gabriel kepada Sivia.

"Sekaku-kakunya orang, masih tau kali kalo ini tuh permen kojek." Jawab Sivia.

"Iya gw tau itu permen kojek.,tapi buat apa.,buat siapa???" Tanya Gabriel lagi masih dengan sikapnya yang dingin dan kaku.

"Buat lu lah, masa buat gw sih, kaya anak kecil aja gw makan ginian" jawab Sivia.

"Buat gw???buat apaan???gw juga bukan anak kecil, sama kaya lu"

"Lu liat deh Yel, kojek ini harganya murah, abisnya lama, trus manis kaya gw, ga kaya yang lu isep itu, dah harganya mahal, cepat abisnya, trus pait kaya muka LO!!!"

Gabriel menatap tajam kearah Sivia mendengar ucapan Sivia itu.

"Kenapa lu ngeliatin gw kaya gitu, marah denger omongan gw barusan???" Tantang Sivia.

Gabriel langsung memalingkan tatapan matanya kearah batang rokok yang kini tinggal separuh. Dia memutar-mutarkan batang rokoknya itu oleh ibu jari dan telunjuknya. Tak lama kemudian gerakan memutar-mutar batang rokoknya itu terhenti karena tiba-tiba saja Sivia merebut batang rokok itu dan menghempaskannya ke tanah dari ketingian kurang lebih lima meter.

"Hey.,lu ini kenapa sih.,lu tau ga sih itu rokok terakhir yang gw punya.,"

"Gw tau, tadi gw liat lu lempar bungkus rokonya"

"Trus???"

Tanpa menjawab pertanyaan Gabriel, dengan gerakan cepat Sivia membuka bungkus kojek yang ada di tangannya dan setelah terbuka dengan sempurna Sivia mengasongkan kojek itu kepada Gabriel.

"Apaan nech.,gw ga mau.,"

Sivia menarik kembali kojeknya dan mengulum sendiri kojeknya itu.

"Ya udah kalo lu ga mau, buat gw aja, gpp deh dibilang anak kecil juga" Ucap Sivia dengan nada yang cuek.

Gabriel kembali dalam kebisuannya. Mimik wajahnya begitu kuat menggambarkan perasaan hatinya yang galau. Saat itu perasaannya begitu campur aduk, entah dia harus marah, harus kesal atau harus lega.

"Lu tau piano ga Yel???" Tiba-tiba Sivia bertanya hal yang aneh kepada Sivia.

"Sekaku-kakunya orang, tau kali apa itu piano" Gabriel membalikkan kata-kata Sivia.

"Lu tau kan piano itu ada tuts putih dan ada tuts berwarna item, dan kalo lu atau siapapun yang bisa memadukan nada-nada yang keluar dari kedua tuts itu maka bakalan keluar irama ataupun lagu yang enak didenger Yel, bukan cuman enak di denger, tapi bisa jadi lagu yang indah"

"Trus hubungannya sama gw???"

"Gini Yel maksud gw, lu bisa ibaratin Tuts putih itu kebahagian lu dan lu bisa ibaratin Tuts item itu kesedihan dan masalah lu, kalo lu bisa manyatukan antara kesedihan lu dan kebahagian lu, dan akhirnya lu bisa ambil hikmah dari semuanya, maka hidup lu bisa jadi indah juga Yel.,"

"Tapi sayangnya hidup gw semua cuma berisi masalah doank Vi.,"

"Itu kan menurut lu, karena lu selalu nganggep hidup lu itu sampah, ga pernah nyari sesuatu yang lebih berarti dari itu"

Gabriel begitu terhenyak mendengar ucapan Sivia itu.

"Masih banyak kok orang yang punya masalah lebih berat dari lu.,tapi mereka punya orang yang mereka percaya buat berbagi Yel" Terang Sivia lagi.

"Lu kenapa sih Yel???kalo lu percaya, lu bisa cerita semuanya ke gw" Sivia bertanya begitu hati-hati.

Gabriel menghela nafas sebentar, kemudian dia menoleh menatap Sivia, namun kali ini dengan tatapan yang lebih lembut.

"Sekarang gw dah tau semuanya Vi" Entah kenapa Gabriel yang selama ini begitu tertutup ingin sekali membagi beban berat dihatinya, dan dia memilih Sivia untuk hal ini.

"Maksud lu Yel???" Tanya Sivia tidak memahami perkataan Gabriel.

"Sekarang gw dah tau Vi, kenapa papa selalu ga ngehargain gw.,kenapa papa selama ini ga pernah sayang sama gw, dan selama ini papa selalu menganggap gw seakan-akan ga ada"

"Kenapa Yel???" Sivia sedikit merasa lega karena Gabriel mau terbuka dan bercerita semua padanya. Meskipun demikian Sivia masih sangat berhati-hati dalam berkata-kata, Sivia takut apabila dia salah bicara satu kata saja, itu akan mebuat Gabriel berubah pikiran untuk percaya padanya.

"Karena.,.,,.karena ternyata gw bukan anak mereka Vi" Jawab Gabriel terbata-bata.

"APA!!!" Sivia tidak percaya dengan apa yang baru saja


 

Ek Rkwt

@rekscasillas

Tidak ada komentar: