Welcome to My Blog and My Life

Stay Tune!:]

Sabtu, 01 September 2012

CINTA KEDUA PART 28


 

Sivia mengerucutkan bibirnya. Cakka mengomel lagi. Sifat anak itu tidak jelas. Selalu berubah-ubah tiap jamnya. Bahkan tiap menit. Atau sekalian per detik. Kadang baik. Kadang lembut. Kadang bisa jadi beruang kutub. Atau juga bisa jadi harimau pemakan manusia! Gila!


 

"Elo kan tugasnya disini masak. Nah terus kenapa coba jam segini belom ada makanan satu pun diatas meja? Lo mau gue sama Ray kelaparan, hah?"


 

"Ini bukan sepenuhnya salah gue Cakka! Bibi lagi sakit. Jadi dia nggak bisa ke pasar. Dan kalau gue mau belanja ke pasar, kapan waktunya? Dan juga, lo nggak ngijinin gue keluar rumah. Gimana gue bisa ke pasar?" sungut Sivia kesal.


 

"Lo kan bisa ngomong ke gue. Biar gue yang anterin ke pasar! Gitu aja ribet banget sih Sivia!" Balas Cakka tak kalah tajam.


 

"Heh! Kita aja seharian ini ke Monas. Gimana gue bisa tahu kalau Bibi sakit? Jangankan gue, yang punya rumah aja nggak tau kan kalau Bibi sakit? Lo juga ribet deh."


 

"Heh..." Cakka tidak sempat melanjutkan kalimatnya karena sudah dipotong oleh Ray yang tiba-tiba saja datang entah darimana dan langsung tiduran di kasur kamar Sivia.


 

"Aduh. Kak Sivia sama Kak Cakka ini kenapa sih? Pacaran tapi kerjaannya berantem melulu. Nggak bosan apa? Aku aja yang dengar bosan. Hampir tiap hari berantem. Padahal yang dipermasalahkan nggak jelas juga. Pasangan yang aneh. Udah deh jangan berantem melulu. Nggak ada romantis-romantisnya sama sekali tau nggak!"


 

"DIAM!" teriak Cakka dan Sivia bersamaan.


 

Ray langsung mendapatkan tatapan membunuh dari dua manusia itu. Namun, dia bukan anak kecil yang jika di pelototi tanpa sebab langsung pergi ketakutan. Sebaliknya, Ray malah bangkit dan berdiri di antara keduanya.


 

"Kakak-kakak ini ribet deh. Kita tinggal makan malam diluar. Selesai kan? Ngapain mesti berantem? Kayak anak kecil aja. Dewasa dikit doong." Ejeknya. Melihat mata Cakka yang sudah berapi-api seperti ingin membakarnya hidup-hidup, akhirnya dia ciut juga. Namun tetap berusaha santai.


 

"Gue ke kamar dulu ya. Mau ganti baju. Tungguin gue dua puluh menit deh. Habis itu kita makan diluar ya Kakak-kakak? Oke? Bye!" secepat kilat dia melarikan diri sebelum diterkam oleh kakaknya sendiri. Dalam hati dia tertawa geli.


 

Sepeninggal Ray, Cakka menatap Sivia tanpa ekspresi. "Oke kita makan diluar. Kali ini lo bisa tertolong. Lain kali, gue mesti kasih pelajaran."


 

Sivia mendengarkan acuh tak acuh. Dasar aneh!


 

"Lima menit lagi gue balik kesini."


 

Hah? Apa-apaan? Sivia ingin mengeluarkan komentar namun Cakka sudah menghilang dibalik pintu kamarnya.


 

"Lima menit? Dia? Balik kesini? Ada urusan apa?" Sivia memutar bola matanya. Mau tak mau akhirnya dia mengikuti perintah Cakka juga. Tubuhnya sedikit lelah kalau berteriak-teriak memaki Cakka terus-terusan. Dengan cepat dia mengganti pakaian dan berdandan seadanya.


 

Lima menit kemudian...


 

Tubunya dibalut oleh baju kaos biasa. Lalu tangannya yang mulus tertutup oleh bolero hingga diatas pinggang. Celana jeans dan sepatu sendal sepertinya sudah cukup membungkus tubuh mungilnya. Yang menjadi masalah, dia lupa menaruh ikat rambutnya. Astaga pasti tertinggal di mobilnya Cakka tadi sore. Saat dia hendak berbalik, Cakka sudah berdiri di belakangnya. Hah! Macam hantu saja datang dan pergi secara tiba-tiba. Sivia berbalik menghadap ke cermin lagi.


 

"Ngapain kesini? Nggak liat kalau gue belom siap? Gue masih sisiran nih. Udah lo nunggu di luar aja kenapa sih? Atau ke kamarnya Ray sana bantuin dia dandan. Kan elo cowok. Kok malah bantuin gue dandan? Atau jangan-jangan elo..."


 

Sivia tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia merinding. Tangan Cakka menyentuh rambutnya dari belakang. Lalu tangan lainnya mengambil sisir di atas meja yang baru saja ditaruh oleh Sivia. Perlahan, Cakka menyisir rambutnya tanpa suara. Merapikan anak rambut yang melayang bebas di sekitar telinganya. Lalu memilin anak rambut itu dan menjepitnya ke belakang. Kemudian rambut tebalnya di kumpul menjadi satu genggaman di tangan Cakka. lalu menariknya ke samping. Kemudian mengikatnya menjadi satu kesatuan. Cakka menjuntaikan rambut tebal Sivia sampai ke depan dadanya. Sehingga seluruh rambutnya terlihat dari bagian depan. Sivia melihat Cakka dari cermin. Wajah itu tanpa ekspresi. Namun cukup membuatnya sedikit susah untuk mengatur nafas. Jujur saja, laki-laki itu malam ini lumayan... ganteng lah dari biasanya. Yah walaupun lumayan sangat-sangat mengesalkan.


 

Sedetik kemudian, Sivia kaget dengan kerja otaknya. Secepat kilat dia menutup mulutnya. Lalu memukul-mukul keningnya. Siviaaaaa! Lo gila! Dan... buta!


 

"Kenapa lo?" tegur Cakka sinis.


 

"Gue gila. Gue sudah gila!" Sahutnya asal. Sambil terus memukul kepalanya.


 

"Kenapa baru nyadar sekarang?"


 

"Karena lo udah.... Ah tau ah!" jawab Sivia gusar. Nampaknya sedikit terceplos.


 

Cakka semakin menarik dengan percakapan ini. "Karena gue apa?" otak jahil Cakka langsung melukiskan lampu terang. Dia memegang bahu Sivia dan menahan kedua tangannya agar berhenti melakukan hal bodoh seperti itu.


 

Cakka melihat Sivia meringis. Matanya terpejam gelisah sambil mencoba mendorong tubuhnya. Cakka tidak bisa menahan tawanya. Seratus persen Cakka meyakini kalau Sivia pasti mengira akan menciumnya. Melihat mata Sivia menyipit, wajahnya kembali tanpa ekspresi. Walaupun tawanya sudah hampir meledak.


 

Cakka semakin mendekatkan kepalanya. Lalu keningnya berkerut melihat bagian bawah hidung Sivia.


 

"Lo mau apaaa?!" teriak Sivia serak. Dia panik.


 

Oke. Stop. Cakka sudah tidak sabar mengatakan hal ini. Dia tersenyum. Semakin lebar. Dan terucaplah kalimat jahilnya...


 

"Kalau dilihat lebih dekat, ternyata kumis lo lumayan tebal juga ya Siv."


 

Akhinya. Meledaklah tawa Cakka. Dia sampai memegangi perutnya akibat kegelian yang diciptakannya sendiri. Sivia menjauh darinya. Membuatnya bebas bergerak menertawakan tingkah jahilnya sendiri.


 

Ironis. Sivia kembali ditertawakan oleh Cakka. Sivia kalah lagi di depan penjahat gila itu. Dasar tidak punya perasaan! Sivia malu. Dengan cepat dia berlari keluar dari kamar dan meninggalkan Cakka yang sepertinya menyadari kemarahannya.


 

Sivia berhenti di sebelah mobil Cakka. Lalu bersender di pintu kemudi. Sedikit air mata mengumpul di pelupuk matanya. Bersiap untuk keluar. Dia malu. Malu karena Cakka menertawakan fisiknya. Apa salahnya sih punya kumis tebal? Padahal juga, kumisnya nggak tebal-tebal banget deh. Cuman nggak tipis aja. Heh?-_-


 

Sivia menyeka air matanya. Lalu menarik nafas panjang. Dibalik matanya yang sedikit buram, dia bisa melihat Cakka menghampirinya.


 

"Masuk." Perintahnya. Apa-apaan sih ini orang? Sudah bikin sakit hati, terus merintah orang seenak jidatnya. Tangan Sivia sudah gatal ingin menonjok laki-laki itu. Namun dia masih bisa menahan nafsunya agar tidak melayangkan tinju ke wajah beruang kutub itu.


 

"Masuk ke mobil. Nggak pake lama." Perintahnya ketus lalu dia berjalan ke arah pintu sebelah. Pintu penumpang.


 

Sivia merasa kesal. Dengan cepat dia membuka pintu kemudi itu dan lalu masuk ke mobil. Dia ingin cepat-cepat memaki manusia itu agar tidak terlihat siapapun. Atau sekalian saja dia menonjok Cakka? Sepertinya itu ide yang lumayan bagus. Mengingat Cakka pasti akan mencari-cari kesalahannya yang lain dan lalu seenak udelnya balik memaki Sivia. Agar dia seolah-olah tidak pernah melakukan kesalahan. Padahal.. Ah tangan Sivia sudah gatal ingin mengacak-acak wajah itu.


 

"Maaf." Ujarnya. Singkat. Padat. Dan sangat tidak jelas.


 

Sivia hanya menghembuskan nafasnya berat.


 

"Gue pikir lo nggak bakalan nangis tadi. Jadi gue pikir gue bikin lelucon kayak gitu supaya..."


 

"Nggak lucu." Potong Sivia. Tanpa sedikit pun menoleh pada Cakka yang daritadi menatapnya.


 

Tumben dia minta maaf. Tumben banget. Kayaknya cuman taktik deh. Kayak nggak tahu Cakka aja. Paling juga bentar-bentar dia udah berubah jadi beruang kutub lagi setelah Sivia memafkannya. Dasar manusia licik!


 

Sivia merasa semakin kesal mendengar kalimat-kalimat negatif yang terlontar di otaknya. Sivia sudah bergegas ingin membuka pintu mobil, namun tanpa di duga pundaknya di tahan oleh Cakka dari belakang. Sentuhan itu... Sivia menelan ludah. Pelan, Cakka memutar tubunya berbalik.


 

"Mau kemana?" tanya Cakka.


 

Sivia memberanikan diri menatap Cakka. Tampangnya sayu. Sivia belum pernah melihat mimik wajah Cakka yang seperti ini. Matanya mencoba menembus bola mata Cakka yang hitam.


 

Aneh! Mengapa lidahnya kelu? Hei Sivia! Sadar! Kau ini kenapa? Wajahnya itu... ah! Stooop! Bukannya tadi gue sebel banget ya sama ini orang?


 

Cakka menyatukan alisnya. Menunggu jawaban Sivia yang sampai sekarang tidak juga terucap. Dia sadar kedua tangannya masih berada di pundak Sivia. Dan Sivia tidak menolaknya.


 

Sivia bisa melihat dengan jelas bagaimana lekuk wajah Cakka. Hidungnya mancung. Matanya bulat. Wajahnya juga putih bersih. Rambutnya juga keren.


 

Oh God! Apa yang dipikirkannya?


 

"Gue-mau-masuk-ke-rumah." Ucap Sivia cepat. Dia menggeliat menggerakkan bahunya agar Cakka menjauh. Lalu dengan segera ingin membuka pintu mobil itu sebelum...


 

"Jangan!" sergah Cakka cepat. "Jangan masuk ya? Please.. Maafin gue tadi dong!" Cakka malah menahan pundak Sivia lebih kuat seperti menahan maling. Maling? Ah sepertinya Sivia memang sedang mencuri. Mencuri hatinya kah?


 

Sivia mengerling. Apa ini? Cakka? Cakka sedang apa? Memohon kah dia? Astaga.. Memohon kok kayak maksa!


 

"Sorry gue lama." Terdengar suara pintu yang dibuka, mobil agak sedikit bergoyang dan setelah itu pintu mobil tertutup kembali.


 

Seketika itu juga Cakka menjauh dari tubuh Sivia. Tubuh mereka seperti dihujani batu es. Dingin dan beku. Seperti tersihir dan seolah-olah seperti batu.


 

"Loh?" tegur Ray. Ada sesuatu yang tidak beres dalam pandangannya. "Kok Kak Sivia...?"


 

"Kita jalan sekarang." Sahut Cakka cepat sebelum Ray bertanya yang aneh-aneh. Sudut matanya sempat melirik Sivia yang sudah bersandar kembali ke sandaran kursi kemudi. Namun setelah itu dia diam. Lebih tepatnya mereka. Tidak ada satupun yang mengeluarkan suaranya malam itu.


 

"Loh? Kak?" Setelah beberapa detik hening, akhirnya Ray membuka suara. "Kita mau makan, atau ke rumah sakit?"


 

Tidak ada jawaban. Sepertinya dua manusia di depan Ray tidak mengerti dan itu membuat Ray gondok.


 

"Kok Kak Sivia ada di kursi supir? Kak Cakka nggak perlu nyuruh Kak Sivia nyetir. Mendingan kita naik taksi aja daripada Kak Sivia yang nyetir." Tutur Ray akhirnya. Dengan cepat mereka bertukar posisi dalam diam dan segera pergi meninggalkan pelataran rumahnya. Ada apa sih sebenarnya diantara mereka? Ray semakin bingung.


 


 

***


 


 

"Kenapa mesti gue sih?" sahutnya dongkol. Bibirnya tidak berhenti komat-kamit seperti dukun.


 

"Lo nggak bersyukur banget sih Siv? Sudah untung elo nggak gue suruh dorong mobil!" balas Cakka sambil mendorong-dorong tubuh Sivia dengan sebelah tangan.


 

"Ya tapi gue kan nggak ngerti! Mendingan gue ikut kalian aja deh!" balas Sivia sambil menjauh dari Cakka yang setengah mati mendorong mobilnya yang mogok. Sementara Ray duduk di kursi kemudi untuk mengarahkan setir nya. Untung saja Restoran yang ingin mereka datangi tidak berada terlalu jauh dari tewasnya mobil Cakka. Dan juga setengah kilometer dari Restoran itu, ada SPBU.


 

"Elo nggak ngerti juga? Ini tuh malem Minggu!"


 

Sivia mengernyit heran. "Apa hubungannya sama malam Minggu?" tanyanya polos.


 

Cakka memutar bola matanya lalu kekesalannya di tumpahkan untuk mendorong mobilnya. Sial memang! Kenapa juga dia bisa lupa mengisi bensin tadi siang? Akhir-akhir ini memang dia menjadi seorang yang pelupa. Sepertinya pikirannya mulai selalu tertuju pada gadis itu. Gadis yang berjalan di sebelahnya dengan berjarak. Sehingga dia melupakan hal lain. Gila!


 

"Ini malam Minggu jadi besar kemungkinan rame banget kak! Jadi maksud Kak Cakka itu, Kak Sivia masuk aja duluan pesanin tempat. Nanti kita dateng habis selesai isi bensin Kak." Jelas Ray yang menyembulkan kepalanya dari pintu mobil yang kacanya terbuka. Dia sedikit berteriak agar Sivia mendengarnya.


 

Sivia mendengus. Mau bagaimana lagi? "Oh gitu? Yaudah deh." Jawabnya pelan dan terpaksa.


 

Ray dan Cakka meninggalkan Sivia di depan Restoran itu. Sivia mengerucutkan bibirnya. Dia memperhatikan penampilannya malam itu. Kaos oblong. Celana jeans. Sepatu sendal dan... restoran megah. Dia berdo'a semoga saat dia masuk nanti, tidak dikejar oleh satpam atau pelayan didalam sana hanya karena berpenampilan mencurigakan.


 


 

***


 


 

Ify sengaja mengajak Rio untuk menemaninya makan malam di luar. Aneh kan? Seharusnya laki-laki yang lebih dulu mengajak perempuan untuk nge-date. Tapi ini? Ah sudahlah. Ify tidak pernah memusingkan siapa yang duluan mengajak atau siapa yang diajak. Mungkin Rio lupa kalau ini malam Minggu. Lagian juga, nggak ada perjanjian tertulis kan kalau malam Minggu orang yang pacaran harus jalan keluar?


 

"Thanks ya Kak. Udah mau nemenin aku disini." Ify duduk berhadapan dengan Rio di meja itu.


 

Rio menatap Ify. Dalam diam.


 

"Kenapa Kak?" Ify yang merasa dilihat seperti itu, agak canggung.


 

"Nggak. Setiap kali kita ketemu, yang kamu ucapin makasih terus." Jawab Rio seadanya.


 

"Hahahaha." Ify malah tertawa. Beberapa sekon kemudian, dia berhenti. "Nggak boleh ya emang? Aku kan seneng Kakak mau jadi pacar aku. Jadi kalau disamping Kakak, aku nggak bisa nggak ngucapin kata itu."


 

Rio menelan ludahnya. Sebegitu cintanya kah Ify pada dirinya? Dia tidak terlalu kaget sih. Dia juga selalu berlaku seperti itu kalau sedang bersama Sivia dulu. Tidak ada bedanya. Ungkapan rasa cinta yang meluap-luap. Yah Rio mengerti mengapa Ify selalu mengucapkan thanks jika sedang bersamanya. Yang dia tidak mengerti, mengapa Ify tahan jalan dengan dirinya yang hampir tidak pernah memberikan perhatian lebih seperti yang didapatkan oleh Sivia dulu?


 

"Kak? Kok bengong? Mikirin siapa?"


 

Hahh.. coba aja waktu Sivia datang, aku belum pacaran sama Ify. Pasti ceritanya nggak akan serunyam ini. Aku bisa balik lagi ke Sivia tanpa ada bayang-bayang Ify.


 

"Kak? Haloo?"


 

Rio tersentak saat tangan Ify berarak ke kanan dan kiri di depan wajahnya.


 

"Kak Rio lagi banyak pikiran ya? Kenapa nggak bilang? Kalau gitu kita pulang aja yok Kak?" ajak Ify. Sedikit kekecewaan nampak di wajahnya yang manis. Namun dia menutupinya dengan senyuman kecil di ujung kalimatnya tadi.


 

Rio merasa tak enak. Selalu saja begini. Disaat sedang berdua dengan Ify, pikirannya malah melayang jauh ke siluet Sivia. Wajar saja kalau Rio jarang mengajak Ify jalan-jalan. Kadang dia menolak ajakan Ify. Inilah yang sebenarnya dia takutkan.


 

"I'm okay! Kita disini aja ya. Maaf aku lagi ada masalah sedikit sama pelatih baru di sekolah." Bohongnya.


 

Ify tersenyum lagi. Dia mengangguk mengerti. "Masalah apa Kak? Cerita aja sama aku."


 

Rio menghela nafas. "Biasa. Beberapa hari ini aku kurang fit latihannya. Jadinya beliau negur aku. Tapi tegurannya itu pedes banget. Yaudah jadi aja deh aku balas negur dia. Soalnya dia kalau ngelatih bawaannya marah-marah melulu."


 

Ify menghela nafas juga. Kemudian dia meraih tangan Rio yang ada di atas meja. Dan menggenggamnya hangat. Romantis sekali. "Yaudah Kak jangan terlalu dipikirin. Mungkin emang bener beliau ada masalah lain jadinya Kakak dan teman satu team yang kena imbasnya."


 

Rio agak sedikit kaget dengan perlakuan Ify. Namun, dia membalas rengkuhan tangan Ify itu. Lalu keduanya tersenyum.


 

Kalau dipikir-pikir, Ify sangat jauh lebih perhatian kepadanya. Tapi mengapa sedikit pun Rio tidak bisa membalas perasaan Ify? Sangat tidak wajar jika dia terus bersama Ify sedangkan dia sendiri tidak ada secuil pun perasaan sayang kepada Ify.


 

"Kak? Kok bengong lagi sih? Mikirin apa lagi?" tegur Ify. Namun sama sekali tidak ada tanggapan dari Rio. Dia masih sibuk memikirkan perasaannya dan dua gadis lainnya.


 

Kalau dipikir-pikir lagi, mengapa juga dia dulu menerima cinta Ify ya? Dari sekian banyak gadis yang menyatakan cinta padanya, hanya Ify yang dia terima. Kalau terpaksa, mengapa gadis yang lain tidak dia terima? Aneh. Dia sendiri bingung. Padahal kalau dia menerima gadis lain, dia akan dengan sangat mudah memutuskan hubungan itu dan lalu kembali ke Sivia. Tapi ini? Rasanya sedikit susah menyakiti gadis itu. Gadis yang duduk di hadapannya dengan wajah yang selalu kelihatan manis. Seperti biasanya. Namun, tidak ada perasaan lebih di hatinya pada gadis itu. Sangat disayangkan.


 

"Kak Rio! Kak Rio lagi mikirin..." Ify hendak bertanya lagi namun siluet seseorang yang dikenalnya terlihat begitu jelas masuk ke restoran itu dan mengalihkan pertanyaannya menjadi sebuah keterkejutan. "...Sivia!?"


 

APA? Suara keras Ify membuatnya kembali ke dunia nyata. Detak jantungnya seperti berhenti bekerja. Rio menyatukan alisnya. Tubuhnya menegang. Ify? Apa Ify bisa membaca pikirannya? Oh Tuhan.. Nama siapa yang tadi di dengarnya? Sivia? Apa dia tidak salah dengar? Apa Ify sudah mengetahuinya? Mengetahui semuanya? Darimana Ify tahu kalau dia memikirkan Sivia? Astaga!


 

"Apa Fy?" Rio bertanya lagi. Suaranya sedikit bergetar.


 

Ify menunjuk seseorang yang berdiri di pintu masuk. "Ituloh Kak. Itu Sivia kan?"


 

Mata Rio melebar menatap Ify. Sejurus kemudian, matanya mengikuti arah tunjukkan Ify. Jantungnya kini kembali berdetak. Namun, kali ini jantungnya malah bekerja lebih ekstra. Detakannya semakin kuat serasa dia ingin mengeluarkan jantung itu dan membebaskannya meloncat. Dia harus berbalik badan untuk melihat pintu masuk. Kepalanya celingak-celinguk mencari manusia itu. Dan tepat! Saat matanya berhenti pada siluet itu, seketika dia membeku. Itu Sivia! Benar dia Sivia.


 

Tubuh Rio benar-benar kaku manakala Ify berdiri dan tanpa persetujuannya menghampiri gadis itu. Yang menjadi pertanyaan, mengapa gadis itu juga berada disini? Oh Tuhan... Rencana apa lagi yang akan kau perlihatkan kepadaku malam ini?


 


 

***


 


 

Sivia tersenyum. Lebih tepatnya mencoba tersenyum. Ify menarik tangannya dan membawa ke meja makannya. Langkah Sivia terasa berat. Sebenarnya dia tidak menjawab apa-apa saat Ify menawarinya untuk makan satu meja dengannya. Namun sepertinya terlambat. Ify sudah mengartikan diamnya itu sebagai bentuk persetujuan.


 

"Hai.." seru Sivia saat dia sudah sampai di meja makan Ify. Dia mengulurkan tangan kanannya pada Rio. Dia mencoba santai. Walaupun pikirannya tidak karuan.


 

Rio berdiri. Walaupun dengan susah payah, dia mengulurkan tangan kanannya juga. "Halo... Via..."


 

Sivia tercekat. Bukan karena tangannya dijabat oleh Rio. Tapi... Nama itu... Nama panggilan itu hanya untuk orang terdekatnya. Dan... Sepertinya Rio sudah salah tempat mengucapkannya.


 

"Via?" seru Ify pelan. Nyaris tidak terdengar. Namun karena Sivia berdiri tepat di sampingnya, jelas saja dia mendengar seruan kecil itu. Dalam hati Sivia yakin. Sangat yakin kalau Ify bertanya-tanya mengapa Rio memanggil dirinya dengan nama Via. Aaaah! Sial juga! Kenapa dia malah bertemu dengan Rio dan Ify disini sih?


 

Dengan cepat Sivia menarik tangannya lalu mencoba mencairkan suasana.


 

"Eh, hmm kalian ngapain disini?"


 

Bodoh! Pertanyaan macem apa itu? Sivia bodoh! Bodoh! Makinya dalam hati.


 

"Eh? Hahaha!" Ify tertawa lalu mempersilakan Sivia untuk duduk. Disusul oleh Rio dan dirinya sendiri. "Ini kan malam Minggu Sivia. Yaaah you know lah namanya juga pacaran. Ngomong-ngomong, Kak Cakka mana? Elo sendirian kesini?"


 

Rio langsung menegakkan tubuhnya tanpa sadar. Sehingga dua pasang mata di depannya langsung memperhatikan dirinya bingung.


 

Sedikit banyak Sivia menyadari tingkah Rio, lalu dengan cepat dia kembali menarik perhatian Ify dan mengacuhkan Rio. Sangat membahayakan kalau Ify sampai menyadari gerak-gerik aneh mereka.


 

"Dia bentar lagi kesini kok Fy. Tadi mobilnya mogok, jadi Kak Cakka beli bensin dulu. Ntar kalau Kak Cakka dateng, aku pindah ya?" mohon Sivia.


 

"Cieee iyadeh sono. Tau deh tau gue sama Kak Rio nggak bakalan ganggu kok haha!" goda Ify sambil sesekali melirik ke arah Rio yang hanya diam memperhatikan mereka berdua. Eh? Kayaknya bukan. Lebih tepatnya memperhatikan Sivia.


 

"Yee bukannya lo yang ngerasa pacarannya terganggu dengan hadirnya gue Fy? Hahaha ngaku aja deeh." Goda Sivia balik. Tanpa menghiraukan keberadaan Rio di seberang mejanya. Ify tertawa tanpa memberikan komentar.


 

"Kenapa kita nggak satu meja aja?"


 

Ify menghentikan tawanya. Dia dan Sivia menoleh –lagi-. Itu suara Rio!


 

"Hah?" Sivia sedikit risih. Apa maksudnya Kak Rio sih? Bukannya hal itu malah membahayakan dirinya? Dalam situasi begini saja Ify sudah berkali-kali menatapnya bingung.


 

"Ah kayaknya itu ide bagus deh Siv! Jadi kan double date! Iya kan Kak?" Ify meminta persetujuan lebih dari Rio. Dan langsung saja Rio mengangguk tersenyum.


 

Sivia menelan ludahnya. Keringat dingin mulai mengucur dari kepalanya. Apa-apaan ini? Tidak ada Cakka aja situasinya sudah nggak karuan. Apalagi kalau ada Cakka? Ya Tuhaaan. Tolonglah... Kali ini saja...


 

"Mau pesan apa Mbak?" seru pelayan muda yang tiba-tiba datang menghampiri meja mereka. Ah terimakasih! Setidaknya ada waktu beberapa detik untuk Sivia berpikir cara penolakan yang wajar.


 

"Emm, kita pesan minum aja deh dulu Mbak. Soalnya kita masih nunggu temen." Ify terlihat berpikir. "Aku pesan Vanilla Blue aja deh. Kak Rio pesan apa?"


 

"Orainge Jus aja." Jawab Rio singkat.


 

Pelayan itu tersenyum lalu mencatat pesanan tamunya. "Kalau Mbak yang ini mau pesan apa?" ujarnya ramah.


 

Sivia sedikit tersentak. Namun buru-buru dia menegakkan tubuhnya. "Eh.. aku pesan.. Oh aku pesan Orainge Jus aja ya Mbak. Tapi..."


 

"Tapi nggak pakai irisan jeruk di bibir gelasnya Mbak."


 

Jeng Jeng!


 

Hening. Sivia menelan ludahnya. Memorinya terputar ke satu tahun silam. Dimana dirinya, Rio, beserta keluarganya makan malam bersama di sebuah Restoran ternama di Jakarta. Saat itu, Sivia mengambil irisan jeruk yang berada di bibir gelasnya.


 

"Kenapa?" tanya Rio yang duduk tepat di sebelah kirinya. Dia bingung melihat tingkah Sivia.


 

"Eh? Hmm itu.. Aku.. Aku alergi sama jeruk nipis Kak." Jelasnya malu.


 

"Kok bisa? Memangnya ada ya alergi sama jeruk nipis Vi?" tanya Angel yang duduk di sebelah kanan Sivia.


 

Sivia mengangkat kedua bahunya. "Buktinya aku begitu Kak. Bibirku gatel-gatel kalau ada irisan jeruk di bibir gelasnya. Tadi lupa kasih tau pas pesan. Hehe."


 

Rio menggelengkan kepalanya. "Ada-ada aja deh." Sahutnya sambil mengacak pelan rambut Sivia. Kemudian Angel dan dua pasang orang tua disana langsung habis-habisan menggodai Sivia dan Rio. How a great moment!


 

Memorinya tertutup. Hanya sampai disitu. Sivia meneguk ludahnya. Dia memberanikan matanya melihat wajah Rio. Rio yang sudah daritadi menatapnya, malah tersenyum tanpa dosa lalu menghela nafasnya. "Kenapa? Gue cuman nebak kok. Emangnya bener ya? Hahaha ternyata gue jago juga nebak-nebak ya."


 

Sivia diam. Dia mengabaikan Rio. Lalu bibirnya tersenyum ramah ke arah pelayan itu. "Pesan Orainge Jus tapi pakai dua irisan jeruk di bibir gelasnya Mbak."


 

Pelayan itu mengerutkan kening sebentar lalu mengangguk dan mencatat semua pesanan. Setelah itu dia berlalu pergi.


 

Sivia tersenyum melihat mata Rio yang melotot kepadanya. Dia tidak tahu apa yang dilakukannya. Yang jelas, dia hanya ingin ini semua berakhir tanpa Ify tahu. Dan... Dia berjanji akan meminta maaf kepada Rio suatu saat nanti. Ini semua dilakukannya untuk kebaikan Ify... dan juga dirinya. Yah memang harus ada yang tersakiti kan di dalam pusaran cinta?


 


 

***


 


 

Ify berdiri lalu meminta izin untuk pergi ke toilet sebentar. Entahlah, ada sesuatu yang mengganjal dalam lubuk hatinya. Semenjak Sivia datang, sadar atau tidak, Ify melihat ketegangan di wajah Rio. Sebenarnya bukan itu saja, dari awal Sivia datang lagi ke dalam hidupnya, dia sudah menyadari perilaku aneh Sivia yang menyuruhnya untuk tidak memperjelas status saudara di antara mereka. Belum lagi tingkah aneh Rio beberapa hari lalu di kantin. Lalu juga, Rio yang tidak masuk sekolah tiga hari berturut-turut tanpa ada keterangan dan tidak bisa dikunjungi. Lalu juga tadi, Rio manggil Sivia dengan sebutan 'Via'! Kemudian, apa benar Rio hanya menebak-nebak kalau Sivia tidak menyukai irisan jeruk nipis? Rasanya tidak mungkin. Kalau tidak, mengapa Sivia tercengang untuk beberapa saat? Dan kemudian meminta irisan jeruk nipis itu lebih?


 

Semua terasa salah..

Semua terasa hina..

Ketika rasa itu tak bisa lepas dari diri yang terhempas..


 

Ify melihat pantulan wajahnya di cermin. Sekilas lagu yang tengah dinyanyikan oleh penyanyi di Restoran itu sangat menyinggung dirinya. Dia menggigit bibir bawahnya. Keraguan nampak terlihat di urat-urat wajahnya yang menegang. Dari sekelabat pikiran singkatnya tadi, dia menarik satu kesimpulan yang memberikan tanda tanya besar: Apakah Sivia dan Rio sudah pernah kenal sebelum ini?


 

Ify meringis. Dia membuka kran air lalu menghusap wajahnya. Kemudian dia mengangkat wajahnya yang kembali terpantul dari cermin. Dia mengambil tissue lalu mengelap wajahnya. Setelah selesai, dia mencoba tersenyum. Kemudian dia melangkahkan kakinya ke arah pintu toilet. Namun, langkahnya terhenti disana. Dia memperhatikan satu meja yang tidak terlalu jauh dari tempatnya.


 

Cinta.. Jadi suatu yang jauh dari artinya..
Memberi walau harus tak diberi..
Menerima meski tak diterima..


 

Sudah lebih dari lima menit dia berada dalam toilet tadi. Namun, Rio sepertinya sama sekali tidak terlihat mencarinya. Malah, matanya hanya tertumpu pada lawan bicaranya di depan. Ify mencoba mendengarkan apa yang dikatakan oleh Sivia kepada Rio. Namun nihil. Mereka berbicara terlalu pelan.


 

Lihatlah aku di sini..
Haruskah ini terjadi?


 

Mungkin hanya obrolan biasa.. Ify memberikan komentar positif pada otaknya yang memberontak untuk segera mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi pada Sivia dan Rio.


 

DEG! Disaat sedang mati-matian membela mereka berdua di hadapan otaknya, Ify merasa terguncang. Sedetik kemudian, otaknya seperti bertepuk tangan keras menertawakan kekalahannya. Rio.. Rio memegang tangan Sivia dan menggenggamnya kuat. Apa itu? Apa artinya? Ada apa dengan mereka? Rio terlihat seperti memohon dan Sivia terlihat putus asa.


 

Lakukanlah sampai engkau puas..
Cari saja apa yang hatimu mau..
Sampai kapanpun aku ..
Selalu mencoba untuk mengerti..


 

Tanpa sadar, Ify menangis. Seperti ditusuki jarum-jarum tajam, dia hancur perlahan. Badannya tertumpu pada dinding dalam toilet. Dia tidak mampu melihat kejadian itu. Ify menutup matanya. Mencoba merasakan rasa sakit yang menyiksanya.


Tapi tunggu. Apa dia harus menyerah? Rasanya sulit. Setelah sekian lama dia memperjuangkan diri mati-matian untuk mendapatkan hati Rio. Dan sekarang? Setelah dia mendapatkannya, ternyata.. Ternyata hati Rio memang benar-benar tidak menganggapnya 'ada'. Namun, apa secepat itu Ify menyerah? Dia kan belum mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi antara Rio dan Sivia. Mungkin tidak seburuk pikirannya tadi? Ify mencoba berdiri tegak. Menghapus air matanya.


 

Ify kembali menyembulkan kepalanya sedikit diantara pintu. Dan sedetik kemudian, Ify menutup mulut dengan kedua tangannya. Matanya melotot seperti hendak keluar dari kelopaknya. Apa-apaan ini? Tadi mereka terlihat sedikit romantis. Lalu sekarang? Sivia.. Sivia dengan beraninya menyiram tubuh Rio dengan Orainge Jus yang dipesannya tadi. Lalu dengan gesit meninggalkan Rio berdiri disana dengan tatapan-tatapan bingung pengunjung lain. Ify melihat dengan jelas bagaimana Rio mengepalkan tangannya yang basah lalu lama-lama melemah. Kemudian berlari meninggalkan Restoran itu setelah menaruh selembar uang seratus ribuan di atas mejanya. Ify tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Dia tidak peduli apakah Rio mengejar Sivia atau tidak. Yang jelas, dia juga butuh pemulihan. Malam ini.. Merupakan Malam Minggu terburuk yang pernah dia alami selama hidupnya. Dia shock. Ify terduduk di toilet itu. Sendiri. Dan.. matanya terpejam merasakan bulir air mata yang semakin lama malah semakin deras menyeruak keluar. Hatinya sakit. Dia kecewa. Sangat amat kecewa. Pada Rio. Bukan pada Sivia.


 

Teruskanlah hingga engkau jera..
Dustai dan khinati dan lukai hatiku..

Meski lautan air mataku mengering..
Ku coba tetap mengerti..


 


 

***


 


 

PAA tanda-tanda kan? CK juga tanda-tanda! Haha tanda-tanda mau tamat. Ihiy akhirnya bisa juga nemu waktu yang pas buat Ify menyadari semua(?) Akhirnya sedikit lagi selesai. Hahaha maaf ya kalau nggak sesuai hati kalian.


 

Ngemeng-ngemeng, saya bentar lagi kuliah nih. Pasti banyak tugas deh. Dan... kalian tahu pasti ini berita buruk atau baik wkwk. Nggak tau seberapa lama lagi bakalan di lanjut-_-Tapi ya, diusahain kok insyaallah muhuhuhu.


 

Cerbung ini juga bisa dibaca di http://www.resaechaa.blogspot.com

Follow me on twitter @Resaechaa

Resa Echa Ariani

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Lanjutannya mana nih ? Ditunggu yaaa

Anonim mengatakan...

Lanjutanya di tunggu yaaa

Unknown mengatakan...

Lanjutannya dong...